Home / Romansa / Hai Om, Aku Calon Istrimu! / Dih, Sok Jual Mahal!

Share

Dih, Sok Jual Mahal!

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-10-23 17:20:19

Suara langkah terdengar lagi—pelan, tapi entah kenapa tiap kali dokter Naufal melangkah mendekat, seluruh ruangan langsung jadi hening. Seolah semua mahasiswa sepakat menahan napas bersamaan. Termasuk aku.

Oke, Binar, tenang. Kamu sudah belajar dan menguasai materi hari ini. Jadi nggak perlu takut!

Aku menatap layar tablet, sibuk mencatat setiap penjelasan yang disampaikan oleh Dokter Naufal.

Dan tiba-tiba—

“Binar.”

Suara itu terdengar tepat di sampingku.

Aku hampir menjatuhkan pena. Oh, tidak. Kenapa dia di sini?!

Pelan-pelan aku mendongak. Matanya—bening, teduh, tapi tajam—menatap langsung ke arahku.

“Iya, Dok,” jawabku cepat, berusaha terdengar tenang padahal jantungku berdebar kayak drum marching band.

“Menurut kamu,” katanya lagi, mencondongkan tubuh sedikit ke arahku, “kalau pasien pasca operasi bypass menunjukkan gejala hipotensi mendadak, apa langkah awal yang sebaiknya dilakukan?”

Oke, ini harusnya pertanyaan gampang. Tapi otakku… kenapa tiba-tiba blank?

Aku menelan ludah, mencoba menata kalimat. “Cek tekanan darah berkala dan pastikan cairan intravena berjalan normal, Dok.”

Dia tersenyum tipis. “Good. Tapi jangan lupa juga periksa kemungkinan perdarahan internal, ya.”

Suaranya lembut, tapi tatapannya menusuk. Dan jujur saja, suhu tubuhku naik dua derajat saat itu juga.

Begitu dia menjauh, aku langsung menghela napas panjang.

Astaga, Binar. Kamu hampir kehilangan kemampuan bicara cuma gara-gara tatapan dokter satu itu.

Dari ujung kelas, Alya—temanku sekaligus calon pengantin pria paling mematikan di ruangan ini—melirik ke arahku. Senyumannya kali ini berbeda. Bukan senyum ramah seperti biasanya, tapi senyum dingin yang membuat tengkukku merinding.

“Bee,” bisik Safa. “Dokter Naufal kelihatannya suka banget ngajak kamu diskusi, ya?”

“Aku juga ngerasa aneh, Sa. Dari tadi kok rasanya dia sengaja banget jalan ke arahku, padahal yang lain juga angkat tangan waktu dia nanya.”

Safa menaikkan alis, lalu menyenggol lenganku pelan. “Mungkin dia tertarik sama cara kamu jawab, kali.”

“Atau mungkin karena aku duduk di baris tengah, posisi paling strategis buat dilihat,” tambahku.

Tapi begitu aku melirik ke arah depan, Alya masih menatap tajam ke arahku. Ada sesuatu di matanya—bukan marah, tapi jelas bukan ramah juga.

Aduh, jangan bilang aku baru saja memicu kecemburuan calon pengantin.

“Kayaknya habis kelas terakhir aku bakal dapat masalah,” bisikku ke Safa.

“Masalah apa, Bee?”

“Alya cemburu,” jawabku.

Safa menahan tawa, tapi matanya ikut melirik ke arah Alya. “Uh-oh… kayaknya memang ada yang cemburu.”

Aku menarik napas dalam. “Ya Tuhan, padahal aku cuma jawab pertanyaan dari dosen, bukan sengaja cari masalah.”

Tapi sejujurnya—kalau boleh jujur banget—aku merasa ada yang aneh dari tatapan Dokter Naufal tadi.

Dan entah kenapa, justru itu yang paling membuatku penasaran.

Begitu kelas berakhir, aku dan Safa sepakat untuk tidak langsung pulang. Suasana kelas yang masih menyisakan hawa tegang karena ‘adegan tatap-tatapan’ tadi membuatku butuh waktu untuk menenangkan diri.

“Ke perpustakaan, yuk. Aku mau cari referensi buat tugas presentasi,” ajakku sambil membereskan tablet dan catatanku.

Safa mengangguk cepat. “Yuk, aku juga mau balikin buku farmakologi yang aku pinjam minggu lalu.”

Kami berjalan keluar ruang kuliah bersamaan dengan rombongan mahasiswa lain. Dari kejauhan, aku sempat melihat Alya berdiri di depan pintu bersama dokter Naufal. Mereka tampak berbicara sebentar sebelum akhirnya pergi bersama.

Aku menghela napas lega. “Untung mereka duluan,” gumamku pelan.

“Aku pikir akan ada adegan jambak-jambakan begitu kelas selesai,” kata Safa dengan senyum jahil.

Begitu sampai di perpustakaan, aku segera menuju rak bagian kedokteran internal, mencari buku referensi tentang komplikasi pasca operasi jantung. Setelah beberapa menit, aku menemukan buku tebal berwarna biru dengan sampul agak lusuh—Clinical Cardiology Review.

“Finally,” gumamku lega sambil menepuk pelan sampulnya.

Aku melangkah ke meja baca favoritku di pojok ruangan—tempat yang menghadap langsung ke jendela dengan cahaya matahari sore yang menembus tirai. Di sinilah biasanya aku bisa berpikir jernih, menulis, atau sekadar melupakan kekacauan hidup sementara waktu.

Safa masih sibuk berkeliling di antara rak, mencari buku yang dia butuhkan. Dari jauh, aku melihat kepalanya yang sesekali muncul di antara deretan buku, diiringi gumaman kecil karena rak bagian ‘farmasi klinik’ jauh lebih tinggi darinya.

“Binar.”

Suara itu membuatku refleks mendongak. Tadinya aku pikir itu Safa yang akhirnya selesai berburu buku, tapi begitu mataku fokus… oh, sial.

Alya.

Dia berdiri di depan mejaku dengan ekspresi yang sulit kutebak. Senyumnya tipis, tapi matanya jelas tidak tersenyum. Aura dingin yang tadi sempat kurasakan di kelas kini terasa lebih kuat—dan lebih nyata.

Aku buru-buru menutup buku di depanku, mencoba tersenyum. “Eh, Alya. Kamu belum pulang?” tanyaku, berusaha terdengar santai.

Dia menarik kursi di hadapanku tanpa izin dan duduk. “Belum,” jawabnya datar. “Aku kebetulan lihat kamu disini.”

Kebetulan? Ya, tentu saja. Kebetulan banget, sampai tahu aku duduk di pojok sini.

Aku mengangguk pelan. “Oh. Safa juga lagi cari buku, makanya sekalian nemenin.”

Alya menyandarkan siku di meja, dagunya bertumpu di tangan. Tatapannya tak lepas dari wajahku. “Kamu kelihatan dekat banget sama Mas Naufal di kelas tadi.”

Nah, ini dia. Pertanyaan yang kutakutkan akhirnya muncul.

Aku tertawa, berusaha menurunkan ketegangan. “Dekat gimana maksudmu, Al? Aku cuma jawab pertanyaan. Lagian, bukan cuma aku yang ditanya?”

“Tapi yang paling banyak dapat pertanyaan cuma kamu,” balasnya cepat.

Aku menelan ludah. Oke, ini mulai tidak nyaman. “Aku juga gak tahu kenapa. Mungkin karena aku duduk di tengah?”

Alya terdiam beberapa detik. Pandangannya bergerak turun ke arah buku di depanku—Clinical Cardiology Review—sebelum kembali menatapku lagi. “Aku tahu kamu mahasiswi paling pintar, Binar. Tapi jangan terlalu mencolok, ya. Kadang ada hal-hal yang lebih baik kalau kita tahu tempatnya.”

Nada suaranya lembut, tapi setiap katanya terasa seperti peringatan halus yang dibungkus senyum manis.

Aku mengerjap, berusaha mencerna maksud di balik kalimat itu. “Aku gak bermaksud apa-apa, Al. Sumpah. Aku cuma fokus belajar.”

Dia tersenyum—akhirnya, tapi senyuman itu justru bikin jantungku makin tidak tenang. “Bagus kalau begitu. Aku cuma gak mau ada kesalahpahaman.”

Sebelum aku sempat membalas, Alya berdiri. “Oh iya, salam ya buat Safa,” ujarnya ringan sebelum melangkah pergi, meninggalkanku yang masih terpaku di tempat.

Aku memandangi punggungnya yang menjauh, lalu menghela napas panjang.

Safa datang beberapa menit kemudian dengan ekspresi yang menunjukkan kalau dia sedang kesal. Begitu duduk di depanku, dia langsung mendengkus keras sambil meletakkan dua buku tebal di meja.

“Maksudnya apa tadi?” omelnya tanpa basa-basi.

Aku mengerjap. “Kamu nguping, ya?”

“Ya iyalah! Kamu kira rak buku itu kedap suara?” balasnya cepat, masih dengan wajah kesal. “Alya tadi ngomong kayak mau ngasih ancaman halus. Aku hampir labrak dia, sumpah!”

Aku tersenyum sambil menutup kembali buku yang tadi sempat kubuka. “Alya hanya mengingatkan, Sa.”

“Mengingatkan apaan? Seolah-olah kamu berniat merebut calon suami orang aja.” Safa melipat tangan di dada, suaranya naik satu oktaf. “Harusnya tadi kamu bilang aja kalau kamu gak tertarik sama dokter Naufal!”

Aku mendesah, menatap sahabatku yang mulai terbawa emosi. “Buat apa sih, Sa? Malah bikin suasana makin kacau nanti. Aku gak mau masalah kecil jadi drama besar.”

Safa memutar bola matanya. “Ya sekalian aja bilang kalau kamu sukanya sama yang lebih matang, biar jelas.”

Aku menatapnya geli. “Belum tentu juga yang matang itu bakal jadi jodohku, Safa. Siapa tahu malah dapat brondong, hehe.”

Safa menatapku tak percaya. “Lah, memangnya kamu mau?”

“Ya kalau udah jodohnya, mana bisa nolak, Sa?”

Baru saja Safa hendak membalas, terdengar deheman cukup keras dari arah belakang kami.

Aku dan Safa sontak menoleh bersamaan ke arah sumber suara.

Dan begitu melihat siapa yang berdiri di sana, mataku langsung membulat.

“Om Kais,” panggilku pelan.

Om Kais langsung meletakkan buku yang dibawanya ke meja kami dengan suara ‘thump’ pelan. Tatapannya tajam, tapi nada suaranya tetap datar dan tenang.

“Kalau di perpustakaan, jangan berisik,” ucapnya singkat.

Tanpa menunggu jawaban, dia langsung berbalik dan pergi begitu saja.

Aku masih melongo, menatap punggungnya yang menjauh. “Eh, dia baru aja ngomel ke aku?” gumamku tak percaya.

Safa sudah menatapku seperti habis melihat plot twist drama China. “Kamu lihat wajah Om Kais tadi, Bee?”

“Lihat, dan seperti biasa—datar tanpa ekspresi,” jawabku santai, menutup buku di depanku.

“Ye, kamu gak perhatiin, deh! Om Kais kelihatan cemburu,” kata Safa cepat, nada suaranya meninggi setengah bisikan.

Aku langsung menoleh. “Cemburu? Gak mungkinlah, Sa!”

“Kenapa gak mungkin? Aku lihat sendiri tadi gimana dia memandang kamu. Mukanya tuh kayak nahan sesuatu!”

Aku mengerucutkan bibir, mencoba menutupi panas di pipiku yang tiba-tiba muncul. “Kamu salah lihat. Gak ada alasan buat Om Kais cemburu.”

Safa melipat tangan di dada, menatapku penuh curiga. “Lagian, ngapain juga dia tiba-tiba nongol di sini? Bukannya tadi mau ke panti asuhan sama Mbak Luna?”

Aku mengerutkan kening. “Nah, itu juga yang aku heran. Kok bisa tiba-tiba nongol di perpustakaan kampus?”

"Pasti pengen ketemu sama kamu," jawabnya.

"Masa sih?!" tanyaku penasaran..

“Dih, sok jual mahal!” cibir Safa. “Tadi dia yang ngusir kamu, eh sekarang malah nyamperin sendiri terus pergi tanpa pamit. Coba deh, kalau bukan karena pengen ketemu kamu, terus karena apa?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Kania Putri
udah mulai was2 hei kais bilang aja anda cemburu ini ngakak
goodnovel comment avatar
SumberÃrta
eeeh om kais.... pantinya udah pindah ke purous kampus ya om... kok tetiba nongol dimari wkwkwkw
goodnovel comment avatar
SumberÃrta
Alya kenapa kamu tegur si binar kalo berani tegurlah calon suamimu jangan terlalu merhatiin cewek lain.... dihh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Dih, Sok Jual Mahal!

    Suara langkah terdengar lagi—pelan, tapi entah kenapa tiap kali dokter Naufal melangkah mendekat, seluruh ruangan langsung jadi hening. Seolah semua mahasiswa sepakat menahan napas bersamaan. Termasuk aku. Oke, Binar, tenang. Kamu sudah belajar dan menguasai materi hari ini. Jadi nggak perlu takut! Aku menatap layar tablet, sibuk mencatat setiap penjelasan yang disampaikan oleh Dokter Naufal. Dan tiba-tiba— “Binar.” Suara itu terdengar tepat di sampingku. Aku hampir menjatuhkan pena. Oh, tidak. Kenapa dia di sini?! Pelan-pelan aku mendongak. Matanya—bening, teduh, tapi tajam—menatap langsung ke arahku. “Iya, Dok,” jawabku cepat, berusaha terdengar tenang padahal jantungku berdebar kayak drum marching band. “Menurut kamu,” katanya lagi, mencondongkan tubuh sedikit ke arahku, “kalau pasien pasca operasi bypass menunjukkan gejala hipotensi mendadak, apa langkah awal yang sebaiknya dilakukan?” Oke, ini harusnya pertanyaan gampang. Tapi otakku… kenapa tiba-tiba blank? Aku menela

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Serius, Bee?

    Aku duduk dibalik kemudi, menatap pintu utama rumah sakit Arfamed dari balik kaca mobil yang mulai berembun. Tangan kiriku mengetuk-ngetuk setir, sementara tangan kanan sibuk menggulir chat yang masih berhenti di pesan terakhirku—yang belum dibalas sejak kemarin malam. Hebat sih, Om Kais. Sibuk banget sampai lupa kalau ada seseorang yang menunggu tanpa janji. Aku menarik napas panjang, lalu menatap bayanganku sendiri di kaca spion. “Bee, sampai kapan sih kita mau nunggu Om Kais? Udah hampir dua jam, dan belum ada tanda-tanda dia muncul,” gerutu Safa sambil membuka bungkus permen ketiganya—tanda kalau tingkat bosannya sudah mencapai level darurat. Aku melirik sekilas. “Sabar, Sa. Feeling-ku kuat banget, hari ini dia pasti ngantor di sini.” “Feeling kamu tuh udah kayak Go0gle Maps error, Bee,” balasnya datar. “Mending kita langsung masuk aja, cari Om Kais di ruang kerjanya.” “Nggak bisa, Sa. Aku masih dalam pantauan Mas Pandu, tahu,” ujarku pelan. “Kalau dia sampai tahu aku masih

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Cemburu Membabi Buta

    “Siapa tuh?” gumamku pelan sambil mencondongkan tubuh dari balkon kamar. Dari sini, aku bisa melihat Om Kais berdiri di samping seorang wanita cantik—seksi, rapi, dan kelihatan pintar banget. Mereka hendak pamit pulang, tapi masih asyik berbincang dengan Papa dan Mas Pandu di halaman depan. “Ya ampun, jangan bilang itu—” aku berhenti, menelan ludah. “—calon?” Aku makin mendekat ke pagar balkon. Angin sore membawa samar-samar suara tawa mereka. Tawa Om Kais. Dan tawa si wanita itu, lembut banget, bikin telingaku gatal. “Hmm, jadi gitu ya, Om? Belum juga terima lamaranku, udah pamer calon lain?” gerutuku pelan sambil manyun. Aku menatap punggung mereka yang kini mulai berjalan ke arah mobil. Si wanita itu ijin untuk masuk mobil, dan Om Kais membalas dengan senyum tipis—senyum yang harusnya jadi hak eksklusif ku nanti kalau semesta sedikit lebih adil. Saat mobil perlahan menjauh, aku masih berdiri di balkon dengan tangan terlipat di dada. “Baiklah, Om Kais,” bisikku pelan, penuh

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Si Paling Heboh

    Begitu mobil berhenti di depan rumah, aku langsung turun tanpa menunggu Pak Yoto matiin mesin. Aku udah capek, haus, dan masih kesal karena drama motor mogok plus ‘kejutan tikus’ sore ini. Tapi semua itu belum seberapa dibanding kejadian begitu aku membuka pintu rumah. Rumah sepi. Nggak ada suara Mama yang biasanya ngoceh dari dapur. Aku berjalan ke ruang tengah, hanya ada Papa lagi duduk santai di sofa sambil memegang tablet, dan Mas Pandu di sebelahnya, fokus nonton berita di TV. “Assalamualaikum,” sapaku sambil menaruh tas di meja. “Waalaikumsalam,” jawab Papa sembari tersenyum ke arahku. Mas Pandu mengangkat dagu sedikit, tanda respon malas khasnya. Aku memicing. “Mama mana?” “Pergi,” jawab Mas Pandu santai. “Pergi ke mana?” “Jogja,” sela Papa. Aku langsung berdiri tegak. “Jogja?! Sejak kapan Mama ke Jogja?” “Pagi tadi,” jawab Papa tenang banget, bikin aku makin pengen teriak. “Lho, kok nggak bilang sama aku?!” Papa akhirnya mematikan tabletnya. “Katanya cuma sebentar,

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Binar dengan Segala Riwehnya

    Langit sore sudah mulai berubah warna waktu aku meninggalkan kampus. Safa udah duluan pulang bareng pacarnya, sedangkan aku harus mampir ke toko alat tulis buat beli refill pena dan sticky note warna pastel—peralatan tempur wajib menjelang minggu ujian. Begitu keluar dari toko, aku membuka ponsel dan langsung melihat notifikasi pesan dari Papa. 📩Papa: “Adek pulang jam berapa?” 📤Aku: “Baru mau pulang, Pa. Lagi di parkiran, tapi aku curiga motorku mulai minta perhatian khusus.” 📩Papa: “Maksudnya?” 📤Aku: “Maksudnya... mesinnya bunyi kayak batuk asma. 📩Papa: “Jangan bercanda, Dek. Coba nyalain dulu pelan-pelan, jangan dipaksa.” 📤Aku: “Udah aku elus-elus dulu kok sebelum dinyalain 😌.” Aku terkikik sendiri membaca balasanku. Papa pasti lagi geleng-geleng kepala di rumah. Motor tua kesayanganku itu, “Bumblebee”—karena warnanya kuning belang hitam—sudah aku anggal seperti anak sendiri. Aku memasukkan kunci, memutar, dan— Krek… krkkk… plek! Suara yang keluar lebih

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Undangan Takdir

    Suasana perpustakaan fakultas kedokteran sore ini lumayan sepi. Hanya ada suara dari lembaran buku yang dibalik, sesekali bunyi langkah sepatu dari mahasiswa yang lewat di lorong, dan denging AC yang samar. Aku duduk di pojok, meja nomor tiga dekat jendela yang menghadap taman belakang.Laptop terbuka, buku anatomi manusia terbentang, highlighter warna-warni berserakan seperti pasukan kecil yang siap perang. Aku lagi serius banget ngetik catatan review ujian minggu depan, sampai tiba-tiba—pluk!—sebuah amplop berwarna krem mendarat tepat di atas keyboard-ku.Aku mendongak.“Hadiah apa lagi nih, Sa?”Sahabatku, Safa Adinaya, berdiri di depanku dengan senyum khasnya yang terlalu lebar. Rambutnya dikuncir asal, tapi tetap aja kelihatan kayak bintang iklan vitamin rambut.“Bukan hadiah,” katanya sambil duduk di kursi sebelahku, membuka buku catatan yang jelas-jelas cuma kamuflase biar dia nggak diusir pustakawan. “Undangan.”“Undangan apa?” tanyaku curiga.“Pernikahan.”“Pernikahan siapa?”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status