Selamat membaca!
"Perempuan murahan! "
"Maksud kamu apa, Vita? Aku nggak seperti itu."
Suara Ana tercekat. Oh,Tidak! Apa Vita tahu dia tidur dengan atasan mereka, Pak Jeffreyan? Tapi dirinya korban bukan perempuan murahan yang sengaja menjual diri. Dia di perk*sa.
Bibir Vita menyunggingkan senyum mengejek, sambil berdecih, "Pikir aja sendiri!"
Tatapan meremehkan itu masi bisa ditangkap Ana sebelum Vita meninggalkan nya dengan ribuan kekhawatiran yang melanda.
Dirinya korban tapi dirinya yang di cap sebagai perempuan murahan. Padahal tidak. Tapi benarkah Vita tahu sesuatu?
Ana berjalan dengan gontai menuju rumah. Peluh yang di kening nya sesekali dia basuh dengan tangan.
Kaki nya sakit tapi hatinya puluhan kali lebih sakit. Terhina. Ingin menyerah tapi nasib keluarga masih jadi tanggungan nya.
Air mata itu merembes begitu saja. Rasa marah sedih dan takut itu bersatu seolah meremas hatinya. Mengadu pun dirinya belum tentu akan didengar.
Apa ada yang percaya bahwa dirinya di pwrkosa atasannya. Seorang Jeffreyan Wicaksana yang terkenal dingin dan berpenampilan sempurna itu?
Siapa yang percaya?
Bahkan dirinya sendiri pun masih belum bisa percaya.
Dirinya mengaku salah karena tidak melaporkan perbuatan curang Pak Rudy. Tapi apa pantas dia diperlakukan seperti ini? Dirinya hanya bawahan yang tunduk pada perintah. Selimper pun ia tidak menerima uang.
Tidak lama Ana tiba. Dengan cepat dia usap semua air mata agar tidak ada yang melihat kesedihannya.
Begitu membuka pintu, Mamanya sudah tidak ada dirumah.
Dengan leluasa Ana berjalan ke arah kamar ayahnya. Laki-laki pertama dihidup Ana itu sudah terbaring tidak berdaya. Sisa-sisa ketampanan sudah terkikis sempurna. Tidak ada lagi tubuh kekar dan besar ayahnya yang dulu masih sanggup menggendong Ana kecil. Kini tubuh itu kurus sekali. Terlihat ringkih dan menyedihkan.
Ayahnya terkena gagal ginjal sudah lebih dari 3 tahun. Sampai sekarang Ana masih mencari biaya untuk ayahnya bisa menjalani transplantasi ginjal.
Dalam ingatan Ana kecil, dulu sosok ayahnya pernah menjadi seluruh dunia Ana. Menjadi pelindungnya. Dengan pelukan yang menjadi rumah ternyaman bagi nya.
Namun, sosok yang sama itu juga telah menjadi pemberi luka paling dalam di hidup Ana. Dia juga turut andil sebagai penyebab trauma terbesar Ana hingga kini.
Ana benci? Tidak.
Dia hanya kecewa.
Dan melihat bagaimana laki-laki yang disayanginya dengan sepenuh hati itu terbaring lemah justru menikam perasaannya jauh lebih sakit. Jika bisa memilih dia rela menukar hidupnya untuk kesembuhan sang ayah. Ginjalnya hanya tidak cocok, jika cocok tanpa ragu akan dia berikan seluruhnya yang dia punya.
"Ana.."
Ucapan pelan dengan tatapan sayu menahan sakit itu membangkitkan air mata yang sudah Ana tahan-tahan.
"Ayah maaf, Ana terlambat beli obat buat ayah, " Ana mendekat lalu berjongkok di sisi ranjang tempat tidur ayahnya. Matanya yang sembab dan suara yang tercekat membuatnya semakin tergugu. "pasti ayah kesakitan, maafkan Ana. "
Gelengan kepala dengan tatapan mata berkaca-kaca yang Ana dapatkan. Ayah terpegun, tangisan putri kecilnya yang lebih sering dia sakiti itu membuat ingatannya melanglang jauh ke masa lalu.
Semenjak jatuh sakit dan terbaring lemah. Hartomi hampir tidak bisa melakukan aktifitas. Disaat itulah dirinya sadar betapa besar pengorbanan putri kecilnya Ana. Gadis kecilnya itu bukan hanya bekerja dan menjadi tulang punggung keluarga. Bahkan ketika libur, Ana akan sibuk mengurusi segala keperluannya.
Bukan tidak menghargai usaha sang istri ketika merawatnya, dia akui Rita memang merawatnya. Tapi jika menimbang betapa tidak adil dirinya dulu bersikap, putrinya itu benar-benar berhati malaikat. Bisa saja Ana memilih pergi membuangnya sama seperti dia yang membuang Ana ketika sudah mendapatkan keluarga barunya saat menikahi Rita dulu.
Dia ingat semua kekejaman nya sendiri pada putrinya dulu. Tapi dirinya baru menyadari betapa menderitanya gadis kecil itu.
Pada awal pernikahannya, Rita tidak keberatan atas kehadiran Ana. Namun ketika tahu bahwa dirinya hamil Rita mulai cemburu pada kasih sayang yang diberikan Hartomi pada Ana. Membuat Rita melampiaskan kekesalannya dengan menghasut Hartomi untuk membenci Ana. Semua dia lakukan karna dia tidak ingin anaknya yang bukan darah daging Tomi itu tidak mendapatkan kasih sayang yang sama besarnya.
Rita sendiri adalah sekretaris Hartomi yang ditinggal mati suaminya. Hartomi menikahi Rita karena berhutang budi pada almarhum suami Rita yang meninggal demi menyelamatkan nya.
Hartomi sendiri sudah tidak ingin mengingat-ingat kembali bagaimana Ana kecil yang mulai tersisih dari hidupnya. Putri kecilnya itu bahkan tidak pernah lagi merenggek manja dan memilih menjauh darinya. Hal itulah yang memicu kekesalan-kekesalan yang dirasakan Tomi. Ditambah hasutan-hasutan sang istri membuat Tomi semakin jauh dari putri semata wayangnya itu.
Semua ini salahnya, memilih percaya dan menghukum tanpa pernah mencari tahu kebenarannya saja sudah salah. Dan dia sadar telah melukai putri kecilnya yang malang.
Suara Ana memecah lamunan Tomi.
"Ayah minum obat dulu."
Ana mengambil obat yang ada di dalam tas. Lalu membantu sang ayah untuk duduk bersandar.
Tomi memandang wajah putrinya. Penampilan yang berantakan dengan mata yang sembab. Hatinya seperti di pecut. Perih.
"Bibir kamu kenapa, nak? "
Ana menghindar dari tatapan ayahnya. Takut. Dia sudah gagal menjaga diri. Ayah pasti akan marah atau bahkan akan mengusirnya dengan menyebutnya perempuan murahan seperi Vita.
"Eng itu anu, Yah. Nggak sengaja aku gigit." Bohongnya.
Maafin Ana, Yah. Terpaksa Ana bohong. Sesal Ana didalam hati.
Tapi tubuhnya sama sekali tidak bisa berbohong, jantungnya berpacu dan tangannya mulai gemetar.
Tomi sadar ada yang tidak beres pada putrinya. Tangan putrinya itu bergetar dan wajahnya semakin pucat. Namun, karena tidak ingin mempersulit Ana dia lebih memilih memendam kekhawatiran nya sambil berdoa yang terbaik untuk putrinya itu.
Ia menegak obat yang diberikan Ana, lalu kembali dibaringkan.
"Semua baik-baik saja kan, nak? Apa mama masih suka kasar? "
Tatapan lembut itu, Ana mendapatkannya kembali setelah sekian lama.
'Tidak, yah. Ana tidak baik-baik saja. Ana hancur. '
Ana kembali menangis dalam hati. Ingin mengadu tapi dia takut. Takut tidak dipercayai, takut tidak di bela, takut kembali disalahkan. Dirinya sangat paham bagaimana sakitnya dihakimi tanpa pernah didengar.
Ana menggalang pelan, bibir mungilnya memaksakan senyum, "Mama baik, Yah. Sekarang Ayah istirahat jangan sampai drop lagi, Ana takut. Ayah harus sembuh."
Jangan tinggalin Ana.
*~~~*
"Semoga kerja sama kita berjalan lancar, Pak Jeffreyan."
Jeffreyan bangkit dari duduknya sambil berjabat tangan, "Senang bekerja sama dengan anda, Mr. Yoshi."
Tak lama Jeffreyan meninggalkan ruangan rapat disusul oleh Tama yang berjalan tepat dibelakangnya. Mereka berdua masuk ke ruangan khusus pimpinan di lantai teratas gedung kantor yang sudah hampir 10 tahun ini menjadi ruangan nya.
"Agenda anda selanjutnya ada undangan makan malam sebagai investor untuk proyek di Kalimantan, Tuan."
Tama membacakan agenda tanpa diminta karena sudah menjadi tugas utamanya untuk selalu mem folow up setiap kegiatan yang melibatkan Jeffreyan.
Dengan cekatan tangannya menyampirkan jas, melonggarkan dasi, lalu duduk di kursinya sambil bersandar. Ingatannya masih penuh dengan Ana, teman ranjang nya semalam.
Bahkan sedari awal rapat pun dirinya tidak sepenuhnya bisa fokus mendengarkan. Sebenarnya, proyek itu memang sudah lebih dulu di analisis oleh tim nya, jadi tanpa ada rapat pun Jeffreyan akan setuju dengan kerja sama yang ditawarkan.
Mendatangi rapat ini hanya bentuk formalitas, bentuk menghargai klien yang akan menambah pundi-pundi uangnya. Sementara hati dan pikirannya penuh tentang Ana. Ana dan Ana!
Jeffreyan berdehem, "Cari tahu lebih detail tentang gadis itu."
Tama heran, tidak biasanya Jeffreyan mau repot-repot mengurusi wanita. Namun dia teringat semalam dia menyeret Ana dengan melibatkan kasus Pak Rudy. Apakah mungkin pak Jeffreyan berniat memenjarakan siapapun yang membantu Pak Rudy? Benaknya sibuk menerka-nerka.
Beruntungnya, sebelumnya dia memang sudah mengkonfirmasi keterlibatan Ana sebelum menyeret gadis itu.
"Semalam sudah saya lakukan tuan, ini."
Tama meletakkan flashdisk dari saku celananya. Lalu berjalan mundur beberapa langkah dari meja Jeffreyan.
"Gadis itu tidak terbukti terlibat dengan kejahatan yang dilakukan Pak Rudy. " Ucapnya hati-hati, "saya bisa pastikan dia bukan kaki tangan apalagi tersangka untuk kasus itu Tuan. Tapi, berdasarkan rekaman yang Tuan berikan, gadis itu bisa dimanfaatkan sebagai salah satu saksi untuk memberatkan Pak Rudy. "
Salah satu alasan Jeffreyan menjadikan Tama sekretaris meragkap orang kepercayaannya adalah cara kerja mereka yang mirip dan sangat gesit.
Jeffreyan diam mencerna penjelasan sekretarisnya itu. Belum pernah dia merasakan keinginan yang besar menyangkut wanita sebelum dia bertemu Ana.
Kalau urusan bawah perut sudah pasti terpenuhi. Tentu saja karna dia laki-laki normal. Namun sebatas having s*x, ' dia jual saya beli'. Dan itu berbeda saat pertama kali dia menyentuh Anna. Dia menginginkan lebih.
Dia cukup kaget, dibalik penampilan yang cupu, karyawannya itu memiliki aset-aset yang mengiurkan dan pantang rasanya untuk dilewatkan.
Biasanya, untuk menghilangkan frustasi akibat tekanan kerjaan Jeffreyan hanya perlu bermain sekali, itu pun kalau ada wanita yang beruntung bisa berbagi kehangatan. Dan yang sering terjadi, hanya milik nya saja yang dipuaskan. Tapi dengan Ana, dia sanggup melakukan nya lebih dari dua kali bahkan sampai membuat wanita itu pingsan.
Ada keinginan untuk mencoba Ana kembali. Ia perlu membuktikan apakah ini murni kebutuhan biologis atau ketertarikan.
Dan untuk pertama kalinya ada yang menolak pesonanya. Jeffreyan berdecih, dia masih mengingat jelas penolakan-penolakan gadis itu dibawah kungkungan nya. Menyebalkan.
Dia bisa dapatkan sepuluh bahkan seratus wanita yang dengan sukarela naik ke ranjan nya.
"Tama, semua yg membantu Rudy selidiki termasuk Ana. Jadikan dia salah satu tersangka kasus ini. "
Tama terdiam.
Kejam.
Ya. Begitulah Jeffreyan. Laki-laki tidak berperasaan jika menyangkut musuh nya.
Jeffreyan membaca informasi yang diberikan Tama, tertera identitas dari targetnya. Semuanya tentang gadis itu, keluarga, teman bahkan orang-orang yang pernah dekat dengannya semua tertera dengan lengkap. Asisten nya selalu bisa di andalkan.
'Tulang punggung keluarga, Jadi ayahnya sakit?' Sudut bibir Jeffreyan terangkat, menunjukan senyum yang membuat Tama merinding.
Tama tidak bisa membaca pikiran Tuan nya itu. Yang jelas akan ada pertunjukan menggemparkan.
Getar diponsel nya mengalihkan atensi Tama pada Jeffreyan. Sebuah notif pesan masuk.
'Mana video syur nya Jeff, jangan bilang lo nggak jadi ngelakuin itu bareng si cupu. Kalo lo mangkir dari aturan, denda nya 500 juta'
"Tuan? "
"Hmm? "
"Rangga minta video rekaman anda dengan Ana. Apa perlu saya kirim dan edit untuk menutupi wajah anda?"
"Tidak perlu!" Ucapnya tegas.
"Baik, Tuan. Akan saya kirim ke grup video full nya tanpa die.. "
"Tidak perlu dikirim! "
"Baik. Hah? "
"Apa perlu aku ulangi? "
"Tidak, Tuan. Akan saya transfer uang ke rekening yang bersangkutan. "
Tama tidak heran lagi dan sudah paham fetis aneh mereka. Betapa tidak masuk akal nya para konglomerat sampa menjadikan grup chat untuk tempat berbagi video ranjang mereka yang kalah taruhan.
Bagi sebagian orang mungkin ini terdengar gila, tapi hal ini justru menjadi sebuah cara mereka untuk saling percaya dengan menyimpan kelemahan masing-masing.
"Tama, kirim orang untuk mengawasi gadis itu!"
"Baik, Tuan."
*~~~~~*
Bersambung...