“Berita terkini di temukan tiga mayat dalam kamar di sebuah klub Jakarta Selatan. Korban mendapatkan luka tusukan berkali-kali hingga meninggal dunia. Diantaranya Yudi Damar 45 tahun, Bagas 28 tahun dan mayat belum diketahui identitasnya bergenre waria tanpa sehelai pakaian di tubuh korban.”Mataku terbelalak salah satu nama dan foto sesuai dengan om Yudi, bapak biologis Adel. Belum aku mempertemukan mereka, lelaki itu sudah meninggal dunia. Malang sekali nasibnya. Segera mengambil ipad dan mencari tentang berita tersebut.Mencari di kolam pencarian dengan kode pembunuhan klub hari ini. Tak lama kemudian, muncul beberapa berita berkaitan dengan berita tersebut. Membaca berita online berbentuk artikel kriminal. Sadis, satu kata untuk kejadian itu.Foto Om Yudi terpasang di artikel tersebut. Siapa yang membunuh lelaki itu. Tanganku merogoh ponsel di tas bernuansa coklat disesaki dua huruf, menghubungi nomor om Arga melalui ponsel pintarku
"Kita mau ke mana, sih?" tanya Adel menatapku dan om Arga."Nanti juga tahu.""Om, emang siapa yang meninggal. Kalian berpakaian serba hitam atau kalian mau ngedate couple begini." Adel terkekeh. Kami hanya tersenyum tipis. "Ih, kalian kenapa diem aja?""Gak apa. Kamu ikut kita.""Oke, aku akan ikut kalian. Tapi, traktir es krim.""Beres!""Bu Bos, paling baik!"Selama perjalanan Adel selalu berbicara dan tertawa. Wajahnya ceria dan mengemaskan.Kendaraan hari ini tak terlalu padat. Perjalann kami lancar tanpa ada embel-embel macet.Mobil om Arga memasuki pemakaman. Jenazah om Yudi belum sampai. Kami menunggu tepat di lubang kuburan yang baru selesai digali."Om, siapa yang meninggal?" tanya Adel untuk kedua kalinya.Om Arga tak menjawab pertanyaan keponakannya. Tak lama kemudian, datang ambulan membawa jenazah.Tak ada sanak saudara yang datang menghadiri
Betapa senangnya Bayu melihat adik kandung satu ayah. Mama tak keberatan dengan kehadiran bayi ini. Menjelaskan keadaan Rita."Kejahatan seseorang bukan berarti kita balas dengan jahat." Ucapannya kala itu.Bayu gemas dengan bayi mungil mas Ilham."Siapa nama dede aku, Mama?""Belum dikasih nama. Nanti, kita tanya papa." Menimang bayi mungil mirip mas Ilham."Bagaimana kalau kita kasih nama Delon?" "Ehm, bagaimana ya? Boleh juga."Delon, nama yang bagus. Sayang sekali ibunya tak mau mengurusnya. Bayi yang malang. Semoga kelak nasibmu lebih beruntung.Aku tahu mas Ilham begitu menyanyangi anak ini. Matanya berkaca-kaca ketika mengungkapkan keinginanku."Apa Mas mengizinkannya? Aku yakin Bayu pasti senang bila bertemu adiknya. Tak bermaksud apa-apa. Hanya sementara saja hingga keadaan Rita membaik. Gak mungkin juga bayi ini kamu bawa kerja ke luar seperti ini. Setelah, keadaanmu membaik. K
POV Ilham Aku menatap jendela, langit berwarna biru sinar matahari menyinari dunia. Kendaraan terlihat dari lantai tiga rumah sakit yang kini merawat Rita. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mencari nafkah, sekolah, dan para ibu-ibu sibuk di dapur menyiapkan makanan. Sedangkan aku, duduk di pinggir brankar rumah sakit memijat kaki Rita. Seharusnya bekerja untuk melanjutkan hidup. Perut keroncongan belum terisi sejak semalam. Rita dioper ke rumah sakit yang lebih besar. Keadaannya semakin kacau. Ia seperti terkena babyblues atau mungkin gila. Tubuh yang dulu ramping dan cantik kini berubah kurus dan kusam. Tanganku menyentuh kulitnya, menekan perlahan agar rasa lelah dan pegal hilang. Bagaimana dengan aku, tubuh ini terasa remuk. Aku hanya bisa menunggu perawat mengantar makanan dan memakan sisa dari istriku. Uang yang aku miliki hanya cukup untuk ongkos angkot. Malang bener nasibku. "Mas, aku bosan makanan di sini. Pengen nasi Padang," ungkapnya menatap bubur nasi di se
POV Ilham Seketika itu juga pandanganku buram. Suara orang-orang berteriak dan menghampiri tubuhku. Aku hanya bisa mendengar tanpa berbicara. Tubuh ini terasa hancur dan remuk dan aku tak tahu apa-apa lagi. Kubuka mata perlahan, ruangan nuansa putih mengelilingi pandanganku. Seseorang berdiri tak jauh dari sisiku. Perlahan membuka, kakiku terasa sakit dan kepala pusing."Sudah sadar?" tegurnya ketus. Kedua tangan mendekap di perut menatapku tak suka. "Tante, aku kenapa?" Sejak menikah dengan Rita aku masih memanggilnya dengan sebutan Tante tak pernah memanggilnya ibu. "Kamu itu bikin repot aja. Sudah tahu istri dirawat malah ikut-ikutan." Aku menatap bagian kaki terbalut perban. Menyentuh kepala juga begitu. Mungkin saja orang-orang membawaku ke sini. Rumah sakit yang sama dengan Rita. "Kamu itu kalau jalan hati-hati. Kenapa bisa tertabrak." Tante Vivi ketus sekali,apa dia tak mengerti kalau aku sedang sakit. Untung saja aku memiliki BPJS kalau tidak bisa runyam ini. Biaya hi
POV Ilham "Suruh mantan istrimu membayarnya atau aku jual anakmu kepada orang lain," ancamnya tak tahu diri. "Banyak orang kaya yang tak memiliki anak. Mereka pasti membayar bayi itu dengan harga tinggi." Kedua mata Tante Vivi berubah aneh. Apakah seperti itu mata yang selalu memikirkan uang. Tatapan Tante Vivi tak main-main. Demi lembaran bermata uang rupiah, ia rela menjual cucu darah dagingnya sendiri. Apakah ia bukan seorang ibu. Tega sekali. Apa yang harus aku lakukan. Aku hanya menitipkan anakku kepada Intan bukan untuk dijual. Ya Tuhan masalah datang silih berganti. "Tante, dia itu cucu Tante. Masa tega banget dijual." Rasanya ingin bangkit dan mencekek lehernya. "Hei, Rita saja tak mau. Apalagi aku. Aku butuh uang. Lagian kamu itu pengangguran. Mana bisa menghidupi anak itu. Lebih baik kita kasih ke orang lain yang lebih kaya raya. Rita akan aku suruh bekerja kembali." Dasar gila, anaknya saja masih kena mental malah disuruh kerja lagi. Semoga saja tak ada yang mau teri
Hari ini, cuaca begitu cerah. Aku mengenakan blouse coklat susu dan celana panjang berwarna senada dengan pakaian yang aku kenakan. Makeup tak terlalu tebal, tipis namun mewah. Mengerai rambutku yang aku potong beberapa hari lalu agar wajah semakin segar. Berjalan menuju lobi setelah mobilku dibawa ke tempat parkiran oleh salah satu petugas keamanan. Suara sepatuku menyentuh lantai hingga terdengar nyaring. Semua karyawan menyapaku ramah dan memuji penampilanku hari ini. Entah mengapa hati ini rasanya senang sekali setelah aku menjanda. Iya, menjanda membuat aku bebas dari belenggu rumah tangga. "Selamat pagi, Bu Bos!" sapa Adel mendekatiku. Suaranya membuat telingaku sakit. Ia berlari ke arahku hingga nyaris terbentur. "Pagi, aduh suara kayaknya pake speaker. Hati-hati." Adel tertawa menutup mulutnya dengan map yang ia bawa. Melihat dirinya berubah ceria seperti dulu rasanya hatiku lega. "Sorry, Bu Bos." Adel memperlihatkan deretan gigi putihnya. Ting! Kami masuk ke dalam kota
Pemuda bertopi di foto itu adalah Brian. Lelaki seumuran Rico, adik Rita. Mereka berteman sejak sekolah. Bagaimana aku bisa kenal dengannya karena pemuda itu sering bersama Rico. Pertama yang akan kami lakukan adalah menuju ke sekolah. Aku bersama Cheri dengan mengendarai mobil hitam. Kami tak pernah mengunakan mobil pribadi ketika bertugas."Kamu bacakan kegiatan gadis itu hari ini." Tatapan mataku ke depan melihat pengendara lain melaju dihadapanku. Kugengam setir dan menginjak pedal secara perlahan. Cheri membawakan apa yang aku butuhkan dan membacanya perlahan-lahan. Sebagai anak sekolah kegiatannya tak terlalu berat. Seharusnya, hari ini setelah pulang sekolah ia akan segera les bahasa Inggris. Kami sampai di sebuah gedung sekolah Internasional di mana gadis itu berada di dalam. "Apa kita harus masuk?""Untuk apa, kita tunggu di sini saja Cher. Sebentar lagi ia akan pulang." Menatap jarum jam di pergelangan tangan. Seorang pengendara motor menjadi pusat perhatianku. Ia