Share

Bab 3

Author: NurulQ
last update Last Updated: 2023-11-29 11:25:25

Lila berjalan menyusuri jalanan dengan wajah lesu. Ia menyipitkan mata saat sinar matahari itu seolah menembus kelopak matanya.

Lila menghapus peluh yang menitik di dahinya. Ia merasa gerah, marah, lelah sekaligus kecewa.

Ia mempercepat langkah ketika melewati rumah berlantai dua itu.

Jika saja ada jalan lain menuju rumahnya selain melewati depan rumah itu, maka ia akan lebih memilih jalan itu.

Dan sayangnya Lila harus melewati rumah besar milik keluarga Dimas itu.

Lila terkejut ketika ada cipratan air yang mengenai celana dan sepatunya hingga basah.

Lila segera menoleh ke rumah itu.

Bu Mela tampak sedang menyirami tanaman koleksinya dengan selang air.

Wanita itu tak menyapa atau minta maaf pada Lila karena telah membuat Lila terkena cipratan airnya.

Dengan ragu Lila menganggukkan kepala sambil tersenyum. Tapi Bu Mela ternyata hanya melengoskan wajah, mengacuhkan Lila.

Lila hanya bersikap sopan, setidaknya mereka pernah punya hubungan baik hingga terjadi pertunangan itu dan Lila menganggap, ia harus menjaga sikap setidaknya sebagai tetangga ia masih menghormati keluarga Dimas.

Dan sepertinya Bu Mela terlalu arogan untuk mempunyai pemikiran yang sama.

Lila segera berlalu dengan cepat melewati rumah itu.

Lila melihat rumahnya yang nampak dari jarak jauh itu

Rumah itu tampak telah tua dan kusam karena catnya yang telah pudar.

Sungguh berbeda dengan rumah Bi Purwati. Rumah besar itu terlihat selesai dicat dengan warna kuning dan coklat. Begitu mencolok di banding rumah yang berada di sisi kanan kiri rumah Bi Pur.

Bi Pur, adik ibu itu memang beruntung mempunyai suami seorang ASN. Berbanding terbalik dengan keluarga Ibu dari Lila. Bapak bekerja sebagai sopir dan Ibunya menjadi pembantu.

Mereka akan tinggal di rumah majikannya yang terletak tak jauh dari kampung dan akan pulang kerumahnya sendiri pada hari akhir pekan.

Masalah ekonomi dan status sosial kini menjadi rumor yang dihembuskan warga. Bahwa pertunangan batal karena keluarga Sari terlihat lebih mentereng dan lebih sederajat dengan keluarga Dimas daripada keluarga Lila yang miskin.

Para warga desa tidak mengorek hal aneh lain yang menyebabkan Dimas membatalkan pertunangan dengan Lila dan memilih menikahi Sari yang masih merupakan saudara Lila.

Lila memasuki halaman rumahnya yang tanpa pagar itu.

Lila seketika merasa senang melihat motor bebek bapak telah terparkir di depan halaman.

Lila segera mendorong pintu dengan bersemangat.

"Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam,"

Sahut bapak dengan suara mengambang. Bapak urung ketika akan memasuki kamarnya. Ia heran menatap putrinya yang baru saja memasuki rumah dengan wajah lesu itu.

"Tumben sudah pulang? Biasanya kamu pulang jam lima sore, bukan?"

Tanya ibu begitu keluar dari ruang dalam.

Lila berdehem meski tenggorokannya tak gatal.

Kenapa ia lupa menyiapkan dalih yang bisa ia jadikan alasan pada orangtuanya.

"Kapan bapak sama ibu pulang dari Bali?" Tanya Lila mengalihkan perhatian orangtuanya.

Bapak dan ibu memang baru saja pulang berkibur dari Bali, mengikuti majikan mereka berlibur. Tentu saja Lila menyuruh kedua orangtuanya untuk ikut berlibur agar meteka bisa sedikit bersenang-senang dan melupakan rutinitas mereka.

"Di sana bagus, ya, Bu? Lila dapat oleh-oleh, nggak?"

tanya Lila beruntun sambil duduk di sofa tua itu.

Ia meletakkan tas selempangnya begitu saja di atas meja.

Ibu ikut duduk di hadapan Lila, ia mengambil kantung kresek hitam yang ada di meja.

"Di sana bagus sekali, tapi panas juga. Jalanan bersih tak ada sampah bercecran seperti di sini." Cerita ibu sambil mengeluarkan barang dari dalam kreseknya. Lila menatapnya dengan bersemangat.

"Ini ada kaos khas dari Bali, ada kacang dan pie susu khas bali."

Ucap ibu sambil mengulurkan barang-barang itu semua pada Lila.

"Banyak sekali! Apa ibu menghabiskan banyak uang buat beli oleh-oleh ini?" tanya Lila merasa sayang.

"Kaosnya itu dibelikan majikan bapak, kami cuma jalan-jalan dan beli kacang ini saja," Kata bapak sambil tertawa dan ikut duduk di samping ibu.

"Nak, tadi Bi Pur kesini?"

Ibu berkata pelan. Lila segera menghentikan kegiatannya membuka kemasan kaos itu.

"Ngapain kemari? Nyuruh ibu buat bantu masak di acara pernikahan nanti?"

Tanya Lila sambil menempelkan kaos itu ke badannya.

"Iya, dia minta bapakmu ikut membantu para tamu memarkirkan kendaraannya-" Cerita ibu sambil merapikan oleh-oleh yang ia bawa.

"Apa? Ibu disuruh jadi tukang masak dan bapak jadi tukang parkir, begitu?"

seru Lila sontak emosi.

Wajahnya yang tadi semringah berubah menjadi merah padam. Ia tak terima orangtuanya diperalat seperti itu. Orangtuanya akan dicari jika Bi Pur butuh seseorang untuk membantu memasak dan membersihkan rumah.

"Assalamualaikum!"

Seru suara seorang wanita dari halaman depan.

Ibu segera membereskan barang-barang yang tergeletak di atas meja dan membawanya ke kamar Lila.

"Waalaikumsalam." Sahut Bapak ambil membukakan pintu untuk tamunya.

"Masuk, Dek!"

Ucap bapak menyambut Bi Yuna dan Paman Manto.

"Kalian kok gak ke rumah Mbak Pur?"

tanya Bi Yun begitu ia melesakkan tubuh di kursi tua itu.

"Kami disuruh hari jumat ke sana karena mulai berbelanja dan memasak untuk acara akad nikah,"

Ucap ibu sambil keluar dari kamar Lila membawa bungkusan kresek kecil.

"Lo, sekarang semua saudara kita, saudara suami Mbak Pur pada ngumpul di sana, ambil seragam buat hajatan nanti,"

"Seragam?"

tanya ibu terkejut.

"Iya, seragam! anak-anakku juga mendapat baju pengiring pengantin, sedangkan para pria mendapat baju batik kayak gini,"

Ucap Bi Yuna membuka papaerbag dan menunjukkan seragam hajatan berwarna coklat dan kemeja batik berwarna senada itu.

Lila, ibu dan bapak saling pandang.

"Tapi kami gak dapat, kok!" sahut bapak dengan cepat. Wajah bapak sudah terlihat masam. Wajah ibu bahkan sudah menahan geram.

"Ia tadi pagi ke sini dan minta tolong agar aku yang jadi tukang masak dan bapak Lila membantu kendaraa tamu yang parkir,"

timpal ibu lagi membut Bi Yuna dan Paman Manto berpandangan heran.

"Tapi tadi Mbak Pur bilang sudah memberi seragam itu ke sini, ya!"

Gumam bi Yuna sambil menatap suaminya lagi.

"Iya mungkin nanti akan dikirim rompi tukang parkir dan celemek buat ibu," sahut Lila dengan nada dingin.

"Ya, seharusnya Mbak Pur gak bisa bersikap begitu,"

kata paman pelan, ia menyayangkan sikap kakak kandungnya itu.

"Ya, dari awal memang sudah tidak baik, jadi wajar jika mereka ingin menyisihkan kami dari pesta." Ucap ibu dengan sinis.

Suasana seketika tegang.

"Aku akan bilang pada Mbak Pur dan suaminya-"

"Sudah, gak perlu rame! Mau ada pesta hajatan, malah sesama saudara saling tertengkar."

sahut Bapak segera memperingatkan. Itulah bapak!

"Tapi, Mas, itu namanya tak adil. Mbak Pur boleh memperlakukan keluarga kakaknya seperti itu," Kata paman Manto nada tegas. Keluarga Paman Manto yang dekat dengan keluarga Lila. Beda dengan keluarga Bi Pur. Merekatidak terlalu akrab meskipun rumah mereka justru berdekatan.

"Sudahlah, kita tahu bagaimana sifat Bi Pur," Sahut Ibu berusaha meredam suasana.

"Meski orangtua kita meninggal, tapi kita harus menjaga kerukunan keluarga. Dan sikap Bi Pur justru merenggangkannya," tutur Paman lagi dengan nada kecewa.

"Apakah Mbakyu setuju menjadi tukang masak di acara nanti?"

Sahut Bi Yuna menyela.

"Aku sudah bilang sama Purwati, aku gak sanggup kalau menjadi tukang masak," Ucap ibu dengan nada datar, seolah ia tak merasa sedang dimanfaatkan Bi Pur.

"Dia bilang kalau ingin masakan serba enak dan mewah karena tamunya orang kantor dan orang kaya, karena besannya juga kaya. Jadi aku suruh saja dia pesan makanan dari katering besar begitu." Lanjut ibu dengan kalem.

"Mantap, Mbakyu. Bener juga!"

sahut Paman Manto sambil tertawa.

"Mas sendiri gimana? Mau jadi tukang parkirnya?" Dalih paman cepat.

"Ya, ak nggak berani. Purwati sudah bilang semua pernikahan diurus Ipen, biar mereka sewa yang profesional juga," sahut Bapak dengan tenang.

"Event organiser, Pak."

Ralat Lila mengkoreksi ucapan bapak.

"Ya, itu! Biar diserahkan saja pada ahlinya."

Kata bapak sambil tersenyum.

[Orang sombong dan suka bicara besar akan termakan omongannya sendiri.]

Batin Lila dalam hati. Ia merasa lega dan puas dengan alasan yang dikemukan bapak dan ibunya itu.

Q

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 95

    Hantaran Diminta Kembali"Yud, cepat, ya!" seru Rizal dengan gusar. Ia menatap Lila yang nampak duduk dengan gelisah sambil beberapa kali menghembuskan nafas dengan cepat. "Ambil nafas, sayang!" ucap Rizal sambil mengusap keringat di dahi Lila. "Ambil nafas mulu, sudah ngos-ngosan ini!" seru Lila marah sambil melirik dengan tatapan tajam. Rizal bungkam seketika. "Iya, sabar, ya!" ucap Rizal tetap bersikap tenang sambil mengelus pinggang Lila. Dengan cepat Lila melesakkan dirinya dalam pelukan Rizal. Mencoba tenang dan menikmati sensari nyeri dan mulas yang semakin terasa. "Tenang, ya!" kata Rizal kembali sambil melirik ke depan. Jalanan di depan terlihat padat dan gelap. Banyak lampu terlihat di depan mereka, menandakan kondisi jalan yang sedang ramai. Lila diam, merasakan dada suaminya yang berdegub keras tak beraturan. Menandakan pria itu juga panik dan merasakan ketegangan yang sama. "Macet, pak!" keluh Yuda sambil membuang nafas kasar. Ia melirik Lila di jok belakang den

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 94

    Hantaran Diminta Kembali Lila menajamkan pandangannya saat ia melihat sosok berbaju putih dengan rok lilit batik berwarna hitam itu, terlihat sibuk di antara meja prasmanan. "Yulia!" seru Lila tak percaya. Gadis yang dipanggil segera menoleh dengan cepat dan tampak terkejut. "Lila! Oh ... maaf, Nyonya!" Yulia menyapa dengan gelagapan. Lila tampak terkejut, ia mendekati Yulia dan menggamit lengan Yulia untuk ke pinggir ruangan. "Ngapain manggil Nyonya?" Lila bertanya sambil mendongakkan dagu. Yulia tersenyum kikuk. "Eh, Nyonya-" Yulia menyebut lagi panggilan resmi itu dengan kaku. "Kenapa harus bersikap formal begitu, kalau teman, ya, sapa saja seperti biasa, Mbak," sela Rizal sambil mendekat. "Maaf, Pak, kan para tamu tamu di sini semua orang terhormat," Sahut Yulia malu-malu sambil membenahi celemek kecil yang melingkari pinggangnya. "Saya kok malah sok akrab sama ...." Yulia tidak melanjutkan ucapannya. "Ya ampun! bisa-bisanya, ya kepikiran begitu?"sergah Lila kes

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 93

    Hantaran Diminta Kembali Lila berdiri menghadap kaca besar di kamarnya. Ia menipiskan bibir melihat bentuk tubuhnya yang terpantul di kaca itu. Kemudian melempar pandangan ke arah ranjang dengan lelah. Tampak setumpuk baju tergeletak di atas ranjang. "Belum siap, juga?" Rizal berjalan memasuki memasuki kamar dan melihat istrinya itu masih belum bersiap. "Kenapa? Bajunya sudah jelek semua?" Rizal bertanya dengan nada lembut sambil mengamati gaun-gaun itu. "Bukan bajunya yang jelek, aku yang yang terlihat jelek," keluh Lila sambil menatap lagi bayangan dirinya di cermin. Rizal tersenyum menatap wanita yang tengah hamil besar itu. Wanita yang memakai gaun sutra yang flowy itu sudah terlihat begitu anggun dan cantik di matanya. "Kamu cantik dan seksi sekali!" Rizal berkata sambil mengambil selembar scarf untuk Lila. Namun Lila tidak terpengaruh pujian itu. Ia hanya mengira Rizal hanya sedang menghiburnya saja. Menurut Lila, mana ada wanita hamil dengan perut membuncit dan b

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 92

    Hantaran Diminta Kembali Dimas tersentak, bibirnya sampai terbuka saking terkejutnya. "Bangun, nggak! cari kerja sana!" Sari menghardik sambil menunjukan jari ke pintu ke pintu."Kau tahu aku juga setiap hari pergi melamar kerja," sahut Dimas seraya bangkit dari ranjangnya Ia melihat Sari sudah mengenakan seragam warna khakinya. Wanita hamil itu sudah siap bekerja. "Aku menyuruhmu kerja, bukan hanya mencari kerja!" Sari berseru marah. "Aku kan sudah berusaha, Sari!" Dimas menyahut sambil meruyak rambut dengan kasar. "Berusaha itu ada hasilnya, tapi ini tidak!" Sari memotong dengan suara melengking. "Ingat, aku hampir melahirkan, Mas dan aku masih terus bekerja, bahkan cari obyekan ke sana kemari demi cicilan mobilmu," seru Sari makin emosional. "Iya, iya, aku akan kerja!" Dimas menyahut gusar."Aku seperti ini juga gara-gara kamu!" Dimas balik berteriak dan segera beranjak menuju ke kamar mandi dan menutupnya dengan keras. Bu Eni yang sedang menjemur baju di samping ruma

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 91

    Hantaran Diminta Kembali Selvi memasuki mobilnya dengan wajah ceria. Sebuah telepon pagi ini membawa kabar yang membuat mood-nya seketika membaik. Tumben pria angkuh itu menelpon, meminta dirinya datang ke kantornya jam sepuluh pagi ini. Rizal tak perlu memohon, Selvi seketika menyanggupi akan datang saat itu juga."Tentu, dengan seneng hati," sahut Selvi dengan nada manja. Selvi melonjak girang, melempar ponsel di atas ranjang dan gegas menuju kamar mandi, memakai baju terbaik dan sedikit mengekspos keindahan tubuhnya, menyemprotkan parfum beraroma seksi seluruh tubuhnya, bahkan ia sibuk memilih sepatu dan tas termahalnya. Semua harus istimewa demi memenuhi panggilan Rizal. "Kamu yakin mau datang memenuhi panggilan Pak Rizal?" Elsa bertanya ragu. Melirik Selvi yang asyik mengemudi sambil bersenandung. "Tentu saja, kapan lagi aku memuaskan rindu pada Zal, kalau tidak mendatanginya pagi ini," sahut Selvi seraya mengibaskan rambut panjangnya. "Entahlah, aku merasa ia akan

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 90

    Hantaran Diminta Kembali Rizal perlahan membuka pintu kamar. Ia tersenyum melihat sosok yang berbaring di atas ranjang. Lila sudah pulas dengan posisi seenaknya. Kakinya bahkan menggantung begitu saja. Rizal mendekat dan membenahi posisi kaki Lila yang menggantung. Rizal terkejut saat melihat kaki Lila agak bengkak. Diusapnya pelan kaki itu, membuat Lila terusik. Ia hanya menggerakkan kaki dan kembali pulas. Rizal berdiri dan beranjak keluar dari kamar. Rizal segera menuju ruang tengah, karena masih mendengar suara dari televisi dari ruang itu. Ibu dan bapak masih duduk sambil selonjoran di sofa. Rizal dan Lila memang memutuskan menginap di rumah mertuanya itu. "Kenapa belum tidur, Mas?" Bapak bertanya pada menantunya itu. Rizal dengan santai duduk di dekat kaki ibu mertuanya. Bu Eni tersenyum, kebiasaan Rizal saat kecil dulu masih tak berubah hingga ia menjadi dewasa."Belum ngantuk, Pak," sahut Rizal sambil menoleh pada ibu yang kini membenahi letak jilbabnya. "Buk,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status