Ku ayun-ayun Zia, badanku rasanya sakit semua. Kenapa tubuh ini seolah masih belum bisa fit seperti dulu.
Zia tak jua mau menyusu. Aku makin di buat gemas. Makin lama aku makin merasa lelah. Kalau tak ada dia, aku tak akan seperti ini!
"Susuin buruan! Nangis terus itu!" Bentakan Bang Fardan membuat hati ini makin dongkol. Kalau Zia mau nyusu pasti sudah aku susuin dari tadi.
Kuraih popok milik Zia yang tergeletak disisi ranjang. Kukuel menjadi bentuk bulat dan bersiap untuk menyimpan mulut bayi mungil itu.
"Diam!" Segera aku melempar popok tadi. Aku masih waras. Aku tak mungkin menyakiti anakku.
"Kamu kenapa?" tanya Bang Fardan mendekat. Ia sudah mencuci muka.
"Aku capek, Bang! Aku capek ngurus bayi ngurus nafsu kamu! Aku capek, aku mau pulang kerumah ibu saja!" Kusingkapkan unek-unek dihati. Selama menikah dengan Bang Fardan dua setengah tahun, memang baru beberapa bulan aku punya rumah sendiri. Itu berkat tabungan yang kita kumpulkan selama menumpang di rumah orang tuaku. Kurangnya Bapak yang menambahkan.
"Kamu jangan begitu. Tugas seorang istri ya itu, jangan sering membantah!"
Aku menghela nafas, memang benar-benar Bang Fardan tak pernah mengerti. Mungkin kalau di rumah Ibu, aku bisa sedikit tenang, tugasku hanya mengasuh anak dan mandi tiap malam ada water heater. Kini aku lelah jiwa dan raga!
"Bang! Kasih aku pembantu, agar bisa mengurus rumah atau kalau tidak kasih aku baby sitter biar ada yang mengurus bayi dan pasang water heater agar aku mandi ngga kedinginan. Fisikku sudah tak sekuat dulu saat belum punya anak!" Sebenarnya Bang Fardan mampu untuk menyewa satu pembantu. Gajinya sebagai direktur cukup jika di bagi untuk sekedar membayar satu orang. Dia menjabat sebagai direktur baru. Aku pernah melihat slip gajinya saat pengangkatannya kemarin sebelum aku melahirkan. Diperlihatkan daftar gajinya saat peresmian pengangkatannya.
Aku lelah markonahh.
"Ngga perlu itu, aku ngga mau privasi kita di rumah di ketahui banyak orang. Biar aku suruh Ibu saja untuk bantu kamu dirumah. Biar dia bisa mengasuh Zia dan kamu bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Sedangkan pasang water heater membuat listrik berat. Ace satu saja sudah sering anjlog kilometernya."
Aku makin bernafas berat, itu bukan solusi tapi penambah beban. Bagaimana mungkin aku hidup satu rumah dengan Ibu Mertua. Dia tak pernah sejalan denganku. Apa aku harus bersabar. Mungkin, Bang Fardan masih belum bisa mengelola dan mengira. Baru satu bulan ini dia menerima gaji yang dua kali lipat dari pertama.
"Tapi, Bang. Kamu kan tahu kalau aku dan Ibu ...."
"Sudahlah, kamu mengalah, jangan selalu debat dengan Ibu. Aku ini anak laki-laki satu-satunya."
Air mata kini merembas sempurna. Bang Fardan sudah terlelap dalam mimpinya. Zia juga sudah kutenangkan. Sepertinya tahu jika ibunya sudah marah tadi dan hampir melakukan hal-hal yang tak masuk akal.
Pagi menjelang. Kusiapkan sarapan dengan mata sembab. Aku tak tidur semalam, badanku mengigil namun tak berani mengecilka Ace. Kini badan makin tak karuan tapi kupaksakan untuk tetap membuat sarapan.
"Nanti Ibu tiba jam sepuluh. Kamu bersihkan kamar depan!" ucap Bang Fardan membuat aku seketika terdiam. Benar-benar Bang Fardan tak main-main.
Bagaimana ini?
"Ya sudah, aku berangkat. Sudah ada Ibu. Nanti malam persiapkan. Aku ngga mau kejadian kaya semalam."
Kucium tangan Bang Fardan, tak membantah satu katapun. Di hati ini terasa sesaknya.
Setelah membereskan bekas makan, aku memandikan Zia kemudian menidurkan dia sambil menyusui.
Tanpa terasa mata begitu berat dan membuat aku terlelap bersama Zia dalam pelukan.
"Oh! Begini kerjaan menantuku!" tiba-tiba aku kaget karena suara Ibu mertua yang kencang.
"Ibu!" Aku beranjak untuk duduk tanpa membuat Zia terbangun.
"Amel! Ibu lapar, buatkan Ibu makanan!" Perintahnya kemudian. Aku menuruni ranjang dan menuruti permintaannya. Begini bukan meringankan beban tapi menambah beban.
Kubuatkan nasi goreng, saat tengah mengoseng makanan Zia menangis. Kulirik Ibu mertua yang tengah santai membaca koran.
"Bu, bisa tolong gendongkan Zia?" ucapku pelan, takut menyingung.
Dia menurunkan koran, "aku baru sampai, kesal. belum di kasih minum dan makan sudah di suruh-suruh. Menantu apaan kamu! Bisanya menghabiskan uang suami tapi jadi istri tak pecus!"
Tanpa menunggu lama aku segera melemparkan sepatula kewajan dan langsung pergi kekamar untuk menenangkan Zia. Rasanya aku sudah sangat tertekan. Kedatangan Ibu tak banyak membantu, justru menambah bebas saja.
"To-tolong! Kebakaran!" Dari luar suara Ibu terdengar. Aku tersenyum dengan memandangi wajah Zia yang mulai kembali terlelap.
"Kamu jangan rewel! Biar semua Mama yang bermain!" Kuusap pipi Zia dan kuabaikan panggilan Ibu yang berkali-kali.
Masih terdengar nyaring panggilan Ibu mertua. Aku masih sibuk menyusui Zia. Tak lama pintu di buka dengan keras."Kamu itu keterlaluan, Mel! Hampir saja rumah ini kebakaran karena ulahmu! Kenapa masak malah di tinggal?" Ibu memberondong perkataan yang kurasa tak penting. Pikiranku mulai terasa embuh."Aku kan kekamar karena Zia nangis. Hatinya Ibu yang lanjutkan masak bukan ongkang-ongkang kaki!" jawabku tanpa menatap Ibu."Kamu ini berani sama Ibu?!" Aku langsung menatapnya, "semalam apa yang dikatakan Bang Fardan, Bu? Ibu kesini untuk bantu-bantu aku karena Bang Fardan ngga mau keluarin uang buat bayar pembantu. Jadi Ibu yang di suruh buat bantu, bukan cuma baca koran sambil ngemil! Lagian, setiap gajian Lebih dari separuh di kasih ke Ibu kan?" Ibu telihat sangat murka, tapi aku tak peduli. Toh yang aku katakan memang benar semuanya."Kamu itu! Berani sekali menyuruh Ibu jadi pembantu. Awas kamu aku adukan pada Fardan!" Ibu keluar dengan menghentakkan kaki, aku hanya mengeleng pel
"Bang!" Aku masih bisa memanggil Bang Fardan walau pelan. Rasanya nafasku mulai sesak dan darah tak kunjung berhenti."Bagaimana ini, Mel! Abang ... Abang!" Dia justru masih kebingungan, berputar putar saja di kamar. Aku makin lemas."Panggil Ibu!" Akhirnya dia punya inisiatif, tapi ini tengah malam pasti ibu sudah tidur."Bu ... Bu ...!" Teriak Bang Fardan di pintu. "Ada apa, Dan!" Kudengar suara Ibu. Mataku makin berkabut. Sudah tak jelas melihat keberadaan orang."Apa! Darah!" Hanya suara Ibu yang jelas kudengar, "dia pendarahan, Dan. Ayo bawa kerumah sakit. Ibu ngga kuat lama-lama lihat darah!"Aku sudah tergolek lemah, bahkan saat Bang Fardan membopongku di bantu Ibu. "Bawa dasternya saja, nanti kita pakaikan di jalan. Biar selimut sementara untuk menutupi tubuhnya." Suara Ibu masih kudengar, tapi bayangannya pun sudah tak tampak. Apa aku pingsan? Tapi aku masih bisa mendengar percakapan mereka.Bahkan aku masih berasa saat di pakaikan baju. Aku ingat Zia, dimana dia? Apa merek
"Begini, Dok. Suami saya itu ...." Aku menjeda, malu untuk menyebutkan."Lanjutkan, jangan merasa sungkan," ucap Dokter yang kutahu bernama Maria. Terlihat dari papan nama di baju putihnya."Jadi suamiku itu kalau semalam meminta itu ... Lebih dari tiga kali, Dok." Akhirnya terucap juga. Susah payah aku mengeluarkan kata-kata itu.Terlihat raut wajah kaget namun kemudian wajah Dokter Maria datar."Sebenarnya sebelum memiliki anak, saya tidak terlalu keberatan. Saya masih mampu mengimbanginya. Tapi ... Setelah melahirkan, rasanya badanku ngga sanggup, terlebih suamiku maunya sebelum melakukan ritual itu harus mandi dulu." Aku membuang pandangan, malu sekali sebenarnya, tapi aku ingin mencari sebuah solusi.Terlihat Dokter Maria berfikir sejenak, "sepertinya suami Mbak maniak s*x, dalam istilah lain hipersex. Itu sebuah kelainan yang bisa di alami seseorang. Banyak kasus yang seperti ini. Memang benar, orang yang memiliki kelainan ini cenderung mempunyai sikap aneh. Bahkan saya pernah d
"Ma, kalau aku pulang kerumah Mama bagaimana?" Akhirnya apa yang tercengkal di tenggorokan keluar juga. Kulirik Bang Fardan dengan ekor mata. Dia nampak kesal."Loh kenapa? Kamu kangen sama Mama. Dasar kamu itu! Sudah punya suami, sudah punya anak bahkan sudah punya rumah. Masih saja minta di kelonin mamanya!" ucap Mama. Memang selama ini Mama memandang Bang Fardan merupakan suami idaman. Disamping tangung jawab dia juga perhatian kata mama. Mama tak pernah tahu tentang urusan ranjang yang tengah membuatku sampai tergolek."Duh, kamu bagaimana si, Mel. Kan dirumah juga ada Ibu. Kenapa malah minta pulang!" Kali ini Ibu mertua bersuara. Dia memang selalu bisa mencari muka."Biar, Bu. Gantian saya yang mong-mong cucu dulu. Besok gantian lagi, ngga papa kan, Dan?" tanya Mama pada Bang Fardan yang membuat dia tersentak. Mungkin dia kaget karena entah tengah melamun apa."Bo-boleh, Bu. Tapi jangan lama-lama nanti aku kangen sama Zia. Seminggu saja ya, Mel!" ucap Bang Fardan. Aku mengangguk
"Apa keluhannya, Mbak?" tanya dokter Maria sambil mengeluarkan stetoskop."A-anu, Dok. Sebenarnya tadi saya bohongan. Saya cuma kesal, sakit begini masih saja kena marah. Kan saya tertekan, Dok!" ujarku yang seketika membuat Dokter Maria mengkerutkan kening. Ia menempelkan stetoskop pada dadaku."Maaf ya, Dok. Saya jadi ngeprank anda!" ucapku jujur.Dia tersenyum, menurunkan stetoskop dari telingga. Suster tadi juga masih ada di sini. Mungkin dia sedikit dongkol."Kalau alasannya seperti itu, saya tak apa-apa. Biar saya bantu untuk menjelaskan pada mereka jika kondisi Mbak tak boleh stres. Biar mereka tak semena-mena memperlakukan Anda.""Terima kasih, Dok. Maaf ya, Sus." "Iya, Mbak. Saya memaklumi. Saya juga tadi sempat dengar jika Ibu mertua Anda sedang menjelek-jelekan anda. Jadi saya tahu kalau anda memang butuh inisiatif untuk menghindarinya." Tuh kan benar, ibu mertua memang begitu. Dia itu sebenarnya tak menyukaiku. Entah aku punya salah apa padanya."Ya sudah, istirahatlah.
"Ini?" Bang Fardan memegang kartu nama yang di beri Dokter Maria. Aku harus tenang."Kenapa, Bang?" tanyaku, kubuat sesantai mungkin."Ini ngapain kamu simpan kartu nama Psikiater?""Oh, itu. Kemarin Dokter Maria yang ngasih, dia bilang temannya prakter dan memberikan aku kartu nama itu. Siapa tahu butuh konseling katanya." Aku menjawab dengan sedikit di bumbui kebohongan. Belum saatnya aku cerita. Aku akan pelan-pelan membujuknya nanti. Mencari jalan keluar untuk masalahnya."Tapi ....""Bang, sekarang itu, psikiater bukan cuma untuk konsultasi orang gila. Cakupannya luas, kita punya masalah hutang, masalah keluarga atau masalah dengan orang lain. Kita bisa konseling ke psikiater. Biar hati dan pikiran kita lebih legowo dan kita di jauhi dari rasa stres berlebih." Aku mencoba menjelaskan. Bang Fardan terlihat hanya bergeming."Ayo! Kalian sudah siap?" tiba-tiba Ibu mertua datang dengan mengendong Zia."Udah, Bu. Ayo, Mel. Pamit sama Mama!" Aku melangkah dengan enggan. Sebenarnya masi
Botol susu mengenai kepala Ibu Mertua."Mel!" Bang Fardan mengagetkanku."Astaghfirullah!" Kenapa aku halusinansi. Seolah ada yang membisikan untuk melakukan kejahatan, untuk melukai orang yang membuat aku merasa tektekan."Kenapa? Kok bengong begitu?" tanya Bang Fardan kembali, "kata Ibu kamu bertengkar lagi?!"Ya kan, dia ngadu lagi!"Sebaiknya Ibu suruh pulang saja, Bang! Ada Ibu aku makin tertekan. Bukan makin membantu meringankan dia kerjaannya nyindir mulu!" ucapku terus terang. Aku ingin Ibu Mertua pulang saja. Aku makin merasa jika dia menanmbah beban mental ku.Bang Fardan terdiam, pasti dia bingung untuk menyuruh Ibunya kembali pulang. Aku makin kesal, kuangkat Zia dan membawanya keluar.Aku keluar keteras. Terlihat didepan Ibu Mertua tengah berbelanja sayuran di tukang sayur yang keliling. Entah kenapa rasanya mereka memperhatikan aku. Masa bodoh! Aku mendekat ketempat di mana tukang sayur berhenti. Tepatnya di depan pintu gerbang rumahku."Bang, Mau apelnya satu!" Aku menu
PoV Fardan"Ibu ... Ibu!" Aku berusaha mengejar Ibu yang kelaur dari kamarku. Dia sepertinya marah dan kesal karena mengira aku membela Amel. Nyatanya bukan begitu?Aku hanya tak mau mereka terus saja ribut. Kenapa sih, tak saling mengalah, menerima semua kelebihan dan kekurangan masing-masing! Ibu keras kepala, apa lagi Amel! Dia wanita yang tak mudah di salahkan.Lebih membuat aku segan, Ibu mengungkit tentang perjodohanmu dulu dengan anak temannya. Dia Janda beranak dua yang di tinggal mati suaminya yang kaya raya. Mungkin sebab itulah Ibu terus memojokanku untuk menikah dengan Lira--Janda itu.Aku yang telah menaruh hati pada Amel hanya menuruti saja. Bukan mau, tapi lebih pada tak ingin mengecewakan ibu. Nyatanya memang Allah takdirkan aku berjodoh dengan Amel. Sekuat apapun ada saja jalannya."Bu, tolong maafkan Fardan. Bukan begitu! Aku tak bermaksud untuk membuat Ibu tersingung!" Aku memohon padanya. Ibu yang langsung mengemasi barang-barang kuhentikan.Bukan aku tak mengizink