Hajatan Tetangga
#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya
Part 2.
Sepanjang malam pesta itu terus berlangsung, hingar bingar suara musik memekakkan telinga. Aku sudah berharap pestanya usai setelah jam dua belas. Karena memang seperti itulah biasanya. Akan tetapi musik terus berlanjut sampai jam tiga dini hari, mereka yang pesta, aku terpaksa ikut begadang.
Pagi harinya, ketika aku hendak menyiram bunga yang ada di halaman. Aku terkejut, bungaku berantakan. Bunga keladi yang kuambil dari hutan kini sudah mati, padahal sudah sebulan aku merawatnya, mulai dari umbi sampai berdaun. Botol minuman keras berserakan di halaman rumah. Piring dan gelas kotor juga banyak.
Ya, Tuhan, gini amat punya tetangga, sudahlah pestanya tak diundang, sampahnya pula dibagi. Aku sudah tak tahan, darahku naik sampai ke ubun-ubun. Kudatangi rumah mereka.
"Assalamu'alaikum," kataku seraya menggedor pintu. Tak ada sahutan, kugedor lebih keras lagi, hingga akhirnya pintu terbuka. Dari balik pintu muncul seorang pemuda.
"Ada apa, Ya, Bu, bapak sama ibu tidak ada, mereka tidur di tempat saudara," kata pemuda itu sopan.
"Kau pengantin baru itu?" tanyaku.
'Iya, Bu," jawabnya seraya menunduk sopan.
Ini anak pasti baru saja malam pertama, memang di daerah kami begitu kebiasaan, bila pesta usai, seluruh penghuni rumah tidur menumpang di rumah lain, tinggal pengantin berdua di rumah. Untuk memberi keleluasaan bagi mereka melaksanakan malam pertama.
Aku jadi tak sampai hati mengatakan soal bungaku yang rusak dan sampah yang berserakan, dia pasti tak tahu, apa-apa.
"Ada apa ya, Bu?" tanyanya lagi. Anak ini sangat sopan, tidak seperti mertuanya.
"Itu, tolong kasih tahu mertuamu piring banyak di sana," kataku akhirnya seraya menunjuk halaman rumah.
"Oh, ya, Bu, maaf, segera kubersihkan," kata pemuda itu seraya keluar rumah.
Di luar dugaan dia bersihkan semua halaman rumahku, sambil berulangkali meminta maaf. Akan tetapi ketika dia sibuk menyapu halamanku, Bu Bondan dan Pak Bondan datang.
"Hei, ngapainn kau surah-surah menantuku, dasar tetangga gak tau diri," kata Bu Bondan.
"Gak ada kusuruh ya, itu kemauan dia sendiri," jawabku kemudian.
"Gak ada memang otak kau, orang baru pengantin baru, kau suruh pula nyapu halamanmu, aku aja mertuanya gak suruh dia," Pak Bondan ikut bicara.
"O, ya, kebetulan kalian di sini, aku minta ganti rugi, bungaku mati," kataku seraya menunjuk keladi yang sudah mati.
"Memangnya ada kuinjak bungamu?" kata Bu Bondan.
"Memang bukan kau, tapi tamumu," jawabku.
"Ya, sudah, sana minta ganti rugi ke tamuku," kata Bu Bondan.
Aku benar-benar emosi dibuatnya, tetangga ini memang harus diberi pelajaran, untunglah suami keluar rumah.
'Udah, Mah, malu ribut, biar saja," kata suami seraya menarik tanganku.
Aku akhirnya masuk rumah dengan perasaan dongkol.
"Tunggu saja ya, biar diusir kalian dari sini," masih kudengar ocehan tetangga itu, akan tetapi aku tak membalasnya lagi, karena suami terus saja menenangkanku.
Ternyata tetanggaku itu serius, dia mengumpulkan tanda tangan warga komplek supaya kami diusir dari tempat itu.
"Semua orang bayar, masa orang itu sendiri gratis," begitu alasan tetangga itu untuk mengusir kami.
Siang itu seorang security perumahan dan seorang pria berdasi datang ke rumah.
"Begini, Pak, Bu, semua warga komplek telah setuju kalian harus pindah dari sini," kata pria berdasi itu sambil menunjukkan berkas.
"Atas dasar apa kalian main usir," jawab suami.
"Lihat sendiri, Pak, semua orang ini bayar, mereka itu beli rumah secara kredit, kami sudah berbaik hati membiarkan kalian di sini," kata pria itu lagi.
"Tanah ini disuruh jaga oleh Pak Abdul sama kami, kalau Pak Abdul yang mengusir baru kami bersedia, atau minimal ada tanda tangannya," kata suami tegas.
"Pak Abdul ada di Arab Saudi, tak mungkin minta tanda tangannya," kata pria berdasi itu lagi.
"Kalau begitu, tolong telepon, aku mau bicara dengan Bapak itu, kalau dia bilang kami pindah, ya, kami pindah." kata suami lagi.
"Bapak itu susah dihubungi," jawab pria itu lagi.
"Tetap seperti itu, aku mau pindah kalau Pak Abdul yang suruh, karena dulu beliau yang suruh kami tinggal di sini dan jaga tanah ini." jawab suami tegas.
"Baik, kalau begitu, jangan salahkan kami jika kami lakukan tindakan tegas, kami tunggu tiga kali dia puluh empat jam, kalau kalian belum pindah, kami gusur," security itu ikut bicara.
"Baik, kalau begitu minta dulu nomor Pak Abdul," kata suami.
Orang itu lalu memberikan nomor kepada suami, lalu mereka perg. Pak Bondan dan beberapa warga sudah berkumpul di depan rumah.
"Rasakan itu, memang enak diusir," kata Bu Bondan.
Setelah dihubungi beberapa kali, akhirnya bisa juga tersambung dengan Pak Abdul, aku yang bicara karena kebetulan suami lagi di kamar mandi.
"Assalamu'alaikum, Pak, saya Yanti, menantunya Pak Almarhum Pak Syukur." kataku memulai percakapan.
"Waalaikumsalam," jawabnya dari seberang.
"Ini, Pak, ada yang ngusir kami dari sini,"
"Ngusir bagaimana?"
"Di usir, Pak, kata mereka kami harus pindah dalam tiga hari."
"Mana bisa, itu sudah kuhibahkan pada kalian, ada suratnya, mertuamu yang simpan,"
"Tanah pertapakan rumah ini, Pak?"
"Bukan, semua, luasnya empat hektar,"
"Tapi, Pak, sudah perumahan semua,"
"Iya, memang, si Erwin keponakanku dulu minta izin mau bangun perumahan, kusuruh dia temui Mertuamu, katanya mertuamu sudah meninggal, kusuruh dia temui suamimu,"
"Jadi, Pak, ini tanah kami?"
"Iya, memangnya si Erwin gak ada temui kalian,"
"Gak ada, Pak."
"Memanglah si Erwin ini, nanti kutelepon dia, sudah dulu, ya, assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam,"
Dengan dada berdebar tak karuan, kupanggil suami.
"Pah, Papah!" kataku setengah berteriak.
"Apa sih, Mah?"
"Ternyata suamiku kaya, Pah,"
"Mamah dapat suami baru?"
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya"Mamah dapat suami baru?" tanya suami dengan wajah bingung. "Aku baru tahu, ternyata selama ini suamiku kaya," kuulangi perkataan, karena tampaknya suami belum ngeh juga. Kupeluk suami tanda senang dan bahagia, hatiku berbunga-bunga, entah bagaimana menggambarkan suasana hatiku saat ini."Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, orang kaya itu adalah orang yang cukup, orang yang bersyukur, biarpun mobilnya tiga, bila orang itu masih merasa kurang, dia masih bisa disebut miskin. Suamimu ini, biarpun rumah hanya warisan, itupun terancam tergusur, kenderaan pun hanya motor butut, tapi aku selalu bersyukur, pada hakekatnya itulah orang yang kaya," Suamiku malah ceramah. Sebel. "Pah, Papah, rumah ini takkan digusur, ini milik kita, eh, milik Papah, aku baru bicara dengan Pak Abdul, tanah ini sudah dihibahkan," aku coba menjelaskan dengan singkat. Suami malah terlihat bingung. "Ada surat hibah kata Pak Abdul, suratnya almarhum Papa yang peg
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPart 4.Suami tetap tenang, tak seperti orang yang baru mendapat warisan milyaran. Dia tetap biasa saja, pagi hari pergi kerja ke pabrik kertas, tempat dia bekerja selama ini. Sore hari disempatkannya mengurus kebun sayur yang di belakang rumah. Kakakku datang lagi, katanya dia mau menggelar acara sunatan untuk anaknya. Aku diajak untuk bantu-bantu. "Kau nyumbang tenaga aja, gak usah nyumbang uang, biar gak berat kali kalian," kata kakak. Dalam hati aku ingin membalas, akan tetapi suami selalu melarang aku untuk membalas. Padahal aku sudah tak tahan lagi. Lelah rasanya selama ini diremehkan. "Ngomong-ngomong kapan kalian pindah?" tanya kakak lagi. "Gak jadi pindah, Kak, mereka masih kasih keringanan." suamiku yang menjawab. "Sebaiknya cepat cari rumah lain, nanti digusur bagaimana, kan kalian juga yang susah." kata kakak. "Iya, Kak," jawab suami. "Hei, Subur, bukan maksud merendahkan ya, lihat sekeliling kalian, rumah semua bagus-
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPart 5.Ada pengajian bulanan ibu-ibu komplek, kali ini giliran rumah Bu Bondan. Sebenarnya aku malas datang, akan tetapi lagi-lagi suami menyuruhku. "Itu pengajian, Mah, gak perlu undangan," begitu alasan suami. "Malas, Pah, orang itu sukanya menghina," kataku dengan wajah cemberut. "Gak boleh gitu, Mah, silaturahmi harus dijalin dengan tetangga, gak usah dengarin omongan orang," bujuk suami lagi. Sudah jadi kebiasaan di lingkungan komplek, pengajian ibu-ibu berubah jadi ajang pamer makanan. Yang jadi tuan rumah akan menjamu tamu dengan makanan enak. Seakan-akan berlomba-lomba di rumah siapa yang makanannya paling enak. Jemaah pengajian pun berlomba-lomba memakai perhiasan mahal. Ajang pamer tas branded. Kadang aku berpikiran ini arisan atau pengajian? Akulah yang pertama datang, sebagai tetangga paling dekat, aku menawarkan diri untuk bantu- bantu. Akan tetapi jelas sekali terlihat wajah tak suka dari Bu Bondan. "Jaga dulu hidangan
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya.Rasa penasaran terus saja menghantuiku, dari mana suami dapat duit? Rasa penasaran juga yang membuat aku diam-diam memeriksa saku celananya ketika dia solat. Astaga! masih ada segepok uang di sakunya. Jangan-jangan suami sudah bertemu lagi dengan Erwin? Jangan-jangan? Ah, berbagai macam pertanyaan bergelayut di kepala. "Pah, uang Papah banyak, ya?" kataku ketika kami hendak tidur. "Mamah periksa kantong Papah?" tanya suami. "Iya, Pah, maaf, memang uangnya dari mana?" tanyaku lagi. "Udah, Mah, pokoknya halal," jawab suami acuh tak acuh. "Maaf, Pah, maafkan sikapku yang kekanakan," kataku lagi seraya merebahkan kepala di dada bidangnya. "Iya, Mah, Papah juga minta maaf, belum bisa membutuhi kebutuhanmu," kata suami seraya mengelus rambutku. Sampai akhirnya aku tertidur di dadanya. Aku memang istri yang manja, sudah lima belas tahun berumah tangga aku masih sering ngambek tak jelas, masih suka bermanja-manja ketika mau tidur. Besok
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaSemenjak punya motor baru, Bu Bondan selalu mencibir bila aku lewat di depan rumahnya, mana pula tak ada jalan lain, hanya itu satu-satunya jalan. Akan tetapi nasihat suami supaya jangan dipedulikan masih bisa kujalani. Apapun katanya, pura-pura saja enggak dengar. Pagi itu aku sedang menyiram bunga yang ada di halaman. Sekalian cuci motor baruku. Bu Irma tetangga depan rumah datang. "Selamat pagi, Bu Yanti," sapanya ramah. Dari sekian banyak warga komplek, hanya ibu ini satu-satunya yang ramah padaku. "Pagi juga, Bu," jawabku seraya menghentikan aktivitas. "Motor baru, Ya, Bu?" katanya lagi. "Iya, Bu," jawabku singkat. "Boleh minta sedikit srenya, Bu Yanti," "Boleh, boleh, ambil saja, Bu," Di sekitar pekarangan rumah memang ada beberapa tanaman yang sudah ada sejak dulu, mulai dari sre, kunyit, jeruk nipis ada di sini. Suami suka berkebun. Bu Irma lalu masuk dan mengambil sendiri sre itu. Bu Bondan datang. "Lagi ngapain, Bu Irma
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaMakmur anakku boncengan sama suami, sedangkan aku bawa scoopy baru. Kami jalan malam itu, ketika lewat di depan rumah Bu bondan, suami bunyikan klakson untuk menyapa Pak Bondan yang kebetulan duduk di teras rumahnya. "Malam, Pak," sapa suami sambil melambaikan tangan. "Gak pernah kutuan!" teriak Bu Bondan yang ternyata berdiri di depan pagar rumahnya. Mungkin dia lagi mengintip kami. Aku hanya tersenyum melihat kebingungan suami dengan perkataan Bu Bondan. Sepanjang jalan melewati komplek semua mata seakan tertuju kepada kami, atau perasaanku saja yang begitu. Akan tetapi setiap orang seperti menatap lain pada kami. Aku pengen makan bakso, Makmur pengen ayam penyet sedangkan suami pengen nasi soto. Tak ada warung yang sekaligus menjual itu semua, jadilah kami kunjungi warung satu persatu. Pertama warung ayam penyet menuruti kemauan Makmur, baru warung bakso, terakhir soto Medan. Norak, ya. "Apa maksudnya gak pernah kutuan, Mah?" tany
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaAku langsung berlari ke kamar, tempat kotak kecil itu berada, di situ ada surat hibah dan sertifikat tanah. Ada juga surat nikah almarhum mertua beserta surat penting lainnya.Benar saja kotak kayu berukiran itu sudah terbuka, isinya berserakan di lantai."Pah, Papahh!" teriakku histeris.Suami datang, akan tetapi dia tetap tenang, suamiku ini memang tipe orang yang tak mudah panik. Akan tetapi masalah begini sudah sepantasnya panik."Tenang, Mak, ambil napas panjang dulu," kata suami, dasar!"Papah gimana, sih, surat hibah itu, Pah, hilang, Papah malah suruh ambil napas?" kataku setengah berteriak."Tenang, Mah, sudah Papah antisipasi ini," kata suami."Antisipasi, antisipasi, macam pengacara aja sekarang omongan Papah," kataku seraya memunguti surat lain yang berserakan.Tanpa di suruh, tetangga kiri kanan masuk r
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaSuami tidur siang di dalam rumah. Ini untuk yang pertama kali suami tidur siang, selama ini dia anti dengan yang namanya tidur siang, kalau lagi libur dia berkebun di belakang rumah. Aneh memang, akan tetapi itulah suamiku.Akhir-akhir ini memang selalu ada untuk yang pertama kali, pertama kali beli perhiasan, pertama kali makan diluar. Bukan karena suami anti makan atau anti penyedap rasa. Bukan, akan tetapi begitulah, kami hidup dalam kesederhanaan. Kalaupun aku pengen bakso, paling suami beli yang sudah dibungkus, makannya di rumah.Aku masih duduk di bangku kayu depan rumah. HP jadul terus kupantengi, mana tahu Pak Abdul telepon balik. Ada motor besar berhenti depan rumah. Seorang pria turun dari motor tersebut. Aku kenal pria itu, dia Pak Lubis, pengacara yang pernah datang ke rumah."Selamat pagi, Bu," kata Pak Lubis seraya menyalamiku."Pagi juga, Pak, suami saya la