Share

Bab 5

Penulis: NurulQ
last update Terakhir Diperbarui: 2023-11-29 11:33:03

5. Hantaran Diminta Kembali

"Zal, kamu bareng saja sama Lila berangkat kondangan,"

Usul bu Anggraini ketika melihat putranya itu duduk di taman sambil menyesap teh pekat.

Lila yang sedang menyiram tanaman itu seketika menoleh, gadis itu terkejut luar biasa. Ia tak menyangka Bu Anggraini malah menyuruh anaknya menemani Lila ke acara kondangan itu.

Dada Lila rasanya sudah bergemuruh menahan kesal sekaligus malu.

"Aku nggak bisa, Bu-" Suara pria itu terdengar sangat kesal.

"Jadi, selesai kondangan ke tempat pegawaimu, kalian langsung ke acara pernikahan sepupu Lila!" Potong Bu Anggraini cepat.

"Kenapa harus aku, sih? Dia bisa berangkat sendiri, kan?"

Balas Rizal kesal sambil menatap ibunya.

Lila seketika meremas jari resah, malu luar biasa. Bu Anggraini keukeh merayu anaknya yang jelas menolak berangkat ke acara kondangan bersama Lila.

Pergi ke acara kondangan saja dia tidak mau apalagi diajak ke pelaminan.

Lila rasanya ingin menghilang saja saat itu karena malu yang luar biasa.

"Bisa diam nggak, sih!"

Tegur Bu Anggraini pada Rizal yang tanpa merasa bersalah meneguk lagi minumannya.

Bu Anggraini menatap Lila yang berdiri tak jauh darinya dengan canggung. Wajah gadis itu terlihat memerah menahan malu.

Bu Anggraini menatap Lila penuh simpati dan rasa kasihan.

"Eem, tidak usah, Bu. Saya berangkat sama bapak dan Ibu saja. Kami naik motor saja, tempatnya juga di kampung sebelah,"

"Lo, kamu tadi mengatakan mau ke acara hajatan pegawaimu di kampung sebelah, kan?" Seru Bu Anggraini sambil menepuk bahu Rizal.

Hampir saja minuman itu tersembur dari mulut Rizal karena pukulan keras di bahunya itu.

"Kebetulan, kan? Kalian searah. Jadi, bisa berangkat bareng!" Sambung Bu Anggraini dengan nada riang.

Lila melirik sang tuan muda itu, tapi pria itu memperlihatkan wajah tak ramah dan enggan.

"Tidak apa, kalau Mas Rizal nggak mau. Lila akan berangkat sama saya,"

Ucap bapak sambil berjalan mendekat ketika ia mendengar suara perdebatan majikannya itu.

Bu Anggraini melirik sinis pada Rizal, membuat pria itu membuang nafas berat.

"Ya, udah. Kita berangkat bersama!" Putus Rizal dengan nada berat.

"Dan jangan lama-lama!" Serunya sambil beranjak menuju kamarnya.

"Ayo! Kita bersiap!"

ajak bu Anggraini segera menarik tangan Lila menuju paviliun.

Tak lama, Aiza, menantu Bu Anggraini itu tergopoh menyusul ke paviliun membawa beauty case dan gaun yang masih tergantung di kapstok.

Bapak hanya menatap takjub kehebohan itu.

Ia tidak tahu apa yang sedang direncanakan oleh Bu Anggraini dan menantunya itu.

"Sudah, belum?" Seru Rizal tak sabar sambil melihat jam tangannya.

"Pak Man, bilang mereka aku tunggu lima menit lagi," Ucap Rizal memperingatkan.

"Kalau sampai lebih dari lima menit mereka nggak keluar, aku tinggal!" Sambung Rizal tegas.

Bapak mengangguk takut melihat wajah kesal majikannya itu.

Wajar saja Rizal dan dirinya telah menunggu cukup lama untuk Lila dan istrinya bersiap.

"Siap berangkat!"

Seru Bu Anggraini muncul sambil menggandeng Lila.

Bapak termangu melihat penampilan Lila dan istrinya yang berubah sedemikian rupa.

Ia juga tidak mengenal baju yang di kenakan anak istrinya itu. Baju-baju mahal dan mewah itu pasti yang dipersiapkan Bu Anggraini, majikannya. Karena Bapak tidak merasa pernah memberi pakaian sebagus itu pada Ibu dan Lila.

Bapak menatap haru kedua belahan hatinya itu.

"Ayo, berangkat! Kenapa bengong begitu!" Tegur Bu Anggraini sambil menahan senyum geli melihat Rizal yang termangu menatap Lila.

Rizal seketika memalingkan wajahnya yang menghangat.

"Ayo berangkat!" Ucapnya dingin.

"Ngapain tergesa, pesta pernikahan itu gak sama dengan sekolah, gak ada jamnya," sahut Bu Anggraini santai.

"Tapi mereka saudara Pak Man, jadi ya harus datang lebih pagi."

sahut Rizal cepat.

Bapak dan ibu saling berpandangan mendengar ucapan Rizal.

Memang seharusnya mereka datang lebih awal seandainya keluarga itu juga memperlakukan mereka dengan baik.

"Bapak siapkan mobil dulu, ya!" Ucap bapak pada Rizal dan pria itu segera menyerahkan kunci mobil pada bapak.

Bapak dan ibu berjalan lebih dulu menuju halaman.

Rizal berjalan mendekati Lila.

"Ingat, nanti jangan dekat-dekat aku atau mengaku jadi pacarku!"

Bisik Rizal sambil berjalan di samping gadis itu. Lila terhenyak hingga jalannya melambat. Rasanya seperti ada yang meninju dadanya hingga terasa sesak seketika.

"Kau tahu reputasiku, bukan? Aku harus menjaga imageku. Jadi, aku gak bisa main sandiwara yang akan merusak reputasiku, paham?"

Ucap Rizal dengan nada dingin.

"Iya, Mas!"

Sahut Lila merasa ada yang tersekat di tenggorokannya.

"Apa aku Masmu?" Tanya Rizal sinis.

"Iya, Pak, eh, Tuan!"

Rizal berjalan mendahului Lila dengan langkah tegak yang teratur.

Sementara Lila berusaha meneguhkan hati setelah mendapat peringatan dari pria arogan itu.

Moodnya semakin buruk setelah ia merasa sangat percaya diri dengan penampilan barunya yang menurut Lila sangat menawan itu.

Apakah akan sia-sia Bu Anggraini dan Mbak Aiza membuat menyulap dirinya seperti ini?

Rasanya Lila sudah tidak percaya diri lagi.

Mobil melaju menyusuri jalanan komplek perumahan itu.

Bapak yang biasa menjadi sopir terlihat duduk canggung di sebelah majikannya yang kini mengemudikan mobil.

Sementara Lila dan Ibu duduk di jok belakang sambil sesekali berpandangan.

"Mas Rizal mau kondangan dimana?" Tanya bapak membuka obrolan.

"Di jalan Apel, kampung sebelah,"

Sahut Rizal dengan mata tetap fokus ke depan.

Bapak tidak bertanya lagi. Ia merasa canggung dengan sikap Rizal.

"Kampung sebelah mana, Mas?" Tanya ibu menyela.

"Karena ada tiga acara pernikahan yang dilaksanakan berbarengan hari ini, Mas!" Tambah Ibu lagi.

"Begitu, ya?"

"Liat lagi alamatnya, Mas. Daripada nanti salah masuk tenda!" Ucap ibu sambil tersenyum.

"Namanya Dimas Pribadi, dia bekerja di bank," Jawab Rizal membuat ibu dan Lila sontak berpandangan.

"Ibu kenal?" Tanya Rizal lagi sambil fokus mengemudikan mobil keluar dari komplek perumahan.

"Kenal, Mas!" Jawab ibu mantap dan wajahnya berubah masam seketika.

Mobil melaju pelan memasuki jalanan kampung yang tidak terlalu lebar itu.

"Mobilnya nanti diparkir di depan rumah saya saja, Mas. Daripada kesulitan nyari tempat parkir."

Ucap bapak lagi sambil mengawasi jalan.

Mobil melambat karena ada tenda yang berdiri di bahu jalan, sehingga membuat lalu lalang mobil sedikit terhambat.

"Apa di situ rumah Dimas?" Tanya Rizal begitu melihat tenda mewah berwarna putih gading dan emas itu.

"Bukan, Mas! Nanti ada tenda kedua, dekat rumah saya,"

Sahut Bapak sambil menatap jalan.

"Apa tempatnya jauh dari rumah bapak?"

"Dekat, Mas. Nanti parkir di halaman rumah saya saja, tempat pernikahannya dekat rumah saya, kok!" Jawab bapak.

"Jadi Dimas itu tetangga Pak Man?"

tanya Rizal sambil menoleh heran.

"Sekarang jadi saudara setelah dia menikahi keponakan saya, Pak!"

Jelas Bapak kemudian.

"Kenapa kalian kayaknya nggak terlalu suka menghadiri pernikahan Dimas dan keponakan sendiri?"

Tanya Rizal lagi. Ia sibuk menepikan mobil saat berpapasan dengan beberapa motor.

"Dimas itu mantan tunangan Lila, Pak!" Sahut ibu menjelaskan.

"Bukan jodohnya!" Sahut Rizal enteng.

"Dimas itu pegawai saya yang rajin dan lumayan banyak cewek yang mengagumi dia. Jadi pantas kalau dia pilih-pilih," Cerita Rizal tanpa diminta seolah ia menunjukkan keunggulan Dimas pada Lila.

Rizal seolah ingin membuka "mata" Lila.

"Pasti istri Dimas itu cantik, ya?"

Tanya Rizal lagi. Lila mengalihkan wajah dengan jengah saat ia melihat Rizal meliriknya dari kaca spion itu dengan tatapan yang meremehkan.

"Kabarnya istrinya juga orang kantoran, ya?"

Tanya Rizal lagi.

"Iya, Mas! Istrinya seorang ASN."

Jawab ibu cepat.

"Wow, hebat, ya!" Seru Rizal dengan antusiasnya.

[Kau sebenarnya berada di kubu mana, Tuan?] Batin Lila menahan geram.

[Orang tak punya hati sepertimu memang pantas berada di kubu musuh] rutuk Lila dalam hati.

Ia meyesal mengapa Bu Anggraini justru berinisiatif sendiri meminta tolong pada Rizal untuk menjadi pendamping Lila di acara kondangan itu.

Ah, pasti Rizal dan Dimas akan bersekutu dan mentertawakannya dengan puas.

Lila rasanya ingin mengutuki hari ini. Rasanya Lila tak akan sanggup lagi masuk ke tenda yang biru yang tampak menjulang mewah di hadapannya itu. Suara dentum musik dangdut menyambut kedatangan mereka.

"Apa? Bagaimana bisa rumah kita jadi tempat parkir begini, Pak?" Seru Ibu melihat pintu pagar telah terbuka lebar. Di halaman berjajar motor-motor para tamu undangan Bi Pur dan keluarganya.

Ibu melihat tanamannya banyak rusak terlindas roda motor yang terparkir di halaman rumahnya itu.

"Biar saja, Bu!" Ucap Bapak berusaha meredam kekesalan Ibu.

Ibu menghembuskan nafas berat.

Dan mereka segera keluar dari mobil

mewah milik Rizal itu.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 95

    Hantaran Diminta Kembali"Yud, cepat, ya!" seru Rizal dengan gusar. Ia menatap Lila yang nampak duduk dengan gelisah sambil beberapa kali menghembuskan nafas dengan cepat. "Ambil nafas, sayang!" ucap Rizal sambil mengusap keringat di dahi Lila. "Ambil nafas mulu, sudah ngos-ngosan ini!" seru Lila marah sambil melirik dengan tatapan tajam. Rizal bungkam seketika. "Iya, sabar, ya!" ucap Rizal tetap bersikap tenang sambil mengelus pinggang Lila. Dengan cepat Lila melesakkan dirinya dalam pelukan Rizal. Mencoba tenang dan menikmati sensari nyeri dan mulas yang semakin terasa. "Tenang, ya!" kata Rizal kembali sambil melirik ke depan. Jalanan di depan terlihat padat dan gelap. Banyak lampu terlihat di depan mereka, menandakan kondisi jalan yang sedang ramai. Lila diam, merasakan dada suaminya yang berdegub keras tak beraturan. Menandakan pria itu juga panik dan merasakan ketegangan yang sama. "Macet, pak!" keluh Yuda sambil membuang nafas kasar. Ia melirik Lila di jok belakang den

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 94

    Hantaran Diminta Kembali Lila menajamkan pandangannya saat ia melihat sosok berbaju putih dengan rok lilit batik berwarna hitam itu, terlihat sibuk di antara meja prasmanan. "Yulia!" seru Lila tak percaya. Gadis yang dipanggil segera menoleh dengan cepat dan tampak terkejut. "Lila! Oh ... maaf, Nyonya!" Yulia menyapa dengan gelagapan. Lila tampak terkejut, ia mendekati Yulia dan menggamit lengan Yulia untuk ke pinggir ruangan. "Ngapain manggil Nyonya?" Lila bertanya sambil mendongakkan dagu. Yulia tersenyum kikuk. "Eh, Nyonya-" Yulia menyebut lagi panggilan resmi itu dengan kaku. "Kenapa harus bersikap formal begitu, kalau teman, ya, sapa saja seperti biasa, Mbak," sela Rizal sambil mendekat. "Maaf, Pak, kan para tamu tamu di sini semua orang terhormat," Sahut Yulia malu-malu sambil membenahi celemek kecil yang melingkari pinggangnya. "Saya kok malah sok akrab sama ...." Yulia tidak melanjutkan ucapannya. "Ya ampun! bisa-bisanya, ya kepikiran begitu?"sergah Lila kes

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 93

    Hantaran Diminta Kembali Lila berdiri menghadap kaca besar di kamarnya. Ia menipiskan bibir melihat bentuk tubuhnya yang terpantul di kaca itu. Kemudian melempar pandangan ke arah ranjang dengan lelah. Tampak setumpuk baju tergeletak di atas ranjang. "Belum siap, juga?" Rizal berjalan memasuki memasuki kamar dan melihat istrinya itu masih belum bersiap. "Kenapa? Bajunya sudah jelek semua?" Rizal bertanya dengan nada lembut sambil mengamati gaun-gaun itu. "Bukan bajunya yang jelek, aku yang yang terlihat jelek," keluh Lila sambil menatap lagi bayangan dirinya di cermin. Rizal tersenyum menatap wanita yang tengah hamil besar itu. Wanita yang memakai gaun sutra yang flowy itu sudah terlihat begitu anggun dan cantik di matanya. "Kamu cantik dan seksi sekali!" Rizal berkata sambil mengambil selembar scarf untuk Lila. Namun Lila tidak terpengaruh pujian itu. Ia hanya mengira Rizal hanya sedang menghiburnya saja. Menurut Lila, mana ada wanita hamil dengan perut membuncit dan b

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 92

    Hantaran Diminta Kembali Dimas tersentak, bibirnya sampai terbuka saking terkejutnya. "Bangun, nggak! cari kerja sana!" Sari menghardik sambil menunjukan jari ke pintu ke pintu."Kau tahu aku juga setiap hari pergi melamar kerja," sahut Dimas seraya bangkit dari ranjangnya Ia melihat Sari sudah mengenakan seragam warna khakinya. Wanita hamil itu sudah siap bekerja. "Aku menyuruhmu kerja, bukan hanya mencari kerja!" Sari berseru marah. "Aku kan sudah berusaha, Sari!" Dimas menyahut sambil meruyak rambut dengan kasar. "Berusaha itu ada hasilnya, tapi ini tidak!" Sari memotong dengan suara melengking. "Ingat, aku hampir melahirkan, Mas dan aku masih terus bekerja, bahkan cari obyekan ke sana kemari demi cicilan mobilmu," seru Sari makin emosional. "Iya, iya, aku akan kerja!" Dimas menyahut gusar."Aku seperti ini juga gara-gara kamu!" Dimas balik berteriak dan segera beranjak menuju ke kamar mandi dan menutupnya dengan keras. Bu Eni yang sedang menjemur baju di samping ruma

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 91

    Hantaran Diminta Kembali Selvi memasuki mobilnya dengan wajah ceria. Sebuah telepon pagi ini membawa kabar yang membuat mood-nya seketika membaik. Tumben pria angkuh itu menelpon, meminta dirinya datang ke kantornya jam sepuluh pagi ini. Rizal tak perlu memohon, Selvi seketika menyanggupi akan datang saat itu juga."Tentu, dengan seneng hati," sahut Selvi dengan nada manja. Selvi melonjak girang, melempar ponsel di atas ranjang dan gegas menuju kamar mandi, memakai baju terbaik dan sedikit mengekspos keindahan tubuhnya, menyemprotkan parfum beraroma seksi seluruh tubuhnya, bahkan ia sibuk memilih sepatu dan tas termahalnya. Semua harus istimewa demi memenuhi panggilan Rizal. "Kamu yakin mau datang memenuhi panggilan Pak Rizal?" Elsa bertanya ragu. Melirik Selvi yang asyik mengemudi sambil bersenandung. "Tentu saja, kapan lagi aku memuaskan rindu pada Zal, kalau tidak mendatanginya pagi ini," sahut Selvi seraya mengibaskan rambut panjangnya. "Entahlah, aku merasa ia akan

  • Hantaran Diminta Kembali   Bab 90

    Hantaran Diminta Kembali Rizal perlahan membuka pintu kamar. Ia tersenyum melihat sosok yang berbaring di atas ranjang. Lila sudah pulas dengan posisi seenaknya. Kakinya bahkan menggantung begitu saja. Rizal mendekat dan membenahi posisi kaki Lila yang menggantung. Rizal terkejut saat melihat kaki Lila agak bengkak. Diusapnya pelan kaki itu, membuat Lila terusik. Ia hanya menggerakkan kaki dan kembali pulas. Rizal berdiri dan beranjak keluar dari kamar. Rizal segera menuju ruang tengah, karena masih mendengar suara dari televisi dari ruang itu. Ibu dan bapak masih duduk sambil selonjoran di sofa. Rizal dan Lila memang memutuskan menginap di rumah mertuanya itu. "Kenapa belum tidur, Mas?" Bapak bertanya pada menantunya itu. Rizal dengan santai duduk di dekat kaki ibu mertuanya. Bu Eni tersenyum, kebiasaan Rizal saat kecil dulu masih tak berubah hingga ia menjadi dewasa."Belum ngantuk, Pak," sahut Rizal sambil menoleh pada ibu yang kini membenahi letak jilbabnya. "Buk,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status