“Siapa tuh?” gumamku pelan sambil mencondongkan tubuh dari balkon kamar.
Dari sini, aku bisa melihat Om Kais berdiri di samping seorang wanita cantik—seksi, rapi, dan kelihatan pintar banget. Mereka hendak pamit pulang, tapi masih asyik berbincang dengan Papa dan Mas Pandu di halaman depan. “Ya ampun, jangan bilang itu—” aku berhenti, menelan ludah. “—calon?” Aku makin mendekat ke pagar balkon. Angin sore membawa samar-samar suara tawa mereka. Tawa Om Kais. Dan tawa si wanita itu, lembut banget, bikin telingaku gatal. “Hmm, jadi gitu ya, Om? Belum juga terima lamaranku, udah pamer calon lain?” gerutuku pelan sambil manyun. Aku menatap punggung mereka yang kini mulai berjalan ke arah mobil. Si wanita itu ijin untuk masuk mobil, dan Om Kais membalas dengan senyum tipis—senyum yang harusnya jadi hak eksklusif ku nanti kalau semesta sedikit lebih adil. Saat mobil perlahan menjauh, aku masih berdiri di balkon dengan tangan terlipat di dada. “Baiklah, Om Kais,” bisikku pelan, penuh tekad. “Kalau itu sainganku, aku harus naik level. Mulai besok, aku belajar jadi elegan… tapi tetep lucu. Biar kamu sadar, pilihan terbaikmu tuh bukan dia.” Aku menatap langit yang mulai gelap, lalu menepuk pipi sendiri. “Semangat, Binar. Pertempuran baru saja dimulai.” Aku bergegas masuk kamar dan hampir menabrak pintu balkon saking semangatnya. Jantungku masih berdebar kencang—antara kesal, cemburu, dan sedikit… kompetitif. Langkahku cepat menuju meja belajar. Ponselku tergeletak di sana, masih terhubung ke charger. Aku langsung meraihnya dan duduk di tepi ranjang. “Om, Kais. Kamu boleh ganteng, boleh berwibawa, tapi kamu tetap manusia. Dan manusia bisa khilaf. Jadi, demi keselamatan hubungan sepihak kita, aku harus turun tangan.” Tanganku mengetik cepat di layar. 📤Binar: “Om, jangan lupa jaga pandangan mata ya. Godaan dunia makin berat loh 😤” Aku menatap pesan itu selama beberapa detik, lalu menggigit bibir. “Terlalu serius nggak ya? Atau harus pakai emoji biar lucu dikit?” Setelah berpikir dua detik, aku menambahkan: 📤Binar: “ 👀🚫💅” “Perfect.” Aku menekan send dengan senyum puas. Beberapa detik berlalu, belum ada balasan. Tapi aku sudah membayangkan ekspresi Om Kais membaca pesanku—alisnya mungkin terangkat, lalu tersenyum tipis kayak biasanya. Aku merebahkan tubuh ke kasur, menatap langit-langit sambil menghela nafas panjang. “Misi selesai. Sekarang tinggal tunggu tanggapannya. Kalau dia jawab, artinya dia peduli. Kalau enggak—” Aku berhenti sejenak, lalu menatap ponsel lagi. “—ya berarti aku harus kirim pesan kedua. Versi yang lebih menyentuh hati.” Aku tersenyum miring. “Binar 1, saingan tak dikenal 0.” Hampir dua jam berlalu sejak aku kirim pesan super penting itu. Dua jam yang terasa kayak dua dekade. Dan selama dua jam itu juga, notifikasi ponselku nihil. Kosong. Sunyi. Sepi seperti hubungan sepihak yang tak kunjung disadari lawan mainnya. Aku akhirnya menyerah menatap layar, lalu berusaha mengalihkan pikiran dengan membaca buku. Buku Histologi Sistem Saraf terbuka di pangkuanku, tapi otakku hanya menangkap kata-kata seperti “neuron”, “sinaps”, dan “impuls listrik”—yang semuanya malah membuatku kepikiran Om Kais. “Ya Tuhan, bahkan otak aja nyambungnya ke dia,” gumamku putus asa sambil menunduk. Baru saat aku mulai serius menandai bagian ganglia sensorik, ponselku bergetar di sebelah buku. Getaran itu membuat jantungku langsung melompat seperti refleks saraf yang baru dijelaskan di halaman dua belas. Aku buru-buru meraih ponsel. Satu pesan masuk. Dari Om Kais. 📩Kais: “Jaga pandangan mata? Maksudmu, aku harus pakai kacamata anti radiasi?” Aku menatap layar ponsel dengan dahi berkerut. Apa-apaan sih jawabannya? Itu jelas bukan yang aku maksud! Tanganku langsung mengetik cepat. 📤Binar: “Bukan, Om! Maksudku tuh… ya, kamu tau lah 😤. Jaga pandangan dari hal-hal yang bisa bikin iman goyah.” Belum sempat aku menaruh ponsel, notifikasi balasan langsung muncul. 📩 Kais Arfan: “Oh.” Satu kata. Pendek. Tapi menyebalkan. Aku mengetik lagi dengan cepat. 📤Binar: “Oh? Doang? Maksudnya gimana?” 📩Kais Arfan: “Artinya aku mengerti.” 📩Kais Arfan (lanjut): “Hanya saja, susah juga kalau yang lewat kebetulan menarik perhatian.” Aku berhenti bernafas sepersekian detik. Mataku membesar. Menarik perhatian? 📤Binar: “Menarik perhatian siapa, Om?” Balasan datang cepat banget, sepertinya dia sengaja menguji kesabaranku. 📩Kais: “Arsitek baru di Perusahaan Om Abimana.” 📩Kais (lanjut): “Dia cerdas. Dan tahu caranya bersikap.” Aku membaca pesan itu tiga kali. Tiga. Kali. Dan setiap kali, suhu tubuhku naik beberapa derajat. 📤Binar: “Oh, jadi Om fokusnya sekarang ke dia?” 📩Kais: “Tidak. Hanya mengingat.” 📤Binar: “Mengingat?” Tak ada balasan. Layar ponselku tetap gelap. Satu menit berlalu. Lalu lima. Lalu sepuluh. Aku menatap chat terakhir itu dengan nafas mulai berat. Dia baca gak sih? Atau pura-pura gak baca? Tanganku mulai gatal. 📤Binar: “Om?” 📤Binar: “Halo? Aku nanya loh tadi.” 📤Binar: “Mengingat siapa? Atau maksudnya masih mikirin dia?” 📤Binar: “Atau jangan-jangan kamu masih bareng dia sekarang?? 😳” Aku mendengkus kesal dan menaruh ponsel di meja sebentar, tapi cuma dua detik sebelum aku ambil lagi. Notifikasiku tetap sunyi. 📤Binar: “Om Kais, aku gak ngerti deh. Katanya arsitek baru di perusahaan Papa, tapi kenapa tadi pulangnya bareng kamu? Naik mobil kamu pula! Jangan bilang kalian satu arah 😤.” 📤Binar: “Om, jawab dong. Aku gak minta banyak, cuma penjelasan. Satu kalimat aja cukup.” 📤Binar: “Atau kamu sengaja diem biar aku tambah mikir aneh-aneh, ya?” Aku menggigit bibir, menatap layar yang masih tak berubah. Jam di dinding berdetak semakin pelan di telingaku. Suara hujan tipis di luar mulai terdengar, tapi hatiku malah panas. 📤Binar: “Ya ampun, Om, serius. Kalau kamu lagi nyetir, gapapa. Aku cuma… ya penasaran aja. Siapa sih sebenarnya wanita itu?” 📤Binar: “Oke, maaf deh kalau aku terkesan kepo. Tapi kamu tuh… ya ampun, nyebelin banget kalau diem gini.” 📤Binar: “Om, aku udah mau belajar lagi nih. Tapi sebelum itu, tolong, kasih aku satu kalimat aja biar otakku bisa tenang.” Aku menatap pesan terakhirku, lalu menarik napas panjang. “Ya Tuhan, ini aku ngedumel sendirian kayak orang yang lagi debat sama tembok,” gumamku lemah sambil memeluk bantal. Ponsel tetap diam. Tak ada tanda ‘typing’, tak ada centang biru yang berubah. Aku menatapnya lama-lama, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. “Om Kais, sumpah ya… kalau kamu baca semua pesanku dan sengaja nggak jawab, aku bakal—” aku berhenti, mengerang kecil, “—bakal kirim pesan lagi lima detik dari sekarang!” Dan tentu saja, aku benar-benar melakukannya. 📤Binar: “Om, aku serius nanya baik-baik 😭. Kalau dia arsitek di perusahaan Papa, ya bagus, selamat. Tapi kenapa tadi kamu bareng dia? Kenapa gak bawa mobil sendiri? Atau minimal naik ojol kek!” 📤Binar: “Atau, jangan bilang kamu emang niat nganterin dia pulang?!” Aku menatap pesan itu dengan napas terengah—seolah aku habis lari maraton melawan pikiranku sendiri. “Om Kais, kalau kamu gak segera jawab, aku bisa gila,” bisikku pelan. Sementara itu, layar ponselku tetap hitam. Satu-satunya cahaya yang tersisa hanyalah dari notifikasi pesan terakhirku—yang masih tak juga dibalas. Aku menatap layar ponselku sekali lagi. Masih nihil. Tidak ada balasan, tidak ada centang biru. “Udah deh, aku nggak bisa diem aja,” gumamku sambil bangkit dari kasur. Aku menatap pantulan wajahku di cermin. Rambut acak-acakan, mata sedikit sayu, piyama bermotif Tinker Bell yang kebesaran di bagian lengan. Ironis banget—penampilan kayak anak lima tahun, tapi hatinya remuk gara-gara pria dewasa yang bahkan belum jadi pacar. “Tinker Bell, malam ini kita punya misi,” ujarku serius sambil menunjuk gambar peri di bajuku. Aku meraih kunci mobil yang tergantung di meja rias. Mobil putih—hadiah ulang tahun dari Papa dan Mas Pandu yang sampai sekarang jarang kupakai. Alasanku waktu itu simpel: aku malas nyetir. Tapi malam ini? Demi rasa penasaran, demi nama cinta sepihak yang tak mau kalah, aku rela menantang lampu merah sekalipun. “Om Kais,” aku bergumam sambil mengenakan jaket tipis, “kamu pikir aku nggak bakal nyusul? Salah besar.” Langit masih gerimis ketika mobilku meluncur keluar dari garasi. Jalanan sepi, hanya cahaya lampu jalan yang menemani perjalanan malamku menuju apartemen Om Kais—sebuah gedung tinggi di pusat kota yang biasa kulihat dari jauh. Jaraknya cuma lima belas menit, tapi rasanya seperti lima tahun perjalanan batin. Selama di jalan, aku terus mengulang kemungkinan di kepalaku. Mungkin dia nggak balas karena tidur. Mungkin juga karena sibuk. Atau, mungkin memang sedang bersama seseorang. Pikiranku kembali kacau. Begitu tiba di depan apartemen, aku menarik napas panjang. “Oke, Binar. Jangan panik. Datang, lihat, pulang. Gak perlu bikin drama. Kamu cuma mau memastikan semuanya baik-baik saja.” Aku turun dari mobil, menunduk sedikit karena gerimis mulai turun deras. Langkahku terhenti di dekat pintu kaca otomatis ketika mataku menangkap sosok yang terlalu aku kenali. Tinggi. Tegap. Kemeja navy digulung sampai siku. Kais Arfan Zaydan. Tapi bukan itu yang membuat jantungku berhenti berdetak. Di sebelahnya ada seorang wanita—bukan wanita yang tadi. Dan yang paling menusuk? Tangan Om Kais melingkar di bahu wanita itu. Aku terpaku. Napas tercekat. Gerimis di luar seakan mengiringi momen yang membuatku ingin tertawa sekaligus menangis. Mereka berjalan beriringan menuju lift, bercakap kecil. Wanita itu menatapnya sambil tersenyum—senyum yang sangat lembut. Dan Om Kais? Ya Tuhan, senyumnya muncul lagi. Senyum yang tidak pernah aku dapatkan. Pintu lift terbuka. Om Kais menunduk sedikit, memberi isyarat agar wanita itu masuk lebih dulu. Tangannya masih di bahu wanita itu saat pintu lift menutup perlahan. Ting… Suara dari lift itu seperti menutup sisa harapanku malam ini. Aku tetap berdiri di lobi, diam tak bergerak. Tinker Bell di piyamaku terasa menatapku balik, seolah berkata, ‘Kayaknya misi kita gagal, Bee.’ Bibirku mencebik pelan. “Oh, jadi gitu, Om? Di chat cuek bebek, di dunia nyata malah sweet-sweet-an.” Aku mendengkus kesal, menatap arah lift yang kini hanya menampilkan angka naik perlahan: 10… 11… 12.Aku duduk dibalik kemudi, menatap pintu utama rumah sakit Arfamed dari balik kaca mobil yang mulai berembun. Tangan kiriku mengetuk-ngetuk setir, sementara tangan kanan sibuk menggulir chat yang masih berhenti di pesan terakhirku—yang belum dibalas sejak kemarin malam. Hebat sih, Om Kais. Sibuk banget sampai lupa kalau ada seseorang yang menunggu tanpa janji. Aku menarik napas panjang, lalu menatap bayanganku sendiri di kaca spion. “Bee, sampai kapan sih kita mau nunggu Om Kais? Udah hampir dua jam, dan belum ada tanda-tanda dia muncul,” gerutu Safa sambil membuka bungkus permen ketiganya—tanda kalau tingkat bosannya sudah mencapai level darurat. Aku melirik sekilas. “Sabar, Sa. Feeling-ku kuat banget, hari ini dia pasti ngantor di sini.” “Feeling kamu tuh udah kayak Go0gle Maps error, Bee,” balasnya datar. “Mending kita langsung masuk aja, cari Om Kais di ruang kerjanya.” “Nggak bisa, Sa. Aku masih dalam pantauan Mas Pandu, tahu,” ujarku pelan. “Kalau dia sampai tahu aku masih
“Siapa tuh?” gumamku pelan sambil mencondongkan tubuh dari balkon kamar. Dari sini, aku bisa melihat Om Kais berdiri di samping seorang wanita cantik—seksi, rapi, dan kelihatan pintar banget. Mereka hendak pamit pulang, tapi masih asyik berbincang dengan Papa dan Mas Pandu di halaman depan. “Ya ampun, jangan bilang itu—” aku berhenti, menelan ludah. “—calon?” Aku makin mendekat ke pagar balkon. Angin sore membawa samar-samar suara tawa mereka. Tawa Om Kais. Dan tawa si wanita itu, lembut banget, bikin telingaku gatal. “Hmm, jadi gitu ya, Om? Belum juga terima lamaranku, udah pamer calon lain?” gerutuku pelan sambil manyun. Aku menatap punggung mereka yang kini mulai berjalan ke arah mobil. Si wanita itu ijin untuk masuk mobil, dan Om Kais membalas dengan senyum tipis—senyum yang harusnya jadi hak eksklusif ku nanti kalau semesta sedikit lebih adil. Saat mobil perlahan menjauh, aku masih berdiri di balkon dengan tangan terlipat di dada. “Baiklah, Om Kais,” bisikku pelan, penuh
Begitu mobil berhenti di depan rumah, aku langsung turun tanpa menunggu Pak Yoto matiin mesin. Aku udah capek, haus, dan masih kesal karena drama motor mogok plus ‘kejutan tikus’ sore ini. Tapi semua itu belum seberapa dibanding kejadian begitu aku membuka pintu rumah. Rumah sepi. Nggak ada suara Mama yang biasanya ngoceh dari dapur. Aku berjalan ke ruang tengah, hanya ada Papa lagi duduk santai di sofa sambil memegang tablet, dan Mas Pandu di sebelahnya, fokus nonton berita di TV. “Assalamualaikum,” sapaku sambil menaruh tas di meja. “Waalaikumsalam,” jawab Papa sembari tersenyum ke arahku. Mas Pandu mengangkat dagu sedikit, tanda respon malas khasnya. Aku memicing. “Mama mana?” “Pergi,” jawab Mas Pandu santai. “Pergi ke mana?” “Jogja,” sela Papa. Aku langsung berdiri tegak. “Jogja?! Sejak kapan Mama ke Jogja?” “Pagi tadi,” jawab Papa tenang banget, bikin aku makin pengen teriak. “Lho, kok nggak bilang sama aku?!” Papa akhirnya mematikan tabletnya. “Katanya cuma sebentar,
Langit sore sudah mulai berubah warna waktu aku meninggalkan kampus. Safa udah duluan pulang bareng pacarnya, sedangkan aku harus mampir ke toko alat tulis buat beli refill pena dan sticky note warna pastel—peralatan tempur wajib menjelang minggu ujian. Begitu keluar dari toko, aku membuka ponsel dan langsung melihat notifikasi pesan dari Papa. 📩Papa: “Adek pulang jam berapa?” 📤Aku: “Baru mau pulang, Pa. Lagi di parkiran, tapi aku curiga motorku mulai minta perhatian khusus.” 📩Papa: “Maksudnya?” 📤Aku: “Maksudnya... mesinnya bunyi kayak batuk asma. 📩Papa: “Jangan bercanda, Dek. Coba nyalain dulu pelan-pelan, jangan dipaksa.” 📤Aku: “Udah aku elus-elus dulu kok sebelum dinyalain 😌.” Aku terkikik sendiri membaca balasanku. Papa pasti lagi geleng-geleng kepala di rumah. Motor tua kesayanganku itu, “Bumblebee”—karena warnanya kuning belang hitam—sudah aku anggal seperti anak sendiri. Aku memasukkan kunci, memutar, dan— Krek… krkkk… plek! Suara yang keluar lebih
Suasana perpustakaan fakultas kedokteran sore ini lumayan sepi. Hanya ada suara dari lembaran buku yang dibalik, sesekali bunyi langkah sepatu dari mahasiswa yang lewat di lorong, dan denging AC yang samar. Aku duduk di pojok, meja nomor tiga dekat jendela yang menghadap taman belakang.Laptop terbuka, buku anatomi manusia terbentang, highlighter warna-warni berserakan seperti pasukan kecil yang siap perang. Aku lagi serius banget ngetik catatan review ujian minggu depan, sampai tiba-tiba—pluk!—sebuah amplop berwarna krem mendarat tepat di atas keyboard-ku.Aku mendongak.“Hadiah apa lagi nih, Sa?”Sahabatku, Safa Adinaya, berdiri di depanku dengan senyum khasnya yang terlalu lebar. Rambutnya dikuncir asal, tapi tetap aja kelihatan kayak bintang iklan vitamin rambut.“Bukan hadiah,” katanya sambil duduk di kursi sebelahku, membuka buku catatan yang jelas-jelas cuma kamuflase biar dia nggak diusir pustakawan. “Undangan.”“Undangan apa?” tanyaku curiga.“Pernikahan.”“Pernikahan siapa?”
“Hai, Om! Aku calon istrimu!” Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutku, aku tahu sudah tidak ada jalan untuk mundur. Suaraku sendiri terdengar nyaring di telinga, bahkan lebih keras dari suara blender yang barusan nyala di counter. Semua orang di cafe mendadak berhenti gerak. Ada yang pegang sendok, terus diam di udara. Ada juga yang pura-pura nunduk tapi jelas-jelas nguping. Dan di tengah semua itu—Om Kais cuma bengong. Matanya sedikit membulat, bibirnya terbuka tipis, seolah sedang berusaha memastikan apa telinganya masih berfungsi dengan benar. Lucu banget. Aku nyaris ngakak kalau nggak ingat ini momen penting dalam sejarah hidupku. Jadi aku tahan tawa dan cuma berdiri tegak di depan meja, menatapnya dengan senyum paling manis yang kupunya. “Kataku, Om, aku calon istrimu,” ulangku tenang, sambil menepuk dada pelan. “Jadi mulai hari ini, tolong biasakan diri sama wajah ini, ya.” Sumpah, ekspresi kaku di wajahnya tuh priceless banget. Kayak patung lilin yang kehilangan