Anna masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan cepat. Tubuh yang masih berdiri di depan pinu itu berusaha lebih tenang, tangannya menyentuh dada seolah ingin mengatur detak jantung yang sulit dikendalikan karena ucapan Gama. Anna menggelengkan kepalanya berusaha menyadarkan diri. "Tidak. Aku pasti salah dengar. Tuan Gama ingin aku menjadi kekasihnya? Aku? Tuan Gama?" Tidak! Tidak! Ini pasti tidak mungkin .... Ah, tapi ini baru saja terjadi!" Anna berjalan, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur empuk. Dengan wajah yang dibiarkan terbenam dalam kehangatan, Anna kembali menggeleng-gelengan kepala, kemudian berbalik terlentang memandang langit-langit kamar. Perempuan yang masih salah tingkah itu tiba-tiba tersenyum ketika mengingat kembali perlakuan Gama terhadapnya Ia baru menyadari bahwa selama keduanya pergi bersama, Gama terus menggenggam tangannya tanpa peduli bagaimana posisinya dalam rumah. Malam itu menjadi malam yang berkesan untuk Anna dan Gama. Jika Anna tidak bisa berh
"Ke mana kita hari ini?" tanya Alex di sela-sela perjalanannya bersama Anna di area perumahan. Alih-alih menjawab pertanyaan lawan bicaranya, Anna justru lebih tertarik dengan penampilan Alex. "Kamu tidak sekolah? Ini masih pagi, harusnya kamu ada di sekolah, bukan?" Alex tersenyum kuda hingga menunjukan deretan giginya yang rapi. "Aku tidak masuk hari ini. Tiba-tiba ingat padamu. Jadi, aku kemari."Anna tampak tidak senang dengan alasan yang diberikan oleh teman lelakinya tersebut. Ia berhenti berjalan, lalu memukul cukup keras lengan Alex dengan raut wajah menekuk kesal. "Jangan begitu! Kamu harus sekolah.""Tapi, ini sudah siang. Aku sudah sangat terlambat.""Lain kali, pergilah sekolah dan jangan jadikan aku alasan. Aku tidak suka menjadi alasan seseorang bersikap tidak baik," tutur Anna. "Iya, iya." Alex menimpal seraya mengacak pucuk kepala Anna hingga rambutnya sedikit berantakan. "Jadi, akan ke mana kita hari ini?" lanjut Alex kembali pada pertanyaan awal. "Aku tidak tahu
Entah apa yang terjadi dengan Gama, setelah melihat kebersamaan Anna dan Alex, sikapnya begitu berubah. Anna merasakan perubahan tersebut ditujukan kepadanya. Gama menjadi lebih dingin dan tidak bicara padanya, hanya menjalin komunikasi pada sang ibu. Malam itu Gama kembali dari kantor. Lelaki itu langsung menuju ke kamar tanpa mempedulikan apa pun. Tubuh lelahnya membuat Gama ingin segera memanjakannya dengan cara tertidur. Tetapi, pintu yang hampir tertutup itu mendadak tertahan oleh sebuah kaki mungil beralaskan sendal bulu. "Ada apa?""Aku ... aku ... aku ingin bicara sebentar," ucap Anna dengan nada sedikit terbata-bata. Bagaimana pun, tatapan Gama masih saja dingin dan tajam pada Anna. Hal itu yang membuat Anna menjadi sangat kaku, serta gugup setiap berhadapan dengan Gama. "Bicara apa?"Anna menggaruk tengkuk lehernya dan melirik ke arah lain. "Bisa kita bicara di ruang tamu atau di luar rumah agar bisa lebih leluasa?""Tidak bisa." Tegas dan singkat Gama menjawab permintaan
"Bu? Ibu?" Pagi-pagi suara Anna sudah terdengar jelas. Ia terus memanggil sang ibu yang tidak juga menyahuti panggilannya. "Ibu ke mana pagi-pagi begini sudah tidak ada di dapur?"Pergerakan Anna mulai beralih menuju teras. Namun, belum sempat menuju tempat yang dituju, tubuh Anna dibopong tiba-tiba oleh Gama dan membawanya masuk ke dalam kamar. Teriakan Anna tidak membuat lelaki itu peduli. Ia menjatuhkan Anna di atas kasur, lalu menjatuhkan dirinya sendiri tepat di samping perempuan yang masih menunjukan kecemasan luar biasa. "Temani aku sebentar," pinta Gama seraya merapatkan pelukan dari arah samping pada Anna. "Tuan, lepas! Ini tidak benar. Ibuku bisa marah besar." Anna terus berusaha melepaskan diri meski usahanya sia-sia. "Maaf, Ann, tapi aku sudah meminta ibumu membeli sesuatu ke luar dan itu cukup lama karena aku sudah memintanya pergi bersama salah satu karyawanku. Aku sedang sakit, tolong temani sebentar." Gama berucap lebih lembut seperti takut akan kemarahan Anna. Anna
Alex sudah cukup lama memperhatikan keanehan dari sikap Anna yang jauh lebih banyak diam dari biasanya. Lelaki berseragam itu tidak ingin kehilangan akal, ia mendekat dan berjongkok di hadapan Anna. "Ada apa, Ann? Apa terjadi sesuatu? Aku rasa hari ini kamu lebih banyak melamun." Anna tersenyum, lalu menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Hanya ada salah paham saja." Alex pun bangkit dan duduk di samping Anna yang masih diam. "Tidak mau cerita?" lanjutnya lagi mencoba membuat Anna terbuka. "Tidak untuk sekarang. Oh iya, bagaimana hari ini di sekolah? Apa ibumu tidak mencarimu? Kenapa kamu selalu pergi dengan pakaian sekolah?""Aku pakai jaket," jawab Alex singkat. "Tetap saja itu tidak baik."Alex tidak lagi menimpal. Ia hanya menunjukan senyum tipis yang tampak berat dilakukan. "Ibuku tidak akan peduli, Ann. Dia hanya peduli pada harta bendanya saja.""Mana bisa begitu. Jangan berpikir negatif." "Tapi, kenyataannya memang begitu, Ann. Ah, sudahlah, aku tidak ingin membahas hal-hal men
Tidak ada percakapan sepanjang perjalanan menuju rumah. Anna sibuk mencari kat yang ia butuhkan untuk menjelaskan pada Gama. keberaniannya sedikit menciut setelah melihat sikap dingin Gama kembali dirasakan. Gama bersikap demikian, lelaki itu tengah dikuliti rasa cemburu melihat Anna kembali bertemu, bahkan bisa berbicara lebih banyak dengan Alex. Ia merasa gagal mencuri perhatian Anna selama ini, sedangkan ia memiliki kesempatan lebih banyak dari orang lain. "Itu rumahnya?" tanya Gama setelah sekian lama berdiam diri. Anna mengangguk mengiyakan. Ia tidak berani berkata apa pun, selain hanya melakukan anggukan kecil. "Itu rumahnya, bukan?" Gama kembali bertanya untuk kedua kalinya. "Iya, aku sudah menjawab iya.""Jelas-jelas kamu tidak menjawab. Kenapa tidak jawab saja, kamu takut aku mengacak-acak rumahnya?" Anna menoleh dan mendengus kesal. "Aku sudah menjawabnya. Aku sudah mengangguk tadi."Kini berbalik Gama yang menoleh sejenak pada Anna dengan raut wajah tak ingin kalah. "
Sehari setelah kejadian menghebohkan terjadi, Anna masih duduk di tepi kasur miliknya. Tatapannya mengarah pada jendela kamar yang dibiarkan terbuka. Lamunan itu bahkan tidak membuat Anna sadar jika Lusi sudah memasuki ruangan. "Sedang apa, Ann?" Anna yang terkejut dengan kedatangan Lusi sontak menoleh dan melempar senyuman hangat. "Ibu. Aku sedang duduk saja. Akhir-akhir ini aku sedang suka melihat jendela terbuka, membiarkan angin masuk menyejukan seisi ruangan." "Kemarin malam kamu ke mana dengan Gama?""Bukankah tuan Gama sudah memberi tahu ibu?" Anna begitu berhati-hati. Ia dengan sengaja membalikan pertanyaan agar tidak salah bicara. "Sudah. Tuan Gama meminta izin membawamu untuk mengurus pekerjaan. Tapi, tidak terjadi apa-apa antara kalian, bukan?" tanya Lusi lebih serius. "Iya. Pekerjaannya sangat banyak.""Apa kamu tidak cukup tidur?" Anna terdiam sembari menatap wajah sang ibu. Ada rasa tak enak hati karena sudah berbohong. "Ann?" panggil Lusi berhasil membuat Anna te
Gama membuka pintu ruangan pribadinya di kantor. Alih-alih disambut setumpuk pekerjaan, ia justru disambut oleh sang ibu. Perempuan bernama Dena itu menusuk Gama dengan sebuah tatapan tajam. Tidak hanya sang ibu, terlihat pula Mona setia berdiri tegak menemani Dena."Ibu ingin bicara."Gama menghela napas panjang, berjalan melewati dua perempuan di depannya dan langsung duduk di kursi singgah sananya. "Bicara apa? Bicara saja. Hari ini aku harus meeting dan memeriksa lokasi pembangunan." Gama menyahuti dengan santainya. "Kamu tahu bahwa skandalmu sudah tersebar ke luar perusahaan? Bagaimana jika perusahaan yang sudah menjalin kerjasama mendadak memutuskan kontrak karena perilaku burukmu itu, hah?" "Buruk apanya? Mereka bahkan tidak tahu apa yang terjadi, mana bisa membuat argumen bahwa aku berperilaku buruk.""Kamu sudah menghianati Mona! Tunanganmu, Gam. Kamu itu seorang CEO, mana bisa bersikap senonoh, seenaknya. Mereka memandangmu sebagai panutan.""Dia bukan siapa-siapa selain tu