Bab 104Aku menangis mendengar cerita mama. Begitu sedihnya kisah rumah tangga mama. Aku tak menyangka dibalik sikap yang tenang ada masa lalu suram. "Maafkan Mama, Intan. Mama merahasiakan hal ini." Mama tergugu memelukku. Pelukkan hangat yang sangat aku sukai dari beliau. Kasih sayangnya selalu kuingat. Perjuangan untuk memberikan pendidikan hingga tinggi seperti ini. Walau aku bukan anak kandungnya. Ia tetap mencintaiku sepenuh hati. Bahagia memiliki mama. Kisah papa dan ibu kandungku, Ariana hanya sebuah kesalahpahaman yang mengakibatkan mereka terpisah. Mama bukan perebut kekasih orang melainkan takdir memilih Mama sebagai istri almarhum papa. "Ma, jangan menangis. Sudah cukup tangisan Mama. Mama harus berbahagia. Aku mohon jangan pernah menutupi lagi masa lalu Mama. Aku siap mendengarnya." "Intan. Terima kasih telah memaafkan Mama. Mama takut kamu pergi meninggalkan Mama karena ibumu meninggal karena mama." "Bukan, Ibu Ariana meninggal bukan karena Mama tetapi takdir. Ia m
Bab 105 "Tunggu!" Kucegah mereka yang masih berdiri depan teras. Mereka menoleh ke arahku menatap tajam mata ini. "Mau ngajak nginep. Tahu aja kalau sudah malam begini." Lisa tampak sumringah ketika aku menghampiri mereka. Padahal bukan itu yang aku inginkan. "Aku ingin periksa tas kalian!""Kenapa Intan?" tanya Mas Ilham segera turun dari motor."Mama kehilangan jam tangan di kamar. Itu jam tangan kenang-kenangan dari Papa." Kutinggikan suara agar mereka paham. Kesal sekali melihat mereka. Tak punya malu dan merasa dibutuhkan. Jam tangan tangan pemberian papa ketika mereka merayakan hari pernikahan yang pertama. "Emangnya kita pencuri. Enak aja asal tuduh." Rita tampak sewot. Aku tahu wajahnya tampak cemas. "Sini, aku periksa dulu sebelum kalian pergi." Kutarik tas Lisa lebih dulu karena gadis itu anak yang paling kurang ajar. Ia tak punya rasa malu. "Apaan sih! Jangan tarik-tarik dong Mba. Mahal ini tas." Aku tahu tas jenis itu. Banyak sekali yang jual di pasaran. Dia pikir
Bab 106 Bayu mengajak mas Ilham masuk ke dalam rumah. Pakaiannya basah akibat air hujan yang tertiup angin. "Ma, kasihan Papa nanti aakaitSebagai ibunya aku hanya bisa menuruti apa yng dipinta Bayu. Ia membawa mas Ilham masuk ke kamar. Bagaimana dengan dua benalu itu tentu saja mereka bahagia. Mau tak mau aku siapkan kamar tamu untuk mereka. Senyum mereka terlihat berbeda. "Kalian jangan senang dulu. Kalau kalian mengambil barang di rumah ini. Aku gak segan akan melaporkan kalian ke polisi, paham!" Wajah mereka mendadak berhenti tersenyum. Mereka tampak takut dan masuk ke dalam kamar yang aku tunjukkan. "Ma, papa bajunya basah. Apa gak ada pakaian baru?" "Nanti, Mama cari Sayang. Kamu tunggu di kamar." "Iya, Ma." Bayu kembali masuk ke kamar. Aku bertanya kepada Mama. Mungkin saja ia memiliki kaos oblong untuk mas Ilham. "Ini baju Ilham dulu pernah ketinggalan." Kuambil baju dari tangan Mama dan memberikan kepada mantan suamiku. "Terima kasih Intan. Maaf merepotkan." Mas I
Bab 107"Mba, aku mau nasi gorengnya kok dihabisin?" Wajah Lisa tampak merajuk aku tak peduli dengan rengekannya. "Bayu, Tante mau dong. Sisain!" Bayu menghentikan tangan di udara, putraku menatap piring yang masih ada sedikit nasi gorengnya. "Habis." Bayu memasukkan nasi ke dalam mulut sekali suapan. Lisa hanya menelan Saliva dalam. Biarkan saja gadis itu kelaparan. Memangnya ia pikir ini rumah makan. Kalau tak hujan dan Bayu bermimpi buruk pasti mereka sudah aku tendang. "Mba aku lapar. Apa ada mie instan?" "Kamu mau makan mie? Beli sana ke warung." "Ini udah malam, Mba apalagi hujan. Aku minta mie satu aja." Lisa menangkupkan tangan di dada berharap mendapat belas kasihan dariku."Maaf gak ada." Kujawab dengan ketus. Sejujurnya, di rumah ini tak pernah membeli mie instan karena mama gak suka mie seperti itu. "Pelit!" Kutatap dengan tajam, seketika itu wajah Lisa menciut. Masih berani dia berkata demikian. Apakah tidak malu. Sudah menginap di rumah orang malah memaki. Sun
Bab 108 "Hai keponakanku. Apa kabar?" Menjulur tangan ke hadapanku. Aku diam tanpa menyambut tangan yang kini mengantung tanpa ada sambutan hangat. "Baik Tante. Ada apa ke sini?" tanyaku ketus dan sinis. Biarkan saja sikapku seperti ini. Sejak pertama berjumpa aku tak suka dengannya. Sangat menyebalkan sekali. "Kamu bertanya demikian seakan aku ini hanya sampah." "Tentu Anda bukan sampah. Tenang saja dan jangan tersingung." "Aku ingin menemuimu saja dan memberikan sesuatu yang penting." Kukernyitkan dahi ini apa yang ingin ia berikan. Melihat barang di bawa olehnya saja tak ada. Kedua tangan tampak kosong. "Sesuatu apa?" Kubuat diri ini tampak bodoh. "Boleh aku masuk. Aku haus dan lelah. Hari ini banyak sekali pelanggan hingga aku kewalahan." Aku hanya membuang napas kasar. Apakah penting jika ia pulang dari bisnis yang tak patut diikuti.."Masuk Tante. Maaf. Rumahku kecil." Aku membuka pintu lebar agar ia bisa masuk dan duduk sesuai keinginannya. Wanita kembaran ibu kandu
Bab 109 Isi tas Tante Aura membuatku tak mengerti. Kenapa ada foto Reyhan, calon suamiku. "Ma. Mama!" Kupanggil mama dari dalam kamar. Aku segera melangkah ke arah mama setelah mama menjawab panggilan. "Ada apa Intan?" tanya Mama nampak tergesa-gesa. Kedua tangan tampak basah dan keringat membasahi dahinya. Aku menceritakan apa yang terjadi tadi. Memberitahu tentang foto Reyhan di tas kecil Tante Aura. "Apa kamu tak bertanya dengannya?" "Tentu saja tidak. Aku segera membuang muka dan berpura-pura tak melihatnya. Tapi, aku yakin kalau Tante Aura kenal dengan Reyhan." "Dari mana Aura dapat foto Reyhan. Kamu harus hati-hati dengan wanita itu. Ia itu berlidah palsu. Ingat itu Intan?" Aku hanya menganggukkan kepala. Mama benar aku harus waspada. Jangan sampai pernikahanku dengan Reyhan akan berakhir di tengah jalan. Bisa jadi janda lagi aku. "Lebih baik kita makan. Mama masak kesukaan kamu. Ayo!" "Baru sarapan tadi?""Ini Sudan siang. Kamu saja tak sadar. Ayo!" Mama menarik leng
Bab 110 Aku bergeming dengan tatapan yang tak jauh dari dua manusia berlainan jenis kelamin berbeda. Mereka nampak memberikan pendapat masing-masing. Kulanjukan langkah ini ketika mereka terdiam dan membuang muka. "Serly." Kupanggil sahabatku hingga wajahnya cantik menoleh dengan capat. "Intan. Kamu ngapain di sini?" Aku mengulum senyum menyapanya dan melirik pria berkemeja yang terlihat salah tingkah. Ia adalah karyawanku di perusahaan warisan papa yang dulu pernah dikelolah Ilham, Hadi namanya. "Ibu Intan. Selamat sore," sapanya ramah. Umurnya lebih muda dari Serly tapi mereka tampak serasi. Aku baru menyadari kalau sekilas wajah mereka mirip. Kata orang wajah mirip biasanya akan jodoh. "Kamu dan dia pancaran?" bisikku ketika aku dan Serly pergi menelusuri pantai. Sedangkan Om Arga dan Hadi duduk menikmati es kelapa mereka. Entah apa yang mereka bicarakan. Pembicaraan lelaki hanya mereka yang mengerti. "Ehm, maaf." "Loh, kok maaf. Memangnya kamu salah apa sama aku?" Kuhent
Bab 111Hingga suara pecahan terdengar di dekat kami. Aku mendorong tubuh Rey dan menoleh ke arah suara. Mataku terbelalak begitu juga Rey. "Maaf Mba Intan. Saya menganggu," sapa seorang pria yang tinggal di samping rumahku. "Eh, gak kok. Ada apa Pak?" Tetangga sebelah ingin mengambil obeng yang tertinggal. Aku lupa untuk mengembalikannya. "Maaf Mba Intan. Malam-malam ambil obeng." "Gak apa, Pak. Saya lupa membalikkannya. Terima kasih, Pak. Mohon maaf." "Iya, gak apa. Permisi Mba, Mas." Aku dan Rey terkekeh pelan. Malu sekali kami ketahuan berciuman. "Kamu sih gak lihat tempat." Kupukul dada bidang Rey. Ia menangkap tanganku. "Lanjutin dong," goda Rey hingga wajahku bagaikan kepiting rebus. "Kamu nakal Rey!" Rey hendak menciumku tapi aku tahan. "Nanti kalau sudah halal. Kamu bisa melakukan apa saja yang kamu mau.""Tentu saja. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan baik itu." Rey memeluk tubuh ini, nyaman sangat nyaman. "Aku enggan berjauhan denganmu. Tetapi, pekerjaan men