Share

Chapter 6 Paman, Bantu Aku Mandi

Leanna menunggu apa yang akan terjadi. Jantungnya berdebar dengan kencang, tangannya mengenggam kain sprei dengan erat. Matanya terpejam dengan sudut mata yang bergetar. Dia sangat gugup dan takut, tapi dia ingin memiliki pamannya sepenuhnya.

Leanna perlahan membuka matanya karena tidak ada apapun yang dirasakan kulitnya selain serangan awal. Dia menatap ke arah Lucian. "Paman?"

"Tidurlah. Aku tidak akan melakukan hal yang seperti ini lagi."

"Tidak! Paman, kenapa tidak melanjutkannya?" Leanna meraih tangan Lucian dengan erat sebelum pria itu pergi.

"Kau ketakutan. Aku menyadari jika kau hanya melakukan tindakan kekanakan, tetapi bukan ini yang kau inginkan, bukan? Lain kali jangan lakukan lagi." Lucian melepaskan tangan itu dengan lembut.

"Paman, aku tidak takut. Sungguh, kau bisa--"

"Jangan katakan itu Leanna. Kau adalah keponakanku yang berharga. Aku ingin menghancurkanmu!" Lucian dengan cepat meninggalkan kamar Leanna.

Setelah Lucian menurut pintu dengan rapat. Dia menghela nafas. Tangannya mengusap rambutnya dengan kasar. "Hampir saja!" Lucian meninggalkan ruangan itu.

Leanna menatap pintu yang tertutup dengan wajah datar. Senyum pahit terukir di bibirnya, jari-jarinya mengepal dengan erat. Tatapan matanya emosi yang rumit.

Leanna mengarahkan menarik selimutnya. Dia menghirup aroma yang masih tertinggal. Membuat hatinya sedikit tenang meskipun ada perasaan marah.

***

"Di mana Paman?" Leanna mengedarkan pandangannya ke arah meja makan. Namun, hanya ada para pelayan yang mengelilingi meja.

Para pelayan menatap Leanna dengan ekspresi takut. Salah satu diantara mereka menjawab, "Tuan sudah berangkat kerja. Nona, silahkan duduk."

Leanna menunjukkan ekspresi kecewa. Dia duduk dengan tenang dan mulai mengambil makannya. "Nona, apa Anda ingin teh?" Pelayan itu tidak menunggu jawaban Leanna dan langsung menuangkannya.

Pelayan itu menyeringai dan mengarahkan teko itu di dekat jari-jari Leanna yang dekat dengan cangkir.

Leanna secara refleks langsung menjatuhkan cangkir itu dengan gerakan refleksnya karena panas. Suara pecahan terdengar diikuti dengan teriakan pelayan yang lebih keras daripada rintihan Leanna.

"Nona Leanna, jika Anda tidak menyukainya, katakan saja. Kenapa harus melempar cangkir." Pelayan itu berteriak dengan keras.

Beberapa pelayan datang menghampiri pelayan itu. "Kakimu terluka para, ayo aku akan membantumu mengobatinya."

"Tunggu! Kau yang berani berteriak!" Seorang pria tiba-tiba datang mendekat. "Jika saja aku tidak kembali karena suatu hal, kalian akan memrundung keponakanku lagi. Apa kemarin tidak cukup untuk sebagai peringatan untuk kalian?"

"Tuan, maafkan saya. Namun, Nona sudah keterlaluan. Lihat, dia tidak melukai kaki saya hanya karena tidak menginginkan teh." Pelayan itu mengeluh.

Leanna menatap ke arah Lucian. "Paman, pelayan ini yang melukai tanganku. Aku tidak bermaksud menjatuhkannya, hanya saja aku tidak sengaja membuat gelas itu tersenggol dan pecah mengenai kakinya. Jika ini bisa menebusnya, aku akan membiarkan kakiku terkena pecahan juga!"

"Hentikan! Leanna, jangan melukai dirimu sendiri. Lucian menyinggung kursi di sebelah Leanna- menginjak bagian yang bersih. Dia menarik tangan Leanna untuk memeriksanya. Lalu menggendongnya.

"Paman?" Leanna terkejut dengan tindakan yang tiba-tiba itu. Dia secara refleks merangkul leher Lucian.

Lucian menatap tajam ke arah pelayan itu. "Obati lukamu setelah itu angkat kaki dari sini!"

"Tapi, Tuan--"

"Dan untuk kalian semua, ini peringatanku yang terakhir. Jika ada yang berani untuk menganggu keponakanku, tidak hanya akan aku usir saja, tetapi ada hukuman yang lebih buruk dari itu menanti kalian!" ancam Lucian.

***

Lucian membawa Leanna ke kamar mandi. Keran dibiarkan mengalir membasahi tangan jari lentik Leanna. Tidak ada ekspresi atau keluhan tentang rasa sakit seperti sebelumnya. "Bukankah ini menyakitkan?"

Leanna mengangguk. "Ya, tetapi aku sudah terbiasa."

Lucian menghela nafas. "Jangan katakan itu. Aku sudah bilang padamu. Tidak masalah jika kau mengeluh sakit atau memarahi mereka. Aku akan selalu mendukungmu."

Leanna memandang Lucian lalu air mata mulai mengalir. "Paman, aku merasa sakit. Rasanya menyengat sangat menyakitkan. Namun, aku tidak bisa menyalahkan pelayan itu. Aku takut pada mereka. Bagaimanapun, aku hanyalah orang asing berbeda dengan mereka yang sudah lama disini."

Lucian mendekap tubuh Leanna. "Para pelayan itu sudah keterlaluan sehingga membuatmu semakin ketakutan. Apa kau ingin tinggal di hotel saja? Aku akan membayar pelayan hotel dengan uang ekstra agar mereka melayanimu dengan baik."

"Tidak, paman. Aku tidak ingin meninggalkan rumah ini. Seberapa nyaman tempat baru, tanpa Paman, aku tidak akan merasa bahagia. Aku tidak suka sendirian seperti sebelumnya."

Lucian memeluknya lebih erat. "Tapi, aku tidak bisa meninggalkanmu dalam situasi seperti ini."

"Paman, bagaimana jika kita tinggal berdua saja? Pindah ke tempat lain yang hanya ada kita berdua. Meskipun tidak terlalu baik, tetapi aku juga bisa memasak."

"Bukankah kau akan kesepian jika aku pergi bekerja juga?" Lucian melepaskan pelukannya dari Leanna.

"Paman benar, tetapi aku akan merasa lebih nyaman," ucap Leanna menatap Lucian dengan tatapan mata berkaca-kaca. "Maaf, aku membuat permintaan yang berlebihan ya? Aku tidak seharusnya merepotkan Paman dan bertindak menyebalkan."

"Tidak apa-apa. Jika kau memang ingin kita tinggal bersama. Kita akan pergi hari ini juga. Sekarang, lebih baik kau mandi. Aku akan meminta pelayan menyiapkan pakaian untukmu."

Leanna menahan tangan Lucian. "Tidak. Aku tidak ingin pelayan melakukannya. Mungkin saja mereka merencanakan hal buruk lainnya dan Paman, bagaimana jika mereka tiba-tiba masuk dan menbullyku?"

"Aku akan mengambilkan pakaianmu dan akan cepat kembali," ucap Lucian mencoba menenangkan keponakannya. Leanna masih tidak melepaskan tangan Lucian.

"Tapi, aku masih takut. Paman, bisakah kau tetap di sini dan membantuku mandi? Aku ingat, saat kecil kita pernah mandi bersama." Leanna mengucapkan dengan ekspresi polos membuat Lucian sulit untuk menganggapnya sebagai tindakan provokasi yang disengaja.

Tanpa sadar pandangan matanya menelusuri tubuh keponakannya ini. Kulitnya yang putih, tubuhnya yang ramping dan bagian....Lucian dengan cepat menghela nafas. "Apa yang aku pikirkan tentang keponakanku sendiri."

"Leanna, kau sudah dewasa sekarang. Kita tidak bisa mandi bersama. Aku akan menunggumu di luar. Aku akan mengunci pintu sehingga tidak ada yang masuk."

Lucian dengan segera menutup pintu kamar mandi. Baru berapa langkah Lucian menuju ke arah pintu. Suara teriakan keras terdengar. Secara Refleks, dia langsung masuk ke kamar mandi.

Betapa terkejutnya dia melihat pemandangan yang tidak seharusnya. Tubuh Leanna yang terekspos menunjukkan pakaian dalamnya. Wajah Lucian mengarahkan pandangan ke arah lain. "Leanna, kenapa kau berteriak?"

"Paman, aku kesulitan melepaskan pakaianku karena tanganku sakit dan juga punggungku yang terluka terasa sakit. Aku tidak tahu bagaimana bisa mandi." Leanna berjalan mendekat ke arah Lucian. "Paman, bisakah kau membantuku melepaskan pakaianku dan membantu membersihkan tubuhku? Aku sungguh tidak bisa melakukannya. "

Lucian benar-benar tidak paham bagaimana menghadapi kepolosan keponakannya yang berbahaya ini. Tangan Leanna meraih tangan Lucian yang membuat pandangan Lucian terarah pada keponakannya. "Paman! Apa paman tidak bisa?" ucap Leanna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status