Share

BAB 3 (Ada rasa di setiap tetes kuah bakso)

Di luar gerbang seoramg pemuda tampan sudah berdiri gagah di depan mobil mewahnya. Siapa lagi kalau bukan Taqi Shakel Arandani, yang seding di sebut bang El. Laki-laki itu telah mencuri perhatian banyak sisawa yang keluar dari sekolah. Tampangnya yang menawan dengan wajah yang terlihat seperti bule membuat banyak orang salah fokus. Mereka bertiga berlari kecil ke arah bang El yang sudah menunggu dengan wajah garangnya.

“Eh ada bang El yang gantengnya ngalahn Manurio.” Sapa Alia dengan centilnya. Bahkan senyumnya tidak luntur sejak melihat bang El dari Aula sekolah.

“Masuk.” Titah El dengan intonasi yang dingin dan mengabaikan sapaan Alia.

“Bang ....” Sheza mengurungkan niat untuk berbicara saat melihat wajah bang El yang terlihat galak dengan mata melotot. Dengan patuh Sheza lalu masuk ke dalam mobil samping kemudi, dan bang El sediri yang mengemudi mobil itu. Dari dalam mobil Sheza melambaikan tangan untuk kedua temannya.

“Sial cewek secantik gue di cuekin sama dia, gila.”

“Sabar ya Al, lagian ngapain sih lu suka sama cowok macam kulkas 7 pintu itu.”

“Sensaisinya beda say.” Jawab Alia dan mengibaskan rambutnya ke arah Alham lalu pergi meningalkannya.

“Dan kenapa gue harus suka sama lu yang jelas-jelas tidak memandang gue Al.” Lirih Alham lalu menyusul Alia yang sudah jalan terlebih dahulu ke arah halte.

Tak lama menunggu, bus yang biasa mereka naiki datang, seperti biasa Alham akan duduk di samping Alia. Menjaganya dari godaan para laki-laki dan menjaganya seperti saudara sendiri.

“Ham, menurut lu, gue pantes nggak sama bang El?”

Dengan hati yang begituuu hancur, Alham mencoba teteap tersenyum dan ceria di depan Alia “Ya jelas pantes lah Al, secara lu itu cantik, baik dan jangan lupa Lu juga kaya, walau terkadag otak lu itu boboroknya bikin orang istighfar.” Ujarnya yang di akhiri dengan tawa yang begitu ceria.

“Lu sebenernya mau muji gue, apa mau menghina sih,”

“Gue jujur tahu Al.”

“Sialan lu.”

“Al,”

“Ape?” Lirik sinis Alia.

“Gitu aja ngambek, PMS lu.?”

“Iye, kenapa, kagak usah ngajak ribut.”

“Pates.” Lirihnya yang tidak di dengar Alia. “Bakso mang Ujang enak nih.” Sambung Alham dengan nada yang menggoda.

“Lu yang traktir ya.” Mood Alia sudah kembali ke semula saat mendengar bakso langganan mereka di sebut.

“Gue mulu.” Protes Alham karena setiap pergi ke sana dia yang selalu membayar, tapi terkadang juga Alia atau Sheza yang membayar. Tapi kebanyakan Alham lah yang mengeluarkan uang.

“Lu kan kaya.”

“Lu kan juga kaya ngeb” ucap Alham dan mentoyor kepala Alia. Alia yang di toyor hanya tertawa kecil saat sadar kalau dirinya juga kaya.

Mereka berdua turun dari bus dan berjalan ke warung bakso sederhana yang berada di pinggir jalan milik mang Ujang. Kebetulan sebelum pulang ke rumah mereka, mereka melewati tempat itu, jadi mereka tidak harus berputar-putar.

“MANG UJANG !” teriak Alia dan Alham serempak. beruntung suasana di sana agak sepi jadi mereka tidak harus menahan malu saat makan.

Mang ujang yang melihat tingkah kedua bocah itu yang tidak berubah hanya tertawa dan menyambut mereka dengan senyum hangatnya.

“Kog berdua aja nih, Sheza nya kemana?” tanya mang ujang saat mereka beruda sudah duduk manis di kursi.

“Di jemput bang El dia mang.”

“Loh, kapan El pulang ke Indonesia.?”

“Nggak tahu mang, belum wawancara ekslusif sama bang El.” Jawab Alham santai dan memainkan garpu di depannya.

“Ada-ada aja kamu ini Ham.”

“Lagian mang Ujang nanyanya ke kita, harusnya kan ke bang El.” Mang Ujang yang mendengar jawaban protes dari Alham hanya tertawa, apalagi saat melihat wajah Alham yang terlihat cemberut.

“Maaf deh den, mamang nggak lagi-lagi.” Ucapnya dan menaruh dua mangkuk bakso di depan kami. “Oh ya minumnya mau apa?” lanjutnya saat sadar jika kami belum di beri minum.

“Biasa mang.” Mang ujang lalu pergi ke belakang untuk membuatkan minum kami berdua.

“Loh ada si kembar,” sapa bu Yayuk yang baru saja pulang dari warung sepertinya.

“Eh emak, darimana makk, sendirian aja kaya jomblo.” Balasku dengan kerlingan mata genit.

“Neng Alia nih yang jomblo, emak kan udah punya pacar, tu pacar emak.” Tunjuknya ke arah mang Ujang yang datang ke meja kami dengan dua gelas Es limon tea.

“Duh makk, jangn ngobrula aja atuh, tu daun sawi harus segera di cuci, tu yang di atas udah habis tinggal tiga biji.” Omel mang ujang sambil menunjuk sawi yang tinggal beberapa helai di atas gerobak.

“Iya ... iya pak, ngomel mulu kaya anak perawan.” Balas Emak yayuk tak kalah sewot. “Emak pamit ke belakang dulu ya kembar.” Lanjutnya berpamitak kepada kami dan menunjukan beberapa ikat daun saki yang dia pengang sebagai kode.

“Siap makk, yang bersih ya,” ucap kami bebarengan.

Kami melajutkan makan dengan obrolan-obrolan ringan sedangkan mang ujang sudah kembali sibuk membuatkan beberapa pesanan untuk pelanggan yang baru saja datang.

“Kenyang gue” Alia melirik mangkuk Alham yang sudah tidak bersisa, bahkan kuahnyapun juga dia habiskan.

“Kalau lu makannya kaya gini, si emak kagak usah nyuci piring lagi ham.” Komentar Alia yang di balas cengirah has Alham.

“Lagian, kita kan kagak boleh membuang makanan Al.”

“Alibin lu Ham.”

“Dah ah, yuk pulang.” Alham lalu berdiri dan medekati mang Ujang.

“Ini mang, sisanya ambil saja.” Ucapnya dan menyerahkan selembar uang warna merah.

“Masih banyak banget den kembaliannya.”

“Udah kagak papa mang, buat jajan Nadia aja.”

“Makasih ya den.”

“Sama-sama mang.”

“Udah?” tanya Alia saat berada di samping mereka.

“Udan yukk.”

“Pulang dulu ya mang,”

“Hati-hati di jalan.” Alia dan Alham hanya mengacungkan jari jempol.

Mereka berdua jalan beriringan sambil bercerita tentang apa saja, dan mereka berpisah di pertigaan yang memisahkan jalur rumah mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status