Sejak lamaran mendadak itu aku dan Reyhan semakin dekat dan aku merasakan hal yang sama dengan pemuda itu. Setiap hari kami bertemu. Kalau Reyhan sibuk ia hanya menghubungiku melalui video call. "Mama!" Bayu keluar dari mobil dan berlari ke arahku. Anak itu sudah semakin besar. Wajahnya mirip sekali dengan Mas Ilham. "Bayu, akhirnya kamu pulang." Kupeluk anakku, kerinduan yang mengebu terobati. "Tentu saja pulang. Aku rindu Mama. Bagaimana liburan Mama?" tanyanya menatap wajahku lekat. Tubuh Bayu bertambah gemuk. Mamaku pasti sangat memanjakannya. Kulirik Mama dan Reyhan yang sudah berdiri dekatku. Mungkin saja mereka terpaksa berbohong untuk menutupi permasalahan yang telah aku hadapi. "Cukup menyenangkan dan banyak pelajaran yang Mama ambil." Mencium pipi gembul Bayu gemas. "Kenapa tak mengajakku?" tanyanya merajuk. "Kamu saja tak mengajak Mama." Bayu menatapku. "Kita seri Ma." Kami terkekeh geli mendengarnya. Reyhan berdehem di saat kami telah menyelesaikan makan siang ka
"Mirip sekali." Om Leo menatapku tak berkedip. Mulutnya sedikit menganga akupun heran dengan pria yang akan menjadi calon mertuaku. Berkali-kali Tante Lusi, mama Reyhan menyenggol tubuh suaminya dengan sikut. Hanya saja pandangan Om Leo tak lepas dari wajahku. "Maaf Om. Mirip siapa?" Aku berani bertanya karena ucapan pria yang seumuran almarhum papa menatapku tak berkedip. Seperti melihat seseorang di masa lalu. "Oh, mirip seseorang. Ayo kita duduk Ma." Om Leo menarik kursi untuk istrinya. Wajah wanita itu tampak masam mungkin bisa diartikan cemburu. Apakah karena Om Leo berkata demikian, aku mirip seseorang. Apakah aku akan memiliki mertua seperti sebelumnya. Semoga saja tidak terjadi seperti dulu. Sebelum mereka datang kami sudah memesan makanan agar tak lama menunggu-nunggu. "Sekarang kamu kerja di mana?" tanya Om Leo kepadaku sambil menikmati makan malam. "Entahlah Om. Belum ada planning. Perusahaanku masih bisa digunakan karena itu miliki sendiri." Sayang sekali kalau dijual
"Intan, mana papa dan mama?" sapa Reyhan menyentuh bahuku lembut. "Eh, mereka sudah pergi Rey. aku telat. Ini dompet Papa mu. kamu saja yang memberikannya." Kuserahkan barang Om Leo yang tertinggal. "Kuncinya sama kamu. Bagaimana mereka menyalakan mobil?" Aku lihat Om Leo mencari kunci tetapi sepertinya ia memiliki kunci lain. Sempat kubuka dompet di dalam tak ada STNK yang dikatakan Rey di dalam restauran tadi. "Mungkin mereka punya kunci cadangan." Aku sengaja tak mengejar mereka agar aku lebih tahu tentang wanita yang bernama Aura Kasih. Setelah mereka masuk ke dalam mobil aku bersembunyi di balik kendaraan lain. Aura Kasih nama yang belum pernah aku dengar kecuali penyanyi yang sempat dulu viral dan menjadi kekasih vokalis band terkenal. Ucapan Om Leo semakin membuatku penasaran. Apakah Reyhan tahu tentang wanita itu. Tapi, Om Leo bilang aku mirip Aura ketika wanita itu seumuranku artinya umur Aura setara dengan Om Leo. Hatiku merasa aku harus mencari tahu wanita itu tap
Bab 84 POV Ilham Aku melajukan kendaraan dua menuju kontrakan. Rita sudah sembuh dari sakit mentalnya setelah anakku telah tiada. Bayi laki-laki mirip Bayu telah dibunuh oleh neneknya sendiri. Hatiku begitu sakit, air mata tak dapat tertahan lagi. Begitu teganya, Mertuaku melakukan hal itu agar Intan bisa memberikan uang. Bukankah seorang anak harus dirawat dan disayang. Kenapa Tante Vivi tega menjual anakku dan memaksa Intan untuk membelinya. Rasanya malu sekali kepada mantan istri yang pernah aku khianati. Aku juga tak menyangka Intan begitu baik dan peduli kepadaku apakah dia masih mencintaiku sama seperti dulu. Sengaja aku membeli sebungkus cilok kuah untuk lauk di rumah. Rita jarang sekali memasak. Ia lebih senang menatap ponsel. Mengapa ia tak berdagang online atau menjadi kreator. Aku sering melihat istriku itu bergaya di depan layar pipihnya. Kuda besiku telah berada di teras kontrakkan. Aku memilih rumah satu kamar saja hanya untuk kami berdua. Terkadang Rita mengeluh k
POV Ilham Kulajukan kuda besi dengan tekad bulat dan berharap Intan mau memaafkan Rita. Namun, sesuatu di depan mata membuat diriku terdiam. Rita nekad menghadangku dengan cepat. "Mas Ilham, jangan pergi." Kedua netra sayu, wajah memelas dan bibir bergetar. Aku terdiam ketika ia memanggilku dengan sebutan mas. Beberapa bulan ini ia selalu memanggilku dengan nama saja tanpa ada embel-embel mas. Sikapnya juga tak seperti seorang istri. "Kita bicarakan baik-baik di dalam," ucap istriku dengan suara lembut hingga hati ini luluh seketika. Wajah yang pertama kali bertemu muncul kembali. Tak seperti biasanya seperti nenek lampir. Apakah istriku sudah berubah hingga ia berkata seperti itu. Semoga saja ia berubah menjadi Rita yang lebih baik. "Ini sudah malam. Perjalanan juga jauh kita berbicara di dalam," rayuannya mengoda. Tutur katanya halus sekali. Kumundurkan motorku ke tempat semula, mengikuti langkah istriku masuk ke dalam. Rita mengambil gelas dan mengisi dengan kopi sachet se
"Surprise!" Seorang gadis berdiri depanku dengan merentangkan tangan ke atas. Wajah yang familiar bagi kami semua. Tentu saja karena ia salah satu saudara istriku. "Lisa!" "Hai, Mas Ilham. Apa kabar?" "Lisa!" Rita berdiri di belakangku menyingkirkan tubuh yang menghalangi pintu masuk. Seandainya tak ada Rita sudah aku usir dari rumah ini. Tak ada Tante Vivi kini duplikatnya malah kembali. Mereka berpelukan seakan saling merindu. Entah apa rindu benaran atau hanya bohongan. Akting Lisa begitu bagus maka aku tak boleh terkecoh. Mereka semua sama-sama licik dan bermuka dua. Lisa mengibaskan tangan ke udara telihat tetesan air jatuh di pelipis hingga membasahi kemejanya. "Gila, panas banget sih! Apa gak ada AC atau kipas angin. Panas banget." "Iya panas kalau malam apalagi," timpal Rita melirik aku yang sibuk dengan ponsel padahal aku berpura-pura tak dengar. "Lagian rumah kecil banget apa gak ada yang lain. Lebih besar dan adem. Ini cuma sekamar doang." Kedua mata Lisa nampak
"Papa!" Wajahku menoleh ketika melihat seorang pria mengendarai motor berhenti tepat di halaman rumahku. Bayu sedang bermain di teras menoleh ke arah papanya. Putraku berlari kencang dan memeluk Mas Ilham. "Anak Papa!" Mengangkat tubuh putranya dan mencium kedua pipi. Begitu juga Bayu mencium kedua pipi Mas ilham. Bayu tertawa bahagia melihat sang papa datang menjenguknya. Memang jadwal Mas Ilham seminggu sekali. Kadang ia datang lebih dari dua kali dan aku memakluminya. "Mama, Papa datang!" teriaknya menujuk ke arahku. "Mas, sendirian lagi?" tanyaku basa basi. Sudah pasti pria itu tak akan membawa Rita, bisa bikin ulah wanita itu. "Iya. Enakkan sendirian." Menurunkan Bayu dari gendongannya. Aku hanya berO saja tanpa mau memberikan pertanyaan lain. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah untuk membuatkan kopi untuk pria itu. "Ada siapa?" tanya Mama melihat aku membuatkan kopi di dapur menunggu air mendidih. Kopi lebih nikmat jika diseduh dengan air panas. "Mas Ilham." "Mama b
Hari ini aku dan Rey pergi ke butik untuk memilih gaun pengantin. Tangan kami saling mengenggam satu sama lain. Tak ada lagi ejekan atau cacian kepadaku dari semua orang. Masalahku hilang sekejap di telan bumi dan digantikan dengan berita yang lebih heboh. Begitulah dunia terutama dunia Maya yang menjadi tempat para netizen. "Sepertinya ini bagus," ucap Rey menunjukkan satu gaun pengantin berwarna putih dengan belahan yang tak terlalu rendah. Beberapa kali mata ini mengerjap. Seperti Dejavu ketika aku dan mas Ilham menikah. Pria yang telah menjadi mantanku menunjukkan gaun yang sama. Mungkin saja ada perbedaan sedikit tapi butik ini berbeda dengan tempat aku dulu. "Intan, Sayang kamu kenapa?" tanya Rey membuyarkan lamunanku. "Aku tak suka. Aku ingin yang lain saja asal jangan yang ini." Rey hanya mengulum senyum, ia mengerti dan paham. Tak banyak bertanya yang aneh-aneh. Aku tahu mau pria itu cemburu seperti kemarin pagi melihat mantan suamiku berada di rumah. "Ini bagus dan l