Hajatan Tetangga
#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya
"Mau ke mana, Pah?" tanyaku pada suami demi melihat dia memakai baju batik pemberian caleg tahun lalu.
"Tapi, undangan, Mah," jawab suami seraya mengkancing bajunya.
Di daerah kami, bila ada hajatan pernikahan atau sunatan, ada acara khusus untuk bapak-bapak. Yaitu acara mengaji, tahlil, tahlil dan marhaban. Biasanya acara itu dilaksanakan pagi hari, siang sampai sore bahkan malam baru acara resepsi. Selama ini bila ada hajatan tetangga, semua bapak-bapak di lingkungan itu akan diundang.
"Kita gak diundang, Pah," kataku kemudian.
"Ah, masak, sih, yang dua gang dari sini saja diundang, apalagi rumah yang sebelahan begini." suami lanjut menyisir rambutnya.
Memang undangan untuk acara begini tak pakai kertas, biasanya diucapkan secara lisan saja. Dan akulah yang selalu menerima undangan itu dan menyampaikan pada suami. Karena suami kerja dari pagi sampai malam hanya libur bila tanggal merah saja. Kali ini memang tak ada undangan datang, aku juga heran kenapa kami tak diundang.
"Iya betul, Pah, kita tak diundang," kataku.
Suami tampak mengerjitkan kening, lalu menatap heranku heran.
"Tak mungkin, Mah, mungkin Mamah itu kelupaan,"
"Tidak, Pah, Mama di rumah saja mulai kemarin, tak ada datang ngundang, bahkan Mama lihat lagi orang yang ngundang lewat rumah kita," kataku menjelaskan.
Rumah kami memang berada di tengah perumahan, di antara sekian banyak rumah tinggal rumah kami yang berdinding tepas. Semua sudah beton. Dulu, menurut almarhum mertua seluruh tanah di perumahan ini disuruh yang punya dijaga oleh oleh mertua. Konon pemilik tanah berada di luar negeri.
Selama puluhan tahun, Mertua mengurus tanah dan membayar pajaknya. Beliau dulunya menanam singkong di lahan itu. Hingga akhirnya masuk perusahaan pengembang. Seluruh lahan dibangun, anehnya rumah mertua tak digusur, tak diganggu sama sekali. Padahal biasanya perusahaan pengembang tak mau merugi. Bahkan bila perlu kuburan dan masjid pun mereka gusur.
Suami kembali membuka bajunya, dia tampak kecewa, niat makan enak jadi batal.
Siang harinya, tamu makin banyak, beberapa mobil parkir di halaman rumah. Enak saja, undangannya gak diundang, mobilnya parkir di halaman.
"Gak bisa parkir di sini," kataku tegas.
Pemilik hajatan datang, sambil memegang uang lima puluh ribu, dia datangi kami.
"Ini uang parkir, atur dulu parkirnya," kata Pak Bondan si empunya hajatan.
Kuambil lalu kulemparkan uang lima puluh ribu itu, "ambil uangmu, di sini tak boleh parkir," kataku kesal.
"Sok kali kau, gak ada toleransimu bertetangga," kata yang punya hajatan.
"Yang gak ada toleransi itu kau, buat hajatan sebelah rumah sendiri gak diundang," kataku tak mau kalah.
"Suka-suka kami lah, mau undang kek, mau tidak kek, pesta, pesta kami," Bu bondan, istrinya ikut-ikutan.
Melihat gelagat akan ribut, suami datang melerai, "udah, Mah, biar saja," kata suami seraya menarik tanganku masuk rumah.
"Udah miskin, sombong lagi, gak sadar diri tanahpun minjam," kata Bu Bondan yang membuat kupingku makin panas.
Campur aduk perasaanku selama pesta itu berlangsung. Antara kesal, marah, akan tetapi suami tetap berusaha menenangkan. Suami memang terlalu penyabar.
Ada lagi mobil masuk pekarangan, aku makin kesal, "masa dapat parkirnya saja, rendangnya tidak," Kataku setengah merungut.
Akan tetapi, yang turun dari mobil ternyata Ratna, kakak kandungku, dia datang bersama suaminya.
"Udah ke sana?" tanya kakak seraya menunjuk pesta itu.
'Gak, kami gak diundang," kataku sambil menunduk malu.
Dia yang rumahnya tiga blok dari sini justru diundang, sedangkan aku yang rumahanya bersebelahan tak diundang. Aku makin kesal.
"Makanya dari dulu kubilang, cari laki itu yang mapan, bukan yang tampan saja, masa rumah masih saja dinding tepas begini?" kata Ramlan suami kakakku.
Untuk yang kesekian kali dia menghina suamiku.
"Kerja yang giat, masa kerja cuma di pabrik, dapat apa? kalau kita banyak duit, saudara kita banyak, buktinya kami, lihat ini kami diundang, kalian tidak karena apa coba?" Ramlan melanjutkan hinaannya.
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPart 2.Sepanjang malam pesta itu terus berlangsung, hingar bingar suara musik memekakkan telinga. Aku sudah berharap pestanya usai setelah jam dua belas. Karena memang seperti itulah biasanya. Akan tetapi musik terus berlanjut sampai jam tiga dini hari, mereka yang pesta, aku terpaksa ikut begadang. Pagi harinya, ketika aku hendak menyiram bunga yang ada di halaman. Aku terkejut, bungaku berantakan. Bunga keladi yang kuambil dari hutan kini sudah mati, padahal sudah sebulan aku merawatnya, mulai dari umbi sampai berdaun. Botol minuman keras berserakan di halaman rumah. Piring dan gelas kotor juga banyak. Ya, Tuhan, gini amat punya tetangga, sudahlah pestanya tak diundang, sampahnya pula dibagi. Aku sudah tak tahan, darahku naik sampai ke ubun-ubun. Kudatangi rumah mereka. "Assalamu'alaikum," kataku seraya menggedor pintu. Tak ada sahutan, kugedor lebih keras lagi, hingga akhirnya pintu terbuka. Dari balik pintu muncul seorang pemuda.
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya"Mamah dapat suami baru?" tanya suami dengan wajah bingung. "Aku baru tahu, ternyata selama ini suamiku kaya," kuulangi perkataan, karena tampaknya suami belum ngeh juga. Kupeluk suami tanda senang dan bahagia, hatiku berbunga-bunga, entah bagaimana menggambarkan suasana hatiku saat ini."Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, orang kaya itu adalah orang yang cukup, orang yang bersyukur, biarpun mobilnya tiga, bila orang itu masih merasa kurang, dia masih bisa disebut miskin. Suamimu ini, biarpun rumah hanya warisan, itupun terancam tergusur, kenderaan pun hanya motor butut, tapi aku selalu bersyukur, pada hakekatnya itulah orang yang kaya," Suamiku malah ceramah. Sebel. "Pah, Papah, rumah ini takkan digusur, ini milik kita, eh, milik Papah, aku baru bicara dengan Pak Abdul, tanah ini sudah dihibahkan," aku coba menjelaskan dengan singkat. Suami malah terlihat bingung. "Ada surat hibah kata Pak Abdul, suratnya almarhum Papa yang peg
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPart 4.Suami tetap tenang, tak seperti orang yang baru mendapat warisan milyaran. Dia tetap biasa saja, pagi hari pergi kerja ke pabrik kertas, tempat dia bekerja selama ini. Sore hari disempatkannya mengurus kebun sayur yang di belakang rumah. Kakakku datang lagi, katanya dia mau menggelar acara sunatan untuk anaknya. Aku diajak untuk bantu-bantu. "Kau nyumbang tenaga aja, gak usah nyumbang uang, biar gak berat kali kalian," kata kakak. Dalam hati aku ingin membalas, akan tetapi suami selalu melarang aku untuk membalas. Padahal aku sudah tak tahan lagi. Lelah rasanya selama ini diremehkan. "Ngomong-ngomong kapan kalian pindah?" tanya kakak lagi. "Gak jadi pindah, Kak, mereka masih kasih keringanan." suamiku yang menjawab. "Sebaiknya cepat cari rumah lain, nanti digusur bagaimana, kan kalian juga yang susah." kata kakak. "Iya, Kak," jawab suami. "Hei, Subur, bukan maksud merendahkan ya, lihat sekeliling kalian, rumah semua bagus-
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPart 5.Ada pengajian bulanan ibu-ibu komplek, kali ini giliran rumah Bu Bondan. Sebenarnya aku malas datang, akan tetapi lagi-lagi suami menyuruhku. "Itu pengajian, Mah, gak perlu undangan," begitu alasan suami. "Malas, Pah, orang itu sukanya menghina," kataku dengan wajah cemberut. "Gak boleh gitu, Mah, silaturahmi harus dijalin dengan tetangga, gak usah dengarin omongan orang," bujuk suami lagi. Sudah jadi kebiasaan di lingkungan komplek, pengajian ibu-ibu berubah jadi ajang pamer makanan. Yang jadi tuan rumah akan menjamu tamu dengan makanan enak. Seakan-akan berlomba-lomba di rumah siapa yang makanannya paling enak. Jemaah pengajian pun berlomba-lomba memakai perhiasan mahal. Ajang pamer tas branded. Kadang aku berpikiran ini arisan atau pengajian? Akulah yang pertama datang, sebagai tetangga paling dekat, aku menawarkan diri untuk bantu- bantu. Akan tetapi jelas sekali terlihat wajah tak suka dari Bu Bondan. "Jaga dulu hidangan
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya.Rasa penasaran terus saja menghantuiku, dari mana suami dapat duit? Rasa penasaran juga yang membuat aku diam-diam memeriksa saku celananya ketika dia solat. Astaga! masih ada segepok uang di sakunya. Jangan-jangan suami sudah bertemu lagi dengan Erwin? Jangan-jangan? Ah, berbagai macam pertanyaan bergelayut di kepala. "Pah, uang Papah banyak, ya?" kataku ketika kami hendak tidur. "Mamah periksa kantong Papah?" tanya suami. "Iya, Pah, maaf, memang uangnya dari mana?" tanyaku lagi. "Udah, Mah, pokoknya halal," jawab suami acuh tak acuh. "Maaf, Pah, maafkan sikapku yang kekanakan," kataku lagi seraya merebahkan kepala di dada bidangnya. "Iya, Mah, Papah juga minta maaf, belum bisa membutuhi kebutuhanmu," kata suami seraya mengelus rambutku. Sampai akhirnya aku tertidur di dadanya. Aku memang istri yang manja, sudah lima belas tahun berumah tangga aku masih sering ngambek tak jelas, masih suka bermanja-manja ketika mau tidur. Besok
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaSemenjak punya motor baru, Bu Bondan selalu mencibir bila aku lewat di depan rumahnya, mana pula tak ada jalan lain, hanya itu satu-satunya jalan. Akan tetapi nasihat suami supaya jangan dipedulikan masih bisa kujalani. Apapun katanya, pura-pura saja enggak dengar. Pagi itu aku sedang menyiram bunga yang ada di halaman. Sekalian cuci motor baruku. Bu Irma tetangga depan rumah datang. "Selamat pagi, Bu Yanti," sapanya ramah. Dari sekian banyak warga komplek, hanya ibu ini satu-satunya yang ramah padaku. "Pagi juga, Bu," jawabku seraya menghentikan aktivitas. "Motor baru, Ya, Bu?" katanya lagi. "Iya, Bu," jawabku singkat. "Boleh minta sedikit srenya, Bu Yanti," "Boleh, boleh, ambil saja, Bu," Di sekitar pekarangan rumah memang ada beberapa tanaman yang sudah ada sejak dulu, mulai dari sre, kunyit, jeruk nipis ada di sini. Suami suka berkebun. Bu Irma lalu masuk dan mengambil sendiri sre itu. Bu Bondan datang. "Lagi ngapain, Bu Irma
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaMakmur anakku boncengan sama suami, sedangkan aku bawa scoopy baru. Kami jalan malam itu, ketika lewat di depan rumah Bu bondan, suami bunyikan klakson untuk menyapa Pak Bondan yang kebetulan duduk di teras rumahnya. "Malam, Pak," sapa suami sambil melambaikan tangan. "Gak pernah kutuan!" teriak Bu Bondan yang ternyata berdiri di depan pagar rumahnya. Mungkin dia lagi mengintip kami. Aku hanya tersenyum melihat kebingungan suami dengan perkataan Bu Bondan. Sepanjang jalan melewati komplek semua mata seakan tertuju kepada kami, atau perasaanku saja yang begitu. Akan tetapi setiap orang seperti menatap lain pada kami. Aku pengen makan bakso, Makmur pengen ayam penyet sedangkan suami pengen nasi soto. Tak ada warung yang sekaligus menjual itu semua, jadilah kami kunjungi warung satu persatu. Pertama warung ayam penyet menuruti kemauan Makmur, baru warung bakso, terakhir soto Medan. Norak, ya. "Apa maksudnya gak pernah kutuan, Mah?" tany
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaAku langsung berlari ke kamar, tempat kotak kecil itu berada, di situ ada surat hibah dan sertifikat tanah. Ada juga surat nikah almarhum mertua beserta surat penting lainnya.Benar saja kotak kayu berukiran itu sudah terbuka, isinya berserakan di lantai."Pah, Papahh!" teriakku histeris.Suami datang, akan tetapi dia tetap tenang, suamiku ini memang tipe orang yang tak mudah panik. Akan tetapi masalah begini sudah sepantasnya panik."Tenang, Mak, ambil napas panjang dulu," kata suami, dasar!"Papah gimana, sih, surat hibah itu, Pah, hilang, Papah malah suruh ambil napas?" kataku setengah berteriak."Tenang, Mah, sudah Papah antisipasi ini," kata suami."Antisipasi, antisipasi, macam pengacara aja sekarang omongan Papah," kataku seraya memunguti surat lain yang berserakan.Tanpa di suruh, tetangga kiri kanan masuk r