Share

HASRAT LIAR TUAN MILIARDER
HASRAT LIAR TUAN MILIARDER
Penulis: Celiya Kusuma

BAB 1

“Pak, jadwal Anda sore nanti adalah bertemu dengan ibu Anjani manager Marketing dari Semen Indonesia.”

William memandang sekretarisnya. “Terima kasih sudah mengingatkan saya.”  

Setelah wanita itu pergi kembali ke ruangannya, ia menarik nafas beberapa detik lalu melihat jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 09.00.

Entahlah ada angin apa ia ingin bertemu dengan Anjani. Biasanya, staff saja yang mengurus ini semua.

Namun, firasatnya membuat pria itu ia ingin terjun langsung bertemu dengan Anjani yang menawarkan kualitas harga bahan baku pembuatan property-nya itu. 

Sebagai pengusaha real estat, keluarganya  konsisten memberi yang terbaik. 

William pun kembali menekuri pekerjaannya.

Beberapa jam kemudian, pekerjaanya selesai. Diambilnya kunci mobilnya dan segera menemui kliennya saat ini.

William beranjak dari duduknya ia lalu memasukan kunci ke saku celana. Ia melihat Tiara, sekretarisnya keluar dari ruangan, membawa berkas di tangannya.

“Bapak mau ke mana?” 

“Saya mau ketemu klien.”

Tiara melirik jam melingkar di tangannya sudah menunjukan pukul 10.10 menit. Ia menatap pak William, dan ia mengangguk.

“Baik, pak.”

Tiara mengangguk dan memperhatikan pria yang sudah hampir berkepala empat  itu pergi.

Meski berumur, ia tetap menarik!

Seluruh wanita di kantor ini menginginkannya.

Sebagai sekretaris yang sudah bekerja dua tahun, Tiara juga sempat memiliki harapan untuk dekat. Namun, semua kandas begitu saja karena sang bos begitu dingin dan hanya ingin membahas pekerjaan saja.

Sementara itu, William kini masuk ke dalam lift yang membawanya menuju lantai besement. 

Ia tiba-tiba teringat kedua orang tuanya kerap mempertanyakan kapan dirinya menikah. Tapi, pria itu seolah tidak peduli, Ia kadang pergi bersama teman-temannya, olahraga, mengisi waktu luar dengan berkuda, bermain golf, atau sekedar bersepeda di sore hari. Kadang kalau bersemangat, ia akan ke Afrika, USA, dan Eropa.

Meski temannya satu persatu sudah menikah kerap kali susah diajak bertemu. Namun, ia tidak peduli.

Toh, ia tak ingin seperti Maikel, rekan kerjanya sesama pengembang yang menikahi seorang artis setelah kasus video skandalnya tersebar publik.

Bagi William, sekarang sulit sekali mempercayai cinta apalagi pernikahan.

Dua hal itu sungguh rumit!

Baginya, cinta itu hanyalah reaksi kimia yang ada di dalam otak manusia.

Terlebih, ia dulu pernah dibuat kecewa, dan dibuat spechlees dengan perilaku mantan

Lebih baik, ia sibuk kerja, hingga akhirnya melupakan umur mereka sendiri.

Meski demikian, William akui ia sempat memikirkan FWB (friend with benefit) mungkin adalah yang paling pas untuknya saat ini.

Dia lebih aman dibanding pacaran. Karena tidak ada kejelasan hubungan, maka William tidak perlu mengorbankan perasaan terlalu dalam.

Cara kerja FWB jugaa sederhana: ‘saya butuh dia’ dan ‘dia butuh saya’. 

Itu yang ia tangkap secara pribadi, namun William sebenarnya belum pernah melakukannya. 

'Masalahnya apakah ada wanita baik-baik yang mau diajak seperti itu?' gumam William tersenym sinis

Ting!

Pintu lift terbuka dan menyadarkan pria itu dari lamunannya.

Segera, ia melangkah menuju  parkiran mobilnya dan masuk ke dalam mobil yang meninggalkan area basemen menuju di Spectrum – Fairmont Jakarta.

Sebentar lagi, ia akan bertemu dengan wanita bernama Anjani yang sudah membuatnya penasaran dari kemarin.  

****

“Mau pergi bu?”

Tio memandang Anjani, yang sudah mengemasi barang-barangnya di meja yang akan ia bawa ke tempat kliennya.

Anja mengangguk lalu melihat jam di tangannya, memastikan jarak kantor ke Six ounces coffee yang membutuhkan waktu 30 menit.

Bertemu dengan Juliet sekitar sejam, setelah itu melanjutkan ketemu klien di Spectrum – Fairmont.

“Iya nih, mau ngopi bentar, lalu jam sebelas ketemu pak Willi.”

“Pak Willi target utama kita.”

“Iya, yang punya Metropolitan Grup. Doain ya deal, biar kita langsung sampai target bulan ini.”

Tio tersenyum, “Baik bu, semangat ya.”

Anja lalu meninggalkan ruangannya, melewati koridor, ia melihat ada beberapa karyawan yang baru datang. Sejujurnya ia senang melihat suasana kesibukan di kantor. Sejak dulu ia memang bercita-cita menjadi wanita karir, alasan utamanya karena ia workaholic sejak lahir. Ia orangnya tidak bisa diam di rumah saja, dan ia juga tidak punya talenta sebagai ibu rumah tangga.  Sejujurnya ia lebih baik kerja dari pagi hingga malam, bahkan lembur ia juga tidak masalah.

Dari pada ia mengerjakan pekerjaan rumah seperti laundry, masak, beres-beres rumah, berkebun, membersihkan rumput, kalaupun ia di rumah ia lebih baik menyuruh go-clean atau menyewa helper untuk membantunya  menyelesaikan rumah.

Dan juga ia lebih senang berdandan dan mengenakan pakaian kerja terbaik dari pada  di rumah menggunakan daster. Ia harus ingat bahwa ia tidak membutuhkan siapapun untuk membelikan dirinya skincare, skincare itu mahal-mahal, apalagi jajan makeup, tas, sepatu yang harganya jutaan. Ia tidak perlu suami untuk menyediakan itu semuanya, karena I’m my own sugar daddy.

Anja masuk ke dalam lift dan lift membawanya menuju lantai dasar. Ia menunggu beberapa detik, dan akhirnya melangkah menuju parkiran, menuju mobilnya. Ia mengingat bahwa ada sesuatu yang kurang pada dirinnya pagi ini. Ah, ia ingat bahwa ia  belum minum kopi pagi ini. Biasa sebelum tiba di kantor ia menyempatkan waktu untuk minum kopi, biasa ia membeli di starbuck, namun bentar lagi ia akan ke six ounces coffee. Ia suka minum kopi jenis Arabika, lebih smooth yang variant speciality, karena biasanya diproses secara giling kering, lebih nyaman untuk lambung dan after taste-nya sangat enak.

Anja masuk ke dalam mobilnya, ia tidak lupa memasang sabuk pengaman. Setelah itu mobil meninggalkan area tower office. Ia  memanuver mobil sambil memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Ia mendengar suara ponselnya bergetar, ia melihat ke arah layar ‘Juliet Calling’  Anja menggeser tombol hijau pada layar, ia memasang earphone.

“Iya, Juli,” ucap Anja.

“Lo di mana?”

“Ini lagi di jalan. Lo di mana?”

“Udah sampe nungguin lo.”

“Yaudah kalau gitu, pesenin gue coffee ya.”

“Iya. Lo nggak lama kan?”

“Enggak lah, palingan 20 menit nyampe, deket kok.”

“Oke, gue tunggu ya.”

“Iya, iya,” ia lalu mematikan sambungan telfonnya.

Juliet itu sahabatnya  ketika kuliah di Jerman. Dia sudah menikah dengan salah satu anak konglomerat di Jakarta karena perjodohan, namun pernikahannya kandas begitu saja. Ia sebenarnya iba melihat kejadian menimpa Juliet, semakin ke sini ia tidak ingin menikah. Tidak perlu jauh-jauh untuk melihat contoh, wanita perfect seperti Juliet dan suaminya saja yang sama sekali tidak kekurangan finansial, mereka bisa bercerai, umur pernikahan mereka bisa dikatakan sangat singkat hanya tiga bulan saja.

Apalagi ia melihat teman-teman sekantornya yang hidupnya lebih menyedihkan setelah menikah, ada yang terkena dampak KDRT, perselingkuhan, tidak dikasih nafkah, tekanan batin, stress, masih banyak lainnya.

Gimana mau nikah ya?

Ibaratnya menikah itu dengan upah kecil tapi tuntutan selangit. Ia sekarang sadar bahwa memperoleh pekerjaan  itu sangat susah, apalagi sudah dibangun sejak awal. Ia tidak akan menyia-nyiakan karirnya hanya dengan menikah.

"Apa mending pacaran saja sampai tua, ya?" gumamanya tanpa sadar.

Tanpa disadari, Anja akhirnya tiba di Six ounces coffee. 

Ia pun segera memarkir mobilnya di pelataran, lalu keluar dari mobil lalu menuju lobby. 

Diedarkan pandangannya ke segala area dalam coffeeshop.

Ada beberapa table terisi, termasuk oleh sahabatnya yang tidak sendiri--melainkan bersama seorang pria.

Ia tidak tahu siapa pria itu. Namun, Anja tak peduli. Ia segera melangkah mendekati Juliet

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status