Share

Serius, Bee?

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-10-23 13:32:37

Aku duduk dibalik kemudi, menatap pintu utama rumah sakit Arfamed dari balik kaca mobil yang mulai berembun. Tangan kiriku mengetuk-ngetuk setir, sementara tangan kanan sibuk menggulir chat yang masih berhenti di pesan terakhirku—yang belum dibalas sejak kemarin malam.

Hebat sih, Om Kais. Sibuk banget sampai lupa kalau ada seseorang yang menunggu tanpa janji. Aku menarik napas panjang, lalu menatap bayanganku sendiri di kaca spion.

“Bee, sampai kapan sih kita mau nunggu Om Kais? Udah hampir dua jam, dan belum ada tanda-tanda dia muncul,” gerutu Safa sambil membuka bungkus permen ketiganya—tanda kalau tingkat bosannya sudah mencapai level darurat.

Aku melirik sekilas. “Sabar, Sa. Feeling-ku kuat banget, hari ini dia pasti ngantor di sini.”

“Feeling kamu tuh udah kayak Go0gle Maps error, Bee,” balasnya datar. “Mending kita langsung masuk aja, cari Om Kais di ruang kerjanya.”

“Nggak bisa, Sa. Aku masih dalam pantauan Mas Pandu, tahu,” ujarku pelan. “Kalau dia sampai tahu aku masih ngintilin Om Kais begini, bisa-bisa aku dikurung di rumah seminggu penuh. Harus jaga sikap, biar kelihatan udah move on dan hidup damai tanpa ‘Om tamvan’ itu.”

Safa menoleh dengan tatapan geli, sudut bibirnya terangkat nakal. “Hmm, pantesan kamu rela menunggu di mobil tanpa kepastian. Tapi ngomong-ngomong, pantauan Mas Pandu, ya? Wah, kalau aku sih rela banget dipantau dokter seganteng dia tiap hari.”

Aku mencubit lengan Safa tanpa ampun. “Dasar penggemar Mas Pandu garis keras!”

“Ih, posesif banget sih, Bee. Aku cuma nge-fans, bukan mau rebut Mas Pandu,” jawabnya sambil mengelus lengannya yang baru saja kucubit.

“Bagus kalau cuma nge-fans. Soalnya kalau tahu kelakuannya di rumah, kamu pasti langsung mundur teratur. Lagi pula, mas pacar mau dikemanakan?” balasku.

Sekitar lima menit kemudian—tepat di saat mataku mulai terasa berat dan kepala nyaris menunduk karena ngantuk—tiba-tiba Safa menjerit kencang. “BEE!!!”

Aku hampir saja memukul klakson saking kagetnya. “Astaga, Sa! Mau bikin jantungku copot, hah?!”

Belum sempat aku lanjut ngomel, Safa sudah mencondongkan tubuhnya ke kaca depan, matanya membulat lebar. “Lihat tuh! Lihat!” ujarnya heboh sambil menunjuk ke arah pintu utama rumah sakit.

Refleks, aku mengikuti arah telunjuknya. Dan di sanalah dia—pria berjas biru tua itu, berjalan santai sambil menatap layar ponselnya. Rahangnya tegas, langkahnya lebar, perpaduan yang terlalu sempurna untuk ukuran manusia biasa.

“Om Kais,” gumamku pelan, nyaris seperti bisikan yang hanya bisa kudengar sendiri.

“Buruan turun, Bee! Jangan sampai target lepas!” titah Safa setengah berteriak seperti agen rahasia gagal menahan euforia.

“Eh, gak bisa dong,” sahutku cepat.

Safa menatapku tak percaya, keningnya berkerut. “Jangan ngadi-ngadi ya, Bee. Aku udah relain waktu berhargaku buat nemenin kamu nungguin Om Kais. Masa pas orangnya nongol malah diem di mobil?”

Aku mengangkat tangan, memberi tanda supaya dia tenang. “Maksudku bukan gak turun, Sa. Tapi aku mau nunggu sampai dia sampai mobilnya.”

“Emangnya kamu tahu Om Kais parkir di mana?”

Aku menyeringai kecil dan menunjuk ke arah kanan. “Tuh. Mobil hitam di sebelah sana. Platnya aja aku udah hafal luar kepala.”

Safa memutar bola matanya, tapi detik berikutnya dia mengacungkan dua jempol ke arahku sambil terkekeh kagum. “Binar selalu luar biasa,” katanya.

Aku menyandarkan punggung ke jok, senyum tipis terlukis di bibirku. “Tentu saja. Semua demi kelancaran misi pengejaran cinta Om Kais.”

Kami pun terdiam, menatap dari balik kaca depan mobil seperti dua mata-mata amatir yang terlalu bersemangat. Pandanganku terpaku pada sosok Om Kais yang kini semakin dekat dengan mobilnya. Tapi belum sempat tanganku menyentuh gagang pintu, seseorang memanggilnya dari arah belakang.

Suara itu lembut, tapi cukup nyaring untuk membuat langkah Om Kais terhenti.

Aku menegang di tempat, mataku langsung mencari sumber suara itu—dan saat menemukannya, napasku seketika tertahan.

Seorang wanita melangkah mendekat. Rambutnya hitam bergelombang, kulitnya terang, dan posturnya proporsional banget. Meski aku hanya melihat wajahnya dari samping, aku yakin tidak salah mengenali sosok itu.

Wanita yang sama seperti yang kulihat semalam—yang dirangkul oleh Om Kais dan diajak naik ke unit apartemennya.

“Cantik ya,” komentar Safa pelan tanpa menoleh, matanya masih menatap ke arah mereka.

“Iya,” jawabku lirih, mataku tak lepas dari pemandangan di depan sana. “Bodinya juga… aduhai.”

Safa terkekeh pelan. “Tapi kalau soal wajah, aku tetap tim kamu. Jauh lebih cantik kamu, Bee.”

Aku menoleh ke arahnya dengan alis terangkat. “Yakin, Sa?”

Dia menatapku dengan ekspresi seolah aku baru saja menanyakan hal paling konyol di dunia. “Seyakin-yakinnya. Cuma… kamu kalah jam terbang sama dia. Kalau yang itu auranya udah kayak CEO majalah mode.”

“Baguslah kalau gitu. Berarti aku cuma perlu latihan dikit buat nyamain auranya.”

Safa menahan tawa. “Latihan gimana? Jalan pakai heels lima belas senti sambil bawa map medis biar matching sama rumah sakitnya?”

Aku meliriknya sinis, tapi ujung bibirku tak bisa menahan senyum. “Boleh juga idenya. Tapi mungkin aku bakal mulai dari belajar cara senyum elegan dulu.”

Om Kais tampak masih berbincang dengan wanita itu. Mereka tertawa—ya Tuhan, tawa yang bahkan dari jarak sejauh ini masih bisa bikin ulu hatiku nyesek. Tapi beberapa detik kemudian, pria itu tampak menoleh sekilas ke arah mobilku.

Aku langsung menegakkan badan, menunduk panik.

“Sa, Sa! Om Kais liat ke sini! Astaga, gimana kalau dia sadar ini mobilku?!”

“Aduh, kenapa juga kita nggak bawa topi atau masker?!”

Aku melirik dari celah kecil antara dashboard dan kemudi. Dan benar saja—Om Kais dan wanita itu kini berjalan ke arah kami.

“Bee, mereka ke sini!” desis Safa panik.

“Tenang, Sa! Senyum yang lebar.”

“Bee, gimana mau senyum kalau aku deg-degan parah gini?!”

Aku belum sempat membalas karena detik berikutnya—tok tok tok—suara ketukan terdengar dari kaca jendela mobil. Aku menoleh perlahan, dan di sanalah dia.

Om Kais berdiri di sisi mobilku, tangan satu dimasukkan ke saku celana, sementara tangan lainnya masih menempel di kaca. Wajahnya datar tapi tatapannya tajam, seperti baru saja menangkap basah dua mata-mata yang ketahuan mengintai.

“Binar.” Suaranya dalam, tenang, tapi entah kenapa bikin aku merinding sampai ke tulang.

Aku berusaha tersenyum kikuk, menurunkan kaca jendela sedikit. “Oh, Om Kais. Hehe… kebetulan banget ya kita ketemu di sini.”

Safa, tanpa rasa malu, langsung menyikutku pelan. “Kebetulan apanya, Bee. Kita udah disini dari dua jam lalu,” bisiknya pelan tapi masih cukup keras untuk terdengar.

Tatapan Om Kais langsung berpindah ke Safa, lalu kembali padaku.

“Dua jam, ya?” tanyanya datar.

Aku cepat-cepat mengibaskan tangan. “Enggak, Om! Maksudnya… eee… dua jam tadi itu kita sempat mampir makan siang. Terus, kebetulan saja lewat sini.”

“Lewat sini, parkir, dan diam di sini dua jam?” ulangnya dengan nada tenang tapi menusuk.

Aku terdiam. Bibirku bergerak tanpa suara. Game over.

Om Kais menunduk sedikit, menatap ke dalam mobil. “Dan kamu masih nekat melakukan hal seperti ini, setelah janji sama Dokter Pandu buat nggak ngelakuin sesuatu yang konyol?”

Jantungku langsung terjun bebas ke dasar bumi.

Aku menatap Safa dengan tatapan “Tolong selamatkan aku”, tapi dia malah pura-pura sibuk dengan ponselnya.

“Om, jangan bilang sama Mas Pandu ya. Anggap saja hari ini kita gak ketemu,” ujarku dengan suara sekecil semut.

Om Kais menatapku beberapa detik tanpa bicara, lalu menarik napas panjang. “Lain kali, kalau mau ‘lewat’, jangan mampir lalu parkir,” katanya kalem.

Aku dan Safa langsung saling pandang.

Ya ampun.

Om Kais lagi mode garang.

Wanita yang berdiri di sisi Om Kais itu ikut menundukkan kepala, senyum ramah tersungging di bibirnya. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di antara detak jantungku yang masih berdebar tak karuan.

“Hai, Binar.”

Aku langsung mengangkat wajah, menatapnya dengan dahi berkerut.

Hah? Dia tahu namaku?

Safa yang duduk di sebelahku menoleh cepat, matanya bergantian melirikku dan wanita itu. “Kamu kenal dia, Bee?” bisiknya pelan, penuh rasa ingin tahu.

Aku masih belum menjawab. Otakku bekerja keras menyusun potongan memori—dan ketika wajah itu kulihat lebih jelas, aku langsung membeku di tempat.

Ya Tuhan.

Dia bukan sekadar wanita cantik misterius yang kulihat semalam dirangkul Om Kais. Dia… Aluna.

Aluna Sekar Jiwani.

Aku menelan ludah, mencoba menstabilkan napas. “K-Kak Luna?” ucapku dengan nada nyaris tak percaya.

Wanita itu—yang ternyata memang Kak Luna—tersenyum hangat. “Akhirnya kamu ingat juga.” Tatapannya lembut saat berkata, “Terakhir kita ketemu kamu masih kecil, sekarang kamu sudah jadi gadis cantik, Binar.”

Om Kais menatap jam tangannya sekilas, lalu menghembuskan nafas pelan. “Binar,” panggilnya tenang, tapi tetap dengan nada yang membuatku menegakkan badan. “Sebaiknya kamu segera balik ke kampus. Masih ada kuliah terakhir kan sore ini?”

Aku mengerjap cepat, menatapnya bingung. “E-eh… iya, Om. Tapi—”

“Nah, sebelum terlambat, pergi sekarang,” potongnya tegas. “Dan jangan lagi nongkrong di parkiran rumah sakit cuma buat ‘lewat’.”

Aku hanya bisa mengangguk pasrah, sementara Safa di sebelahku nyaris menahan tawa dengan menutup mulutnya.

Om Kais kemudian menoleh ke wanita di sampingnya. “Ayo, Lun. Kita harus ke panti sebelum sore.”

Kalimat itu langsung menusuk halus ke ulu hatiku. Jadi mereka berdua mau ke panti asuhan—panti milik keluarga Om Kais.

Aku menatap dari balik kaca, menyaksikan keduanya berjalan berdampingan. Kak Luna sempat menoleh dan melambaikan tangan ke arahku sebelum akhirnya mereka menghilang dibalik deretan mobil.

“Kita juga pergi, Sa,” ujarku singkat.

Safa tidak menjawab, hanya memperhatikan wajahku dari samping.

Kami melaju keluar dari area parkir dalam diam. Baru setelah beberapa menit, saat suasana di dalam mobil benar-benar hening, Safa akhirnya bersuara pelan.

“Bee, sebenarnya siapa sih Kak Luna itu?”

“Kak Luna itu anak dari sahabat Papa. Orang tua kami sudah bersahabat sejak SMA, jadi kami lumayan dekat saat kecil.”

“Terus… kok bisa dia akrab banget sama Om Kais?”

“Karena mereka masih ada hubungan saudara, Sa. Kalau gak salah, neneknya Kak Luna itu adiknya nenek Om Kais.”

“Hmm…” Safa menatap ke luar jendela, lalu kembali menatapku dengan ekspresi penuh curiga. “Tapi aku gak yakin deh kalau hubungan mereka cuma sebatas saudara.”

“Maksud kamu?”

“Ya, kamu gak lihat tadi? Cara Kak Luna mandang Om Kais tuh kayak—ya ampun—kayak di film-film romansa. Aku aja yang bukan siapa-siapa bisa ngerasain chemistry-nya.”

Aku menghela napas, menatap jalanan lurus di depan. “Kamu kebanyakan nonton drama, Sa. Kak Luna gak mungkin suka sama Om Kais.”

Safa menaikkan sebelah alis. “Kok bisa yakin gitu?”

“Karena Kak Luna sudah dijodohkan oleh keluarganya,” jawabku santai, meski bagian dalam dadaku terasa agak aneh saat mengucapkannya.

Safa langsung menatapku lekat. “Serius, Binar? Kamu gak cemburu?”

Aku menoleh sebentar, tersenyum tipis. “Enggak, Sa. Aku percaya Kak Luna gak suka sama Om Kais.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
SumberÃrta
binaaarrrrr apa rasanya ketauan ningkrongin om kais 2 jamm begitu astaga malah macam Debt colector lagi nungguin mangsa kamu ya beee
goodnovel comment avatar
carsun18106
percayalah luna itu ngga suka sama kais, tapi ter.ob.se.si dan dialah villain sebenarnya
goodnovel comment avatar
Kania Putri
yakin nih binar gak cemburu sama Luna jangan sampai kamu misuh2 deh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Dih, Sok Jual Mahal!

    Suara langkah terdengar lagi—pelan, tapi entah kenapa tiap kali dokter Naufal melangkah mendekat, seluruh ruangan langsung jadi hening. Seolah semua mahasiswa sepakat menahan napas bersamaan. Termasuk aku. Oke, Binar, tenang. Kamu sudah belajar dan menguasai materi hari ini. Jadi nggak perlu takut! Aku menatap layar tablet, sibuk mencatat setiap penjelasan yang disampaikan oleh Dokter Naufal. Dan tiba-tiba— “Binar.” Suara itu terdengar tepat di sampingku. Aku hampir menjatuhkan pena. Oh, tidak. Kenapa dia di sini?! Pelan-pelan aku mendongak. Matanya—bening, teduh, tapi tajam—menatap langsung ke arahku. “Iya, Dok,” jawabku cepat, berusaha terdengar tenang padahal jantungku berdebar kayak drum marching band. “Menurut kamu,” katanya lagi, mencondongkan tubuh sedikit ke arahku, “kalau pasien pasca operasi bypass menunjukkan gejala hipotensi mendadak, apa langkah awal yang sebaiknya dilakukan?” Oke, ini harusnya pertanyaan gampang. Tapi otakku… kenapa tiba-tiba blank? Aku menela

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Serius, Bee?

    Aku duduk dibalik kemudi, menatap pintu utama rumah sakit Arfamed dari balik kaca mobil yang mulai berembun. Tangan kiriku mengetuk-ngetuk setir, sementara tangan kanan sibuk menggulir chat yang masih berhenti di pesan terakhirku—yang belum dibalas sejak kemarin malam. Hebat sih, Om Kais. Sibuk banget sampai lupa kalau ada seseorang yang menunggu tanpa janji. Aku menarik napas panjang, lalu menatap bayanganku sendiri di kaca spion. “Bee, sampai kapan sih kita mau nunggu Om Kais? Udah hampir dua jam, dan belum ada tanda-tanda dia muncul,” gerutu Safa sambil membuka bungkus permen ketiganya—tanda kalau tingkat bosannya sudah mencapai level darurat. Aku melirik sekilas. “Sabar, Sa. Feeling-ku kuat banget, hari ini dia pasti ngantor di sini.” “Feeling kamu tuh udah kayak Go0gle Maps error, Bee,” balasnya datar. “Mending kita langsung masuk aja, cari Om Kais di ruang kerjanya.” “Nggak bisa, Sa. Aku masih dalam pantauan Mas Pandu, tahu,” ujarku pelan. “Kalau dia sampai tahu aku masih

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Cemburu Membabi Buta

    “Siapa tuh?” gumamku pelan sambil mencondongkan tubuh dari balkon kamar. Dari sini, aku bisa melihat Om Kais berdiri di samping seorang wanita cantik—seksi, rapi, dan kelihatan pintar banget. Mereka hendak pamit pulang, tapi masih asyik berbincang dengan Papa dan Mas Pandu di halaman depan. “Ya ampun, jangan bilang itu—” aku berhenti, menelan ludah. “—calon?” Aku makin mendekat ke pagar balkon. Angin sore membawa samar-samar suara tawa mereka. Tawa Om Kais. Dan tawa si wanita itu, lembut banget, bikin telingaku gatal. “Hmm, jadi gitu ya, Om? Belum juga terima lamaranku, udah pamer calon lain?” gerutuku pelan sambil manyun. Aku menatap punggung mereka yang kini mulai berjalan ke arah mobil. Si wanita itu ijin untuk masuk mobil, dan Om Kais membalas dengan senyum tipis—senyum yang harusnya jadi hak eksklusif ku nanti kalau semesta sedikit lebih adil. Saat mobil perlahan menjauh, aku masih berdiri di balkon dengan tangan terlipat di dada. “Baiklah, Om Kais,” bisikku pelan, penuh

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Si Paling Heboh

    Begitu mobil berhenti di depan rumah, aku langsung turun tanpa menunggu Pak Yoto matiin mesin. Aku udah capek, haus, dan masih kesal karena drama motor mogok plus ‘kejutan tikus’ sore ini. Tapi semua itu belum seberapa dibanding kejadian begitu aku membuka pintu rumah. Rumah sepi. Nggak ada suara Mama yang biasanya ngoceh dari dapur. Aku berjalan ke ruang tengah, hanya ada Papa lagi duduk santai di sofa sambil memegang tablet, dan Mas Pandu di sebelahnya, fokus nonton berita di TV. “Assalamualaikum,” sapaku sambil menaruh tas di meja. “Waalaikumsalam,” jawab Papa sembari tersenyum ke arahku. Mas Pandu mengangkat dagu sedikit, tanda respon malas khasnya. Aku memicing. “Mama mana?” “Pergi,” jawab Mas Pandu santai. “Pergi ke mana?” “Jogja,” sela Papa. Aku langsung berdiri tegak. “Jogja?! Sejak kapan Mama ke Jogja?” “Pagi tadi,” jawab Papa tenang banget, bikin aku makin pengen teriak. “Lho, kok nggak bilang sama aku?!” Papa akhirnya mematikan tabletnya. “Katanya cuma sebentar,

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Binar dengan Segala Riwehnya

    Langit sore sudah mulai berubah warna waktu aku meninggalkan kampus. Safa udah duluan pulang bareng pacarnya, sedangkan aku harus mampir ke toko alat tulis buat beli refill pena dan sticky note warna pastel—peralatan tempur wajib menjelang minggu ujian. Begitu keluar dari toko, aku membuka ponsel dan langsung melihat notifikasi pesan dari Papa. 📩Papa: “Adek pulang jam berapa?” 📤Aku: “Baru mau pulang, Pa. Lagi di parkiran, tapi aku curiga motorku mulai minta perhatian khusus.” 📩Papa: “Maksudnya?” 📤Aku: “Maksudnya... mesinnya bunyi kayak batuk asma. 📩Papa: “Jangan bercanda, Dek. Coba nyalain dulu pelan-pelan, jangan dipaksa.” 📤Aku: “Udah aku elus-elus dulu kok sebelum dinyalain 😌.” Aku terkikik sendiri membaca balasanku. Papa pasti lagi geleng-geleng kepala di rumah. Motor tua kesayanganku itu, “Bumblebee”—karena warnanya kuning belang hitam—sudah aku anggal seperti anak sendiri. Aku memasukkan kunci, memutar, dan— Krek… krkkk… plek! Suara yang keluar lebih

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Undangan Takdir

    Suasana perpustakaan fakultas kedokteran sore ini lumayan sepi. Hanya ada suara dari lembaran buku yang dibalik, sesekali bunyi langkah sepatu dari mahasiswa yang lewat di lorong, dan denging AC yang samar. Aku duduk di pojok, meja nomor tiga dekat jendela yang menghadap taman belakang.Laptop terbuka, buku anatomi manusia terbentang, highlighter warna-warni berserakan seperti pasukan kecil yang siap perang. Aku lagi serius banget ngetik catatan review ujian minggu depan, sampai tiba-tiba—pluk!—sebuah amplop berwarna krem mendarat tepat di atas keyboard-ku.Aku mendongak.“Hadiah apa lagi nih, Sa?”Sahabatku, Safa Adinaya, berdiri di depanku dengan senyum khasnya yang terlalu lebar. Rambutnya dikuncir asal, tapi tetap aja kelihatan kayak bintang iklan vitamin rambut.“Bukan hadiah,” katanya sambil duduk di kursi sebelahku, membuka buku catatan yang jelas-jelas cuma kamuflase biar dia nggak diusir pustakawan. “Undangan.”“Undangan apa?” tanyaku curiga.“Pernikahan.”“Pernikahan siapa?”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status