Home / Romansa / Hai Om, Aku Calon Istrimu! / Cemburu Membabi Buta

Share

Cemburu Membabi Buta

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-10-22 20:39:44

“Siapa tuh?” gumamku pelan sambil mencondongkan tubuh dari balkon kamar.

Dari sini, aku bisa melihat Om Kais berdiri di samping seorang wanita cantik—seksi, rapi, dan kelihatan pintar banget. Mereka hendak pamit pulang, tapi masih asyik berbincang dengan Papa dan Mas Pandu di halaman depan.

“Ya ampun, jangan bilang itu—” aku berhenti, menelan ludah. “—calon?”

Aku makin mendekat ke pagar balkon. Angin sore membawa samar-samar suara tawa mereka.

Tawa Om Kais.

Dan tawa si wanita itu, lembut banget, bikin telingaku gatal.

“Hmm, jadi gitu ya, Om? Belum juga terima lamaranku, udah pamer calon lain?” gerutuku pelan sambil manyun.

Aku menatap punggung mereka yang kini mulai berjalan ke arah mobil. Si wanita itu ijin untuk masuk mobil, dan Om Kais membalas dengan senyum tipis—senyum yang harusnya jadi hak eksklusif ku nanti kalau semesta sedikit lebih adil.

Saat mobil perlahan menjauh, aku masih berdiri di balkon dengan tangan terlipat di dada.

“Baiklah, Om Kais,” bisikku pelan, penuh tekad. “Kalau itu sainganku, aku harus naik level. Mulai besok, aku belajar jadi elegan… tapi tetep lucu. Biar kamu sadar, pilihan terbaikmu tuh bukan dia.”

Aku menatap langit yang mulai gelap, lalu menepuk pipi sendiri.

“Semangat, Binar. Pertempuran baru saja dimulai.”

Aku bergegas masuk kamar dan hampir menabrak pintu balkon saking semangatnya. Jantungku masih berdebar kencang—antara kesal, cemburu, dan sedikit… kompetitif.

Langkahku cepat menuju meja belajar. Ponselku tergeletak di sana, masih terhubung ke charger. Aku langsung meraihnya dan duduk di tepi ranjang.

“Om, Kais. Kamu boleh ganteng, boleh berwibawa, tapi kamu tetap manusia. Dan manusia bisa khilaf. Jadi, demi keselamatan hubungan sepihak kita, aku harus turun tangan.”

Tanganku mengetik cepat di layar.

📤Binar: “Om, jangan lupa jaga pandangan mata ya. Godaan dunia makin berat loh 😤”

Aku menatap pesan itu selama beberapa detik, lalu menggigit bibir. “Terlalu serius nggak ya? Atau harus pakai emoji biar lucu dikit?”

Setelah berpikir dua detik, aku menambahkan:

📤Binar: “ 👀🚫💅”

“Perfect.” Aku menekan send dengan senyum puas.

Beberapa detik berlalu, belum ada balasan. Tapi aku sudah membayangkan ekspresi Om Kais membaca pesanku—alisnya mungkin terangkat, lalu tersenyum tipis kayak biasanya.

Aku merebahkan tubuh ke kasur, menatap langit-langit sambil menghela nafas panjang. “Misi selesai. Sekarang tinggal tunggu tanggapannya. Kalau dia jawab, artinya dia peduli. Kalau enggak—” Aku berhenti sejenak, lalu menatap ponsel lagi.

“—ya berarti aku harus kirim pesan kedua. Versi yang lebih menyentuh hati.”

Aku tersenyum miring. “Binar 1, saingan tak dikenal 0.”

Hampir dua jam berlalu sejak aku kirim pesan super penting itu. Dua jam yang terasa kayak dua dekade.

Dan selama dua jam itu juga, notifikasi ponselku nihil.

Kosong.

Sunyi.

Sepi seperti hubungan sepihak yang tak kunjung disadari lawan mainnya.

Aku akhirnya menyerah menatap layar, lalu berusaha mengalihkan pikiran dengan membaca buku. Buku Histologi Sistem Saraf terbuka di pangkuanku, tapi otakku hanya menangkap kata-kata seperti “neuron”, “sinaps”, dan “impuls listrik”—yang semuanya malah membuatku kepikiran Om Kais.

“Ya Tuhan, bahkan otak aja nyambungnya ke dia,” gumamku putus asa sambil menunduk.

Baru saat aku mulai serius menandai bagian ganglia sensorik, ponselku bergetar di sebelah buku. Getaran itu membuat jantungku langsung melompat seperti refleks saraf yang baru dijelaskan di halaman dua belas.

Aku buru-buru meraih ponsel.

Satu pesan masuk.

Dari Om Kais.

📩Kais: “Jaga pandangan mata? Maksudmu, aku harus pakai kacamata anti radiasi?”

Aku menatap layar ponsel dengan dahi berkerut. Apa-apaan sih jawabannya? Itu jelas bukan yang aku maksud!

Tanganku langsung mengetik cepat.

📤Binar: “Bukan, Om! Maksudku tuh… ya, kamu tau lah 😤. Jaga pandangan dari hal-hal yang bisa bikin iman goyah.”

Belum sempat aku menaruh ponsel, notifikasi balasan langsung muncul.

📩 Kais Arfan: “Oh.”

Satu kata.

Pendek. Tapi menyebalkan.

Aku mengetik lagi dengan cepat.

📤Binar: “Oh? Doang? Maksudnya gimana?”

📩Kais Arfan: “Artinya aku mengerti.”

📩Kais Arfan (lanjut): “Hanya saja, susah juga kalau yang lewat kebetulan menarik perhatian.”

Aku berhenti bernafas sepersekian detik.

Mataku membesar.

Menarik perhatian?

📤Binar: “Menarik perhatian siapa, Om?”

Balasan datang cepat banget, sepertinya dia sengaja menguji kesabaranku.

📩Kais: “Arsitek baru di Perusahaan Om Abimana.”

📩Kais (lanjut): “Dia cerdas. Dan tahu caranya bersikap.”

Aku membaca pesan itu tiga kali.

Tiga. Kali.

Dan setiap kali, suhu tubuhku naik beberapa derajat.

📤Binar: “Oh, jadi Om fokusnya sekarang ke dia?”

📩Kais: “Tidak. Hanya mengingat.”

📤Binar: “Mengingat?”

Tak ada balasan.

Layar ponselku tetap gelap.

Satu menit berlalu. Lalu lima. Lalu sepuluh.

Aku menatap chat terakhir itu dengan nafas mulai berat. Dia baca gak sih? Atau pura-pura gak baca?

Tanganku mulai gatal.

📤Binar: “Om?”

📤Binar: “Halo? Aku nanya loh tadi.”

📤Binar: “Mengingat siapa? Atau maksudnya masih mikirin dia?”

📤Binar: “Atau jangan-jangan kamu masih bareng dia sekarang?? 😳”

Aku mendengkus kesal dan menaruh ponsel di meja sebentar, tapi cuma dua detik sebelum aku ambil lagi.

Notifikasiku tetap sunyi.

📤Binar: “Om Kais, aku gak ngerti deh. Katanya arsitek baru di perusahaan Papa, tapi kenapa tadi pulangnya bareng kamu? Naik mobil kamu pula! Jangan bilang kalian satu arah 😤.”

📤Binar: “Om, jawab dong. Aku gak minta banyak, cuma penjelasan. Satu kalimat aja cukup.”

📤Binar: “Atau kamu sengaja diem biar aku tambah mikir aneh-aneh, ya?”

Aku menggigit bibir, menatap layar yang masih tak berubah.

Jam di dinding berdetak semakin pelan di telingaku. Suara hujan tipis di luar mulai terdengar, tapi hatiku malah panas.

📤Binar: “Ya ampun, Om, serius. Kalau kamu lagi nyetir, gapapa. Aku cuma… ya penasaran aja. Siapa sih sebenarnya wanita itu?”

📤Binar: “Oke, maaf deh kalau aku terkesan kepo. Tapi kamu tuh… ya ampun, nyebelin banget kalau diem gini.”

📤Binar: “Om, aku udah mau belajar lagi nih. Tapi sebelum itu, tolong, kasih aku satu kalimat aja biar otakku bisa tenang.”

Aku menatap pesan terakhirku, lalu menarik napas panjang.

“Ya Tuhan, ini aku ngedumel sendirian kayak orang yang lagi debat sama tembok,” gumamku lemah sambil memeluk bantal.

Ponsel tetap diam.

Tak ada tanda ‘typing’, tak ada centang biru yang berubah.

Aku menatapnya lama-lama, lalu menutup wajah dengan kedua tangan.

“Om Kais, sumpah ya… kalau kamu baca semua pesanku dan sengaja nggak jawab, aku bakal—” aku berhenti, mengerang kecil, “—bakal kirim pesan lagi lima detik dari sekarang!”

Dan tentu saja, aku benar-benar melakukannya.

📤Binar: “Om, aku serius nanya baik-baik 😭. Kalau dia arsitek di perusahaan Papa, ya bagus, selamat. Tapi kenapa tadi kamu bareng dia? Kenapa gak bawa mobil sendiri? Atau minimal naik ojol kek!”

📤Binar: “Atau, jangan bilang kamu emang niat nganterin dia pulang?!”

Aku menatap pesan itu dengan napas terengah—seolah aku habis lari maraton melawan pikiranku sendiri.

“Om Kais, kalau kamu gak segera jawab, aku bisa gila,” bisikku pelan.

Sementara itu, layar ponselku tetap hitam.

Satu-satunya cahaya yang tersisa hanyalah dari notifikasi pesan terakhirku—yang masih tak juga dibalas.

Aku menatap layar ponselku sekali lagi. Masih nihil.

Tidak ada balasan, tidak ada centang biru.

“Udah deh, aku nggak bisa diem aja,” gumamku sambil bangkit dari kasur.

Aku menatap pantulan wajahku di cermin. Rambut acak-acakan, mata sedikit sayu, piyama bermotif Tinker Bell yang kebesaran di bagian lengan. Ironis banget—penampilan kayak anak lima tahun, tapi hatinya remuk gara-gara pria dewasa yang bahkan belum jadi pacar.

“Tinker Bell, malam ini kita punya misi,” ujarku serius sambil menunjuk gambar peri di bajuku.

Aku meraih kunci mobil yang tergantung di meja rias. Mobil putih—hadiah ulang tahun dari Papa dan Mas Pandu yang sampai sekarang jarang kupakai. Alasanku waktu itu simpel: aku malas nyetir. Tapi malam ini? Demi rasa penasaran, demi nama cinta sepihak yang tak mau kalah, aku rela menantang lampu merah sekalipun.

“Om Kais,” aku bergumam sambil mengenakan jaket tipis, “kamu pikir aku nggak bakal nyusul? Salah besar.”

Langit masih gerimis ketika mobilku meluncur keluar dari garasi. Jalanan sepi, hanya cahaya lampu jalan yang menemani perjalanan malamku menuju apartemen Om Kais—sebuah gedung tinggi di pusat kota yang biasa kulihat dari jauh. Jaraknya cuma lima belas menit, tapi rasanya seperti lima tahun perjalanan batin.

Selama di jalan, aku terus mengulang kemungkinan di kepalaku.

Mungkin dia nggak balas karena tidur.

Mungkin juga karena sibuk.

Atau, mungkin memang sedang bersama seseorang.

Pikiranku kembali kacau.

Begitu tiba di depan apartemen, aku menarik napas panjang. “Oke, Binar. Jangan panik. Datang, lihat, pulang. Gak perlu bikin drama. Kamu cuma mau memastikan semuanya baik-baik saja.”

Aku turun dari mobil, menunduk sedikit karena gerimis mulai turun deras.

Langkahku terhenti di dekat pintu kaca otomatis ketika mataku menangkap sosok yang terlalu aku kenali.

Tinggi. Tegap. Kemeja navy digulung sampai siku.

Kais Arfan Zaydan.

Tapi bukan itu yang membuat jantungku berhenti berdetak.

Di sebelahnya ada seorang wanita—bukan wanita yang tadi.

Dan yang paling menusuk?

Tangan Om Kais melingkar di bahu wanita itu.

Aku terpaku.

Napas tercekat.

Gerimis di luar seakan mengiringi momen yang membuatku ingin tertawa sekaligus menangis. Mereka berjalan beriringan menuju lift, bercakap kecil.

Wanita itu menatapnya sambil tersenyum—senyum yang sangat lembut.

Dan Om Kais? Ya Tuhan, senyumnya muncul lagi. Senyum yang tidak pernah aku dapatkan.

Pintu lift terbuka.

Om Kais menunduk sedikit, memberi isyarat agar wanita itu masuk lebih dulu. Tangannya masih di bahu wanita itu saat pintu lift menutup perlahan.

Ting…

Suara dari lift itu seperti menutup sisa harapanku malam ini.

Aku tetap berdiri di lobi, diam tak bergerak. Tinker Bell di piyamaku terasa menatapku balik, seolah berkata, ‘Kayaknya misi kita gagal, Bee.’

Bibirku mencebik pelan. “Oh, jadi gitu, Om? Di chat cuek bebek, di dunia nyata malah sweet-sweet-an.”

Aku mendengkus kesal, menatap arah lift yang kini hanya menampilkan angka naik perlahan: 10… 11… 12.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (20)
goodnovel comment avatar
my lady
kamu nekat bin.... sumpah hahaahha
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Sakit banget ya binar. Lihat orang di sayang malah sama orang lain
goodnovel comment avatar
Almira Larasati
Astagaaa Binar horror banget kamu kalo nge spam kwwkkwk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Manusia Julid

    Setelah membeli peralatan dapur, Mama Maya mengajakku ke butik langganannya yang berada di lantai tiga mall ini. Begitu masuk, suasananya langsung terasa mewah—lampu kristal besar menggantung di plafon, dress-dress bermerek terpajang rapi di rak, dan sebuah sofa velvet disediakan sebagai tempat duduk, lengkap dengan meja kaca berisi air mineral premium.Aku berdiri di depan cermin besar, memegang sebuah dress biru navy dengan detail sederhana di bagian pinggang. Mama Maya duduk di sofa, menatapku dengan senyum hangat."Mama, yang ini bagus nggak?" Aku berputar, memamerkan dress yang kutempelkan di depan tubuh."Bagus, Nak. Tapi coba yang warna emerald di sebelah kiri. Warnanya lebih cocok sama kulit kamu." Mama Maya menunjuk dress lain."Oh iya!" Aku berlari kecil—lebih tepatnya melompat-lompat—mengambil dress emerald itu. "Wah! Ini cantik banget, Ma! Tapi kayaknya mahal deh.""Nggak apa-apa. Mama yang bayar kok. Ini kan buat acara ulang tahun rumah sakit. Kamu harus tampil cantik. Na

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Pasutri Baru

    Sinar matahari pagi menembus celah tirai, menciptakan garis-garis cahaya keemasan di lantai kamar. Jam di meja nakas menunjukkan pukul 09.15.Aku masih meringkuk di bawah selimut tebal, rambut berantakan menutupi sebagian wajah. Laptop masih terbuka di meja belajar—menjadi saksi bisu perjuanganku menyelesaikan revisi skripsi hingga pukul tiga dini hari.Om Kais baru saja selesai mandi. Rambutnya masih basah, kaos dan celana training hitam melekat di tubuhnya. Dia keluar dari kamar, mengambil pakaian yang baru diantar ibu laundry kemarin.Pakaian-pakaian itu dibawanya ke ruang walk-in closet, lalu disusunnya rapi di dalam lemari berdasarkan kategori—mulai dari kaos, celana, handuk, hingga pakaian dalamku.Setelah selesai, dia mengambil vacuum cleaner. Mulai menyedot debu di ruang tamu, ruang kerja, kamar tidur.Jam sepuluh tepat, aku mendengar langkah kaki Om Kais menuju dapur. Suara pintu kulkas terbuka, disusul bunyi peralatan masak yang saling beradu. Aku tidak perlu melihat untuk t

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Mulai Nakal

    Mobil berhenti di basement apartemen mewah di kawasan Solobaru. Om Kais turun terlebih dahulu, membukakan pintu untukku."Ah, akhirnya sampai juga." Aku turun dari mobil, menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi."Welcome home, Sayang." Om Kais merangkul pinggangku, mengecup keningku sekilas."Home—" Aku mengulang kata itu. Terasa aneh tapi juga hangat. Ini rumahku sekarang. Rumah kami.Kami naik lift ke lantai 25. Unit kami berada di sudut dengan pemandangan kota Solo yang luas. Begitu pintu terbuka, aku disambut ruang tamu yang luas dengan jendela besar dari lantai hingga plafon."Wow, desain Mas Rayyan bagus banget." Aku melangkah masuk, menatap sekeliling. Desain minimalis modern dengan dominasi warna putih, abu-abu, dan aksen kayu. Bersih, rapi dan dingin banget."Aku yang mengawasi sendiri saat renovasi. Biar sesuai kenginanmu, Sayang." Om Kais meletakkan koper-koper di samping sofa."Maacih, Bunny." Aku tersenyum. "Bakal betah aku tinggal di sini.”Om Kais memelukku dari

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Tanpa Filter

    Restoran vila sudah dipenuhi keluarga besar kami yang bersiap sarapan sebelum kembali ke Solo. Para orang tua duduk bersama di satu meja panjang di bagian tengah, bercakap santai sambil menikmati pagi. Sementara meja anak muda sedikit terpisah, suasananya lebih ringan dan penuh tawa.Semua meja dipenuhi hidangan sarapan western—scrambled egg, sosis ayam panggang, mushroom saute, baked beans, pancake dengan sirup maple, aneka pastry, serta roti gandum hangat dengan mentega dan selai. Di tengah meja berjajar jus jeruk, kopi hitam, dan teh hangat yang masih mengepul.Pintu restoran terbuka. Om Kais masuk terlebih dahulu, lalu menoleh ke belakang."Sayang, pelan-pelan—"Aku melangkah masuk. Tapi langkahku aneh. Seperti robot yang kakinya kaku. Setiap melangkah, aku sedikit meringis."Aduh..."Mama langsung menoleh. "Dek? Kamu kenapa jalannya kayak gitu?""Nggak apa-apa kok, Ma. Cuma pegal aja kakiku." Aku berusaha tersenyum, melangkah pelan menuju meja.Tapi Safa—yang duduk di samping Mba

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Mowning, Sayang

    Azan subuh berkumandang dari masjid di kejauhan. Suaranya samar, terbawa angin pagi yang dingin. Langit di luar jendela mulai berubah warna—dari hitam pekat menjadi biru gelap, lalu perlahan menyingsing jingga tipis di ufuk timur.Aku dan Om Kais baru saja selesai sholat. Sajadah masih terbentang di sudut kamar. Tasbih masih tergenggam di tanganku."Allahumma anta as-salaam wa minka as-salaam, tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam.” Om Kais mengakhiri doanya dengan lirih, lalu mengusap wajah.Aku juga selesai. Mengusap wajah, merasakan ketenangan yang selalu datang setelah sholat subuh. Ada yang berbeda pagi ini. Aku tidak sholat sendirian. Ada Om Kais di sampingku. Suamiku.Om Kais melipat sajadahnya, aku melipat punyaku. Kami berdiri hampir bersamaan."Sayang, kamu mau tidur lagi?" tanya Om Kais sambil meletakkan sajadah ke dalam lemari."Nggak tau. Rasanya masih ngantuk, tapi... juga nggak pengen tidur." Aku berjalan ke arah ranjang, duduk di tepinya. Mukena masih menyelimuti tub

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Malam Pertama?

    Kamar pengantin telah didekorasi dengan nuansa romantis. Kelopak mawar merah tersebar di lantai hingga ke atas ranjang, sementara lilin-lilin aromaterapi menyala di sudut ruangan, menyebarkan aroma lavender yang menenangkan. Lampu-lampu kecil berbentuk bintang menghiasi dinding, menambah kesan hangat dan intim.Tapi suasana romantis itu tidak berlangsung lama."Bunny!" Aku berdiri di tengah kamar dengan wajah panik, memegang gaun yang mengembang kemana-mana. "Aku kebelet pipis!"Om Kais baru saja melepas jas putihnya, masih mengenakan kemeja dan celana formal. Dia menoleh dengan alis terangkat. "Sekarang?""Iya sekarang! Dari tadi sebenernya udah nahan, tapi tadi kan lagi foto-foto terus—" Aku melompat-lompat kecil, menahan hasrat untuk berlari ke kamar mandi. "Bunny, tolongin aku lepas gaun ini!"“Iya, Sayang.” Om Kais langsung mendekatiku. “Resletingnya ada di sebelah mana?”"Ini resletingnya di belakang! Dan ada kancing-kancingnya juga! Banyak banget!" Aku berputar-putar, berusaha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status