Hajatan Tetangga
#Tetangga_tak_tahu_kami_kaya
"Mamah dapat suami baru?" tanya suami dengan wajah bingung.
"Aku baru tahu, ternyata selama ini suamiku kaya," kuulangi perkataan, karena tampaknya suami belum ngeh juga.
Kupeluk suami tanda senang dan bahagia, hatiku berbunga-bunga, entah bagaimana menggambarkan suasana hatiku saat ini.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, orang kaya itu adalah orang yang cukup, orang yang bersyukur, biarpun mobilnya tiga, bila orang itu masih merasa kurang, dia masih bisa disebut miskin. Suamimu ini, biarpun rumah hanya warisan, itupun terancam tergusur, kenderaan pun hanya motor butut, tapi aku selalu bersyukur, pada hakekatnya itulah orang yang kaya," Suamiku malah ceramah. Sebel.
"Pah, Papah, rumah ini takkan digusur, ini milik kita, eh, milik Papah, aku baru bicara dengan Pak Abdul, tanah ini sudah dihibahkan," aku coba menjelaskan dengan singkat.
Suami malah terlihat bingung.
"Ada surat hibah kata Pak Abdul, suratnya almarhum Papa yang pegang, cari, Pah, cari," kataku bersemangat, membuat suamiku justru makin bingung. Ah, suami apaan ini, dia malah gak sadar dirinya adalah pewaris tunggal tanah perumahan seluas empat hektar.
Nama suamiku Subur, almarhum Mertuaku bernama Syukur, anakku juga satu masih kelas satu SMP, namanya Makmur. Entah mereka kurang kosakata atau bagaimana sehingga tiga generasi Ur semua. Subur, suamiku anak tunggal, sebelumnya kami tinggal ngontrak, setelah Mertua mulai sakit kami tinggal bersama mertua, sedangkan ibu mertua sudah lama meninggal.
Kami mulai mencari surat hibah itu, ada satu kotak kecil tempat mertua menyimpan barang berharga, kotak itulah yang pertama kuperiksa. Benar saja ada surat hibah, bahkan langsung ditandatangani oleh lurah pada waktu itu. Bahkan sertifikat tanah juga ada. Entah kenapa mertua merahasiakan ini?
"Dulu almarhum Bapak memang pernah berkata, "itu kotak dan isinya untukmu," tapi waktu itu aku tak begitu peduli, dalam pikiran saya, apalah paling isinya, selama hidupnya bapak hanya bekerja sebagai penarik beca, makanya aku tak begitu peduli." terang suami.
"Terus bagaimana bisa dibangun perumahan? kan semua ini milik kita?" tanyaku heran.
"Erwin dulu pernah datang, dia katanya mau bangun perumahan, ya, karena memang setahuku tanah pamannya, ya, apa mau kubilang, waktu itu dia berjanji rumah kita tak akan dia ganggu." Terang suami lagi.
"Berarti dia tahu tanah ini sudah dihibahkan, tapi karena Papah tak tahu, dia ambil keuntungan sendiri, kita harus bergerak, Pah, aku bosan hidup miskin, aku ingin membuktikan pilihanku tepat. Aku ingin mengusir tetangga yang tega usir kita," kataku bersemangat.
"Jangan, Mah, kejahatan dibalas kejahatan itu biasa, tapi kalau kejahatan dibalas kebaikan, baru luar biasa," jawab suami.
"Jadi kita harus bagaimana, Pah?"
"Biarkan saja tetangga anggap kita miskin,"
Ah, suamiku memang terlalu baik, padahal aku sudah ingin mengusir pak Bondan, ingin ku perlihatkan pada semua orang, hanya aku pemilik di komplek ini, mereka semua hanya mengkridit yang baru jalan lima tahun.
Siang itu, Erwin datang, dia ditemani security dan seorang pria berdasi pengurus perumahan.
"Maafkan anak buahku, Pak, mereka tak tahu apa-apa," kata Erwin begitu mereka duduk. Mungkin Pak Abdul sudah meneleponnya.
"Iya, Gak apa-apa," jawab suami. Aku kesal juga lihat suami lembek begitu. Padahal sudah jelas Erwin itu menipu.
"Aku mau tahu, bagaimana bisa kau jual rumah, tanahnya bukan tanahmu?" aku akhirnya bicara.
"Maaf, Bu, sudah kuminta izin kepada Pak Subur waktu itu, dia bilang bangun saja," kata Erwin.
"Kau tahu kan, tanah ini milik kami, kenapa bisa kau bangun perumahan?" Ulangku lagi.
"Begini, Bu, tolong jangan sampai Pak Abdul tahu, sebenarnya aku jalin kerja sama dengan pengembang dan lurah serta camat, karena sertifikat tanah tidak ada, aku urus semua,"
"Ada sertifikatnya, ya, kami simpan semua, kalau kalian macam-macam aku bertindak," kataku.
"Tolong, Bu, kita damai saja, aku akan bangun rumah kalian jadi rumah mewah, gratis semua. Tapi tolong jangan sampai Pak Abdul turun tangan lagi." kata Erwin.
Hatiku berdebar aneh, jantungku terasa jalan lebih cepat, rumah mewah? duh, mimpi apa aku, akan tetapi aku yakin hak kami bukan hanya sebatas rumah gratis.
"Kami pikir-pikir dulu, nanti kami kabari," kata suami akhirnya.
Suamiku ini memang tipe yang lemah lembut, aku belum pernah melihat dia marah, belum pernah berkata kasar, itulah yang membuat aku dulu jatuh cinta padanya.
Ketika Erwin dan dua anggotanya keluar rumah, Bu bondan sudah berada di depan rumahku.
"Kalau mau pindah kalian, bunganya jual samaku ya, kan susah dibawa-bawa, lumayan bisa tambahan ongkos pulang ke desa," kata, Bu Bondan seraya melirik keladiku.
"Kami tak jadi pindah, Bu," suami yang menjawab.
"Yakin? Nanti digusur, nangis?" cibir Bu Bondan.
Ketika aku hendak bicara, suami malah menutup mulutku pakai tangannya.
"Udah, Mah, ayo masuk," kata suami.
Aku tak bisa membantah suami, biar dia bagaimana pun aku sangat hormat padanya. Kami dua orang dengan sifat yang bertolak belakang, aku yang cerewet, dia yang pendiam. Kata suami justru itulah keharmonisan rumah tangga. Kalau keduanya cerewet bagaimana? Atau keduanya pendiam bagaimana?
"Kita orang kaya, Ya, Pah," kataku ketika dia mau masukan kamar.
"Iya, Mah, iya," jawab suami.
"Kita harus mulai belajar jadi orang kaya, Pah," kataku.
"Belajar bagaimana?"
"Papah itu jalannya jangan nunduk terus lagi, angkat kepala dikit," kataku.
Suami hanya menjawab dengan senyuman sambil geleng-geleng kepala.
"Selamat malam, Pak Subur, pemilik perumahan empat hektar," candaku seraya bergaya bak pramugari.
"Malam juga, Bu Yanti, istri cerewetku," suami membalas candaanku. Biarpun aku memang cerewet, tapi entah kenapa tak suka dibilang cerewet.
Tiba sudah hari keberangkatan Pak Abdul, entah kenapa aku merasa sedih sekali. Baru beberapa bulan kurasakan bagaikan punya mertua. Kini Pak Abdul akan pergi lagi.Tak terasa air mataku menetes ketika melepas Pak Abdul di Bandara. Aku salim seraya berurai air mata."Jangan nangis, Maen, kita akan tetap berhubungan, kan ada WA?" kata Pak Abdul seraya membelai rambut ini.Akan tetapi aku justru makin menangis, sedih rasanya perpisahan ini. Pak Abdul berangkat juga, tujuannya masih ke Malaysia, dari Malaysia kemudian baru ke Arab Saudi. Pak Abdul benar-benar melepas semua hartanya yang tertinggal. Elsa dapat pabrik dan satu rumah, sedangkan kami dapat dua rumah. Habis sudah semua harta Pak Abdul. Keponakannya dari pihak istri pun masing-masing dapat satu rumah."Kalau ada kabar aku kenapa-kenapa di Mekkah, tak usah kalian repot-repot datang, ada yang urus aku di sana, satu lagi pintaku, tolong urus makam istri dan dua putriku, jangan
"Makmur!" teriakku memanggil anak tunggalku tersebut.Makmur datang dengan tergopoh-gopoh, rambutnya masih basah, dia hanya memakai handuk. Mungkin dia terkejut mendengar suara panggilan yang menggelelegar. Yah, memang beginilah Mamahnya ini, suaranya bisa mengalahkan suara enggang, mudah marah, suami bilang sumbu pendek."Makmur, kau sebarkan video Ibu ini, Ya?" Tanyaku dengan nada tegas."Gak koq, Mah, video itu aja udah hapus dari HP-ku, Ibu itu yang hapus," jawab Makmur."Hei, kecil-kecil sudah pandai bohong ya, terus siapa lagi kalau bukan kau?" hardik Bu Bondan."Makmur, sini dulu, Nak, sekarang jelaskan bagaimana bisa tersebar," kataku sambil merangkul pundak Makmur, kasihan juga melihatnya dia dibentak Bu Bondan."Aku hanya kirim ke Bang Bondan, terus Ibu ini marah lalu menghapus sendiri dari HP-ku," jawab Makmur."Untuk apa kau kirim sama Bondan, Nak?" Aku melunakkan nada bicara, dia
Dendam BerkaratPov Pak AbdulHidupku terus dibayang-bayangi rasa bersalah, karena ketelodoranku istri dan dua orang putriku pergi untuk selama-lamanya. Aku merasa tak berguna, tak bisa melindungi orang-orang yang paling kusayangi.Tiga pusara berdekatan itu kudatangi lagi, di nisan tertulis nama orang-orang yang paling kusayang di dunia ini. Aku terduduk menangis sesenggukan. Mereka pergi untuk selama-lamanya karena keegoisanku, seandainya dulu aku tak berbisnis kotor, seandainya dulu kuturuti kata istri. Mungkin ..."Aku berjanji akan menuntut balas pada orang-orang yang membuat kita harus berpisah, aku berjanji," batinku seraya memandangi tiga pusara itu.Tadinya aku sudah ikhlas dengan kepergian mereka yang paling kucintai, mungkin Tuhan lebih sayang pada mereka, aku akan turuti permintaan terakhir istriku. Taubat, ya, aku bertaubat, melepas semua bisnis tak jelas, menjual hampir seluruh properti. Menghabiskan waktu di Arab Sa
"Makmur, sini dulu kau?" kudengar Bu Bondan memanggil anakku si Makmur. Saat itu aku seperti biasa menyiram bunga. Makmur kebetulan lewat depan rumah Bu Bondan, dia mau pergi main ke rumah kawannya.Penasaran kumendekat mencoba menguping pembicaraan mereka. Akan tetapi aku tak dengar juga. Penasaran juga, kulihat Bu Bondan seperti marah, dan anakku menunduk lalu mengeluarkan HP-nya. Terus Bu Bondan memainkan HP tersebut. Ada apa ya?"Makmur!" kupanggil anakku seraya datang mendekati mereka."Hei Bu Yanti, HP itu berbahaya untuk anak sebesar dia, mentang-mentang kaya anak-anak pun dikasih HP," kata Bu Bondan."Dia sudah SMP, Bu Bondan, sudah wajar punya HP," jawabku kemudian."Wajar sih, wajar, tapi dia rekam orang sembarangan," kata Bu Bondan."Kau rekam apa, Makmur?" selidikku."Pesta kita itu, Mah, itu yang kutunjukkan sama Mamah tempo hari," jawab Makmur."Oh, itu, maaf, Bu Bon
Pov Bu BondanGara-gara uang cicilan rumah yang kutilep suamiku jadi berubah total. Dia yang dulu bisa kuatur dan kendalikan kini berubah seratus delapan puluh drajat. Biasanya dia selalu mendukung apapun tindakanku, memusuhi siapapun yang kumusuhi. Dia yang dulu bagaikan anjing manis yang selalu setia kini berubah jadi kucing nakal. Setelah tiga hari dia tak pulang, aku sungguh terkejut ketika dia pulang di tengah malam, bersamanya ada seorang wanita muda, tak cantik memang. Akan tetapi dia muda tentu saja aku kalah. "Apa-apaan ini, Bang?" tanyaku sambil berkacak pinggang. "Maaf, Dek, aku sudah jenuh dengan prilakumu, suami sendiri pun kau gosipkan entah ke mana-mana, aku sudah berusaha menutup aibmu tapi kau buka sendiri," jawab suami. "Ini siapa?" tanyaku seakan tak percaya. "Ini adik madumu, masih kau ingat pernah bilang silakan aku menikah lagi," jawab suami. Aku lalu mengingat-ingat, banyak sudah yang kubilang tentang suami, oh, aku baru sadar, waktu itu orang lagi ramai
Pondok yang ada di sudut halaman rumah jadi tempat kesukaan suami. Setiap sore dia suka duduk di situ sambil memandangi bunga dan kolam ikan. Seperti sore itu ketika aku menyiram bunga dia seperti duduk termenung."Ada apa, Pah? Melamun aja dari tadi?" tanyaku sambil terus menyiram bunga."Papah sedang berpikir, Mah, apa yang akan kita lakukan sebagai bentuk rasa syukur kita?" kata suami."Buat saja entah apa, Pah, bangun masjid kek, bangun sekolah mengaji kek, atau kawin lagi kek?" jawabku sambil melirik bagaimana reaksinya."Pas sekali," tiba-tiba suami bersorak sambil turun dari pondok."Papah mau kawin lagi?" mataku melotot.Suami memegang kedua pipiku, lalu mencium kening ini, "ide Mamah memang paten," kata suami.Tentu saja aku terheran-heran, ide yang mana?Suami lalu sibuk dengan andorid-nya, aku menghentikan aktivitas, sambil melirik HP suami. Lalu dia menelepon ent
Rumah telah selesai seratus persen, tinggal mengisi perabotan. Kami mulai belanja sofa dan tempat tidur. Beberapa truk toko perabotan mulai berdatangan. Ketika truk yang mengangkat springbed terpaksa berhenti di depan rumah Bu Bondan karena menunggu truk lain keluar. Bu Bondan mulai kumat penyakitnya.Dia memarahi supir truk karena parkir depan rumahnya. Aku yang mengawasi penurunan barang sempat mendengar keributan Bu Bondan."Hei, gak ada otak kau ya, parkir sembarangan di depan rumah orang," kata Bu Bondan."Maaf, Bu, hanya sebentar tunggu itu keluar, lagian gak nutupi pintu, koq," kata si sopir."Mentang-mentang beli springbed baru, harus parkir di depan rumah orang, maksudnya apa coba? Pamer, apa lagi," Bu Bondan mengoceh sendiri.Aku hanya tersenyum mendengar ocehan Bu Bondan, aku tahu dia hanya kepanasan melihat springbed merk ternama itu. Penyakitnya irinya memang belum sembuh. Kasihan juga melihatnya. Apa kami
Hajatan Tetangga#Tetangga_tak_tahu_kami_kayaPov Bu BondanSuamiku yang dulu selalu menurut apa mauku kini mulai bertingkah, dia mulai tak mau dukung aku bila mengghibah, aku benci penolakan.Pagi itu kami bertengkar hebat, masalahnya adalah uang cicilan rumah yang nunggak, dia paksa aku bayar, karena memang uangnya sudah dia berikan. Tadinya aku yakin cicilan akan diputihkan bila kami semua warga komplek kompak tidak bayar. Makanya uang yang diberikan suami kubelikan gamis dan tas branded. Akan tetapi dugaanku keliru, kami tetap harus bayar. Hanya denda yang dihilangkan.Sorenya suami tak pulang, ketika kuhubungi dia tak mau pulang kalau cicilan rumah itu belum beres. Aku harus bagaimana? Uangnya sudah kubelikan tas, sepatu dan gamis baru, bila dijual kembali pun tak akan cukup untuk bayar sampai sudah jalan empat bulan.Solusinya cuma satu, cicilan harus mereka putihkan. Aku akan ajak warga komplek untuk kompak jangan mau baya
Pagi itu tanpa sengaja aku menguping Pak Abdul lagi menelepon. Saat itu masih subuh, aku terbangun mendengar suara Pak Abdul, sementara suami dan anakku masih tidur. Pak Abdul memang menginap lagi di rumah malam itu."Ambil saja semua pembayaran rumah itu, aku puas cara kerjamu," kata Pak Abdul entah berbicara dengan siapa."Iya, iya, gunakan semua koneksi yang ada, jangan ragu kalau masalah dana," kata Pak Abdul lagi."Setelah ini selesai aku pulang, kuserahkan sama kau dua rumahku, kerjakan dengan rapi," Pak Abdul lanjut menelepon.Aku pura-pura tak mendengar saja, lanjut ke kamar mandi dan cuci piring bekas makan kami tadi malam. Selanjutnya kubangunkan anak dan suami, kami berempat solat subuh berjamaah. Baru Pak Abdul pamit mau mengerjakan sesuatu, begitu katanya.Siang harinya aku dan suami makan di luar, rumah makan padang jadi pilihan suami kali ini, dia memesan gulai kepala ikan kakap. Dia memang suka it