Halo ... semoga kalian suka kisah ini, ya. ______Arlan pulang ke rumah setelah jam tujuh malam, tepatnya saat Nadia sudah tampak lelah. Lelaki itu masih berdiri di depan pintu rumah saat Nadia mengucapkan terima kasih karena sudah menyelamatkan dompenya, memasak, juga menina bobokan Kenan yang sempat bangun. "Nad, semangat terus demi Kenan. Dia pasti jadi anak yang baik dan sayang banget sama kamu," tuturnya. "Aamiin," balas Nadia. Arlan melambaikan tangan pelan, lalu membuka pintu sedan hitam miliknya dan masuk ke dalam. Nadia menutup pintu, ia masih harus mengerjakan tugas kuliah. Esok tidak ada kelas, tetapi dan beberapa temannya mau membeli kain untuk dijahit menjadi baju tema safari yang nanti akan diperagakan di studio jurusan fashion designer. Arlan tak langsung pulang, ia mampir ke satu tempat. Kakinya berjalan pelan dikegelapan malam, tak takut dengan istilah kuburan itu seram. Arlan terus berjalan hingga tiba dipusara Deva. Ia berjongkok, meletakkan bunga mawar putih la
Hai, jangan lupa tinggalkan jejak, ya.______Nadia bersiap ke kampus, semalam ia begadang karena menyelesaikanb tugas kampus. Beberapa kali ia menguap saking mengantuknya. Baru saja menyambar tas kuliah, ia terkejut saat Risa datang mendekat."Nad, Kenan kok demam gini?" Risa memegang kening Kenan yang terasa hangat. Nadia menempelkan tangan ke kening putranya.Ia mengambil alih gendongan Kenan dari Risa, lalu memeluk putranya seraya menempelkan pipi di kening sang putra."Kamu demam, Nak," lirih Nadia. Ia kembali meletakkan tas kuliahnya, lalu mengeluarkan dompet dan ponsel. "Bun, temenin ke rumah sakit, ya," pintanya."Bunda nggak bisa, Nak, mau ada pertemuan warga, Calvin juga nggak ada yang jaga. Kamu sama sopir dulu, ya, Bunda sama Ayah nanti nyusul." Risa memang ada acara dan itu tak bisa dibatalnya. Ia tak enak dengan warga lainnya.Nadia meminta sopir mengantar ke rumah sakit, ia batal kuliah. Urusan anak utama.Kenan mulai rewel, bahkan tak mau minum ASI entah kenapa. Badann
Hai, mari kita lanjut. ____Sebagai satu-satunya teman yang mulai paham keadaan Nadia, Cerry datang menjenguk Kenan dengan membawa mainan mobilan sebagai hadiah kecil bagi bayi lucu itu. "Tante Cerry bawa ini buat Kenan, lucu, kannn ...," cicitnya membuat Kenan yang dipangku Nadia tersenyum lebar. "Makasih Tante Cerry," ujar Nadia. Cerry duduk di sudut brankar. "Nad, udah boleh pulang hari ini?" Cerry memegang jemari tangan Kenan lembut. "Iya. Barusan dokternya visit." Nadia menatap ke arah pintu. "Hai," sapa Arlan. Ia datang lagi, kali ini dengan tangan hampa. "Cer," sapa Arlan. Cerry terkejut, ia mengangguk ragu. "Halo Kak Arlan," sapanya kaku. Cerry melihat Arlan itu menyeramkan, karena perawakannya yang sedingin es, padahal sebenarnya tidak. "Kenal?" tunjuk Nadia bergantian ke dua orang itu. "Enggak," jawab kompak mereka. "Aku cuma tau karena kemarin sempat tanya nama dia," lanjut Arlan. "Iya, karena Kak Arlan waktu itu sempet tanyain lo beberapa kali, Nad, jadi kita ke
Nyatanya Nadia terlalu peka dengan keadaan, ia tak mudah percaya atas sikap baik Arlan kepadanya. Nadia pun kembali menarik diri, ia memberi jarak supaya tidak terlalu dekat dengan lelaki tinggi tegap berperawakan seperti aktor korea Rowoon, hanya saja kulitnya tak terlalu putih."Makasih udah antar Nadia, Yah," ucapnya lalu mencium pipi Arkana."Sama-sama, Nak. Oh iya, kamu yakin nggak mau dijemput? Bunda marah kamu pulang sendirian.""Aku sama Cerry. Ayah hati-hati, ya, i love you." Nadia lalu turun, sebelum menutup pintu ia melambaikan tangan dahulu."Love you more, Nadia," balas Arkana yang selalu menganggap Nadia anak kecil.Nadia melangkah ke area kampus, satu bulan berlalu setelah terakhir ia diantar Arlan dari rumah sakit dan menemani berkunjung ke pemakaman Deva. Hatinya masih tak siap ada lelaki lain mendekat walau berlabel teman."Nad," kembali suara Arlan menyapa untuk kesekian kalian kalinya dan kesekian kali pula Nadia abaikan. Ia berjalan cepat menuju ke koridor lain me
Arlan tidak bisa menyembunyikan perasaannya lagi. Memang benar jika ia jatuh cinta dengan Nadia sejak pertama melihat di kampus. Sebelum ia tau jika Nadia anak Arkana. "Aku nggak bisa janji kapan jatuh cinta sama kamu, Lan, Deva terlalu berarti untuk aku," lirih Nadia saat keduanya duduk di meja makan rumah Nadia. "Aku paham, aku nggak akan paksa kamu, asal kamu jangan minta aku menjauh. Aku nggak bisa, Nad." Arlan menggenggam jemari tangan Nadia. "Aku mau kita saling mengenal secara lebih jujur. Statusku janda, ada anak satu. Itu nggak mudah untuk aku apalagi kamu. Prioritasku bukan kayak anak seusiaku lainnya, kamu pasti tau itu. Jadi aku mohon kamu ... sedikit lebih terima kenyataan kalau nanti aku lebih nyaman anggap kamu teman. Nggak papa, 'kan?" Terdengar seperti penolakan di telinga Arlan, tapi ia tak gentar. Dengan anggukan kepala ia menjawab. Kemudian tersenyum sembari bertopang dagu. "Sorry, tadi kelepasan," ucapnya sembari menarik ujung hidung Nadia. Perempuan itu
Wajah Arlan lesu setelah mendengar permintaan orang tua Nadia. Ia sadar jika memang terlihat buru-buru. Ternyata, Arkana melihat saat malam itu Arlan pulang dari rumah Nadia. Lelaki itu pulang ke rumahnya lebih dulu karena tidak enak badan, lalu sopir kembali pergi menjemput Risa dan Calvin. Diam-diam Arkana mengintip, bahkan saat Nadia tersenyum seraya melambaikan tangan ke Arlan yang pergi dengan mobil. "Nadia butuh mengejar impiannya, kami paham perasaan kamu. Cinta tidak bisa ditahan atau larang, tapi kami terpaksa lakukan demi Nadia dan Kenan yang butuh waktu rehat setelah kepergian Deva." Arkana dengan tegas mengucapkan itu. "Tolong mengerti Arlan. Nadia, ingin menjadi seorang desainer, biarkan ia fokus mewujudkan itu. Jika memang kalian berjodoh, akan kembali lagi entah dengan cara seperti apa dan kapan waktunya." Raka ikut bicara, ia dan Devinta bukannya melarang Nadia menemukan cinta yang baru, hanya saja terlampau cepat. "Kami semua menyayangi Nadia, jika kamu juga sepe
"Nadia! Udah siap, 'kan?!" teriak floor director. Nadia menatap, mengacungkan ibu jari lalu berdiri mundur beberapa langkah. Kedua matanya menatap semua model catwalk yang akan membawakan pakaian hasil rancangannya. "Oke, Nadia, here we go," gumamnya. Ia mendongak, tersenyum ceria. "Get ready girls! Its show time! Good luck!" teriaknya memberi semangat kepada para model. Nadia bersedekap, dentuman musik mengiringi para model mulai berjalan ke arah panggung. Lampu sorot juga lampu kamera penonton yang hadir membuat semua fokus ke arah model dan baju yang diperagakan. Ini memang bukan kali pertama Nadia memamerkan karyanya dalam setahun kebelakang, tetapi kali ini rancangannya masuk ke ajang bergengsi kelas dunia yang diadakan di Milan. Tidak mudah untuk tembus ke sana, harus karya apik juga saingan kuat. Nadia mengusung nama brand yang ia ciptakan bernama : Fovere, diambil dari bahasa latin yang artinya nyaman. Dua puluh lima baju ia siapkan, hiasan kepala bahkan asesoris lainnya
Ketika jarak yang membentang, nyatanya mampu membuat seseorang berubah sifat. Janji yang terucap, seolah menguap. Milan, kota yang indah hingga membuat Nadia betah. Walau tetap saja, sendirian tidaklah nyaman. Cerry, sang asisten juga sahabatnya di kota itu bersama suami, tidak dengan Nadia yang berjibaku dengan diri sendiri. "Hah ... mimpi buruk ketemu dia lagi. Janji apaan, bullshit! Empat tahun. Lose contact dari hari itu dan sekarang sekalinya ketemu senyum juga nggak. Fine! Forget him!" erang Nadia kesal bukan kepalang. Sudah dua jam sejak ia kembali ke kamar hotel, tak satu pun desain gaun pengantin pesanan sepupunya berhasil ia buat. Idenya buntu, otaknya mampet tersumbat Arlan. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Nadia memutuskan keluar dan have fun di salah satu club malam yang banyak didatangi model kelas atas juga desainer terkenal. Nadia menghubungi seseorang, ia menanyakan apakah ada akses khusus ke sana sehingga ia tak perlu menunggu antrian, tak masalah jika ia me