LOGINAku duduk dibalik kemudi, menatap pintu utama rumah sakit Arfamed dari balik kaca mobil yang mulai berembun. Tangan kiriku mengetuk-ngetuk setir, sementara tangan kanan sibuk menggulir chat yang masih berhenti di pesan terakhirku—yang belum dibalas sejak kemarin malam.
Hebat sih, Om Kais. Sibuk banget sampai lupa kalau ada seseorang yang menunggu tanpa janji. Aku menarik napas panjang, lalu menatap bayanganku sendiri di kaca spion. “Bee, sampai kapan sih kita mau nunggu Om Kais? Udah hampir dua jam, dan belum ada tanda-tanda dia muncul,” gerutu Safa sambil membuka bungkus permen ketiganya—tanda kalau tingkat bosannya sudah mencapai level darurat. Aku melirik sekilas. “Sabar, Sa. Feeling-ku kuat banget, hari ini dia pasti ngantor di sini.” “Feeling kamu tuh udah kayak Go0gle Maps error, Bee,” balasnya datar. “Mending kita langsung masuk aja, cari Om Kais di ruang kerjanya.” “Nggak bisa, Sa. Aku masih dalam pantauan Mas Pandu, tahu,” ujarku pelan. “Kalau dia sampai tahu aku masih ngintilin Om Kais begini, bisa-bisa aku dikurung di rumah seminggu penuh. Harus jaga sikap, biar kelihatan udah move on dan hidup damai tanpa ‘Om tamvan’ itu.” Safa menoleh dengan tatapan geli, sudut bibirnya terangkat nakal. “Hmm, pantesan kamu rela menunggu di mobil tanpa kepastian. Tapi ngomong-ngomong, pantauan Mas Pandu, ya? Wah, kalau aku sih rela banget dipantau dokter seganteng dia tiap hari.” Aku mencubit lengan Safa tanpa ampun. “Dasar penggemar Mas Pandu garis keras!” “Ih, posesif banget sih, Bee. Aku cuma nge-fans, bukan mau rebut Mas Pandu,” jawabnya sambil mengelus lengannya yang baru saja kucubit. “Bagus kalau cuma nge-fans. Soalnya kalau tahu kelakuannya di rumah, kamu pasti langsung mundur teratur. Lagi pula, mas pacar mau dikemanakan?” balasku. Sekitar lima menit kemudian—tepat di saat mataku mulai terasa berat dan kepala nyaris menunduk karena ngantuk—tiba-tiba Safa menjerit kencang. “BEE!!!” Aku hampir saja memukul klakson saking kagetnya. “Astaga, Sa! Mau bikin jantungku copot, hah?!” Belum sempat aku lanjut ngomel, Safa sudah mencondongkan tubuhnya ke kaca depan, matanya membulat lebar. “Lihat tuh! Lihat!” ujarnya heboh sambil menunjuk ke arah pintu utama rumah sakit. Refleks, aku mengikuti arah telunjuknya. Dan di sanalah dia—pria berjas biru tua itu, berjalan santai sambil menatap layar ponselnya. Rahangnya tegas, langkahnya lebar, perpaduan yang terlalu sempurna untuk ukuran manusia biasa. “Om Kais,” gumamku pelan, nyaris seperti bisikan yang hanya bisa kudengar sendiri. “Buruan turun, Bee! Jangan sampai target lepas!” titah Safa setengah berteriak seperti agen rahasia gagal menahan euforia. “Eh, gak bisa dong,” sahutku cepat. Safa menatapku tak percaya, keningnya berkerut. “Jangan ngadi-ngadi ya, Bee. Aku udah relain waktu berhargaku buat nemenin kamu nungguin Om Kais. Masa pas orangnya nongol malah diem di mobil?” Aku mengangkat tangan, memberi tanda supaya dia tenang. “Maksudku bukan gak turun, Sa. Tapi aku mau nunggu sampai dia sampai mobilnya.” “Emangnya kamu tahu Om Kais parkir di mana?” Aku menyeringai kecil dan menunjuk ke arah kanan. “Tuh. Mobil hitam di sebelah sana. Platnya aja aku udah hafal luar kepala.” Safa memutar bola matanya, tapi detik berikutnya dia mengacungkan dua jempol ke arahku sambil terkekeh kagum. “Binar selalu luar biasa,” katanya. Aku menyandarkan punggung ke jok, senyum tipis terlukis di bibirku. “Tentu saja. Semua demi kelancaran misi pengejaran cinta Om Kais.” Kami pun terdiam, menatap dari balik kaca depan mobil seperti dua mata-mata amatir yang terlalu bersemangat. Pandanganku terpaku pada sosok Om Kais yang kini semakin dekat dengan mobilnya. Tapi belum sempat tanganku menyentuh gagang pintu, seseorang memanggilnya dari arah belakang. Suara itu lembut, tapi cukup nyaring untuk membuat langkah Om Kais terhenti. Aku menegang di tempat, mataku langsung mencari sumber suara itu—dan saat menemukannya, napasku seketika tertahan. Seorang wanita melangkah mendekat. Rambutnya hitam bergelombang, kulitnya terang, dan posturnya proporsional banget. Meski aku hanya melihat wajahnya dari samping, aku yakin tidak salah mengenali sosok itu. Wanita yang sama seperti yang kulihat semalam—yang dirangkul oleh Om Kais dan diajak naik ke unit apartemennya. “Cantik ya,” komentar Safa pelan tanpa menoleh, matanya masih menatap ke arah mereka. “Iya,” jawabku lirih, mataku tak lepas dari pemandangan di depan sana. “Bodinya juga… aduhai.” Safa terkekeh pelan. “Tapi kalau soal wajah, aku tetap tim kamu. Jauh lebih cantik kamu, Bee.” Aku menoleh ke arahnya dengan alis terangkat. “Yakin, Sa?” Dia menatapku dengan ekspresi seolah aku baru saja menanyakan hal paling konyol di dunia. “Seyakin-yakinnya. Cuma… kamu kalah jam terbang sama dia. Kalau yang itu auranya udah kayak CEO majalah mode.” “Baguslah kalau gitu. Berarti aku cuma perlu latihan dikit buat nyamain auranya.” Safa menahan tawa. “Latihan gimana? Jalan pakai heels lima belas senti sambil bawa map medis biar matching sama rumah sakitnya?” Aku meliriknya sinis, tapi ujung bibirku tak bisa menahan senyum. “Boleh juga idenya. Tapi mungkin aku bakal mulai dari belajar cara senyum elegan dulu.” Om Kais tampak masih berbincang dengan wanita itu. Mereka tertawa—ya Tuhan, tawa yang bahkan dari jarak sejauh ini masih bisa bikin ulu hatiku nyesek. Tapi beberapa detik kemudian, pria itu tampak menoleh sekilas ke arah mobilku. Aku langsung menegakkan badan, menunduk panik. “Sa, Sa! Om Kais liat ke sini! Astaga, gimana kalau dia sadar ini mobilku?!” “Aduh, kenapa juga kita nggak bawa topi atau masker?!” Aku melirik dari celah kecil antara dashboard dan kemudi. Dan benar saja—Om Kais dan wanita itu kini berjalan ke arah kami. “Bee, mereka ke sini!” desis Safa panik. “Tenang, Sa! Senyum yang lebar.” “Bee, gimana mau senyum kalau aku deg-degan parah gini?!” Aku belum sempat membalas karena detik berikutnya—tok tok tok—suara ketukan terdengar dari kaca jendela mobil. Aku menoleh perlahan, dan di sanalah dia. Om Kais berdiri di sisi mobilku, tangan satu dimasukkan ke saku celana, sementara tangan lainnya masih menempel di kaca. Wajahnya datar tapi tatapannya tajam, seperti baru saja menangkap basah dua mata-mata yang ketahuan mengintai. “Binar.” Suaranya dalam, tenang, tapi entah kenapa bikin aku merinding sampai ke tulang. Aku berusaha tersenyum kikuk, menurunkan kaca jendela sedikit. “Oh, Om Kais. Hehe… kebetulan banget ya kita ketemu di sini.” Safa, tanpa rasa malu, langsung menyikutku pelan. “Kebetulan apanya, Bee. Kita udah disini dari dua jam lalu,” bisiknya pelan tapi masih cukup keras untuk terdengar. Tatapan Om Kais langsung berpindah ke Safa, lalu kembali padaku. “Dua jam, ya?” tanyanya datar. Aku cepat-cepat mengibaskan tangan. “Enggak, Om! Maksudnya… eee… dua jam tadi itu kita sempat mampir makan siang. Terus, kebetulan saja lewat sini.” “Lewat sini, parkir, dan diam di sini dua jam?” ulangnya dengan nada tenang tapi menusuk. Aku terdiam. Bibirku bergerak tanpa suara. Game over. Om Kais menunduk sedikit, menatap ke dalam mobil. “Dan kamu masih nekat melakukan hal seperti ini, setelah janji sama Dokter Pandu buat nggak ngelakuin sesuatu yang konyol?” Jantungku langsung terjun bebas ke dasar bumi. Aku menatap Safa dengan tatapan “Tolong selamatkan aku”, tapi dia malah pura-pura sibuk dengan ponselnya. “Om, jangan bilang sama Mas Pandu ya. Anggap saja hari ini kita gak ketemu,” ujarku dengan suara sekecil semut. Om Kais menatapku beberapa detik tanpa bicara, lalu menarik napas panjang. “Lain kali, kalau mau ‘lewat’, jangan mampir lalu parkir,” katanya kalem. Aku dan Safa langsung saling pandang. Ya ampun. Om Kais lagi mode garang. Wanita yang berdiri di sisi Om Kais itu ikut menundukkan kepala, senyum ramah tersungging di bibirnya. Suaranya lembut, tapi terdengar jelas di antara detak jantungku yang masih berdebar tak karuan. “Hai, Binar.” Aku langsung mengangkat wajah, menatapnya dengan dahi berkerut. Hah? Dia tahu namaku? Safa yang duduk di sebelahku menoleh cepat, matanya bergantian melirikku dan wanita itu. “Kamu kenal dia, Bee?” bisiknya pelan, penuh rasa ingin tahu. Aku masih belum menjawab. Otakku bekerja keras menyusun potongan memori—dan ketika wajah itu kulihat lebih jelas, aku langsung membeku di tempat. Ya Tuhan. Dia bukan sekadar wanita cantik misterius yang kulihat semalam dirangkul Om Kais. Dia… Aluna. Aluna Sekar Jiwani. Aku menelan ludah, mencoba menstabilkan napas. “K-Kak Luna?” ucapku dengan nada nyaris tak percaya. Wanita itu—yang ternyata memang Kak Luna—tersenyum hangat. “Akhirnya kamu ingat juga.” Tatapannya lembut saat berkata, “Terakhir kita ketemu kamu masih kecil, sekarang kamu sudah jadi gadis cantik, Binar.” Om Kais menatap jam tangannya sekilas, lalu menghembuskan nafas pelan. “Binar,” panggilnya tenang, tapi tetap dengan nada yang membuatku menegakkan badan. “Sebaiknya kamu segera balik ke kampus. Masih ada kuliah terakhir kan sore ini?” Aku mengerjap cepat, menatapnya bingung. “E-eh… iya, Om. Tapi—” “Nah, sebelum terlambat, pergi sekarang,” potongnya tegas. “Dan jangan lagi nongkrong di parkiran rumah sakit cuma buat ‘lewat’.” Aku hanya bisa mengangguk pasrah, sementara Safa di sebelahku nyaris menahan tawa dengan menutup mulutnya. Om Kais kemudian menoleh ke wanita di sampingnya. “Ayo, Lun. Kita harus ke panti sebelum sore.” Kalimat itu langsung menusuk halus ke ulu hatiku. Jadi mereka berdua mau ke panti asuhan—panti milik keluarga Om Kais. Aku menatap dari balik kaca, menyaksikan keduanya berjalan berdampingan. Kak Luna sempat menoleh dan melambaikan tangan ke arahku sebelum akhirnya mereka menghilang dibalik deretan mobil. “Kita juga pergi, Sa,” ujarku singkat. Safa tidak menjawab, hanya memperhatikan wajahku dari samping. Kami melaju keluar dari area parkir dalam diam. Baru setelah beberapa menit, saat suasana di dalam mobil benar-benar hening, Safa akhirnya bersuara pelan. “Bee, sebenarnya siapa sih Kak Luna itu?” “Kak Luna itu anak dari sahabat Papa. Orang tua kami sudah bersahabat sejak SMA, jadi kami lumayan dekat saat kecil.” “Terus… kok bisa dia akrab banget sama Om Kais?” “Karena mereka masih ada hubungan saudara, Sa. Kalau gak salah, neneknya Kak Luna itu adiknya nenek Om Kais.” “Hmm…” Safa menatap ke luar jendela, lalu kembali menatapku dengan ekspresi penuh curiga. “Tapi aku gak yakin deh kalau hubungan mereka cuma sebatas saudara.” “Maksud kamu?” “Ya, kamu gak lihat tadi? Cara Kak Luna mandang Om Kais tuh kayak—ya ampun—kayak di film-film romansa. Aku aja yang bukan siapa-siapa bisa ngerasain chemistry-nya.” Aku menghela napas, menatap jalanan lurus di depan. “Kamu kebanyakan nonton drama, Sa. Kak Luna gak mungkin suka sama Om Kais.” Safa menaikkan sebelah alis. “Kok bisa yakin gitu?” “Karena Kak Luna sudah dijodohkan oleh keluarganya,” jawabku santai, meski bagian dalam dadaku terasa agak aneh saat mengucapkannya. Safa langsung menatapku lekat. “Serius, Binar? Kamu gak cemburu?” Aku menoleh sebentar, tersenyum tipis. “Enggak, Sa. Aku percaya Kak Luna gak suka sama Om Kais.”Setelah membeli peralatan dapur, Mama Maya mengajakku ke butik langganannya yang berada di lantai tiga mall ini. Begitu masuk, suasananya langsung terasa mewah—lampu kristal besar menggantung di plafon, dress-dress bermerek terpajang rapi di rak, dan sebuah sofa velvet disediakan sebagai tempat duduk, lengkap dengan meja kaca berisi air mineral premium.Aku berdiri di depan cermin besar, memegang sebuah dress biru navy dengan detail sederhana di bagian pinggang. Mama Maya duduk di sofa, menatapku dengan senyum hangat."Mama, yang ini bagus nggak?" Aku berputar, memamerkan dress yang kutempelkan di depan tubuh."Bagus, Nak. Tapi coba yang warna emerald di sebelah kiri. Warnanya lebih cocok sama kulit kamu." Mama Maya menunjuk dress lain."Oh iya!" Aku berlari kecil—lebih tepatnya melompat-lompat—mengambil dress emerald itu. "Wah! Ini cantik banget, Ma! Tapi kayaknya mahal deh.""Nggak apa-apa. Mama yang bayar kok. Ini kan buat acara ulang tahun rumah sakit. Kamu harus tampil cantik. Na
Sinar matahari pagi menembus celah tirai, menciptakan garis-garis cahaya keemasan di lantai kamar. Jam di meja nakas menunjukkan pukul 09.15.Aku masih meringkuk di bawah selimut tebal, rambut berantakan menutupi sebagian wajah. Laptop masih terbuka di meja belajar—menjadi saksi bisu perjuanganku menyelesaikan revisi skripsi hingga pukul tiga dini hari.Om Kais baru saja selesai mandi. Rambutnya masih basah, kaos dan celana training hitam melekat di tubuhnya. Dia keluar dari kamar, mengambil pakaian yang baru diantar ibu laundry kemarin.Pakaian-pakaian itu dibawanya ke ruang walk-in closet, lalu disusunnya rapi di dalam lemari berdasarkan kategori—mulai dari kaos, celana, handuk, hingga pakaian dalamku.Setelah selesai, dia mengambil vacuum cleaner. Mulai menyedot debu di ruang tamu, ruang kerja, kamar tidur.Jam sepuluh tepat, aku mendengar langkah kaki Om Kais menuju dapur. Suara pintu kulkas terbuka, disusul bunyi peralatan masak yang saling beradu. Aku tidak perlu melihat untuk t
Mobil berhenti di basement apartemen mewah di kawasan Solobaru. Om Kais turun terlebih dahulu, membukakan pintu untukku."Ah, akhirnya sampai juga." Aku turun dari mobil, menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi."Welcome home, Sayang." Om Kais merangkul pinggangku, mengecup keningku sekilas."Home—" Aku mengulang kata itu. Terasa aneh tapi juga hangat. Ini rumahku sekarang. Rumah kami.Kami naik lift ke lantai 25. Unit kami berada di sudut dengan pemandangan kota Solo yang luas. Begitu pintu terbuka, aku disambut ruang tamu yang luas dengan jendela besar dari lantai hingga plafon."Wow, desain Mas Rayyan bagus banget." Aku melangkah masuk, menatap sekeliling. Desain minimalis modern dengan dominasi warna putih, abu-abu, dan aksen kayu. Bersih, rapi dan dingin banget."Aku yang mengawasi sendiri saat renovasi. Biar sesuai kenginanmu, Sayang." Om Kais meletakkan koper-koper di samping sofa."Maacih, Bunny." Aku tersenyum. "Bakal betah aku tinggal di sini.”Om Kais memelukku dari
Restoran vila sudah dipenuhi keluarga besar kami yang bersiap sarapan sebelum kembali ke Solo. Para orang tua duduk bersama di satu meja panjang di bagian tengah, bercakap santai sambil menikmati pagi. Sementara meja anak muda sedikit terpisah, suasananya lebih ringan dan penuh tawa.Semua meja dipenuhi hidangan sarapan western—scrambled egg, sosis ayam panggang, mushroom saute, baked beans, pancake dengan sirup maple, aneka pastry, serta roti gandum hangat dengan mentega dan selai. Di tengah meja berjajar jus jeruk, kopi hitam, dan teh hangat yang masih mengepul.Pintu restoran terbuka. Om Kais masuk terlebih dahulu, lalu menoleh ke belakang."Sayang, pelan-pelan—"Aku melangkah masuk. Tapi langkahku aneh. Seperti robot yang kakinya kaku. Setiap melangkah, aku sedikit meringis."Aduh..."Mama langsung menoleh. "Dek? Kamu kenapa jalannya kayak gitu?""Nggak apa-apa kok, Ma. Cuma pegal aja kakiku." Aku berusaha tersenyum, melangkah pelan menuju meja.Tapi Safa—yang duduk di samping Mba
Azan subuh berkumandang dari masjid di kejauhan. Suaranya samar, terbawa angin pagi yang dingin. Langit di luar jendela mulai berubah warna—dari hitam pekat menjadi biru gelap, lalu perlahan menyingsing jingga tipis di ufuk timur.Aku dan Om Kais baru saja selesai sholat. Sajadah masih terbentang di sudut kamar. Tasbih masih tergenggam di tanganku."Allahumma anta as-salaam wa minka as-salaam, tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam.” Om Kais mengakhiri doanya dengan lirih, lalu mengusap wajah.Aku juga selesai. Mengusap wajah, merasakan ketenangan yang selalu datang setelah sholat subuh. Ada yang berbeda pagi ini. Aku tidak sholat sendirian. Ada Om Kais di sampingku. Suamiku.Om Kais melipat sajadahnya, aku melipat punyaku. Kami berdiri hampir bersamaan."Sayang, kamu mau tidur lagi?" tanya Om Kais sambil meletakkan sajadah ke dalam lemari."Nggak tau. Rasanya masih ngantuk, tapi... juga nggak pengen tidur." Aku berjalan ke arah ranjang, duduk di tepinya. Mukena masih menyelimuti tub
Kamar pengantin telah didekorasi dengan nuansa romantis. Kelopak mawar merah tersebar di lantai hingga ke atas ranjang, sementara lilin-lilin aromaterapi menyala di sudut ruangan, menyebarkan aroma lavender yang menenangkan. Lampu-lampu kecil berbentuk bintang menghiasi dinding, menambah kesan hangat dan intim.Tapi suasana romantis itu tidak berlangsung lama."Bunny!" Aku berdiri di tengah kamar dengan wajah panik, memegang gaun yang mengembang kemana-mana. "Aku kebelet pipis!"Om Kais baru saja melepas jas putihnya, masih mengenakan kemeja dan celana formal. Dia menoleh dengan alis terangkat. "Sekarang?""Iya sekarang! Dari tadi sebenernya udah nahan, tapi tadi kan lagi foto-foto terus—" Aku melompat-lompat kecil, menahan hasrat untuk berlari ke kamar mandi. "Bunny, tolongin aku lepas gaun ini!"“Iya, Sayang.” Om Kais langsung mendekatiku. “Resletingnya ada di sebelah mana?”"Ini resletingnya di belakang! Dan ada kancing-kancingnya juga! Banyak banget!" Aku berputar-putar, berusaha







