“Pak, jadwal Anda sore nanti adalah bertemu dengan ibu Anjani manager Marketing dari Semen Indonesia.”
William memandang sekretarisnya. “Terima kasih sudah mengingatkan saya.”
Setelah wanita itu pergi kembali ke ruangannya, ia menarik nafas beberapa detik lalu melihat jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 09.00.
Entahlah ada angin apa ia ingin bertemu dengan Anjani. Biasanya, staff saja yang mengurus ini semua.
Namun, firasatnya membuat pria itu ia ingin terjun langsung bertemu dengan Anjani yang menawarkan kualitas harga bahan baku pembuatan property-nya itu.
Sebagai pengusaha real estat, keluarganya konsisten memberi yang terbaik.
William pun kembali menekuri pekerjaannya.
Beberapa jam kemudian, pekerjaanya selesai. Diambilnya kunci mobilnya dan segera menemui kliennya saat ini.
William beranjak dari duduknya ia lalu memasukan kunci ke saku celana. Ia melihat Tiara, sekretarisnya keluar dari ruangan, membawa berkas di tangannya.
“Bapak mau ke mana?”
“Saya mau ketemu klien.”
Tiara melirik jam melingkar di tangannya sudah menunjukan pukul 10.10 menit. Ia menatap pak William, dan ia mengangguk.
“Baik, pak.”
Tiara mengangguk dan memperhatikan pria yang sudah hampir berkepala empat itu pergi.
Meski berumur, ia tetap menarik!
Seluruh wanita di kantor ini menginginkannya.
Sebagai sekretaris yang sudah bekerja dua tahun, Tiara juga sempat memiliki harapan untuk dekat. Namun, semua kandas begitu saja karena sang bos begitu dingin dan hanya ingin membahas pekerjaan saja.
Sementara itu, William kini masuk ke dalam lift yang membawanya menuju lantai besement.
Ia tiba-tiba teringat kedua orang tuanya kerap mempertanyakan kapan dirinya menikah. Tapi, pria itu seolah tidak peduli, Ia kadang pergi bersama teman-temannya, olahraga, mengisi waktu luar dengan berkuda, bermain golf, atau sekedar bersepeda di sore hari. Kadang kalau bersemangat, ia akan ke Afrika, USA, dan Eropa.
Meski temannya satu persatu sudah menikah kerap kali susah diajak bertemu. Namun, ia tidak peduli.
Toh, ia tak ingin seperti Maikel, rekan kerjanya sesama pengembang yang menikahi seorang artis setelah kasus video skandalnya tersebar publik.
Bagi William, sekarang sulit sekali mempercayai cinta apalagi pernikahan.
Dua hal itu sungguh rumit!
Baginya, cinta itu hanyalah reaksi kimia yang ada di dalam otak manusia.
Terlebih, ia dulu pernah dibuat kecewa, dan dibuat spechlees dengan perilaku mantan
Lebih baik, ia sibuk kerja, hingga akhirnya melupakan umur mereka sendiri.
Meski demikian, William akui ia sempat memikirkan FWB (friend with benefit) mungkin adalah yang paling pas untuknya saat ini.
Dia lebih aman dibanding pacaran. Karena tidak ada kejelasan hubungan, maka William tidak perlu mengorbankan perasaan terlalu dalam.
Cara kerja FWB jugaa sederhana: ‘saya butuh dia’ dan ‘dia butuh saya’.
Itu yang ia tangkap secara pribadi, namun William sebenarnya belum pernah melakukannya.
'Masalahnya apakah ada wanita baik-baik yang mau diajak seperti itu?' gumam William tersenym sinis
Ting!
Pintu lift terbuka dan menyadarkan pria itu dari lamunannya.
Segera, ia melangkah menuju parkiran mobilnya dan masuk ke dalam mobil yang meninggalkan area basemen menuju di Spectrum – Fairmont Jakarta.
Sebentar lagi, ia akan bertemu dengan wanita bernama Anjani yang sudah membuatnya penasaran dari kemarin.
****
“Mau pergi bu?”
Tio memandang Anjani, yang sudah mengemasi barang-barangnya di meja yang akan ia bawa ke tempat kliennya.
Anja mengangguk lalu melihat jam di tangannya, memastikan jarak kantor ke Six ounces coffee yang membutuhkan waktu 30 menit.
Bertemu dengan Juliet sekitar sejam, setelah itu melanjutkan ketemu klien di Spectrum – Fairmont.
“Iya nih, mau ngopi bentar, lalu jam sebelas ketemu pak Willi.”
“Pak Willi target utama kita.”
“Iya, yang punya Metropolitan Grup. Doain ya deal, biar kita langsung sampai target bulan ini.”
Tio tersenyum, “Baik bu, semangat ya.”
Anja lalu meninggalkan ruangannya, melewati koridor, ia melihat ada beberapa karyawan yang baru datang. Sejujurnya ia senang melihat suasana kesibukan di kantor. Sejak dulu ia memang bercita-cita menjadi wanita karir, alasan utamanya karena ia workaholic sejak lahir. Ia orangnya tidak bisa diam di rumah saja, dan ia juga tidak punya talenta sebagai ibu rumah tangga. Sejujurnya ia lebih baik kerja dari pagi hingga malam, bahkan lembur ia juga tidak masalah.
Dari pada ia mengerjakan pekerjaan rumah seperti laundry, masak, beres-beres rumah, berkebun, membersihkan rumput, kalaupun ia di rumah ia lebih baik menyuruh go-clean atau menyewa helper untuk membantunya menyelesaikan rumah.
Dan juga ia lebih senang berdandan dan mengenakan pakaian kerja terbaik dari pada di rumah menggunakan daster. Ia harus ingat bahwa ia tidak membutuhkan siapapun untuk membelikan dirinya skincare, skincare itu mahal-mahal, apalagi jajan makeup, tas, sepatu yang harganya jutaan. Ia tidak perlu suami untuk menyediakan itu semuanya, karena I’m my own sugar daddy.
Anja masuk ke dalam lift dan lift membawanya menuju lantai dasar. Ia menunggu beberapa detik, dan akhirnya melangkah menuju parkiran, menuju mobilnya. Ia mengingat bahwa ada sesuatu yang kurang pada dirinnya pagi ini. Ah, ia ingat bahwa ia belum minum kopi pagi ini. Biasa sebelum tiba di kantor ia menyempatkan waktu untuk minum kopi, biasa ia membeli di starbuck, namun bentar lagi ia akan ke six ounces coffee. Ia suka minum kopi jenis Arabika, lebih smooth yang variant speciality, karena biasanya diproses secara giling kering, lebih nyaman untuk lambung dan after taste-nya sangat enak.
Anja masuk ke dalam mobilnya, ia tidak lupa memasang sabuk pengaman. Setelah itu mobil meninggalkan area tower office. Ia memanuver mobil sambil memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Ia mendengar suara ponselnya bergetar, ia melihat ke arah layar ‘Juliet Calling’ Anja menggeser tombol hijau pada layar, ia memasang earphone.
“Iya, Juli,” ucap Anja.
“Lo di mana?”
“Ini lagi di jalan. Lo di mana?”
“Udah sampe nungguin lo.”
“Yaudah kalau gitu, pesenin gue coffee ya.”
“Iya. Lo nggak lama kan?”
“Enggak lah, palingan 20 menit nyampe, deket kok.”
“Oke, gue tunggu ya.”
“Iya, iya,” ia lalu mematikan sambungan telfonnya.
Juliet itu sahabatnya ketika kuliah di Jerman. Dia sudah menikah dengan salah satu anak konglomerat di Jakarta karena perjodohan, namun pernikahannya kandas begitu saja. Ia sebenarnya iba melihat kejadian menimpa Juliet, semakin ke sini ia tidak ingin menikah. Tidak perlu jauh-jauh untuk melihat contoh, wanita perfect seperti Juliet dan suaminya saja yang sama sekali tidak kekurangan finansial, mereka bisa bercerai, umur pernikahan mereka bisa dikatakan sangat singkat hanya tiga bulan saja.
Apalagi ia melihat teman-teman sekantornya yang hidupnya lebih menyedihkan setelah menikah, ada yang terkena dampak KDRT, perselingkuhan, tidak dikasih nafkah, tekanan batin, stress, masih banyak lainnya.
Gimana mau nikah ya?
Ibaratnya menikah itu dengan upah kecil tapi tuntutan selangit. Ia sekarang sadar bahwa memperoleh pekerjaan itu sangat susah, apalagi sudah dibangun sejak awal. Ia tidak akan menyia-nyiakan karirnya hanya dengan menikah.
"Apa mending pacaran saja sampai tua, ya?" gumamanya tanpa sadar.Tanpa disadari, Anja akhirnya tiba di Six ounces coffee.
Ia pun segera memarkir mobilnya di pelataran, lalu keluar dari mobil lalu menuju lobby.
Diedarkan pandangannya ke segala area dalam coffeeshop.
Ada beberapa table terisi, termasuk oleh sahabatnya yang tidak sendiri--melainkan bersama seorang pria.
Ia tidak tahu siapa pria itu. Namun, Anja tak peduli. Ia segera melangkah mendekati Juliet
“Siapa?” tanya Anjani penasaran.“Temennya papa.” “Really? Masih muda loh dia, papa lo kan udah tua,” ucap Anja. Ia sungguh tidak menyangka kalau teman papanya Juliet semuda itu. Juliet tertawa, “Namanya juga rekan bisnis, nggak mandang umur lah.” “Ganteng banget tau itu. Siapa namanya?” “Christian.” “Pasti tajir banget,” ucap Anja, karena ia melihat secara jelas look nya seperti apa. “Setara sama papa,” bisik Juliet sambil terkekeh. Alis Anja terangkat, “Keren banget dong.” “Pastinya,” Juliet tertawa geli. Anjani dan Juliet lalu duduk di kursi, ia memandang server yang membawa pesanannya. Mereka pun duduk dan menyesap coffee yang tersedia. Hot mocca yang ia sesap mengeluarkan rasa dark chocolate. Kopinya juga dipadukan dengan sempurna tanpa rasa asam setelahnya. Ia mengangguk puas, sebelum menatap Julliet yang juga sedang menikmati minumannya. “Lo dari tadi nungguin gue lama, nggak?” “Enggak sih, barusan aja. Sekitar 10 menit yang lalu,” ucap Juliet. Anjani memperhat
Julliet menggeleng. “Enggak terlalu sih, pernah denger namanya dari bokap.”“Siapapun dia. Gue harapnya sih deal dia bakalan kerja sama.” “Semoga ya, gue harapnya sih gitu.” “Sombong nggak sih orang kayak gitu? Misalnya gaya bahasa tinggi atau sok cool, atau apalah itu,” tanya Anja. Ia memang tidak suka dengan klien yang punya sifat kritis, karena mereka biasanya mau di sembah-sembah. “Enggak deh kayaknya mereka justru lebih sopan. Tapi nggak tau juga, kan gue nggak kenal.” “Gue harap sih dia nggak terlalu kritis, ah yaudahlah semoga klien gue pak Willi ini orangnya nggak kritis, malas gue ngadapi orang kritis, tapi clingy juga males ngadepinnya.” “Yang penting lo baik aja, ramah. Kalau nggak deal, harus lapang dada.” “Gue nggak mau tau, itu klien harus deal.” “Duh, gimana caranya?” Tanya Juliet penasaran. “Ya pokoknya gimanapun caranya pak Willi harus deal, ini demi masa depan gue.” “Hemmm, terus.” “Pinter-pinter gue sih ngadepinnya gimana.” “Kalau dia deal, ngajak lo ti
"Anjani?"Ucapan William menyadarkan Anjani dari lamunan. Wanita itu segera mengeluarkan katalog bersampul kulit dari tasnya. “Ini pak penawaran saya, silahkan di baca dulu, nanti saya akan menjelaskan setelah bapak membaca penawaran dari saya.”William pun mengambil katalog itu dari tangan Anjani, “Baik, terima kasih.” Dalam diam, Anjani memperhatikan William yang sedang memandang katalog dan penawaran harga yang ia ajukan. Oh God, ia tidak percaya bahwa kliennya setampan itu. Lihatlah ketampannya bertambah dia ketika dia membaca cukup serius. Badannya tegap bersandar di kursi, bergerak secara natural. Ia menunggu William membaca penawarannya hingga pria itu paham. Beberapa menit kemudian, William pun menutup katalog dan penawaran harga yang sudah tercantum. Ia menatap Anjani, ia memperhatikan struktur wajah, dia memiliki hidung yang mancung, alis terukir sempurna dan bibir penuh yang di olesi lipstick berwarna merah menggoda. William meraih gelas berisi kopi itu, ia sebagai kl
Anjani memakan dimsumnya dengan tenang, lalu memandang William yang sedang menunggu jawabannya. Ia tahu kenapa arah pembicaraan mereka mengarah ke friend with benerfit. Akhir-akhir ini FWB menjadi pembicaraan hangat,“Setahu saya, FWB itu hubungan pertemanan yang sangat dekat antara satu sama lain tanpa melibatkan perasaan. Biasa orang yang melakukan itu, orang-orang yang jenuh dengan hubungan konvensional yang biasanya dianggap terlalu mengikat dan membelenggu.” “Menurut saya FBW ini lebih membebaskan satu sama lain walau sebatas teman. Tapi pada akhirnya tetep saja hubungan itu berujung pada suatu hubungan seksual. Yah, FWB itu dianggap lebih ideal dibanding affair atau one night stand.” “Akan lebih baik jika ingin memulai FWB, dari awal udah ada kesepakatan antara kalian berdua jika hubungan ini hanya sebatas FWB, jadi kedepannya tidak ada yang harus terbawa perasaan. Make it as simple as possible, karena memang ini semestinya adalah hubungan yang simple, no drama, no tears.” “
Anjani menarik nafas, “Iya, kita chek in sekarang,” ucapnya akhirnya. Wanita itu mengeluarkan voucher menginap di hotel untuk mitra dalam jumlah besar.Dan di sinilah Anjani berdiri. Jujur, jantungnya tidak berhenti maraton setelah meninggalkan table. Ia melangkahkan kakinya menuju meja counter receptionis. Anjani melirik William berada di sampingnya yang juga sedang memperhatiikannya. Jarak mereka sangat dekat, bahkan ia dapat mencium aroma parfum vanilla yang lembut, dan dipadukan dengan woody yang maskulin dan disusul dengan wangi apel yang membuat pria terlihat gentlemen, tapi manis. Anjani segera memberikan voucer itu kepada receptionis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan jika berduaan dengan William di kamar hotel. Mereka bukan dua manusia suci yang tidak mengerti apa-apa tentang apa yang terjadi selanjutnya. Ini bukanlah tentang ngobrol biasa, tapi tentang bagaimana cara mempertahakan diri untuk tidak tergoda. Beberapa menit kemudian receptionis itu memberikan kunci
“No, saya di sini saja,” jawab Anja pada akhirnya,“Why? Saya nggak apa-apain kamu?” Ucapan William membuat Anja mulai berpkir. Ia menatap mata elang itu lama. Anja sadar benar pria itu tidak aman, namun entahlah ia tetap melakukannya. Dilepasnya stiletto, dan mulai mendekati William. Entah apa yang merasuki dirinya, Anjani pun berbaring di samping pria itu. Sungguh ia menangkap umpan William dengan sangat baik, ia tahu bahwa ini tidak akan baik-baik saja. Anja menaikan kepalanya di atas bantal, ia menatap langit-langit plafon dan berusaha setenang mungkin. Sementara William mengubah posisi tidurnya menyamping, ia memandang Anja, ia dapat mencium aroma parfume vanilla dari tubuh wanita itu. Mereka saling menatap satu sama lain, dilihat dari jarak dekat seperti ini, Anja terlihat semakin menarik. Ia tahu masih banyak wanita-wanita di luar sana jauh lebih cantik dari Anja. Namun saat dia berpendapat terdengar realistis. Sejujurnya ia suka dengan wanita yang berpikiran terb
HAPPY READING William memandang Anja cukup serius, memperhatikan wanita itu dari kejauhan, ia menepuk bantal di sampingnya, “Kamu nggak mau ke sini?” Tanya William. Anja menarik nafas, ia tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa sekasur dengan William. “No, saya di sini saja.” “Why? Saya nggak apa-apain kamu?” Ucap William. Anja mulai berpkir, ia menatap mata elang itu. Ia tahu bahwa pria itu tidak aman, namun entahlah ia tetap melakukannya. Anja lalu melepas stiletto nya, ia menatap William, ia tidak yakin kalau William tidak akan apa-apain dirinya jika mereka bersama. Entah dorongan apa, ia mendekati William, dan lalu berbaring di samping pria itu. Sungguh ia menangkap umpan William dengan sangat baik, ia tahu bahwa ini tidak akan baik-baik saja. Anja menaikan kepalanya di atas bantal, ia menatap langit-langit plafon dan berusaha setenang mungkin. Sementara William mengubah posisi tidurnya menyamping, ia memandang Anja, ia dapat mencium aroma parfume vanilla dari tubuh wanita
Anja menggelengkan kepala. “Sama sekali nggak.”“Kalau gitu, kamu suka?” “Apa saya harus menjawab, setelah kita sudah melakukannya?” William tertawa, ia pandangi iris mata bening itu, “Saya tidak ingin hubungan kita sampai di sini,” gumam William. “Why?” “Karena saya sudah merasakan bagaimana nikmatnya bercinta dengan kamu,” bisik Wiliam. “Istirahat lah, kamu pasti lelah,” ucap William, ia memandang Anja yang mengubah posisi tidurnya menyamping, namun William menarik tubuh Anja, dan membenamkan wajah itu ke dadanya. “Enjoy our moment.” *** Anja membersihkan tubuhnya dengan air hangat, ia merasakan rileks, dan lelahnya hilang begitu saja. Ia memejamkan mata beberapa detik, otaknya terus berpikir dengan ekstra bahwa ia tidak menyangka kalau ia sudah having sex dengan pria bernama William, pria itu merupakan klien nya sendiri. Bekerja sembilan tahun lamanya di perusahaan ini, baru kali ini ia melakukan hal gila. Ia tidak mengerti jalan pikirannya. Hanya karena dia tampan dan peng