Ava baru saja kembali dari rumah sakit, seperti biasa, dia berjalan ke ruang tamu dengan langkah lesu namun saat melihat bibi dan pamannya tergeletak di lantai, Ava buru-buru menjatuhkan tas yang ia bawa.
Otak Ava membutuhkan waktu sedetik untuk memahami apa yang terjadi. Di lihatnya bibir bibinya tampak pecah dan disumpal. Lalu pandangan Ava beralih pada pamannya. Ada setetes darah segar yang mengalir di wajah dan hidung. “Bibi, apa yang terjadi?” tanya Ava bingung, Ava berusaha ingin membantu bibinya. Namun. "Aku tidak akan sudi membantunya, jika saja aku jadi kau, sayang," kata suara kasar di belakang Ava. Ava terlonjak kaget, tetapi sebelum dia bisa melakukan sesuatu, pria itu sudah mencengkeram rambut kuncir kudanya dan menariknya. Kini kesakitan dan ketakutan menjalar ke seluruh tubuhnya. Ava mencoba untuk meraih tangan yang memegangnya agar segera melepaskannya. Apa yang sedang terjadi? Pikir Ava sambil terus mencoba melepaskan diri. "Jangan berpura-pura menjadi jalang yang bodoh," kata suara kedua padanya. Ava menoleh dan menatap seorang pria bertampang kasar. Pria itu kurus. Dia juga memiliki sepasang mata yang dingin seolah-olah ia memandang rendah Ava tanpa adanya sedikit pun rasa sesal atau kasihan. "Apa yang kalian inginkan?" teriak Ava padanya. Namun pria itu segera memukul bibir Ava menggunakan punggung tangannya dan Ava bisa merasakan rasa pedas di mulutnya. "Diam dan lakukan saja apa yang ku perintahkan, dasar jalang," bentak pria itu pada Ava. Ava bisa mendengar pria itu tertawa di belakangnya sambil terus memegangi rambutnya. Ava tersentak berdiri, pria itu kemudian meraih pergelangan tangan Ava dan memutarnya ke belakang. Ava menjerit kesakitan karena merasakan bahunya yang tegang. "Dasar wanita jalang yang cengeng, kau bahkan tidak tahan sakit. Kita lihat saja berapa lama kau bisa bertahan," kata pria yang sekarang ada di depannya dia tertawa aneh. Pria itu pendek, Ava menyadari bahwa tingginya hampir menyentuh hidungnya. Ava menunduk dan merasakan ketakutan yang mendalam saat bertemu tatapan dengan pria itu. Dia dalam masalah besar sekarang, Ava tahu itu. Yang tidak dia ketahui adalah alasannya. “Lepaskan aku, aku tidak punya banyak, tapi aku bisa menunjukkan di mana perakku berada, dan aku punya beberapa perhiasan yang bisa kau miliki. Ku mohon jangan sakiti kami,” Ava mencoba memohon. Usahanya malah dibalas dengan pukulan lainnya. "Dasar jalang, kami tidak mau perhiasan murahan atau perak sialanmu," desisnya. Ava terisak. Pipi kirinya terasa panas dan mulai membengkak, bibirnya juga pecah, Ava merasa takut akan keselamatannya. Jika mereka tidak mau barang-barang berharga, apa lagi yang mereka inginkan? "Ayo, keluar dari sini," kata suara di belakangnya. Mendengar kalimat itu akhirnya Ava bisa merasakan gelombang kelegaan menerpanya. Ketika mereka pergi, Ava bisa melepaskan tali ikatan paman serta bibinya dan membawa keduanya ke rumah sakit. Pria pendek itu mulai berjalan menuju pintu garasi. Namun kelegaan Ava tidak berlangsung lama karena pria di belakangnya tiba-tiba menyeretnya ke arah yang sama. "A-apa yang kau lakukan?" tanya Ava putus asa. “Kau kira kami akan meninggalkan boneka sepertimu, kan?” Suara pria itu berbisik di telinganya. Ava bisa merasakan napas basah di kulitnya, dia juga menggigil karena terkejut. “Tolong, jangan bawa aku. Tolong, tolong,” pinta Ava dan mulai melawan pria yang mendorongnya ke depan. “Berhentilah memohon atau aku akan membiarkan temanku menidurimu di depan bibi dan pamanmu,” kata suara di belakangnya. Ava berhenti meronta. Ava masih perawan, tetapi dia tidak mungkin akan mengakuinya kepada pria itu. “Temanku tidak akan keberatan jika memberimu seks cepat sehingga membuatmu diam. Karena aku tidak suka hal itu. Aku hanya ingin membawamu ke tempat yang jauh dari telinga yang usil. Hal yang akan kulakukan padamu adalah dengan pisauku, kau akan menjadi sebuah karya seni,” katanya berbisik pada Ava. Jantung Ava seketika berdetak kencang. Pikirannya berubah menjadi lubang hitam kehampaan. Ketakutan yang murni seakan mengalir melalui nadinya. Pria itu langsung mendorongnya, Ava tak punya pilihan lain, dia segera mengaitkan kakinya diantara anak tangga yang mengarah ke bawah. Ava melilitkan kakinya erat-erat dan menolak untuk melepaskannya. "Lepaskan," gerutunya. Ava menggelengkan kepalanya dan terus berpegangan, hidupnya kini bergantung padanya. “Atau aku akan menembak otakmu,” kata pria itu dengan suara pelan. Ava akhirnya membiarkan kakinya melemas. Ketika kedua pria itu menyeretnya ke SUV hitam, Ava pun mulai terisak-isak. Pria pendek itu membuka pintu lalu mendorongnya masuk, Ava berbaring tengkurap di kursi dengan air mata yang mengalir di wajahnya. Dia merasakan kursinya menjadi basah. "Diam! Tangisanmu itu sungguh menyebalkan," kata pria pendek itu. Dia sudah masuk ke kursi depan dan pria lainnya duduk di kursi pengemudi. Dari apa yang dilihat Ava, dia adalah seorang pria besar dengan otot-otot yang menonjol di bawah kaus hitamnya. Dia juga botak dan otot-ototnya ditutupi oleh tato berwarna-warni.Setelah makan siang, Ava dan Gabriel pergi ke salon. Mereka disambut oleh seorang wanita, wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Tammy teman Jill."Aku suka warna rambutmu. Pirang madu sangat cocok untukmu. Aku akan membuatnya menjadi gaya khasmu. Kapan terakhir kau pergi ke penata rambut?" tanya Tammy kepada Ava saat Ava duduk di kursinya."Oh, seingatku. Lima tahun yang lalu?" kata Ava ragu-ragu."Tidak, aku menyeret mu ke salon saat Joan menikah. Sekitar tiga tahun yang lalu." Gabriel mengoreksinya."Ya ampun. Itu sudah cukup lama," kata Tammy."Apakah seburuk itu?" tanya Ava."Tidak terlalu buruk, bentuknya tidak ada. Aku ingin menambahkan beberapa lapisan dan sedikit menyegarkan nya. Apakah tidak apa-apa?""Kau profesional. Aku percaya padamu," kata Ava. Ava menghabiskan beberapa jam untuk dimanjakan, menata rambut dan kukunya sementara Tammy, dan Gabriel mengobrol. Tom dan Ryder selalu ada di dekat mereka. Ava merasa kasihan kepada mereka yang harus duduk bersamanya selama
Ava sudah mengira saat dia menandatangani kontrak seks secara sukarela, maka dia akan menjadi pekerja seks yang dimuliakan. Ava tidak yakin akan ada orang yang mau menerimanya sebagai teman. Jadi Ava menghindari memberi tahu Gabriel tentang isi sebenarnya dari kontrak tersebut."Jadi untuk melunasi hutang pamanmu, apakah kau harus bekerja sebagai perawat pribadi dari seorang bos mafia ya?" Gabriel bertanya dengan ekspresi ngeri saat Ava berganti gaun merah, yang menurut Gabriel harus dicobanya."Ya." Ava membenarkan."Sayang, kenapa kau yang harus melunasi hutang pamanmu?" tanya Gabriel."Dia keluargaku. Aku tidak bisa hanya berdiam diri dan melihatnya terluka. Lagipula, karena kami keluarga, mereka bisa saja mengejarku untuk mendapatkan uang. Aku bisa kehilangan rumah. Dan sepertinya ini solusi terbaik," kata Ava. "Gabriel, aku tidak bisa memakai ini.""Kenapa?" tanya Gabriel sambil berdiri berjinjit untuk melihat ke balik tirai yang memisahkan sepatu ganti dari toko."Karena ini du
"Aku tak bisa seenaknya mengatakan pada orang-orang bahwa kau adalah pacarku, lalu berpura-pura menutup mata saat kau mendekati wanita lain." Ava menjelaskan."Benar," kata Zane. Namun, kedengarannya Zane tidak senang. Mereka duduk dalam diam beberapa saat. Ketika, mereka berdua baru saja menyelesaikan sarapan pagi, tiba-tiba dua orang pria datang memasuki ruangan itu."Ava, ini Tom dan Ryder. Mereka akan mengantarmu berbelanja dan apa pun yang kau butuhkan. Beri tahu saja ke mana kau harus pergi dan mereka akan memastikan kau sampai di sana," kata Zane padanya. Ava menatap kedua pria besar itu, keduanya mengenakan celana jins hitam, kaus hitam, dan jaket kulit hitam. Sepertinya mereka berdua sudah berusaha semaksimal mungkin untuk terlihat seperti anak nakal klasik."Hai, Nona Cobler." Mereka berdua tersenyum."Panggil aku Ava, ya." kata Ava kepada mereka. Mereka saling menatap lalu beralih menatap Zane. Zane mengangkat bahu, dan mereka mengangguk. "Aku perlu menelepon sebelum pe
Ava terbangun karena mendengar ketukan pelan di pintu. Ia bingung sejenak; Ava tak mengenali seprai, tempat tidur, atau kamar ini. Kejadian tadi malam kembali seperti kereta barang yang tanpa ampun menghancurkan pikirannya yang sedang tidur. Terdengar ketukan kedua. Ava duduk dan mempersilahkan orang yang mengetuk pintu agar masuk, Ava memastikan selimut menutupi pinggangnya. Ia tidur hanya menggunakan tank top serta celana dalam saja. Seorang wanita tua kemudian masuk dengan senyum mengembang di bibirnya. "Selamat pagi, Nona Ava," sapanya. "Selamat pagi. Anna." Jawab Ava. "Aku membawa beberapa baju baru dan alat rias." Anna memberitahunya dan meletakkan bungkusan yang ada di tangannya ke atas meja rias. "Terima kasih," kata Ava. Anna, berjalan ke arah Ava dan menoleh untuk melihat pipi Ava. Anna berdecak. "Tuan Velky pasti akan membuat mereka membayar untuk ini," katanya. "Kau mandi dan bersiap-siaplah. Sarapan akan disajikan satu jam lagi, dan tuan ingin kau bergabung de
Bibir Zane tak selembut ciumannya yang kasar. Kontras itu membuat pikiran Ava menjadi aneh. Dia merasakan Zane menyeret lidahnya di sepanjang lipatan bibirnya dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mendesah pelan. Zane mengambil kesempatan itu untuk menyerbu mulutnya. Cengkeramannya di leher Ava kini semakin kuat. Tepat saat Ava benar-benar tenggelam dalam ciuman itu, Zane mengakhirinya dan melangkah mundur. Ava hampir tersandung di tempat yang tiba-tiba kosong."Ciuman ini lebih sekedar hanya berjabat tangan bidadariku. Sekarang, Aku akan menunjukkan kamar tidurmu," kata Zane dengan suara gelap. Ada janji dalam suara itu yang membuat Ava takut. Sekarang Ava miliknya, Zane bisa melakukan apa pun yang dia inginkan padanya. Zane menuntun Ava ke pintu yang telah ditunjukkannya sebagai miliknya. Zane mendorong Ava ke pintu yang tertutup dan mencium Ava sampai pikiran Ava kosong lagi dan yang bisa Ava pikirkan hanyalah bibirnya di bibir Zane.Zane merasakan hasratnya mulai tumbuh saa
Ava menarik napas dalam-dalam beberapa kali dan berusaha fokus menjaga tangannya tetap stabil. Setidaknya getarannya tidak terlalu terasa dan dia menganggapnya sebagai kemenangan. Ava berjalan kembali ke kantor Zane sebelum dia bisa membujuk dirinya sendiri untuk membatalkan kesepakatan itu. "Aku ingin semuanya dikirim ke emailku dalam waktu tiga puluh menit," kata Zane kepada seseorang lewat telepon sembari mengamati Ava ketika di lihatnya Ava berjalan ke lantai dansa di bawahnya. Hari ini adalah hari yang sangat melelahkan bagi Ava, diikuti oleh malam mengerikan dan mencekam, membuatnya harus membuat keputusan tersulit dalam hidupnya. Sekarang yang Ava inginkan hanyalah tidur. Ava punya daftar panjang untuk dia tangani besok. "Saatnya pulang," kata Zane dari belakang, membuat Ava terlonjak. Kapan dia bangun dari mejanya? "Kau harus rileks, sayang," Zane terkekeh dan meletakkan tangannya di punggung Ava. Seketika tubuh Ava menegang karena instingnya. Pantulan samar wajah Zane di