Begitu mobil berhenti di depan rumah, aku langsung turun tanpa menunggu Pak Yoto matiin mesin. Aku udah capek, haus, dan masih kesal karena drama motor mogok plus ‘kejutan tikus’ sore ini. Tapi semua itu belum seberapa dibanding kejadian begitu aku membuka pintu rumah.
Rumah sepi. Nggak ada suara Mama yang biasanya ngoceh dari dapur. Aku berjalan ke ruang tengah, hanya ada Papa lagi duduk santai di sofa sambil memegang tablet, dan Mas Pandu di sebelahnya, fokus nonton berita di TV. “Assalamualaikum,” sapaku sambil menaruh tas di meja. “Waalaikumsalam,” jawab Papa sembari tersenyum ke arahku. Mas Pandu mengangkat dagu sedikit, tanda respon malas khasnya. Aku memicing. “Mama mana?” “Pergi,” jawab Mas Pandu santai. “Pergi ke mana?” “Jogja,” sela Papa. Aku langsung berdiri tegak. “Jogja?! Sejak kapan Mama ke Jogja?” “Pagi tadi,” jawab Papa tenang banget, bikin aku makin pengen teriak. “Lho, kok nggak bilang sama aku?!” Papa akhirnya mematikan tabletnya. “Katanya cuma sebentar, nengok Tante Rara yang lagi sakit.” “Ya tapi tetep aja, Pa! Minimal ngomong dulu kek! Tadi aku kirim pesan ke Mama pas mau beli refill pena aja masih dibales pakai emot love-love, tapi nggak bilang kalau lagi kabur ke Jogja!” Mas Pandu mendengkus. “Bukan kabur, Dek. Liburan kilat. Mama juga butuh healing.” Aku mendelik. “Healing tanpa pamit? Tega!” “Ya jangan lebay. Paling dua hari juga balik,” kata Mas Pandu lagi. Aku nyerocos sambil jalan ke dapur. “Kebiasaan Mama suka tiba-tiba menghilang kayak ninja!” Dari ruang tengah, Mas Pandu nyeletuk, “Udah, anggap aja Mama lagi ikut mission impossible.” Aku menoleh dengan wajah masam. “Mas, aku serius ini!” “Ya aku juga serius. Mama titip pesan: jangan bikin rumah berantakan, jangan jajan aneh-aneh, dan jangan lupa makan. Oh, dan katanya kamu jangan drama.” Aku melempar tatapan sebal ke arah Mas Pandu. “Aku nggak mungkin bisa hidup tanpa Mama!” Papa cuma geleng-geleng sambil nyeruput teh. “Baru juga dibilangin jangan drama.” Setelah mengambil minuman dingin dari kulkas, aku kembali ke ruang tengah dan langsung menjatuhkan diri ke sofa. Mas Pandu menatapku dengan kening mengerut, seperti sedang menilai apakah adiknya ini masih waras atau perlu diruqyah. Sementara Papa yang duduk di sebelahku malah memijat pelipisku. “Besok ke kampus diantar sama Pak Yoto aja. Jangan naik motor lagi,” katanya. “Tapi, Pa, Bumblebee itu butuh kasih sayang, bukan ditinggalin,” balasku. Mas Pandu menyandarkan punggung. “Kasih sayang apaan? Motor kesayangan kamu itu butuh istirahat, bukan pelukan.” Aku langsung melotot. “Mas, jangan hina hubungan kami! Aku sama Bumblebee udah melewati hujan, panas, bahkan ban bocor bareng!” Papa menahan senyum. “Ya, tapi kali ini dia kecapekan. Udah, kasih dia libur dulu.” “Iya deh. Tapi kalau Bumblebee sedih gara-gara aku tinggalin, Papa sama Mas tanggung jawab ya,” ujarku pasrah. Mas Pandu malah nyengir. “Kalau motor kamu tiba-tiba ngambek dan ngetik status di Insta9ram, baru aku percaya dia sedih.” Aku mendengkus, menaruh gelas di meja. “Mas, kamu tuh nggak ngerti hubungan emosional antara manusia dan kendaraan kesayangannya.” Papa tiba-tiba menarik hidungku pelan. “Udah, jangan ngreyog terus. Papa pusing liat kamu ngeluh mulu.” Aku manyun. “Mas Pandu nyebelin, Pa.” “Mas Pandu itu khawatir sama, Adek,” terang Papa. Tapi kemudian, nada suaranya berubah. “Ngomong-ngomong, Papa dengar Adek ngelakuin sesuatu di cafe?” Aku langsung meringis. “Hehe… yang mana ya, Pa?” “Yang Adek melamar Kais,” jawab Papa tenang tapi tajam. Mas Pandu berteriak, “HAH?! ADEK NGAPAIN?!” “Ehehe, Mas. Refleks aja gitu.” Papa mendesah panjang. “Refleks kamu tuh bisa bikin Papa jantungan, Dek.” Mas Pandu langsung berdiri, menatapku dengan ekspresi campuran antara frustasi dan malu. “Dek! Kamu sadar nggak sih, Mas Kais itu rekan bisnisnya Papa! Dan kamu malah ngelamar dia di depan umum?! Malu, Dek! Astagfirullah!” Aku nyengir, berusaha mencairkan suasana. “Lah, justru bagus dong, Mas. Berarti hubungan kita semakin nyambung.” Mas Pandu mendengkus. “Yang harusnya nyambung itu urat malu kamu, Dek.” Papa langsung menengahi. “Udah, Mas. Adikmu ini memang unik. Besok Papa akan ajak Kais makan siang untuk meminta maaf.” Kedua mataku langsung berbinar terang. Aku pun duduk dan menatap Papa penuh semangat. Takkk! “Awww, Mas Pandu nakal, ih!” seruku sambil mengelus kening yang baru saja dijitak. “Mau dijitak lagi?” tanyanya, satu alisnya naik. Aku langsung manyun. “Apaan sih?! Emang jitak-jitak itu bentuk kasih sayang sekarang?” Mas Pandu menyeringai. “Iya, kasih sayang model Pandu edition.” Aku mencibir. “Model rusuh iya.” “Lagian kamu natap Papa sambil berbinar gitu. Pasti kamu lagi merencanakan sesuatu,” tuduh Mas Pandu curiga. “Kok suuzon sih? Enggak, ya. Aku nggak ada rencana apapun,” sangkalku cepat. Papa terkekeh pelan, lalu menarikku ke pelukannya. Merasa ada yang membela, aku langsung menjulurkan lidah ke arah Mas Pandu sambil nyengir tengil. Mas Pandu mendecak. “Pokoknya Adek gak boleh godain Mas Kais lagi!” “Kok gak boleh? Om Kais kan masih available. Masih halal untuk dikejar,” balasku. “Umur kalian itu beda jauh, Dek. Lagi pula, Mas Kais tipe pria yang terlalu berwibawa. Nggak cocok sama kamu,” omel Mas Pandu panjang lebar. “Dihhh,” seruku kesal. “Belum dicoba, mana tahu cocok apa enggak!” “Ngapain dicoba segala? Dari penampakannya aja udah kelihatan jelas,” balas Mas Pandu tak mau kalah. “Mas, jangan langsung nge-judge gitu dong!” kataku masih ngotot. “Bukan nge-judge, tapi realistis!” balas Mas Pandu cepat. “Kamu bukan tipenya Mas Kais, Dek!” Aku melotot kesal. “Aku tuh fun, lucu, dan penuh energi positif! Gak mungkin Om Kais gak suka sama aku!” “Lebih ke energi berlebihan,” sahutnya datar. “Mas iri, ya? Karena aku punya aura yang menyenangkan?” “Yang bikin pusing, iya.” “DASAR KAKAK TOXIC!” seruku kesal. Papa yang dari tadi diam cuma mengusap wajah lelah. “Kalian ini tiap ngobrol ujung-ujungnya ribut. Rumah kayak ring tinju aja.” Aku dan Mas Pandu sama-sama menatap Papa, lalu saling melotot lagi seperti anak kecil rebutan mainan. Belum sempat aku balas, suara langkah terdengar dari arah pintu depan. Tak lama, Bibi Sumi—asisten rumah tangga kami muncul. “Pak Abi,” panggilnya, “ada tamu nyariin Bapak.” Papa menoleh. “Tamu? Siapa, Bi?” Bibi menjawab sambil sedikit menunduk. “Namanya… Pak Kais Arfan.” Seketika suasana ruang tengah langsung berubah. Aku refleks berdiri dengan sorot mata seperti baru dapat kabar menang undian umroh. “OM KAAAIS?!” teriakku heboh. Mas Pandu langsung memegangi kepala. “Ya ampun, baru juga dibahas!” Aku bersiap lari ke arah ruang tamu sambil merapikan rambut, tapi belum sempat melangkah satu langkah pun— Tiba-tiba Mas Pandu menarik tanganku. Dalam satu gerakan, dia langsung mengangkat tubuhku dan menggendongku di pundaknya seperti karung beras. “MAS PANDU!!! TURUNIN AKU!!!” jeritku sambil menendang-nendang udara. “Tidak akan, Tuan Putri,” balasnya santai. “Kamu diam di kamar sampai tamu Papa pulang.” “Mas, sumpah ya! Ini pelanggaran hak asasi manusia!” “Anggap aja karantina biar nggak bikin malu keluarga,” katanya datar sambil tetap jalan. Aku memukul punggungnya pelan. “Aku cuma mau menyapa Om Kais!” “Menyapa dengan gaya menggoda? No, thanks,” sahutnya. Papa sampai menutup wajah dengan tangan, antara ingin tertawa dan pasrah. “Mas, pelan-pelan. Jangan dijatuhkan adikmu.” “Siap, Pa,” jawab Mas Pandu sambil terus melangkah ke arah tangga. “MAS PANDU! SUMPAH, AKU GIGIT NIH!”“Siapa tuh?” gumamku pelan sambil mencondongkan tubuh dari balkon kamar. Dari sini, aku bisa melihat Om Kais berdiri di samping seorang wanita cantik—seksi, rapi, dan kelihatan pintar banget. Mereka hendak pamit pulang, tapi masih asyik berbincang dengan Papa dan Mas Pandu di halaman depan. “Ya ampun, jangan bilang itu—” aku berhenti, menelan ludah. “—calon?” Aku makin mendekat ke pagar balkon. Angin sore membawa samar-samar suara tawa mereka. Tawa Om Kais. Dan tawa si wanita itu, lembut banget, bikin telingaku gatal. “Hmm, jadi gitu ya, Om? Belum juga terima lamaranku, udah pamer calon lain?” gerutuku pelan sambil manyun. Aku menatap punggung mereka yang kini mulai berjalan ke arah mobil. Si wanita itu ijin untuk masuk mobil, dan Om Kais membalas dengan senyum tipis—senyum yang harusnya jadi hak eksklusif ku nanti kalau semesta sedikit lebih adil. Saat mobil perlahan menjauh, aku masih berdiri di balkon dengan tangan terlipat di dada. “Baiklah, Om Kais,” bisikku pelan, penuh
Begitu mobil berhenti di depan rumah, aku langsung turun tanpa menunggu Pak Yoto matiin mesin. Aku udah capek, haus, dan masih kesal karena drama motor mogok plus ‘kejutan tikus’ sore ini. Tapi semua itu belum seberapa dibanding kejadian begitu aku membuka pintu rumah. Rumah sepi. Nggak ada suara Mama yang biasanya ngoceh dari dapur. Aku berjalan ke ruang tengah, hanya ada Papa lagi duduk santai di sofa sambil memegang tablet, dan Mas Pandu di sebelahnya, fokus nonton berita di TV. “Assalamualaikum,” sapaku sambil menaruh tas di meja. “Waalaikumsalam,” jawab Papa sembari tersenyum ke arahku. Mas Pandu mengangkat dagu sedikit, tanda respon malas khasnya. Aku memicing. “Mama mana?” “Pergi,” jawab Mas Pandu santai. “Pergi ke mana?” “Jogja,” sela Papa. Aku langsung berdiri tegak. “Jogja?! Sejak kapan Mama ke Jogja?” “Pagi tadi,” jawab Papa tenang banget, bikin aku makin pengen teriak. “Lho, kok nggak bilang sama aku?!” Papa akhirnya mematikan tabletnya. “Katanya cuma sebentar,
Langit sore sudah mulai berubah warna waktu aku meninggalkan kampus. Safa udah duluan pulang bareng pacarnya, sedangkan aku harus mampir ke toko alat tulis buat beli refill pena dan sticky note warna pastel—peralatan tempur wajib menjelang minggu ujian. Begitu keluar dari toko, aku membuka ponsel dan langsung melihat notifikasi pesan dari Papa. 📩Papa: “Adek pulang jam berapa?” 📤Aku: “Baru mau pulang, Pa. Lagi di parkiran, tapi aku curiga motorku mulai minta perhatian khusus.” 📩Papa: “Maksudnya?” 📤Aku: “Maksudnya... mesinnya bunyi kayak batuk asma. 📩Papa: “Jangan bercanda, Dek. Coba nyalain dulu pelan-pelan, jangan dipaksa.” 📤Aku: “Udah aku elus-elus dulu kok sebelum dinyalain 😌.” Aku terkikik sendiri membaca balasanku. Papa pasti lagi geleng-geleng kepala di rumah. Motor tua kesayanganku itu, “Bumblebee”—karena warnanya kuning belang hitam—sudah aku anggal seperti anak sendiri. Aku memasukkan kunci, memutar, dan— Krek… krkkk… plek! Suara yang keluar lebih
Suasana perpustakaan fakultas kedokteran sore ini lumayan sepi. Hanya ada suara dari lembaran buku yang dibalik, sesekali bunyi langkah sepatu dari mahasiswa yang lewat di lorong, dan denging AC yang samar. Aku duduk di pojok, meja nomor tiga dekat jendela yang menghadap taman belakang.Laptop terbuka, buku anatomi manusia terbentang, highlighter warna-warni berserakan seperti pasukan kecil yang siap perang. Aku lagi serius banget ngetik catatan review ujian minggu depan, sampai tiba-tiba—pluk!—sebuah amplop berwarna krem mendarat tepat di atas keyboard-ku.Aku mendongak.“Hadiah apa lagi nih, Sa?”Sahabatku, Safa Adinaya, berdiri di depanku dengan senyum khasnya yang terlalu lebar. Rambutnya dikuncir asal, tapi tetap aja kelihatan kayak bintang iklan vitamin rambut.“Bukan hadiah,” katanya sambil duduk di kursi sebelahku, membuka buku catatan yang jelas-jelas cuma kamuflase biar dia nggak diusir pustakawan. “Undangan.”“Undangan apa?” tanyaku curiga.“Pernikahan.”“Pernikahan siapa?”
“Hai, Om! Aku calon istrimu!” Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutku, aku tahu sudah tidak ada jalan untuk mundur. Suaraku sendiri terdengar nyaring di telinga, bahkan lebih keras dari suara blender yang barusan nyala di counter. Semua orang di cafe mendadak berhenti gerak. Ada yang pegang sendok, terus diam di udara. Ada juga yang pura-pura nunduk tapi jelas-jelas nguping. Dan di tengah semua itu—Om Kais cuma bengong. Matanya sedikit membulat, bibirnya terbuka tipis, seolah sedang berusaha memastikan apa telinganya masih berfungsi dengan benar. Lucu banget. Aku nyaris ngakak kalau nggak ingat ini momen penting dalam sejarah hidupku. Jadi aku tahan tawa dan cuma berdiri tegak di depan meja, menatapnya dengan senyum paling manis yang kupunya. “Kataku, Om, aku calon istrimu,” ulangku tenang, sambil menepuk dada pelan. “Jadi mulai hari ini, tolong biasakan diri sama wajah ini, ya.” Sumpah, ekspresi kaku di wajahnya tuh priceless banget. Kayak patung lilin yang kehilangan