Alex memasuki kamar perawatan Dewi di rumah sakit dengan langkah pelan. Suasana ruangan itu terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya. Dewi terbaring di ranjang rumah sakit, matanya terpejam, dengan wajah yang pucat.
Alex berdiri di sana, memandangi Dewi cukup lama. Tubuhnya terasa lelah, dan hatinya terasa kosong. Keadaan di sekelilingnya seakan tidak bisa mengurangi ketegangan yang masih menjerat dirinya. "Apa yang sudah aku lakukan?" pikirnya, matanya tertunduk. Ia mendesah panjang, lalu berjalan mendekat. Tatapannya melembut saat melihat perut Dewi yang membuncit. Meski ada kehidupan baru yang mereka nantikan, Alex masih merasa asing dengan semua ini. Rasa bersalah yang tak kunjung hilang menyergapnya.
"Apa aku terlalu keras?" pikirnya.
Rachel pernah berkata, "Kalau kau tidak bisa menunjukkan rasa sayangmu, paling tidak jangan membuatnya merasa tidak dihargai." Kata-kata itu terngiang di telinganya, menusuk hatinya yang sudah ra
Suara gemericik kopi yang dituangkan ke dalam cangkir memenuhi ruang tamu kecil di rumah Alex. Pagi itu terasa biasa saja bagi Dewi, yang sedang menyusun beberapa piring camilan untuk tamunya. Namun tidak bagi Fabio, momen ini adalah reuni yang sudah lama yang dinantikannya. Bukan hanya karena nostalgia, tapi karena ada sesuatu yang mengusik pikirannya sejak pertemuan mereka sebelumnya. “Sudah berapa lama ya kita enggak ketemu, Dewi? Sejak SMA, mungkin?” Fabio menyesap kopinya dengan santai, tapi matanya meneliti sekeliling ruangan dengan seksama. “Kurang lebih, ya. Aku bahkan hampir lupa wajahmu, sampai lihat fotomu di grup alumni,” Dewi tertawa kecil. “Oh iya, kenalin, ini suamiku, Alex.” Alex, yang sejak tadi berdiri di dekat pintu dengan sikap tenang, melangkah maju dan menjabat tangan Fabio dengan sopan. Cengkeramannya kokoh—tidak terlalu erat, tapi juga tidak longgar. “Fabio, teman masa kecil Dewi,” Fabio memperkenalkan dirinya sambil tersenyum lebar. “Aku dengar banyak te
Alex nampak duduk di sofa dengan tangan mengenggam ponsel, sementara suara televisi hanya menjadi latar tanpa ada yang benar-benar menyimak. Pikirannya penuh dengan pertimbangan. Dewi yang duduk disebelahnya menarik napas pelan sebelum akhirnya membuka suara. "Mas..." Alex mengangkat wajahnya, alisnya sedikit terangkat karena nada suara Dewi terdengar ragu. "Hmm?" Dewi menggigit bibirnya sejenak sebelum melanjutkan, "Aku mau cerita sesuatu. Tadi aku nggak sengaja ketemu seseorang."Alex menyandarkan punggungnya, kini memberikan perhatian penuh. "Siapa?" "Fabio," jawab Dewi pelan. Ia memperhatikan ekspresi Alex yang awalnya tenang, kini tampak sedikit berubah, meski sulit diartikan. "Fabio?" Alex mengulang nama itu dengan nada datar. Dewi mengangguk. "Dia teman lamaku. Kami kenal sejak SMA. Dulu... Fabio itu seperti kutu buku, nggak banyak omong, tapi kalau bicara selalu berbobot. Dia satu-satunya orang yang bikin aku kesulitan di sekolah karena selalu jadi saingan berat sema
Dewi mengerutkan kening, melihat Lucas berlarian menghampirinya. Remaja itu merentangkan tangan dengan telunjuk teracung, entah sedang menunjuk ke arah mana. "Ada apa sih? Mbak lagi tanggung nih." "Sebentar aja, Mbak. Ayo! Sini dulu," kata Lucas sambil menarik-narik tangan Dewi. Dewi mendesah pelan, menaruh pisau yang sedang dipegangnya, lalu mengikuti Lucas yang tampak bersemangat. Saat mereka melangkah keluar, hawa dingin pagi menyambut, disertai sinar matahari yang masih lembut memantul di daun-daun basah. "Lihat siapa yang datang, Mbak!" ujar Lucas dengan mata berbinar, menunjuk ke arah halaman depan. Dewi mengintip sekilas dari balik pintu, dan langkahnya seketika berhenti. Mata bulatnya terpaku pada sosok lelaki yang berdiri di sana— Alex. Meski hanya semalam tidak bersama, kerinduan itu terasa begitu menyesakkan. Ia menatap Alex lama, mengabaikan dingin di ujung jemarinya, seolah-olah ingin memastikan bahwa ini bukan mimpi. Alex sempat terdiam, matanya lurus menatap
Dewi duduk di seberang Arman, sementara Lucas berdiri di dekat meja, bersandar dengan tangan terlipat. Wajahnya tetap menunjukkan rasa curiga yang tak disembunyikan. Arman membuka map cokelat dan meletakkannya di atas meja. Beberapa lembar dokumen terlihat, beberapa di antaranya penuh dengan angka-angka dan tabel yang sulit dipahami.Saat Arman bersiap berbicara, Lucas berbisik pelan ke telinga Dewi."Mbak, yakin kita harus percaya orang ini? Kita bahkan nggak kenal dia."Dewi menegang sejenak. Keraguan itu sejujurnya juga ada dalam benaknya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia menatap Lucas, memberikan isyarat agar tetap waspada.Arman mengamati mereka sebentar, seolah menyadari bisikan Lucas, sebelum akhirnya membuka suara. Sekilas, ada keraguan di wajahnya. Ia menatap Dewi, sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya.“Sebelum saya jelaskan lebih jauh, saya harus bertanya,” Arman memul
Dewi berdiri di ambang dapur, menatap pintu depan dengan hati berdebar kencang. Ketukan keras itu terus terdengar, seolah memukul setiap sudut rumah kecil mereka. menuntut perhatian, memukul setiap sudut rumah mereka yang sunyi. Ia bisa mendengar napasnya sendiri yang mulai tidak beraturan, berusaha keras melawan rasa takut yang merayap naik. Lucas yang biasanya santai kini berdiri kaku, wajahnya penuh tanya.“Mbak Dewi, itu bukan polisi lagi, kan?” bisik Lucas, matanya tak lepas dari pintu. Suaranya bergetar, mencoba terdengar tenang meski ketegangan jelas terpancar dari gerak tubuhnya.Dewi menggenggam kain celemek di tangannya lebih erat, jari-jarinya yang dingin terasa gemetar. Ia menelan ludah, memaksa dirinya tetap tenang. Tidak mungkin polisi kembali pagi-pagi begini tanpa pemberitahuan. Tapi… siapa lagi yang datang dengan cara seperti ini? Pagi yang seharusnya menjadi awal hari, kini terasa seperti akhir dunia.
Dewi duduk sendirian di ruang makan. Pagi itu terasa berat, meski cahaya matahari yang masuk melalui tirai menciptakan pola hangat di dinding. Dapur di belakangnya masih rapi setelah ia membersihkan piring dan gelas tadi malam. Bau sabun cuci yang samar bercampur dengan aroma kayu lemari membuat suasana semakin sunyi.Matanya memandang keluar jendela, tetapi pikirannya melayang jauh. Ia teringat jelas suatu pagi di dapur—saat Alex dengan nada perintah yang tegas, hampir tanpa senyum, mengarahkan setiap langkahnya."Dulu, ketika aku salah melakukan sesuatu, Alex langsung mengoreksi dengan cara yang dingin. Namun, di balik itu semua, aku tahu ia hanya ingin segalanya sempurna demi kebaikan bersama. Meski terkesan bossy, namun setiap perintahnya adalah cerminan dari tanggung jawab besar yang selalu ia emban," pikir Dewi dalam hati. Kenapa semua ini harus terjadi? gumam Dewi dalam hati. Pertanyaan itu terus menghantui, ter