"Nggak tau Rin. Dari tadi pagi rasanya mual terus agak pusing gitu," ujar Anjani.
"Yaampun Jan, terus lu udah minum obat belum? Atau mau gue kerokin?" tawar Rini rekan kerja Anjani.
"Makasih Rin, tadi udah pakai aromatherapy kok Rin, udah agak mendingan!"
"Yaudah kamu makan gih biar ada tenaga!" titah Rini.
Rasa mual Anjani kembali hadir setelah melihat soto.
"Rin, aku kok malah jadi pengen muntah ya liat soto?” Ucap Anjani sambil menutup mulut."Aneh banget sih lu hari ini Jan, tingkah lu persis kayak orang hamil aja,”celetuk Rini.
Degggg
Anjani mematung mendengar celetukan Rini.
"Hamil? Ahh lo ada ada aja deh Rin. Udah ya Rin soto gue sekalian aja lo yang makan ya Rin, gue balik ke kantor dulu aja," ucap Anjani sambil berlalu dengan menutup mulut.
"Eh beneran nih? Makasih ya Jan. Semoga cepet sembuh!"
Anjani hanya mengangguk sambil berlalu.
“Eh tapi kalo badan gue melar gimana Jan?” teriak Rini pada Anjani.“Yaudah melar nanti dikempesin lagi hahaha...”'Apa benar aku hamil?' batin Anjani yang mulai gelisah saat berjalan menuju ruangan kerjanya. Dia langsung melihat kalender setelah sampai di ruangannya.
"Astaga, ternyata bulan ini aku belum dapet. Apa aku memang benar benar hamil?”
"Ahh nggak mungkin. Aku harus beli alat tes untuk memastikannya!" gumam Anjani sedikit takut.
***
Sepulangnya dari kantor dia mampir ke apotek untuk membeli tecpack. Dan sesampainya di rumah dia langsung menggunakannya.
"Apa? Garis dua? Ya Tuhan aku harus bagaimana?"
Tubuh Anjani merosot setelah melihat hasil tespack yang menunjukkan strip berubah menjadi dua. Dia menangis sejadi jadinya.
"Ya Tuhan apa dosa yang pernah ku perbuat di masalalu hingga Engkau memberiku cobaan yang berat ini Tuhan? Apakah aku akan sanggup menjalaninya?"
“Apakah aku harus menggugurkan kandungan ini? Aku harus mencari kemana orang itu sedangkan dia sama sekali tidak meninggalkan jejak. Aku bahkan tak mengetahui namanya,” gumam Anjani sambil terisak.
Sejenak dia melihat kain jarit miliknya.
“Jika hidupku tak pernah merasakan kebahagiaan, lebih baik aku mati saja!” ucap Anjani dengan tatapan kosong.Dia keluar membawa kain panjang itu dan hendak mencari pohon. Setelah dia menemukannya, dia lalu melilitkan kain itu ke pohon lalu hendak mengaitkannya ke leher. Namun belum sampai dia melakukannya, dia teringat sesuatu ceramah yang pernah dia dengar.“Tidak, jika aku bunuh diri maka dosaku akan bertambah. Dan Tuhan pasti takkan mengampuni dosa dosaku. Aku tidak boleh bunuh diri!” ucapnya lalu mengurungkan niat bunuh diri.
Dia bergegas kembali ke kosnya. Dia langsung mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat sunnah serta meminta ampunan.
“Ya Allah, hamba manusia yang sangat kotor Ya Allah, ampuni segala dosa dosa hamba Ya Allah, ampuni segala kekhilafan hamba. Berilah hamba jalan keluar Ya Allah. Engkaulah Yang Maha Pemaaf lagi Maha Penolong!”
***
Setelah selesai sholat, dia mencoba merenung dan memikirkan baik baik langkah yang akan dia ambil. Dia melamun memikirkan hidupnya yang berantakan hingga akhirnya tertidur. Keadaannya sangat terpuruk tanpa ada yang menyupportnya.
"Aku akan mempertahankan bayi ini. Bagaimanapun dia tidak bersalah dan dia bukan sebuah kesalahan. Kuat kuat ya Nak, kamu satu satunya penyemangat Mama. Mama akan memperjuangkanmu sayang," ucap Anjani sambil mengelus perutnya yang masih rata.
Walau tengah hancur, tapi Anjani tetap memasang wajah seperti biasanya.
'Tidak boleh ada yang mengetahui tentang kehamilanku ini. Aku harus merahasiakannya dulu dari siapapun,' batin Anjani.
Hari ini dia memutuskan untuk tetap masuk seperti biasanya.
"Jangan rewel ya Nak di dalam sana, Mama hari ini kerja biar kita ada uang," monolog Anjani sambil mengelus perutnya.***
Hari kini telah berganti bulan dan perut Anjani makin membesar, teman teman sekantornya mulai kepo tentang suami Anjani namun Anjani selalu menjawab suaminya bekerja di luar kota. Suatu ketika, CEO tempat Anjani bekerja berkunjung ke kantor itu.
"Semuanya segera bersiap, CEO kita akan segera tiba!" seru manajer.
Anjani dan teman temannya berbaris rapi menyambut CEO.
"Katanya CEO nya itu masih single loh belum punya pasangan!"
"Aku udah rapi belum? Aku harus terlihat cantik biar di lirik CEO ganteng!"
“Huuuu ngarep!”
"Eh tapi denger denger katanya dia dingin dan punya riwayat OCD loh jadi nggak sembarang orang bisa nyentuh dia!"
Kasak kusuk terdengar mengenai CEO mereka yang belum pernah menampakkan dirinya itu. Namun Anjani hanya cuek tidak terlalu antusias karena baginya yang terpenting sekarang adalah bekerja agar bisa mencukupi kebutuhan anaknya suatu saat.
"Jani keknya lu kurang excited ya sama CEO ini? Padahal temen temen cewek yang lain pada heboh sendiri loh!" tanya salah satu teman.
"Ahh aku mah nggak penasaran sama wajahnya, yang penting kerja dan dapat gaji udah cukup bagiku hehe," ucap Anjani yang sebenarnya juga sedikit kepo.
Waktu yang di tunggu telah tiba, sang CEO keluar dari mobil dan masuk ke dalam gedung. Semua karyawan termasuk Anjani menunduk. Namun saat sang CEO melewati Anjani, dia teringat sesuatu.
"Kamu-" dia berusaha mengingat.
Sementara Anjani kaget bukan main dengan fakta yang tersaji di depannya.
"Kamu! Segera ke ruangan saya sekarang!"
"Makanya buruan nikah Val, biar Mama punya banyak cucu," celetuk Nurma. "Ahh bentar lah Ma, masih pengen sendiri dulu. Biar bebas nggak ada yang melarang," jawab Valdi santai. "Padahal nikah itu enak lho Val, keperluan apapun sudah ada yang menyiapkan, mau makan tinggal minta di masakin. Malamnya juga dapat servis, rugi lho kalau nunda-nunda," ujar Revan memprovokasi. "Gampanglah ntar kalau udah ada calonnya pasti nikah kok. Secara iparmu yang ganteng kan juga jadi incaran para Mama mertua, jadi tinggal pilih aja kalau udah kepingin menikah" ucap Valdi percaya diri. "Huu dasar kepedean!" sahut Anjani dan Arya. "Eh bentar, ini anak kalian mau dinamai siapa?" tanya Mila tiba-tiba. Semua yang ada di ruangan itu menepuk keningnya karena lupa jika bayinya belum di beri nama. "Emm, sesuai kesepakatan kami berdua, anak yang kami yang cowok kami namai Kalandra Adi Purnomo dan yang cewek namanya Alindra Putri Purnomo," jawab Revan. *** Setelah beberapa waktu mereka semua pamit undur di
Revan memacu kendaraannya dengan kecepatan di atas rata-rata. Dia ingin segera sampai di rumah sakit secepatnya."Ayolah kenapa mereka lemot sekali? Nggak tahu orang lagi darurat apa?" gerutunya sambil berusaha menyalip kendaraan di depannya.Sesampainya di rumah sakit, dia bergegas menuju ruang operasi. Dia meminta izin pada dokter agar diperbolehkan menemani istrinya yang sedang berjuang."Boleh Tuan, tapi harap jangan mengganggu jalannya operasi ya, Tuan!" kata dokter."Baik, Dok."Revan segera memakai baju steril yang sudah disediakan dan segera masuk ke ruang operasi."Mas Revan," sapa Anjani dengan lirih dan lemah.Revan segera mendekat dan menciumi Anjani yang sedang berbaring di meja operasi."Sayang, kamu harus kuat demi aku dan kedua anak kita," ucap Revan menguatkan Anjani.Revan tidak beranjak dari sisi Anjani selama operasi. Saat bayi pertama berhasil di keluarkan, Revan sempat mematung mendengar suara tangis bayinya."Anakku," ucapnya lirih.Disusul ke luarnya bayi kedua
Alex akhirnya ditangkap oleh anak buah mertuanya sendiri dan sekarang sedang diberi pelajaran oleh Pranoto. Pranoto benar-benar merampas semua aset milik Alex hingga Alex jatuh miskin. Tidak hanya itu dia juga terjerat dengan pasal berlapis. Dia tidak bisa berkutik lagi karena semua hartanya habis tak bersisa.Suami Vina berinisiatif mengajak Vina menjenguk Alex ke lapas. Bagaimana pun juga, Alex merupakan ayah kandung Vina. Alex sangat terkejut dengan kedatangan Vina dan suaminya."Nak, kamu datang menjenguk Ayah, Nak?" tanya Alex berkaca. Kini dia sadar jika keluarga lebih berarti dari segalanya."Aku datang atas permintaan suamiku. Ini aku bawakan makanan untukmu, perbaikilah dirimu dan bertobatlah. Walau bagaimana pun kau tetap ayah kandungku, meskipun kehadiranku mungkin tidak kau harapkan!" ucap Vina tanpa menoleh ke arah Alex sedikit pun. "Maafkan Ayah, Vina. Ayah sudah menoreh luka terlalu dalam di hidupmu, aku tidak pantas disebut ayah," ucap Alex tergugu. "Setidaknya aku
Revan menghentikan gerakannya sejenak dan menatap Anjani dengan lekat."Ada angin apa tiba-tiba kamu ingin mengajak Mayra bertemu, hm?" tanya Revan lembut."Aku ingin berbicara dari hati ke hati dengan Mayra, Mas. Rasanya aku masih punya beban karena bahagia di atas derita orang lain," jawab Anjani.Revan hanya menanggapi ocehan Anjani dengan senyuman. Dalam hatinya sangat bangga dengan sifat istrinya yang masih memedulikan orang lain walau sudah menyakitinya secara fisik dan mental."Kamu yakin? Tapi kan dia yang sudah membunuh anak pertama kita, Sayang. Apa kamu nggak takut dia akan kembali melakukannya?" tanya Revan hati-hati."Kan ada kamu, Mas. Aku yakin kamu nggak akan membiarkanku dan anak-anak kita dalam bahaya," jawab Anjani dengan mantap."Terima kasih sudah percaya padaku Sayang. Tapi kamu harus tahu kalau Mayra sekarang berada di rumah sakit jiwa. Dan aku tidak mau mengambil risiko kalau kamu tetap ngotot ingin menemuinya.
DeggggPengakuan Gibran membuat Linda menjadi terkejut. Dia sama sekali tidak mengira jika Gibran akan menaruh hati pada Mayra."Kalau kau memang mencintai Mayra, kenapa kau mau menuruti perintahku untuk menghancurkan hidupnya dan menjauhinya?" tanya Linda nanar."Apa Tante sudah melupakan sesuatu?" tanya Gibran balik.Flashback On"Tante, apa tidak sebaiknya aku menikahi Mayra saja? Aku rasa sepertinya aku sudah terlanjur mencintainya. Aku berjanji tidak akan pernah membiarkannya kembali mengejar Revan, Tante!" ujar Gibran meminta pertimbangan."Tidak, kau tidak boleh menikahinya. Mayra harus menderita karena sudah berani menentangku dan terus berhubungan dengan Revan. Awas saja kalau sampai kau berani menikahi Mayra, Gibran. Di sini, akulah yang berhak memutuskan segalanya. Dan kamu hanya harus tunduk di bawah perintahku!" Flashback off"Dengan pongahnya kau memintaku meninggalkan Mayra di saat aku sudah mulai mencintainya. Apa kau pikir itu tidak menyakitkan bagiku, Tante Linda?"
Sementara di sisi lain, kondisi Mayra semakin mengenaskan setelah dia ke luar dari tempat penyiksaan. Anak buah Reno sengaja menyiksa mental Mayra hingga dia berubah menjadi tidak waras. Dia sering menangis dan tertawa dengan tiba-tiba."Revan, coba lihat anak kita cantik sekali ya seperti aku. Kamu nggak mau gendong dia Van? Coba deh Van lihat anak kita," ucap Mayra sambil menggendong boneka dan menyodorkannya pada penjaga. Kedua orang tua Mayra sengaja memperkerjakan penjaga untuk menjaga Mayra agar tidak kabur. "Pa, bagaimana ini Pa? Anak kita seperinya sudah gila, Pa? Segera lakukan sesuatu Pa, aku tidak bisa melihatnya seperti ini lebih lama," ucap Fatma sambil menangis."Tidak ada cara lain lagi Ma, kita harus membawa Mayra ke rumah sakit jiwa."Mau tidak mau akhirnya Fatma harus rela jika Mayra dibawa ke rumah sakit jiwa. Polisi juga tidak menangkap Mayra kembali dengan alasan Mayra sakit jiwa. Setiap hari Mayra selalu meracau dan menganggap setiap lelaki yang melintas di de