Share

Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan
Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan
Author: Rina Safitri

Bab 1

Author: Rina Safitri
Dengan wajah sepucat kertas, Puspa Rahayu menggenggam lembar hasil pemeriksaan yang menyatakan hamil di luar kandungan. Ia pencet nomor HP suaminya—suami secara hukum, setidaknya.

Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya tersambung. Suara Indra Wijaya tetap datar, tanpa gelombang emosi, seperti biasa, "Ada apa?"

Genggamannya di kertas laporan mengencang. Tenggorokannya terasa tercekat. Ia berkata dengan suara lirih, "Kamu bisa nggak datang ke rumah sakit sebentar?"

Indra belum sempat menjawab, namun suara perempuan terdengar dari seberang, ceria dan agak terkejut, "Indra, ini hadiah ulang tahun darimu?"

Nggak ada pertanyaan lanjutan. Indra langsung memutuskan percakapan dengan cepat. "Aku sedang sibuk. Hubungi Sekretaris Cakra saja."

Sebelum sambungan benar-benar terputus, Puspa masih sempat mendengar suara lembut dari suaminya, suara yang tak pernah ia dapatkan, "Suka nggak?"

"Indra..."

Namun sebelum ia bisa selesaikan panggilannya, yang terdengar hanya nada sibuk. Jemarinya yang memegang laporan semakin menggenggam erat hingga buku-bukunya memutih.

Puspa tahu siapa perempuan itu—Wulan Hasmita. Cinta lama Indra, yang nggak pernah benar-benar pergi dari hatinya.

"Keluargamu sudah datang?"

Dokter memandang Puspa kembali seorang diri dan bertanya.

Wajah Puspa masih pucat pasi, "Aku tanda tangan sendiri."

Dokter yang sudah kenyang pengalaman nggak kelihatan kaget.

Berbaring di atas ranjang operasi yang dingin, mata Puspa menatap kosong ke langit-langit. Instrumen logam masuk ke tubuhnya tanpa peringatan. Setetes air mata meluncur di sudut matanya, mengalir hingga tenggelam di helai rambut.

Ia tersenyum miris dalam hati. ‘Ya, bagaimana mungkin dirinya yang cuma ‘penangkal sial’ bisa dibandingkan dengan cinta sejatinya?’

Pernikahan mereka sejak awal adalah lelucon belaka.

Lima tahun lalu, Indra mengalami kecelakaan parah. Dokter sudah angkat tangan. Keluarga Wijaya, nggak ingin ia meninggal sendirian di usia muda, ingin memberinya ‘kehidupan yang lengkap’ sebelum ajal menjemput.

Karena kecocokan perhitungan tanggal lahir mereka, Puspa dipilih sebagai ‘istri penangkal sial’. Kalau bukan karena itu, ia nggak akan pernah punya kesempatan masuk ke keluarga Wijaya.

Namun keajaiban terjadi. Nggak sampai sebulan setelah menikah, bukannya mati, Indra justru berangsur pulih.

Apa yang nggak bisa diselesaikan ilmu kedokteran, bisa diselamatkan oleh takhayul. Dan karena jasa ‘selamatkan nyawa’ itu, Puspa pun duduk sebagai Nyonya Wijaya.

Siapa suruh ia bawa ‘keberuntungan’?

Sebelum Wulan kembali pulang, hubungan mereka sebenarnya masih bisa disebut baik. Nggak ada cinta, tapi masih bisa saling menghormati.

Namun sejak perempuan itu kembali, semuanya berubah.

Seperti batu yang dilempar ke permukaan danau, mengacaukan ketenangan yang ada.

Keluar dari ruang operasi, Puspa berjalan lunglai, wajahnya seputih salju.

"Nyonya."

Suara familiar menyapanya. Sekretaris Cakra tiba-tiba muncul. Puspa terkejut, matanya sedikit bersinar. Ia refleks melirik ke arah mobil hitam di belakangnya.

Sekretaris Cakra berkata pelan, "Pak Indra nggak bisa tinggalkan pekerjaannya."

Kalimat itu langsung meredupkan cahaya di matanya. Ia menarik sudut bibir, senyum pahit tersungging. Untuk apa berharap?

Di perjalanan pulang, Puspa menerima sebuah pesan.

Sebuah foto selfie dari Wulan. Bukan yang pertama. Seharusnya ia sudah menghapus kontak perempuan itu, tapi dia malah ‘gatal’ sendiri dan nyimpen kontak itu..

Namun bukan senyum menangnya yang menarik perhatian Puspa—melainkan kalung berlian di lehernya.

[Cantik, ya? Hadiah dari Indra.]

Puspa mengenali kalung itu. Sebulan lalu, ia yang temani Indra ke pelelangan untuk membelinya.

Ia pikir kalung itu akan jadi hadiah ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Ternyata, ia cuma sedang berkhayal sendirian.

Vila Asri.

Begitu masuk rumah, Bu Sekar langsung menyambut, "Nyonya, bahan masakannya sudah siap."

Puspa terdiam sejenak, lalu berkata, "Batalkan saja. Nggak perlu."

Hari ini ulang tahun kelima pernikahan mereka. Awalnya, ia ingin siapkan makan malam istimewa untuk merayakan.

Tapi dibandingkan hari jadi pernikahan, ulang tahun sang kekasih lama tampaknya jauh lebih penting bagi Indra.

Melihat wajah pucat Puspa, Bu Sekar hendak bertanya, tapi wanita itu sudah melangkah naik ke atas.

Sebelum menghilang, Puspa berujar pelan, "Nggak usah siapkan makan malam untukku."

Di bawah sinar bulan, Indra akhirnya pulang.

Bu Sekar menyambut dan mengambil jasnya.

Nggak lihat sosok yang biasanya selalu menunggu di depan pintu, ia bertanya, "Dia di mana?"

"Nyonya sudah naik untuk istirahat," jawab Bu Sekar.

Kamar tidur utama.

Puspa berbaring menyamping. Tidurnya memang nggak pernah nyenyak. Suara mobil berhenti tadi sudah cukup membuatnya sadar. Ia pikir malam ini suaminya nggak akan pulang.

Pintu kamar terbuka. Kasur di sebelahnya tiba-tiba tenggelam saat seseorang naik. Aroma tubuh yang familiar langsung tercium, disusul napas hangat di lehernya.

Setelah bertahun-tahun berbagi tempat tidur, mana mungkin ia nggak tahu apa maksud suaminya?

Tangannya bergerak menepis tangan pria itu, menolak secara halus namun tegas.

Indra tampak heran. Biasanya, ia nggak pernah menolak.

"Kamu kenapa?"

Puspa menjawab tenang, "Aku sedang haid."

"Hari ini bukannya masa subur?"

Matanya menegang. Dulu, ia bisa menipu diri sendiri bahwa perhatian Indra berarti sesuatu.

Tapi kini, ia harus sadar.

Ia tahu kenapa sang suami selalu ingat jadwal masa suburnya—karena keluarga Wijaya ingin cucu, dan nggak ingin kelewatan ‘hari yang tepat’.

Maka setiap bulan, Indra akan ‘bekerja keras’, seperti sapi jantan yang sedang musim kawin.

Namun yang ia nggak tahu, hanya beberapa jam lalu, ia sudah kehilangan kesempatan untuk jadi ayah.

Puspa menyentuh perutnya, membayangkan bayi yang nggak akan pernah tumbuh di rahimnya. Hatinya seperti diremas-remas, sesak hingga sulit bernapas.

Sejak tahu dirinya hamil, hingga dinyatakan kehamilan itu di luar kandungan, hanya tiga puluh menit berlalu. Tapi bagi Puspa, rasanya seperti terjun dari surga ke neraka.

Saat ia berada di ujung keputusasaan, suaminya malah bersenang-senang dengan cinta lamanya.

Tenggorokannya tercekat, matanya kembali memanas.

Indra akhirnya bertanya, "Kamu ke rumah sakit tadi, kenapa? Ada yang sakit?"

Pertanyaan yang datang terlambat itu nggak bawa kehangatan. Justru membuat dada Puspa semakin dingin.

Ia menatap pria yang telah membuatnya jatuh cinta selama sepuluh tahun—lima tahun menyimpan perasaan, lima tahun menjadi istri. Separuh hidupnya ia dedikasikan untuknya.

"Ayo kita cerai."

Ia nggak ingin menunggu lebih lama.

Indra tampak nggak terpengaruh. Ia mengangkat tangan, menyentuh keningnya. "Kamu demam?"

Puspa menepis tangannya, nadanya mantap, "Aku nggak ingin jadi penghalang cintamu. Kalau kita cerai, kau bisa bersama Wulan tanpa harus sembunyi-sembunyi."

Dahi Indra berkerut halus. "Kamu sedang cemburu?"

Cemburu? Apa ia punya hak untuk itu?

Seperti yang pernah dikatakan Wulan—yang tidak dicintai adalah pihak ketiga yang sesungguhnya.

"Aku dan Wulan nggak ada hubungan apa-apa. Kami hanya teman."

Teman? Teman yang bisa tidur bersama?

Menahan pahit di tenggorokan, Puspa berkata, "Besok aku akan cari pengacara dan urus surat cerai. Aku yang minta cerai, tapi kamu yang salah. Jadi aku tetap mau kompensasi yang layak"

Ia bukan malaikat. Ia nggak akan pergi dengan tangan kosong.

Cinta nggak ia dapatkan, masa hartapun ia lepaskan?

Ia tahu setelah cerai, hidupnya nggak akan semewah saat menjadi Nyonya Wijaya. Tapi ia juga nggak bodoh untuk menyia-nyiakan segalanya demi harga diri kosong.

Wajah Indra, yang biasanya tanpa ekspresi, akhirnya menunjukkan ekspresi nggak senang. "Kamu marah Karena aku nggak nemanin kamu ke rumah sakit? Aku sudah minta Cakra untuk jemput kamu. Biasanya kamu nggak sesensitif ini."

Ucapannya membuat dada Puspa kembali teriris. Ia bahkan merasa seolah Indra menganggap kiriman sekretarisnya itu adalah bentuk kebaikan besar.

"Kamu tahu ini hari apa?"

Sorot mata Indra menunjukkan keraguan. Puspa melihatnya jelas, dan tatapan mengejek itu justru makin menjadi-jadi.

"Ulang tahunmu?"

Untuk sekali ini, suara Puspa terdengar tajam."Menurutmu... siapa yang sedang kamu pikirkan sekarang?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 100

    Puspa dorong mangkuk bubur berisi hewan laut yang ada di depannya. "Aku ingin makan mi daging sapi." Wajah Indra menegang sejenak. Ia masih tunggu ucapan terima kasih keluar dari bibir istrinya, tapi yang datang justru air dingin yang disiram ke wajan. Bu Sekar, yang berdiri nggak jauh, ikut menunjukkan ekspresi canggung. Ia melirik ke arah Indra, lalu berusaha mencairkan suasana. "Nyonya, kuah daging sapi butuh waktu untuk dimasak. Nggak sempat kalau untuk sarapan.""Nggak masalah. Aku bisa menunggu," jawab Puspa ringan.Bu Sekar kembali melirik tuannya. Indra hanya lambaikan tangan, kasih isyarat agar dia pergi dan siapkan itu. Melihat itu, Bu Sekar pun nggak berani bantah dan segera masuk dapur. Indra menatap kakinya yang masih digips. "Untuk sementara, kamu nggak perlu kembali kerja. Fokus saja istirahat di rumah. Nanti kalau sudah sembuh, dan kamu masih mau kerja, aku akan atur tempat baru buatmu." Suara pria itu datar, tanpa emosi.Apa maksudnya itu? Apa ia merasa keberadaan

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 99

    Jadi, di mata Indra, pernikahan mereka hanyalah transaksi jual beli tubuh? Dia anggap Puspa itu apa? Ayam? Pertanyaan itu menggema di dalam benaknya, tajam dan menyakitkan. Gigi belakangnya menggertak rapat, napasnya sesak, dan ia nyaris mendengar suara hatinya retak dalam diam. "Aku menyesal!"Suara itu pelan, tapi jelas. Indra bisa saja nggak mencintainya.Tapi tidak seharusnya menginjak-injak harga dirinya. Mungkin, memang salahnya. Terlalu berharap, terlalu percaya bahwa tetes air bisa melubangi batu. Tapi ia lupa, hati pria itu bukan batu, melainkan baja. Indra sedikit tertegun saat melihat patah hati begitu nyata di mata Puspa. Namun ia belum sempat berkata apapun saat wanita itu kembali menggumam, “Aku benar-benar menyesal.”Indra nggak ngerti arti dari kata penyesalan itu, dan tampaknya, nggak tertarik untuk mengerti. Sebaliknya, ia mendadak menindih tubuh Puspa. Reaksinya lambat, dan saat sadar bajunya sedang ditanggalkan, Puspa baru benar-benar paham niat pria itu. Ia

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 98

    Puspa buka matanya perlahan, kesadarannya masih kabur. Kepalanya berat, pandangannya berputar, dan ia bahkan tak tahu sedang berada di mana. Potongan terakhir dalam ingatannya hanyalah saat Wilson berkata akan antar dia pulang. Dengan suara mengantuk dan gumaman yang belum jelas, ia berkata, “Kak Wilson, terima kasih sudah antar aku pulang.”Kata-katanya terdengar manja dan lemah, dan di telinga Indra, itu seperti suara seorang wanita yang sedang menggoda pria lain. “Kamu pulang aja dulu, nanti kalau Indra lihat, kamu bisa kena masalah…”Kalimat itu seperti cambuk yang menghantam telinga Indra. “Kenapa aku harus cari masalah dengannya?”Suara dingin dan tajam memotong udara. Suara yang tiba-tiba itu membuat Puspa sedikit tersadar. Ia menoleh, dan baru sadar kalau dirinya sedang berada di ranjang utama kamar mereka. Ia menggeleng pelan, berusaha mengusir pusing yang berputar di kepalanya. “Tubuhku bau alkohol. Malam ini aku tidur di kamar sebelah saja.”Meski setengah sadar, ia masi

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 97

    "Puspa."Suara familiar itu menyentak Puspa dari lamunannya. Begitu menoleh, ia langsung melihat Wilson. "Kak Wilson."Wilson mengangkat alis, bertanya ringan, “Ngapain kamu di sini?”Puspa menghindari jawaban jujur, hanya berkata ringan, “Keluar sebentar cari udara segar. Kalau kamu? Kok bisa di sini juga?”“Baru selesai ketemu klien,” jawab Wilson santai.Ia kemudian melirik ke arah mobil Puspa. “Kamu masih luka, kenapa nyetir sendirian?” “Kaki yang injak gas masih sehat,” jawab Puspa setengah bercanda. Lalu menatapnya. “Kamu masih sibuk nanti?” Wilson bertanya, "Kenapa?"“Aku pengen minum bir. Mau temenin?” kata Puspa pelan.Wilson nggak perlu berpikir lama. “Mau ke mana?”Mereka akhirnya pergi ke sebuah bar tenang yang pencahayaannya redup, cukup untuk menyembunyikan luka dan letih di mata Puspa. Wilson duduk menemani, diam, tak banyak bicara. Tapi kehadirannya cukup untuk menenangkan. Puspa nggak datang untuk curhat atau menangis. Ia hanya terlalu kesepian malam itu, dan but

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 96

    Puspa tahu betul, semua sindiran mertuanya barusan sebenarnya ditujukan kepadanya. Di mata Endah, ia bahkan lebih rendah dari keluarga kecil tanpa nama. Semua ini hanyalah cara sang mertua membela Lisa sekaligus menunjukkan siapa yang berkuasa di rumah ini. Dia bisa bersikap seperti itu ke Rini, karena toh dia bukan siapa-siapa. Tapi Puspa? Dia adalah menantu resmi, istri sah dari Indra. Dan justru karena status itulah, Endah merasa berhak memperlakukannya semena-mena. Seolah sedang menghukum seorang pelayan, Puspa dipaksa berdiri dan mengurus semuanya. Meski punggungnya masih sakit, kakinya belum pulih, ia harus tetap melayani mereka menyiapkan makan siang. Punggungnya seperti ditusuk-tusuk, dan wajahnya pun makin pucat dari menit ke menit. Endah yang melihatnya hanya mendengus sebal. "Kenapa cemberut begitu? Lagi protes karena disuruh melayani? Wajahmu itu kamu tunjukkan ke siapa?"Puspa menunduk, menjawab pelan, "Nggak, Bu."Baru saja kata itu keluar dari bibirnya, setitik ke

  • Hari Aku Kehilangan, Dia Merayakan   Bab 95

    Bagi Puspa, perhatian Indra itu seperti cuaca bulan Juni, berubah secepat kilat. Baru saja sedingin salju, sedetik kemudian bisa berubah jadi panas menyengat seperti matahari siang. Nggak ada orang waras yang bisa menyesuaikan diri dengan perubahan sesering itu. Makanan sudah terhidang rapi di meja makan. Saat Indra turun tangga sambil gendong Puspa, mata Bu Sekar seketika dipenuhi rasa lega. Setidaknya, kalau mereka sudah duduk semeja, Puspa nggak perlu merasa kehadirannya sia-sia. Namun nggak lama setelah mereka mulai makan, Indra bicara pelan, seolah memberi nasihat, "Lisa itu masih kecil. Kamu kakak iparnya, sebaiknya lebih sabar dan maklum padanya."Mendengar itu, tangan Puspa yang sedang menyendok nasi tiba-tiba berhenti. Ia perlahan menatap pria itu. Cahaya lampu gantung membuat garis wajah Indra tampak hangat dan teduh. Tapi bagi Puspa, nggak ada sedikit pun kehangatan yang terasa, dan makanan di mulutnya mulai terasa hambar. Jadi dia tahu. Dia tahu yang salah adalah adikn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status