Langit sore sudah mulai berubah warna waktu aku meninggalkan kampus. Safa udah duluan pulang bareng pacarnya, sedangkan aku harus mampir ke toko alat tulis buat beli refill pena dan sticky note warna pastel—peralatan tempur wajib menjelang minggu ujian.
Begitu keluar dari toko, aku membuka ponsel dan langsung melihat notifikasi pesan dari Papa. 📩Papa: “Adek pulang jam berapa?” 📤Aku: “Baru mau pulang, Pa. Lagi di parkiran, tapi aku curiga motorku mulai minta perhatian khusus.” 📩Papa: “Maksudnya?” 📤Aku: “Maksudnya... mesinnya bunyi kayak batuk asma. 📩Papa: “Jangan bercanda, Dek. Coba nyalain dulu pelan-pelan, jangan dipaksa.” 📤Aku: “Udah aku elus-elus dulu kok sebelum dinyalain 😌.” Aku terkikik sendiri membaca balasanku. Papa pasti lagi geleng-geleng kepala di rumah. Motor tua kesayanganku itu, “Bumblebee”—karena warnanya kuning belang hitam—sudah aku anggal seperti anak sendiri. Aku memasukkan kunci, memutar, dan— Krek… krkkk… plek! Suara yang keluar lebih mirip motor ngeluh daripada nyala. Aku coba lagi. Krek… krek… BRR—plek! Aku menatap setang motor dengan tatapan prihatin. “Love, ayolah, jangan drama dulu. Kita cuma mau pulang, bukan touring ke Mars.” Kutekan starter sekali lagi. Tetap nihil. Akhirnya aku menyerah, menurunkan standar samping, dan mulai menggoyang-goyangkan bodi motor pelan. “Yuk, Love, semangat…” Dan di detik berikutnya— KRUK! Sesuatu bergerak cepat dari sela jok motor. Aku refleks mundur dua langkah. “Astaga—apa itu?!” Tiba-tiba, dari celah sempit dekat mesin, keluarlah… seekor tikus kecil berwarna abu-abu. Aku menahan napas, masih bisa menoleransi makhluk kecil itu, sampai… dua ekor lagi ikut keluar. Yang satu tampak lebih besar—mungkin ibunya—dan satu lagi lebih gendut dan kecil, berlari zig-zag di bawah motorku. “YA AMPUN!” jeritku refleks, lompat ke belakang seperti pasien yang kaget lihat hasil labnya sendiri. Seorang bapak tukang parkir yang lagi nyapu langsung nengok. “Kenapa, Mbak?” Aku menunjuk ke arah motor sambil berusaha menjaga harga diri. “Ada… ada keluarga tikus, Pak. Beneran keluarga. Ada bapak, ibu, sama anaknya!” Bapak itu menahan tawa. “Wah, komplit, ya. Mungkin mereka ngontrak di motor Mbak.” Aku menatap motor malang itu dengan ekspresi campuran antara jijik dan iba. “Ya Tuhan, jadi selama ini mereka tinggal di situ? Pantes aja tiap pagi motorku bau aneh kayak gudang pakan ayam.” Aku langsung menelpon Papa. Dan, langsung tersambung. “Ada apa, Dek?” “Papa, motorku mogok. Dan ternyata… ada tikus. Bertiga!” “Bertiga? Maksudnya gimana?” “Ada ibu, bapak, sama anaknya! Mereka literally keluar dari bawah jok!” “Hahaha, ya ampun, Adek. Kamu tuh luar biasa. Baru kamu yang punya motor jadi rumah tangga harmonis.” “Papa jangan ketawa! Aku trauma! Gimana kalau mereka balik lagi nanti pas aku nyalain mesin?!” “Ya jangan nyalain dulu. Adek tunggu aja di situ. Papa akan minta Pak Yoto buat jemput.” Aku menatap motor yang masih diam tak berdosa. Seekor anak tikus kecil bahkan masih ngintip dari bawah pedal rem. Aku mendesah panjang. “Terus Bumblebee gimana nasibnya?” “Papa udah minta Pak Yoto panggil bengkel buat ambil Bumblebee.” “Asiap, Papa. Tingkyu, muaccchhh!” Aku akhirnya menutup ponsel dan menatap bapak parkir yang masih senyum-senyum. Masih menatap motor kesayanganku yang kini resmi jadi rumah tangga tikus. Bapak tukang parkir—yang ternyata namanya Pak Tio—ikut duduk di ujung bangku sambil nyengir geli. “Baru kali ini saya lihat tikus sekeluarga pindahan dari motor,” katanya sambil menyandarkan sapunya. Aku memutar mata. “Aku juga baru kali ini punya kendaraan yang punya penghuni tetap, Pak. Mungkin mereka pikir aku buka kontrakan.” Pak Tio terkekeh. “Hehehe, mungkin motor Mbak wangi kali, ya? Tikusnya betah.” “Wangi campur bensin, Pak,” sahutku datar. “Itu aroma khas broken dream mahasiswa kedokteran semester akhir.” Kami sama-sama tertawa kecil. Angin sore lewat membawa aroma kopi dari arah kedai sebelah. Aku menoleh. Kedai kecil itu baru buka, papan menunya nempel di kaca dengan tulisan “Kopi Baper - Bawa Pergi, Jangan Baperin Barista”. Sumpah, lucu banget. “Pak, saya pesen kopi dulu ya, biar nunggu Pak Sopir nggak bosan.” “Silakan, Mbak. Nanti saya jagain motornya. Siapa tahu keluarga tikusnya balik buat ambil koper,” sahut Pak Tio santai. Aku ngakak lagi. “Makasih, Pak. Tolong bilangin aja kalau mereka balik, aku udah move on.” Aku melangkah ke kedai itu, disambut aroma biji kopi yang baru digiling. Baristanya, cowok muda bercelemek hitam, tersenyum ramah. “Mau pesan apa, Kak?” Aku menatap papan menu sebentar, lalu menjawab tanpa pikir panjang, “Dua es kopi susu, ya.” “Siap, dua es kopi susu,” balas barista. Setelah membayar, aku lalu menepi ke sisi meja panjang dekat jendela sambil menunggu pesanan jadi. Kedai ini kecil, tapi suasananya hangat banget. Dindingnya dipenuhi rak kayu berisi pot kaktus mini, lampu-lampu gantung kuning redup memantul di kaca, dan aroma kopi bercampur karamel memenuhi udara. Benar-benar aesthetic—tempat yang pas buat healing setelah diserang tikus satu keluarga. Tanganku menopang dagu, sementara mataku menelusuri ruangan. Cuma ada tiga pengunjung lain: dua mahasiswa yang sibuk ngetik di laptop, dan satu orang yang duduk di pojok, membelakangi jendela. Tapi kemudian— Mataku menangkap gerakan aneh. Orang di pojok itu buru-buru mengangkat stopmap biru besar, menutup wajahnya… dengan gaya yang terlalu mencurigakan buat ukuran manusia normal. Aku sempat mengerutkan kening, memperhatikan. Kemeja putih. Dasi abu-abu. Jam tangan mahal. Postur tegak dan rapi. Aku langsung tahu. “Oh, Tuhan…” bisikku, senyumku muncul. “Itu kan—” Sebelum aku sempat melanjutkan ucapan, dia malah menurunkan sedikit stopmap-nya. Dan benar saja. Wajah itu muncul—panik, tapi tetap berusaha jaga wibawa. Rayhan Direndra. Sekretaris pribadi Om Kais. Dan sekarang, sekretarisnya malah nyamar di balik stopmap. Astaga, lucunya hidup. Aku menyilangkan tangan di dada, berdiri, dan menatap langsung ke arah meja pojok itu. Kak Rayhan jelas makin gelagapan, berpura-pura baca dokumen, padahal kertasnya kebalik. Aku menahan tawa. “Ya ampun,” gumamku pelan, “ternyata semesta emang nggak pernah kehabisan bahan hiburan.” Saat barista memanggil, “Dua es kopi susu untuk Kak Binar!”, aku mengambilnya sambil tetap menatap ke arah Kak Rayhan yang mulai berkeringat. Rasanya seperti menonton kelinci yang pura-pura jadi batu. Oke, Bee. Permainan dimulai. Aku mengambil dua cup kopi yang baru jadi dari meja barista, mengucapkan terima kasih singkat, lalu menoleh lagi ke arah pojok ruangan—tempat target operasi masih berpura-pura sibuk dengan berkas terbalik. Senyumku melebar. Oke, Bee, saatnya unjuk bakat sebagai agen rahasia terbaik kampus. Dengan langkah pelan dan nyaris tanpa suara, aku mendekat. Sepatuku yang solnya udah aus cukup membantu—setidaknya untuk misi ini. Begitu sampai di meja pojok, aku langsung menarik kursi dan duduk tepat di depannya. Tanpa aba-aba. Tanpa salam. Tanpa ampun. Kak Rayhan, yang masih menutupi wajah dengan berkas, menegang seketika. Perlahan dia menurunkannya sedikit, mungkin ingin memastikan siapa yang datang. Dan begitu matanya bertemu dengan senyum lebarku—yang jelas tanpa dosa dan kemenangan— “BINAR?!” serunya kaget. Dalam sekejap, dia reflek mundur terlalu cepat. Kursinya miring, keseimbangannya goyah, dan sebelum aku sempat bereaksi— BRUK! Kak Rayhan hampir terjungkal ke belakang. Aku langsung berdiri, setengah mau nolong tapi setengah lagi pengen ngakak. Tapi seseorang lebih dulu bergerak cepat. Sebuah tangan kokoh menahan bahu Kak Rayhan tepat sebelum tubuhnya benar-benar jatuh. Suara berat dan dingin itu langsung bikin jantungku ikut berhenti sepersekian detik. “Rayhan.” Dan ya, tentu saja. Of course. Semesta ternyata lagi niat bercanda hari ini. Aku mendongak—dan di hadapanku berdiri Om Kais dalam versi kasual yang tetap kelihatan ganteng banget: kemeja navy digulung sampai siku, jam tangan perak, dan tatapan yang bisa bikin kopi dingin dalam lima detik. Kak Rayhan mengelus dadanya. “Terimakasih, Pak. Hampir saja kepalaku benjol.” “Karena berusaha sembunyi dari aku,” potongku cepat, menatapnya dengan ekspresi sok polos. “Sayang sekali, Kak, aku punya radar khusus buat deteksi orang yang berhubungan sama Om Kais.” Kak Rayhan menatapku pasrah, wajahnya udah kayak dokumen audit: penuh tekanan. Sementara Om Kais perlahan memutar pandangan ke arahku. Tatapan itu tajam, tapi entah kenapa, bibirnya menahan senyum. “Binar,” ucapnya datar. “Kamu lagi apa di sini?” Aku mengangkat cup kopi di tangan. “Nunggu jemputan, Om. Motor aku mogok… gara-gara ada keluarga tikus ngontrak di dalemnya.” Alis Om Kais langsung terangkat. “Keluarga tikus?” “Lengkap, Om. Ada bapak, ibu, sama anak. Bahkan kayaknya mereka udah nyaman di dalam motorku,” sahutku santai. Om Kais menghela napas panjang, matanya melirik jam tangan sekilas sebelum menatapku lagi dengan ekspresi khasnya—antara sabar dan nyaris kehilangan kesabaran. “Kalau gitu kamu kembali ke parkiran aja, Bin. Nanti Pak Sopir susah cari kamu,” katanya tegas, nada suaranya penuh instruksi seperti biasa. Aku memiringkan kepala sedikit, pura-pura berpikir. “Tapi di parkiran cuma ada motor, Pak Tio, dan kemungkinan keluarga tikus yang mungkin balik buat ambil koper mereka.” Kak Rayhan buru-buru menutup mulut, jelas menahan tawa. Om Kais meliriknya tajam sampai Kak Rayhan langsung tegap lagi seperti prajurit disidang. Aku meletakkan dagu di atas cup kopi dan menatap Om Kais dari bawah. “Aku takut nunggu sendirian, Om. Di sana tuh suasananya kayak film horor low budget. Kalau tiba-tiba tikusnya nongol lagi, terus aku pingsan, siapa yang tanggung jawab?” “Papa kamu,” jawabnya cepat tanpa ekspresi. Aku mengerucutkan bibir. “Papa aku jauh. Yang paling dekat di radius dua meter cuma Om sama Kak Rayhan.” Kak Rayhan langsung mengangkat tangan. “Aku mundur, Binar. Aku trauma jika berurusan sama kamu.” Aku menatapnya datar. “Padahal belum pernah aku sentuh.” Om Kais menatapku lama—terlalu lama sampai aku yakin dia sedang menilai apakah aku benar-benar takut atau cuma cari alasan biar tetap nongkrong di sini. “Binar,” katanya akhirnya, nada suaranya datar tapi lembut di ujungnya. “Kamu itu bisa bikin situasi sederhana jadi rumit dalam lima detik.” Aku tersenyum lebar. “Terima kasih, Om. Aku anggap itu pujian.” Dia memutar bola matanya pelan, lalu menghembuskan napas. “Baiklah. Duduk sini aja dulu. Tapi jangan bikin onar.” Aku berseru pelan, “Siap, Om!” lalu langsung menegakkan tubuh, menahan senyum puas. Kak Rayhan hanya menatapku pasrah, seolah sudah tahu hidupnya akan semakin sulit mulai detik ini. Om Kais duduk di kursi sebelah, membuka ponsel, dan mulai mengetik pesan entah untuk siapa. Aku menatap wajahnya dari samping—tenang, fokus, dan dingin seperti biasanya. Tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang bikin jantungku nggak mau kerja normal. Aku menyesap kopi pelan, pura-pura santai. Kak Rayhan berdeham. “Binar tadi kamu beli kopi buat siapa?” “Satu buat aku, satu lagi buat Pak Tio. Beliau jagain motor aku di parkiran. Rencananya, kalau Pak Yoto udah datang, aku mau kasih ke beliau sekalian pamit.” Kak Rayhan mengangguk pelan, tapi ekspresinya masih tampak penasaran. “Tukang parkir?” ulangnya, seolah memastikan. Aku mengangguk sambil menyesap kopi. “Iya, Pak Tio. Orangnya lucu banget. Dia tadi bilang keluarga tikus itu mungkin balik lagi buat ambil koper.” Kak Rayhan menahan tawa, tapi gagal total. “Astaga, kamu tuh… Dari semua hal yang bisa bikin mogok, kenapa tikus sih?” Aku mendengkus. “Tanya aja sama mereka. Mungkin motor aku paling cozy. Siapa tahu, di dunia tikus, motor kuning belang itu properti mahal.” Kak Rayhan terkekeh. “Kayaknya kamu harus mulai pasang spanduk di motor: Dilarang Ngekos Tanpa Izin Pemilik.” Aku menatapnya datar tapi nggak bisa nahan senyum. “Bener juga tuh, biar mereka tahu ini bukan rumah bebas hama.” Kak Rayhan mengangguk-angguk sok serius. “Tapi serius deh, Bin… aku heran.” Aku menaikkan alis. “Heran kenapa?” “Rumah kamu kan gede banget. Kayak villa gitu. Masa masih ada tikus juga? Kamu pelihara ya, buat riset biologi?” “Nah, pertanyaan yang bagus. Tapi sayang sekali aku tidak punya jawabannya,” jawabku. Kak Rayhan nyengir. “Berarti habitat satu-satunya ya cuma di motor.” Aku mendesah panjang. “Iya, mereka mungkin mikir Bumblebee itu apartemen minimalis. Tuh kan, salah aku juga nggak ngecek daleman motor tiap minggu.” Kak Rayhan menatapku sambil menahan tawa. “Kamu tuh kayak magnet kejadian absurd, Bin.” “Aku lebih suka sebutnya magnet cerita unik,” sahutku cepat. “Minimal hidupku nggak membosankan.” Om Kais yang sedari tadi diam akhirnya menutup ponsel, menatap kami bergantian. “Kalian berdua ngomongin tikus dari tadi?” “Iyupsss, benar sekali,” jawabku. Tak lama kemudian, suara langkah tergesa terdengar dari arah pintu masuk kafe. Aku menoleh, dan sosok berjaket cokelat dengan wajah sedikit panik muncul di ambang pintu sambil menatap ke sekeliling. “Non Binar!” suara itu terdengar jelas di antara dentingan cangkir dan musik akustik yang mengalun pelan. Aku hampir menyemburkan kopi. “Pak Yoto!” seruku, melambai ke arahnya. Bapak separuh baya itu langsung mendekat, menunduk sopan ke arah barista sebelum menghampiriku dengan nafas agak terengah. “Astaga, Non, Bapak cari di parkiran nggak ada. Ternyata ngopi di sini, to!” katanya lega. Aku tersenyum cengengesan. “Hehe, iya, Pak. Soalnya Bumblebee lagi ngambek, jadi aku numpang nunggu di sini.” “Lain kali kalau mau ke kampus biar Bapak antar saja,” ujarnya. “Baik, Pak,” jawabku cepat. Aku berdiri dari kursi begitu melihat Pak Yoto memberi isyarat kalau mobil sudah siap di depan. Tanganku masih memegang gelas kopi yang tinggal separuh, sementara mataku sempat melirik ke arah Om Kais yang sedang sibuk memeriksa dokumen di ponselnya. “Om,” panggilku pelan. Tatapannya terangkat. Datar, tapi tetap dengan aura wibawa khasnya yang seolah bisa bikin seluruh cafe hening kalau dia mau. Aku menggoyangkan gelas plastik di tanganku pelan. “Aku pamit dulu, ya. Pak Yoto udah datang.” Om Kais mengangguk singkat. “Hati-hati di jalan.” Aku menatapnya dua detik lebih lama dari seharusnya, lalu pura-pura menunduk dengan ekspresi sedih. “Maaf, Om… aku nggak bisa nemenin ngopi lebih lama. Soalnya katanya, kopi paling nikmat kalau diminum bareng seseorang yang spesial.” Nada suaraku sengaja kubuat mellow, sedikit bergetar dramatis—kombinasi antara akting mahasiswa teater dan mahasiswa kelelahan. Kak Rayhan, yang duduk di sebelah, sudah hampir tersedak nafasnya menahan tawa. Sementara Om Kais hanya menatapku dengan ekspresi nyaris tak terbaca—antara sabar dan ingin segera kabur dari adegan ini. “Binar,” ucapnya akhirnya, suaranya tenang tapi nadanya turun setengah oktaf. “Aku rasa kopi akan tetap enak tanpa perlu drama tambahan.” Aku mengerjap. “Maksudnya, Om senang aku pulang?” Dia menatapku lurus. “Aku bilang fokus di jalan. Itu saja.” Kak Rayhan memalingkan wajah, menutupi senyum geli. Aku pura-pura memegangi dada. “Duh, rasanya kayak ditolak secara halus tapi berkelas.” “Anggap saja begitu,” jawab Om Kais tanpa menatap, kembali ke ponselnya. Tapi aku sempat melihat ujung bibirnya sedikit terangkat. Sedikit banget. Aku tahu. Dia berusaha menahan tawa. Dengan gaya lesu, aku mengambil tas kecilku dan berdiri tegak. “Baiklah, Om Kais yang super sibuk. Aku pulang tanpa harus dipaksa.” “Bagus,” sahutnya cepat. “Setidaknya kamu tahu diri.”“Siapa tuh?” gumamku pelan sambil mencondongkan tubuh dari balkon kamar. Dari sini, aku bisa melihat Om Kais berdiri di samping seorang wanita cantik—seksi, rapi, dan kelihatan pintar banget. Mereka hendak pamit pulang, tapi masih asyik berbincang dengan Papa dan Mas Pandu di halaman depan. “Ya ampun, jangan bilang itu—” aku berhenti, menelan ludah. “—calon?” Aku makin mendekat ke pagar balkon. Angin sore membawa samar-samar suara tawa mereka. Tawa Om Kais. Dan tawa si wanita itu, lembut banget, bikin telingaku gatal. “Hmm, jadi gitu ya, Om? Belum juga terima lamaranku, udah pamer calon lain?” gerutuku pelan sambil manyun. Aku menatap punggung mereka yang kini mulai berjalan ke arah mobil. Si wanita itu ijin untuk masuk mobil, dan Om Kais membalas dengan senyum tipis—senyum yang harusnya jadi hak eksklusif ku nanti kalau semesta sedikit lebih adil. Saat mobil perlahan menjauh, aku masih berdiri di balkon dengan tangan terlipat di dada. “Baiklah, Om Kais,” bisikku pelan, penuh
Begitu mobil berhenti di depan rumah, aku langsung turun tanpa menunggu Pak Yoto matiin mesin. Aku udah capek, haus, dan masih kesal karena drama motor mogok plus ‘kejutan tikus’ sore ini. Tapi semua itu belum seberapa dibanding kejadian begitu aku membuka pintu rumah. Rumah sepi. Nggak ada suara Mama yang biasanya ngoceh dari dapur. Aku berjalan ke ruang tengah, hanya ada Papa lagi duduk santai di sofa sambil memegang tablet, dan Mas Pandu di sebelahnya, fokus nonton berita di TV. “Assalamualaikum,” sapaku sambil menaruh tas di meja. “Waalaikumsalam,” jawab Papa sembari tersenyum ke arahku. Mas Pandu mengangkat dagu sedikit, tanda respon malas khasnya. Aku memicing. “Mama mana?” “Pergi,” jawab Mas Pandu santai. “Pergi ke mana?” “Jogja,” sela Papa. Aku langsung berdiri tegak. “Jogja?! Sejak kapan Mama ke Jogja?” “Pagi tadi,” jawab Papa tenang banget, bikin aku makin pengen teriak. “Lho, kok nggak bilang sama aku?!” Papa akhirnya mematikan tabletnya. “Katanya cuma sebentar,
Langit sore sudah mulai berubah warna waktu aku meninggalkan kampus. Safa udah duluan pulang bareng pacarnya, sedangkan aku harus mampir ke toko alat tulis buat beli refill pena dan sticky note warna pastel—peralatan tempur wajib menjelang minggu ujian. Begitu keluar dari toko, aku membuka ponsel dan langsung melihat notifikasi pesan dari Papa. 📩Papa: “Adek pulang jam berapa?” 📤Aku: “Baru mau pulang, Pa. Lagi di parkiran, tapi aku curiga motorku mulai minta perhatian khusus.” 📩Papa: “Maksudnya?” 📤Aku: “Maksudnya... mesinnya bunyi kayak batuk asma. 📩Papa: “Jangan bercanda, Dek. Coba nyalain dulu pelan-pelan, jangan dipaksa.” 📤Aku: “Udah aku elus-elus dulu kok sebelum dinyalain 😌.” Aku terkikik sendiri membaca balasanku. Papa pasti lagi geleng-geleng kepala di rumah. Motor tua kesayanganku itu, “Bumblebee”—karena warnanya kuning belang hitam—sudah aku anggal seperti anak sendiri. Aku memasukkan kunci, memutar, dan— Krek… krkkk… plek! Suara yang keluar lebih
Suasana perpustakaan fakultas kedokteran sore ini lumayan sepi. Hanya ada suara dari lembaran buku yang dibalik, sesekali bunyi langkah sepatu dari mahasiswa yang lewat di lorong, dan denging AC yang samar. Aku duduk di pojok, meja nomor tiga dekat jendela yang menghadap taman belakang.Laptop terbuka, buku anatomi manusia terbentang, highlighter warna-warni berserakan seperti pasukan kecil yang siap perang. Aku lagi serius banget ngetik catatan review ujian minggu depan, sampai tiba-tiba—pluk!—sebuah amplop berwarna krem mendarat tepat di atas keyboard-ku.Aku mendongak.“Hadiah apa lagi nih, Sa?”Sahabatku, Safa Adinaya, berdiri di depanku dengan senyum khasnya yang terlalu lebar. Rambutnya dikuncir asal, tapi tetap aja kelihatan kayak bintang iklan vitamin rambut.“Bukan hadiah,” katanya sambil duduk di kursi sebelahku, membuka buku catatan yang jelas-jelas cuma kamuflase biar dia nggak diusir pustakawan. “Undangan.”“Undangan apa?” tanyaku curiga.“Pernikahan.”“Pernikahan siapa?”
“Hai, Om! Aku calon istrimu!” Begitu kata-kata itu meluncur dari mulutku, aku tahu sudah tidak ada jalan untuk mundur. Suaraku sendiri terdengar nyaring di telinga, bahkan lebih keras dari suara blender yang barusan nyala di counter. Semua orang di cafe mendadak berhenti gerak. Ada yang pegang sendok, terus diam di udara. Ada juga yang pura-pura nunduk tapi jelas-jelas nguping. Dan di tengah semua itu—Om Kais cuma bengong. Matanya sedikit membulat, bibirnya terbuka tipis, seolah sedang berusaha memastikan apa telinganya masih berfungsi dengan benar. Lucu banget. Aku nyaris ngakak kalau nggak ingat ini momen penting dalam sejarah hidupku. Jadi aku tahan tawa dan cuma berdiri tegak di depan meja, menatapnya dengan senyum paling manis yang kupunya. “Kataku, Om, aku calon istrimu,” ulangku tenang, sambil menepuk dada pelan. “Jadi mulai hari ini, tolong biasakan diri sama wajah ini, ya.” Sumpah, ekspresi kaku di wajahnya tuh priceless banget. Kayak patung lilin yang kehilangan