Di luar gerbang seoramg pemuda tampan sudah berdiri gagah di depan mobil mewahnya. Siapa lagi kalau bukan Taqi Shakel Arandani, yang seding di sebut bang El. Laki-laki itu telah mencuri perhatian banyak sisawa yang keluar dari sekolah. Tampangnya yang menawan dengan wajah yang terlihat seperti bule membuat banyak orang salah fokus. Mereka bertiga berlari kecil ke arah bang El yang sudah menunggu dengan wajah garangnya.
“Eh ada bang El yang gantengnya ngalahn Manurio.” Sapa Alia dengan centilnya. Bahkan senyumnya tidak luntur sejak melihat bang El dari Aula sekolah.
“Masuk.” Titah El dengan intonasi yang dingin dan mengabaikan sapaan Alia.
“Bang ....” Sheza mengurungkan niat untuk berbicara saat melihat wajah bang El yang terlihat galak dengan mata melotot. Dengan patuh Sheza lalu masuk ke dalam mobil samping kemudi, dan bang El sediri yang mengemudi mobil itu. Dari dalam mobil Sheza melambaikan tangan untuk kedua temannya.
“Sial cewek secantik gue di cuekin sama dia, gila.”
“Sabar ya Al, lagian ngapain sih lu suka sama cowok macam kulkas 7 pintu itu.”
“Sensaisinya beda say.” Jawab Alia dan mengibaskan rambutnya ke arah Alham lalu pergi meningalkannya.
“Dan kenapa gue harus suka sama lu yang jelas-jelas tidak memandang gue Al.” Lirih Alham lalu menyusul Alia yang sudah jalan terlebih dahulu ke arah halte.
Tak lama menunggu, bus yang biasa mereka naiki datang, seperti biasa Alham akan duduk di samping Alia. Menjaganya dari godaan para laki-laki dan menjaganya seperti saudara sendiri.
“Ham, menurut lu, gue pantes nggak sama bang El?”
Dengan hati yang begituuu hancur, Alham mencoba teteap tersenyum dan ceria di depan Alia “Ya jelas pantes lah Al, secara lu itu cantik, baik dan jangan lupa Lu juga kaya, walau terkadag otak lu itu boboroknya bikin orang istighfar.” Ujarnya yang di akhiri dengan tawa yang begitu ceria.
“Lu sebenernya mau muji gue, apa mau menghina sih,”
“Gue jujur tahu Al.”
“Sialan lu.”
“Al,”
“Ape?” Lirik sinis Alia.
“Gitu aja ngambek, PMS lu.?”
“Iye, kenapa, kagak usah ngajak ribut.”
“Pates.” Lirihnya yang tidak di dengar Alia. “Bakso mang Ujang enak nih.” Sambung Alham dengan nada yang menggoda.
“Lu yang traktir ya.” Mood Alia sudah kembali ke semula saat mendengar bakso langganan mereka di sebut.
“Gue mulu.” Protes Alham karena setiap pergi ke sana dia yang selalu membayar, tapi terkadang juga Alia atau Sheza yang membayar. Tapi kebanyakan Alham lah yang mengeluarkan uang.
“Lu kan kaya.”
“Lu kan juga kaya ngeb” ucap Alham dan mentoyor kepala Alia. Alia yang di toyor hanya tertawa kecil saat sadar kalau dirinya juga kaya.
Mereka berdua turun dari bus dan berjalan ke warung bakso sederhana yang berada di pinggir jalan milik mang Ujang. Kebetulan sebelum pulang ke rumah mereka, mereka melewati tempat itu, jadi mereka tidak harus berputar-putar.
“MANG UJANG !” teriak Alia dan Alham serempak. beruntung suasana di sana agak sepi jadi mereka tidak harus menahan malu saat makan.
Mang ujang yang melihat tingkah kedua bocah itu yang tidak berubah hanya tertawa dan menyambut mereka dengan senyum hangatnya.
“Kog berdua aja nih, Sheza nya kemana?” tanya mang ujang saat mereka beruda sudah duduk manis di kursi.
“Di jemput bang El dia mang.”
“Loh, kapan El pulang ke Indonesia.?”
“Nggak tahu mang, belum wawancara ekslusif sama bang El.” Jawab Alham santai dan memainkan garpu di depannya.
“Ada-ada aja kamu ini Ham.”
“Lagian mang Ujang nanyanya ke kita, harusnya kan ke bang El.” Mang Ujang yang mendengar jawaban protes dari Alham hanya tertawa, apalagi saat melihat wajah Alham yang terlihat cemberut.
“Maaf deh den, mamang nggak lagi-lagi.” Ucapnya dan menaruh dua mangkuk bakso di depan kami. “Oh ya minumnya mau apa?” lanjutnya saat sadar jika kami belum di beri minum.
“Biasa mang.” Mang ujang lalu pergi ke belakang untuk membuatkan minum kami berdua.
“Loh ada si kembar,” sapa bu Yayuk yang baru saja pulang dari warung sepertinya.
“Eh emak, darimana makk, sendirian aja kaya jomblo.” Balasku dengan kerlingan mata genit.
“Neng Alia nih yang jomblo, emak kan udah punya pacar, tu pacar emak.” Tunjuknya ke arah mang Ujang yang datang ke meja kami dengan dua gelas Es limon tea.
“Duh makk, jangn ngobrula aja atuh, tu daun sawi harus segera di cuci, tu yang di atas udah habis tinggal tiga biji.” Omel mang ujang sambil menunjuk sawi yang tinggal beberapa helai di atas gerobak.
“Iya ... iya pak, ngomel mulu kaya anak perawan.” Balas Emak yayuk tak kalah sewot. “Emak pamit ke belakang dulu ya kembar.” Lanjutnya berpamitak kepada kami dan menunjukan beberapa ikat daun saki yang dia pengang sebagai kode.
“Siap makk, yang bersih ya,” ucap kami bebarengan.
Kami melajutkan makan dengan obrolan-obrolan ringan sedangkan mang ujang sudah kembali sibuk membuatkan beberapa pesanan untuk pelanggan yang baru saja datang.
“Kenyang gue” Alia melirik mangkuk Alham yang sudah tidak bersisa, bahkan kuahnyapun juga dia habiskan.
“Kalau lu makannya kaya gini, si emak kagak usah nyuci piring lagi ham.” Komentar Alia yang di balas cengirah has Alham.
“Lagian, kita kan kagak boleh membuang makanan Al.”
“Alibin lu Ham.”
“Dah ah, yuk pulang.” Alham lalu berdiri dan medekati mang Ujang.
“Ini mang, sisanya ambil saja.” Ucapnya dan menyerahkan selembar uang warna merah.
“Masih banyak banget den kembaliannya.”
“Udah kagak papa mang, buat jajan Nadia aja.”
“Makasih ya den.”
“Sama-sama mang.”
“Udah?” tanya Alia saat berada di samping mereka.
“Udan yukk.”
“Pulang dulu ya mang,”
“Hati-hati di jalan.” Alia dan Alham hanya mengacungkan jari jempol.
Mereka berdua jalan beriringan sambil bercerita tentang apa saja, dan mereka berpisah di pertigaan yang memisahkan jalur rumah mereka.
El lalu menghampiri tubuh Alia yang berada di dalam pelukan umi Maria, mengambilnya lalu menggendongnya begitu saja. Dia tidak ingin gadis yang dalam gendongannya ini kenapa-napa apalagi saat melihat perut buncitnya. “Ambil mobil, Dam!” printah El sambil terus berjalan. Suaranya sedikit bergetar, bahkan air matanyanya kini sudah mengumpul di ujung mata. Damar berlari keluar dan ingin mengambil mobil mereka, namun saat sampai di depan pintu, dia melihat Adam yang sudah berada di dalam mobil. Damar membukakan pintu untuk El dan Alia yang berada di dalam gendongannya. Hujan sedikit reda dan terganti dengan grimis yang masih membasahi bumi. Mereka semua pergi ke rumah sakit terdekat, meninggalkan Zahra sendirian dirumah. Umi yang duduk berada di samping kemudi, terus menengok kebelakang dengan air mata yang semakin deras. Sedangakn El memeluk tubuh tak sadarkan diri Alia yang berada dalam panguannya. Kemejanya telah berubah memerah karena Darah yang terus
“Mas ini kelapanya.” Aku menengkok ke sana kemari mencari wanita yang berada di depanku tadi, tapi kemana perginya. “Mas.” Aku sedikit tersentak dengan tepukan di lenganku, “Terima kasih.” Ucapku lalu mengambil kelapa muda yang di sodorkan ke arahku. “Cari siapa mas ?” “Wanita yang di sini tadi.” Tunjukku ke arah kursi yang di duduki wanita tadi. “Oh, neng Sev mah udah pulang.” “Sev ?” “Iya, mas kenal ?” “Tidak ! Berapa kelapannya ?” setelah membayar semuanya aku langsung pergi meninggalkan pantai tersebut. aku kini kembali melangkah ke arah proyek, entah mengapa wajah wanita itu tidak mau hilang dari fikiranku. Wajahnya benar-benar mirip Alia, bukan mirip lagi mereka seperti pinang di belah dua. “Lu kenapa sih ?” tanya damar yang melihatku seperti orang bodoh. “Gue nggak papa, kita mulai rapat.” Titahku dah pergi begitu saja. Tidak ada kantor,
“Ada apa ?” raut bingung di wajah umi masih terlihat jelas melihat kami berdua.Dengan bangga aku memberikan selembar kertas itu kepada umi “SURAT IZIN USAHA” tulisa yang tertera di sana. Setelah berbulan-bulan mengajukan, dan harus bolak-balik mengurus karena orang yang kami percaya menghiyanati kami dan membawa semua uang kami.“Selamat sayang.” Umi lalu memeluk kami.Setelah mendengar kabar gembira itu, suasana rumah terlihat begitu lebih ceria. Berita itu sudah menyebar ke telinga abi dan mas Adam.***Dan pagi itu aku dan mas Adam mulai mengecek bangunan yang akan menjadi toko kami. Bangunan berlantai dua itu terletak tidak jauh dari pesantren, dan tempatnya cukup staregis. Apalagi jika dari lantai dua kita bisa melihat luasnya lautan biru, tempay yang begit adem, karena di apit perbukitan juga.“Mau kemana ?” tanya mas Adam saat melihatku turun dari lantai atas.
Senyumku mengembang saat melangkah ke arah dapur, di sana umi dan abi saling membantu utuk menyiapkan makan siang. Aku jadi teringat dengan mami sama papi, apa kabar mereka, apa mereka sudah tahu jika aku tidak ada di rumah.“Umi.” Kedatanganku mencuri perhatian dari mereka berdua. Sepertinya rumah ini tidak ada seorang pembantu, aku tidak melihat orang lain selain keluarga ini.“Ada apa nak, umi kira kamu sedang tidur siang.” Umi menghapiriku dan menuntunku untuk duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan.“Biar aku bantu memasak umi.” Aku mengambil alih pisau di tangan umi untuk mengupas bawang.“Sudah berapa bulan kandunganmu nak ?” tanya abi yang sedang membersihkan beberapa sayur yang akan di masak.Aku menundukkan kepalaku, malu sekali rasanya saat di tanya seputar kandungan, “Baru satu bulan, bi.” Elusan di lenganmu membuatku mendongakan kepal.Senyum umi yang meneduhka
Umi hanya tersenyum melihat putranya yang sunggu tidak percaya dengan wanita yang ada di depannya saat ini. “Sevim, kenalin dia Adam putra sulung umi.” Aku tersenyum dan mengangguk kepada bang Adam yang ada di depanku. “Maaf.” Ucap Adam lirih dan membuang mukannya. Dia mengusap cepat air mata yang jatuh di pipinya. Umi yang melihat putranya menangis langsung memeluknya dan menyemangatinya kembali, “Zafira sudah bahagia di atas sana mas, mas jangan nangis lagi.” “Mas kangen sama Afi, Umi” ucapnya lirih di dalam pelukan umi. Dengan lembut umi mengelus surai milik Adam, “Kita semua juga kangen sama Afi mas, namun kita nggak boleh lemah seperti ini.” Adam sedikit menjauhkan tubuhnya dari umi, dan tersenyum begitu manis. Setelah itu kami melanjutkan makan yang sempat tertunda, sebenernya buka kami, karena aku hanya minum teh hangat yang tadi di bawa umi. Melihat mas Adam yang begitu menikmati makanannya, membuat aku menelan liur den
ALIA POV Aku sampai di Jogja pagi buta, udara di sini terasa begitu sejuk walau berada di tengah kota. Semalam aku tidak jadi terbang dengan pesawat, saat aku sedang duduk menunggu, aku melihat sepasang kakek dan nenek yang telah kehabisa tiket. Mereka di paksa harus pisah penerbangan, karena aku tidak tega, aku memberikan tiket yang aku beli kepada mereka. Dan saat aku ingin mengantri tiket untuk penerbangan berikutnya, aku melihat El masuk ke dalam bandara. Aku berjalan santai berpapasan dengannya dan kabur dari bandara, bodoh sekali laki-laki itu. Aku langsung menghentikan taksi yang lewat di depanku, membiarkan mobilku berada di bandara, jika aku pergi dengan mobil pasti akan segera ketahuan jika aku pergi. “Mau kemana non ?” tanya supir taxsi dengan ramah. “Kesetasiun ya pak.” Dia tersenyum samar dan menganggukan kepala. Dan setelah itu tidak ada percakapan lagi di antara kami, sampai taxsi berhenti di depan stasiun. Kuberikan lim