Pagi sekali Fardan pergi kerumah Amel. Tentunya dengan membawa Zia. Dia sengaja tak ingin khawatir Amel dan mertuanya. Pasti mereka sangat cemas. Pikirnya.Tiba di depan rumah ternyata Riana dan Sanusi juga sudah bersiap untuk pergi kerumah Fardan."Ibu, Bapak." Fardan turun dengan mengendong Zia. Fardan mengulurkan tangan untuk menyalami takzim mertuanya. Namun, ternyata baik Riana ataupun Sanusi tak mau menyambut uluran tangannya.Riana justru segera merebut Zia dari gendongan Fardan."Ibumu keterlaluan! Membawa Zia tanpa izin!" cetus Riana."Maaf, Bu. Kupastikan kejadian ini tak akan terulang lagi!" Fardan meyakinkan.Tak berapa lama, Amel keluar. Ia sudah sedikit sembuh tapi masih belum juga terlalu normal. Masih sering berhalu dan kadang masih suka histeris."Loh, Bang Fardan!" Amel berkata, sambil langsung mencium punggung tangan Fardan. Layaknya seperti biasa ia lakukan saat Fardan pulang kerja."Iya, Mel. Aku ...."Belum sampai bilang kalau Fardan mengantar Zia. Amel langsung
"Amel, Zia ... Kamulah kehidupanku sekarang!" ujar Fardan dalam mobil.Saat sudah tiba di halaman, Fardan masih terdiam. Dia ragu untuk masuk, suasana depan rumah Amel yang sudah temaram menunjukan jika si empu rumah sudah tertidur. Di pandangi rumah yang pernah ia tempati dua tahun lebih. Masa-masa sulit namun saling mengsupport. Fardan teriris hatinya. Ia salah, telah menempatkan Ibunya di rumah dia. Pikir Fardan, Amel akan layaknya seperti pada Ibunya sendiri, begitu juga dengan Ibunya Fardan. Dia berfikir Iryani akan menyayangi Amel seperti ia menyayangi Farah. Nyatanya salah!Dengan langkah sedikit ragu, Fardan membuka gerbang yang memang tak terlalu tinggi. Rumah Sanusi itu memang sederhana walau dia merupakan anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Namun, sikap jujur dan sederhana, membuat ia tak ingin memiliki rumah yang bak istana. Bahkan tetangga pun sampai enggan untuk masuk."Buat apa bikin rumah mewah, pagar keliling menjulang tinggi jika tali silaturahmi antar tetangga
Amel manatap lekat pada Fardan. Mata mereka bertemu. Fardan mengeleng. Meyakinkan istrinya bahwa semua yang di katakan Ibunya bohong belaka."Bang!" Amel bersuara. Meminta penjelasan pada Fardan. Namun Fardan hanya bergeming.Amel mengambil langkah seribu dan langsung masuk kedalam rumah. Bahkan Mamanya saja ia tabrak bahunya. Tangisnya pecah, pikirannya yang sudah agak tenang harus kembali terguncang. Bahkan lebih hebat dari sebelumnya. Riana bingung, antara memilih masuk kedalam untuk menolong Amel atau memaki orang tak tahu diri seperti mereka."Ayo, Dan! Ngapain bengong. Kita pulang, kita rencanakan pernikahan mewah kalian!" Iryani mendengkus, sedangkan Lira hanya berlenggok dengan memamerkan semua perhiasannya."Nggak, Bu! Aku disini sama Istri dan anakku. Aku tak akan pernah menghianati pernikahan ini!" Fardan mulai berani. Lira kesal, dia menyengol lengan Iryani."Nggak ada tapi-tapian!" Iryani kali ini mendekat kearah Fardan. Menarik tanganya untuk segera ikut dengannya."Tun
Tubuh Amel sudah lemas karena darah terus mengalir di tangannya. Seluruh keluarga kaget dan tak menyangka jika Amel nekad ingin mengakhiri hidupnya. Amel merasa sangat kecewa dengan Fardan dan hilang akal karena syndrom itu kini kembali menang.Sanusi bergerak cepat. Ia langsung mengambil kain untuk mengikat tangannya. Tentu untuk menghentikan pendarahan pada tangan, agar Amel tak kehabisan darah."Ambil kunci mobil, Buk!" Sanusi berteriak pada Riana dengan segera mengangkat Amel.Sementara tubuh Riana membeku melihat Amel tergolek lemah. Ia seperti terhipnotis. Hatinya perih tercabik-cabik."I-iya, Pak!" Riana segera berlari. Wiwin pun yang tadi membeku kini juga sudah sadar dan segera membantu membukakan pintu selebar mungkin.Riana segera langsung kedepan. Membuka pintu mobil untuk segera membawa Amel kerumah sakit."Kamu jaga rumah, Win. Jaga Zia baik-baik!"Wiwin hanya mengangguk. Dia juga tengah galau karena keadaan Kakaknya."Selamatkan Mbak Amel ya Allah!" Wiwin hanya mampu be
"Ya Allah, kenapa cobaan keluargaku begitu berat. Apa dosaku di masa lalu hingga aku harus menanggung semua ini!" Fardan tengah merutuki diri sendiri. Ia masih bimbang, bagaimana dia bisa menemui Amel.Akhirnya Fardan memutuskan untuk pergi. Hatinya mengatakan jika ia pengecut, namun mungkin itu lebih baik dari pada memancing keributan."Fardan, kamu dari mana saja! Ibu mencarimu, Farah hampir saja nekad bunuh diri." Iryani mendekat pada Fardan dan langsung menarik tangan putranya."Bunuh diri? Kok bisa!" Fardan bertanya dengan berjalan. Dilihatnya Farah yang tengah di pegangi suster. Dia terus saja memukul perutnya. Menyalahkan bayi yang tak tahu apa-apa."Hentikan, Farah!" Fardan mendekat dengan memegangi tangan Farah. Seorang suster mundur."Aku tak mau anak ini! Dia pembawa petaka. Aku malu, siapa yang akan mau menikah dengan wanita yang telah ternoda. Aku ingin bunuh dia saja!" rancau Farah."Hentikan, Farah! Masa depanmu masih panjang. Abang akan Carikan laki-laki yang mau meni
Fardan menuju loket pendaftaran."Sus, saya mau konseling. Apa masih dibuka?" Fardan bertanya pada petugas piket."Masih, Pak. Dengan nama siapa? Apa sebelumnya sudah pernah konseling ke Dokter Maria?""Belum, Sus. Baru kali ini!" Suster mencatat nama dan menanyakan alamat lengkap serta nomer telfon."Silahkan tunggu ya, Pak. Nanti namanya di panggil!""Baik, Sus." Fardan kembali ketempat duduk. Sebenarnya hatinya ragu, apalagi setelah mendengar nama dokternya seorang perempuan. Iya makin insecure untuk berkinseling."Dengan Saudara Fardan Maulana!" Panggil Suster. Seketika Fardan beranjak. Hatinya bimbang, apa ia urungkan saja. Gumamnya dalam hati."Silahkan ikut saya!" Suster langsung masuk kedalam ruangan. Jantung Fardan berdegub lebih kencang dari biasanya."Selamat Siang, silahkan duduk!" Maria menyuruh pasiennya.Fardan masih terpaku, kalau bisa ia ingin lari saja. Malu seperti tak punya muka."Silahkan!" Kembali Maria menawarkan Fardan untuk duduk."Baik, Dok.""Apa yang ingin
Iryani lemas dan berjalan mundur, beruntung mentok di tembok hingga tak sampai jatuh."Ka-kamu tak salah bawa orang kan, Lir?" Iryani bertanya tanpa berkedip melihat si calon menantunya."Kenapa, dia namanya Hambali, anaknya juragan Empang. Anak bontot paling di sayang!" Lira berkata dengan sedikit berbisik."Ta-tapi itu loh! Kenapa tampilannya begitu. Apalagi itu giginya. Kenapa panjang kaya b*xir!" Iryani bergidik ngeri. Kalau fisiknya seperti ini mana mau Farah di nikahkan dengannya."Husttt ... Biar begitu, dia pewaris Empang lima H. Hartanya banyak! Bersyukur saja dia bersedia dan mau menikahi Farah." Bisik Lira. Tentu Iryani masih gamang. Apa lagi terlihat jika Hambali seperti anak kecil dengan baju model tengtop celana."Ke-kenalin, Tante. Saya Hambali, Saya anaknya Rohim si pemilik Empang terluas seantero negri." Hambali memperkenalkan diri dengan tangan memegangi tali tantopnya. Iryani hanya nyengir kuda.Kini Iryani sibuk mengaduk kelapanya yang tak gatal. Ia pasti akan di m
"Tetapi laki-laki itu ... Mintanya kita yang keluar uang. Ia tak mau sama sekali mengeluarkan biaya. Bahkan lebih parahnya dia yang minta di jatah tiap bulan." Fardan menjelaskan."Apa? Ibu ..." Iryani kali ini memegangi dada sebelah kirinya. Kali ini sakit beneran, bukan bohongan seperti saat meminta Fardan menikahi Lira."I-ibu kenapa?" tanya Fardan panik. Iryani terduduk. Ia mengatur nafasnya yang tersengal. Sepertinya ia sudah khawatir terkena serangan jantung."Kalau begini caranya, lebih baik Farah Ibu kirim ke rumah Indi di kampung. Biar dia lahiran di sana tanpa suami. Agar aman dan kita bisa beralasan jika di tanya orang. Ngga mungkin kita terus mengukur waktu. Bahkan sekolah saja sudah tahu!" Iryani berkata dengan terengah. Fardan terdiam. Dia juga sudah pusing untuk masalah satu ini."Lebih baik aku gugurkan kandungan saja, Bu!" Tiba-tiba Farah keluar. Membuat Iryani dan Fardan kaget. "Nggak, Far!" Fardan menentang, sedangkan Iryani diam. Ia setengah setuju dengan pendapa