Revan meracau frustasi. Juga lega, akhirnya menemukan Ana. Dia terkejut saat mendekat dan melihat penampilan Ana cukup berantakan dengan mata sembab rambut tergerai asal dan ada luka dibibirnya. Namun belum sempat ia bertanya, suara panik Ana sudah memasuki pendengarannya. Memaksanya untuk mengesampingkan segala pertanyaan dikepala.
"Ayah … ayah? Aku harus kerumah sakit.."
"Ana? Kamu nggak papa?"
Ana tidak lagi mendengar pertanyaan Revan. Kepalanya penuh dengan kekhawatiran akan ayahnya.
"Revan, bisa antar aku ke rumah sakit?" Pintanya dengan suara memohon.
Revan menyentuh pundak Ana, mencoba menenangkan nya. "ayahmu sudah dirumah, semalam dia drop tapi tidak sampai dirawat," Ibu tiri mu bahkan tidak membiarkan ayahmu dirawat, Ana.
Revan tidak tega memberi tahu Ana tentang kekejaman itu apalagi penampilan gadis itu terlihat sangat berantakan.
Revan mendesah pelan. "Mari aku antar pulang. ayahmu pasti sudah menunggu mu, Ana. "
Ana mengganguk pelan.
Saat berniat naik ke boncengan, Ana meringgis. Rasa pedih pada arena di antara paha kembali dia rasakan. Dia pun memilih duduk menyamping.
*~~~*
Jeffreyan terbangun setelah terganggu dengan kebisingan dari dering ponselnya sendiri. Melihat nama yang tertera di layar adalah Tama, Jeffreyan menahan diri untuk memaki-maki orang yang mengganggu tidurnya. Ia menekan klik dan panggilan itu tersambung.
"Apa? "
Suaranya serak dan tenggorokan nya terasa kering. Namun, tidak menyembunyikan rasa kesal akibat tidurnya yang terganggu.
"Maaf tuan, saya mengingatkan ada rapat dengan investor dari Jepang jam 2 siang ini. "
"Hm."
Jeffreyan melihat jam menunjukan pukul 12 lewat.
Ah sial, rupanya dia kelelahan setelah bermain sampai dini hari. Dirinya kemudian menoleh dan mendapati ranjang sebelahnya kosong, kemana gadis itu? Apa dia dikamar mandi?
Ingatan tentang malam panasnya yang luar biasa membuatnya tanpa sadar tersenyum. Gadis itu entah harus dia apakan. Mungkin bukan gadis lagi setelah kebringasannya tadi malam.
Dirinya bener-bener dibuat lepas kendali bahkan sampai gadis itu pingsan pun dirinya tetap memompa dan membolak balik tubuh kecil itu. Kalau bukan mengingat tadi malam pengalaman pertama kalinya untuk gadis itu, sudah pasti akan dia hajar sampai siang ini.
Hanya membayangkan malam panas itu kembali, milik nya sudah kembali bangun.
Sialan!
Kenapa dirinya menjadi mesum begini?
"Tuan? "
Suara dari seberang telepon memutus lamunan Jeffreyan.
Lupakan semua, dia harus kembali fokus pada pekerjaan. Otaknya mencoba mengais sisa kewarasan.
"Tama, antarkan baju ku dan juga baju ganti untuk wanita ke sini. " Matanya melirik ke arah kamar mandi. Senyuman nya terbit tanpa tahu bahwa wanita yang dia sebut sudah melarikan diri sejaki pagi.
"Baik Tuan."
Tut! Sambungan telepon itu putus.
Sementara ditempat lain, Ana yang baru saja tiba langsung turun dari boncengan Revan. Menyelonong masuk kerumah. Dia terlalu panik dengan kondisi ayahnya.
Walaupun Revan bilang ayahnya sudah di rawat semalam hal ini justru membuat Ana semakin khawatir karena biasanya jika penyakit ssang ayah kambuh minimal di rawat inap 2 hari baru diizinkan pulang. Rasa perih yang dia rasakan hilang berganti menjadi rasa takut akan kehilangan ayah-nya.
Tetapi baru mencapai pintu, langkah Ana terhenti karrna tangannya dicegat. "Dari mana kamu semalam nggak pulang, hah?! "
Suara bentakan menghentikan langkah Ana menuju ke kamar ayahnya.
Ana meringgis karna tekanan yang kuat pada tangannya, "Ma-ma? Maaf Ma, Ana ketiduran dirumah teman semalam. " Bohong Ana.
"Bagus! Ayahmu drop tapi kamu malah enak-enakkan tidur. Ditelfon nggak diangkat, kamu mau ayahmu ini mati karna terlambat penanganan, iya?!"
Kepala Ana menggeleng cepat, bibirnya bergetar menahan tangis. "Maaf, Ma. Ana bukannya sengaja nggak angkat telfon semalam, tapi.."
Rita yang kesal menjambak rambut kusut Ana, menariknya kebawah membuat wajah Ana mendongak keatas menahan sakit. Belum hilang sakit di kepalanya kini ditambah lagi oleh ibu sambungnya.
"Alasan! Bilang saja kalau kamu mau mangkir mengurus ayahmu. Ingat ya Ana, kalau bukan karena ayahmu kamu pikir bisa kamu ada didunia ini?! Kamu pikir uang untuk kamu kuliah itu murah, hah?! Kalau bukan karena ayahmu mungkin kamu sudah mati kelaparan dibawa sama ibumu yang bodoh itu. Jadi sekarang giliran kamu yang bantu ayahmu berobat, paham kamu?! "
Ana mengganguk paham. Ini bukan hal baru baginya, tapi tetap menyakitkan.
Dulu, Ana sempat merasakan sosok ibu ketika ayahnya menikah untuk kedua kalinya setelah ibunya meninggalkanya di usia 5 tahun.
Ibu tiri Ana bersikap baik dan hangat layaknya ibu pada umumnya. Namun, semua berubah semenjak usaha ayahnya kena tipu hingga berujung bangkrut. diperparah lagi sudah 4 tahun ini ayahnya mulai sakit-sakitan serta mereka harus terusir dari rumah tempat mereka tinggal.
Ibunya tertekan dan mulai melampiaskan kemarahan serta kefrustasian semuanya kepada Ana, yang tidak tahu apa-apa.
Ana kecil sudah didewasakan keadaan. Bekerja keras demi membantu ekonomi keluarga sudah dia emban sejak usia 12 tahun. Ibunya yang waktu itu sempat tertekan, hanya bisa memukuli Ana untuk melepaskan kekesalan yang bercokol dihatinya. Dan bagian paling sakit nya adalah tidak pernah di bela bahkan oleh ayahnya sendiri. Hal itu menjadikan Ana sosok yang penakut dan mudah ditindas.
"Dasar nggak tau diri! Tau begini mending kamu di buang! Gara-gara mengurus kamu suamiku itu bangkrut. Memang dasar kamu sama ibu mu itu perempuan pembawa sial! "
"Sekarang urus ayahmu, tebus obatnya! Pergi sana! " Sentaknya lalu melempar kertas resep ke muka Ana.
Ana memungut kertas yang tergeletak lalu melangkakan kaki keluar dari rumah. Ana mengurungkan niat untuk bertemu sang ayah. Memaksa masuk pun dia tidak akan diizinkan.
Setidaknya dia bisa bantu dengan menebus obat ayahnya.
Hatinya diliputi rasa bersalah dan takut. Meski ayahnya acuh tak acuh padanya, Tapi bagi Ana masih punya keluarga kandung saja dirinya sudah teramat bersyukur. Dia tidak mau ditinggal sendirian. Tidak mau.
Ana menebus semua obat yang diperlukan. Saat keluar dari apotik secara tidak sengaja dia bertemu dengan Vita, rekan kerjanya.
"Ya ampun, An. Penampilan lo udah ngalah-ngalahin wanita panggilan aja deh acak-acakan banget. Abis di pakai berapa ronde lo? " Ucapnya pelan namun beberapa orang disana bisa mendengar dan langsung melihat ke arah mereka berdua.
"Perempuan murahan! " desisnya
Deg!
Selamat membaca! Pagi ini Ana memutuskan tetap pergi ke kantor seperti biasa. Meski dirinya masih trauma, kebutuhan rumah dari gajinya untuk lain- lainnya tidak bisa menunggu. Hatinya yang rapuh itu harus dipaksa kuat. Dirinya juga tidak mungkin bisa bertemu dengan Jeffreyan, nyaris mustahil. Posisinya dikantor hanya karyawan biasa sedangkan Jeffreyan adalah pimpinan sekaligus pewaris perusahaan raksasa Wicaksana. Toh selama ini mereka bahkan tidak pernah bersinggungan kecuali dengan Pak Tama, sang sekretaris dan itupun sangat jarang terjadi. Semangat Ana! Demi ayah. Lupakan semuanya. Tekadnya sebelum memasuki gedung tinggi 20 lantai kantor utama Wicaksana Group. Bibir bisa berdusta tapi hati tidak. Begitu menginjak lobby perusahaan, tekad Ana mulai goyah. Kakinya mendadak lemas nyaris tidak mampu menopang tubuh jika tidak berpegangan dengan pilar-pilar megah disebelahnya. Jantung Ana seperti diremas kuat-kuat, sakit sekali. Belum lagi tubuhnya yang mendadak gemetar. Didepa
Selamat membaca! "Perempuan murahan! ""Maksud kamu apa, Vita? Aku nggak seperti itu."Suara Ana tercekat. Oh,Tidak! Apa Vita tahu dia tidur dengan atasan mereka, Pak Jeffreyan? Tapi dirinya korban bukan perempuan murahan yang sengaja menjual diri. Dia di perk*sa.Bibir Vita menyunggingkan senyum mengejek, sambil berdecih, "Pikir aja sendiri!"Tatapan meremehkan itu masi bisa ditangkap Ana sebelum Vita meninggalkan nya dengan ribuan kekhawatiran yang melanda.Dirinya korban tapi dirinya yang di cap sebagai perempuan murahan. Padahal tidak. Tapi benarkah Vita tahu sesuatu?Ana berjalan dengan gontai menuju rumah. Peluh yang di kening nya sesekali dia basuh dengan tangan.Kaki nya sakit tapi hatinya puluhan kali lebih sakit. Terhina. Ingin menyerah tapi nasib keluarga masih jadi tanggungan nya.Air mata itu merembes begitu saja. Rasa marah sedih dan takut itu bersatu seolah meremas hatinya. Mengadu pun dirinya belum tentu akan didengar.Apa ada yang percaya bahwa dirinya di pwrkosa ata
Revan meracau frustasi. Juga lega, akhirnya menemukan Ana. Dia terkejut saat mendekat dan melihat penampilan Ana cukup berantakan dengan mata sembab rambut tergerai asal dan ada luka dibibirnya. Namun belum sempat ia bertanya, suara panik Ana sudah memasuki pendengarannya. Memaksanya untuk mengesampingkan segala pertanyaan dikepala."Ayah … ayah? Aku harus kerumah sakit..""Ana? Kamu nggak papa?"Ana tidak lagi mendengar pertanyaan Revan. Kepalanya penuh dengan kekhawatiran akan ayahnya."Revan, bisa antar aku ke rumah sakit?" Pintanya dengan suara memohon.Revan menyentuh pundak Ana, mencoba menenangkan nya. "ayahmu sudah dirumah, semalam dia drop tapi tidak sampai dirawat," Ibu tiri mu bahkan tidak membiarkan ayahmu dirawat, Ana.Revan tidak tega memberi tahu Ana tentang kekejaman itu apalagi penampilan gadis itu terlihat sangat berantakan.Revan mendesah pelan. "Mari aku antar pulang. ayahmu pasti sudah menunggu mu, Ana. "Ana mengganguk pelan.Saat berniat naik ke boncengan, Ana m
Deg!Suara bariton itu membuat Ana terlonjak kaget. Tubuhnya secara reflek mengikuti perintah.Ana berjalan mendekat dengan tubuh yang gemetar hebat. Berpikir keras bagaimana cara minta maaf agar dirinya tidak dilaporkan ke polisi karna sedikitpun dia tidak ikut menikmati uang korupsi, salahnya hanya tidak melaporkan perbuatan Pak Rudy.Mengenai apakah dirinya akan disebut kaki tangan, Ana tidak pernah terpikir sama sekali. Pikirannya yang berkecamuk dan penuh itu membuatnya tidak memperhatikan sekeliling.Tanpa tahu jika laki-laki di depannya sudah melepas satu persatu kancing kemeja yang melekat di tubuhnya.Ana yang masih setia menunduk. Tidak berani menatap atasan dari atasanya itu. Air mata menjadi saksi bisu betapa takut dirinya saat ini. Buliran itu juga masih mengalir deras dengan sesekali Ana menghapus menggunakan punggung tangan.Tiba-tiba Ana menjatuhkan diri, berlutut di hadapan Jeffreyan."Tuan jangan laporkan saya, sa-saya minta maaf."Sebelah alis Jeffreyan naik mendeng
Rok pensil yang ia kenakan membuat garis pinggulnya terlihat tegas, sementara blazer hitam dan kemeja putih yang terkancing rapi tersebut justru menonjolkan lekuk halus tubuh Raisa Andriana yang tengah berdiri di dekat pintu masuk.Mungkin hanya dirinya yang datang ke kelab dengan menggunakan pakaian kerjanya yang membosankan seperti ini. Alih-alih pengunjung, dirinya lebih cocok menjadi pelayan yang berdiri di tiap sudut ruangan.Suasana club dengan suara musik yang memekakkan telinga serta bau asap rokok yang pekat sesekali membuat Anna terbatuk-batuk. Dari sekian banyak tempat yang ada di dunia kenapa pesta keberhasilan proyek timnya harus diadakan di kelab? "Entah apa bagusnya tempat ini,” gumam Ana lirih. Tidak menyadari bahwa ada beberapa pasang mata yang tengah mengamatinya sejak ia tiba tadi."Wah! Ini dia primadona kita malam ini!” teriak Pak Rudy, atasan Ana, saat melihat gadis itu datang. “Selamat datang, Ana! Ayo, kemarilah. Mari kita senang-senang!”Ana tersenyum kikuk d