Leanna menunggu apa yang akan terjadi. Jantungnya berdebar dengan kencang, tangannya mengenggam kain sprei dengan erat. Matanya terpejam dengan sudut mata yang sedikit bergetar. Dia sangat gugup dan takut, tapi ini adalah cara untuk menjadi milik Lucian.
Beberapa detik berlalu, Leanna mengerutkan keningnya karena tidak merasakan apapun.
Leanna perlahan membuka menatap ke arah Lucian. "Paman, kenapa paman tidak….?" Lucian menarik tubuhnya menjauhkan diri dari Leanna. "Tidurlah. Aku tidak akan melakukan hal yang seperti ini lagi." "Tidak! Paman, aku ingin kau melanjutkannya?" Leanna meraih tangan Lucian dengan erat sebelum pria itu pergi. "Kau ketakutan. Aku menyadari jika kau hanya melakukan tindakan kekanakan, tetapi bukan ini yang kau inginkan, bukan? Lain kali jangan lakukan lagi." Lucian melepaskan tangan itu dengan lembut. "Paman, aku tidak takut. Sungguh, kau bisa--" "Jangan katakan itu Leanna. Kau adalah keponakanku yang berharga. Aku ingin menghancurkanmu!" Lucian dengan cepat meninggalkan kamar Leanna. Setelah Lucian menutup pintu dengan rapat. Tangannya mengusap rambutnya dengan kasar. "Hampir saja!" Lucian meninggalkan ruangan itu. Leanna menatap pintu yang tertutup dengan wajah datar. Senyum pahit terukir di bibirnya, jari-jarinya mengepal dengan erat. Tatapan matanya emosi yang rumit. Leanna mengarahkan menarik selimutnya. Dia menghirup aroma yang masih tertinggal. Membuat hatinya sedikit tenang meskipun ada perasaan marah. *** "Di mana Paman?" Leanna mengedarkan pandangannya ke arah meja makan. Namun, hanya ada para pelayan yang mengelilingi meja. Para pelayan menatap Leanna dengan ekspresi takut. Salah satu diantara mereka menjawab, "Tuan sudah berangkat kerja. Nona, silahkan duduk." Leanna menunjukkan ekspresi kecewa. Dia duduk dengan tenang dan mulai makan. "Nona, apa Anda ingin teh?" Pelayan itu tidak menunggu jawaban Leanna dan langsung menuangkannya. Pelayan itu menyeringai dan mengarahkan teko itu di dekat jari-jari Leanna yang dekat dengan cangkir. Leanna secara refleks langsung menjatuhkan cangkir itu dengan gerakan refleksnya karena panas. Suara pecahan terdengar diikuti dengan teriakan pelayan yang lebih keras daripada rintihan Leanna. "Nona Leanna, jika Anda tidak menyukainya, katakan saja. Kenapa harus melempar cangkir." Pelayan itu berteriak dengan keras. Beberapa pelayan datang menghampiri pelayan itu. "Kakimu terluka parah, ayo aku akan membantumu mengobatinya." "Tunggu! Kau yang sebelumnya berteriak!" Seorang pria tiba-tiba datang mendekat. "Jika saja aku tidak kembali karena suatu hal, kalian akan memrundung keponakanku lagi. Apa kemarin tidak cukup untuk sebagai peringatan untuk kalian?" "Tuan, maafkan saya. Namun, Nona sudah keterlaluan. Lihat, dia tidak melukai kaki saya hanya karena tidak menginginkan teh." Pelayan itu mengeluh. Leanna menatap ke arah Lucian. "Paman, pelayan ini yang melukai tanganku. Aku tidak bermaksud menjatuhkannya, hanya saja aku tidak sengaja membuat gelas itu tersenggol dan pecah mengenai kakinya. Jika ini bisa menebusnya, aku akan membiarkan kakiku terkena pecahan juga!" "Hentikan! Leanna, jangan melukai dirimu sendiri!” Lucian menggendong Leanna secara tiba-tiba- menjauhkannya dari pecahayan cangkir teh itu. "Paman?" Leanna terkejut. Dia secara refleks merangkul leher Lucian. Lucian menatap tajam ke arah pelayan itu. "Obati lukamu setelah itu angkat kaki dari sini!" "Tapi, Tuan--" "Dan untuk kalian semua, ini peringatanku yang terakhir. Jika ada yang berani untuk menganggu keponakanku, tidak hanya akan aku usir saja, tetapi ada hukuman yang lebih buruk dari itu menanti kalian!" ancam Lucian. *** Lucian membawa Leanna ke kamar mandi. Keran dibiarkan mengalir membasahi tangan jari lentik Leanna yang tertuang the panas. Tidak ada ekspresi atau keluhan tentang rasa sakit seperti sebelumnya. "Bukankah ini menyakitkan?" Leanna mengangguk. "Ya,tapi ini bukan masalah bagiku. Paman tidak perlu khawatir!" Lucian menghela nafas. "Jangan katakan itu. Aku sudah bilang padamu, tidak masalah jika kau mengeluh sakit atau memarahi mereka. Aku akan selalu mendukungmu." Leanna memandang Lucian lalu air mata mulai mengalir. "Paman, aku merasa sakit. Rasanya menyengat sangat menyakitkan. Namun, aku tidak bisa menyalahkan pelayan itu. Aku takut pada mereka. Bagaimanapun, aku hanyalah orang asing berbeda dengan mereka yang sudah lama disini." Lucian mendekap tubuh Leanna. "Para pelayan itu sudah keterlaluan sehingga membuatmu semakin ketakutan. Apa kau ingin tinggal di hotel saja? Aku akan membayar pelayan hotel dengan uang ekstra agar mereka melayanimu dengan baik." "Tidak, paman. Aku tidak ingin meninggalkan rumah ini. Seberapa nyaman tempat baru, tanpa Paman, aku tidak akan merasa bahagia. Aku tidak suka sendirian seperti sebelumnya." Lucian memeluknya lebih erat. "Tapi, aku tidak bisa meninggalkanmu dalam situasi seperti ini." "Paman, bagaimana jika kita tinggal berdua saja? Pindah ke tempat lain yang hanya ada kita berdua. Meskipun tidak terlalu baik, tetapi aku juga bisa memasak." "Bukankah kau akan kesepian jika aku pergi bekerja juga?" Lucian melepaskan pelukannya dari Leanna. "Paman benar, tetapi aku akan merasa lebih nyaman," ucap Leanna menatap Lucian dengan tatapan mata berkaca-kaca. "Maaf, aku membuat permintaan yang berlebihan ya? Aku tidak seharusnya merepotkan Paman dan bertindak menyebalkan." "Tidak apa-apa. Jika kau memang ingin kita tinggal bersama. Kita akan pergi hari ini juga. Sekarang, lebih baik kau mandi. Aku akan meminta pelayan menyiapkan pakaian untukmu." Leanna menahan tangan Lucian. "Tidak. Aku tidak ingin pelayan melakukannya. Mungkin saja mereka merencanakan hal buruk lainnya dan Paman, bagaimana jika mereka tiba-tiba masuk dan menbullyku?" "Aku akan mengambilkan pakaianmu dan akan cepat kembali," ucap Lucian mencoba menenangkan keponakannya. Leanna masih tidak melepaskan tangan Lucian. "Tapi, aku masih takut. Paman, bisakah kau tetap di sini dan membantuku mandi? Aku ingat, saat kecil kita pernah mandi bersama." Leanna mengucapkan dengan ekspresi polos membuat Lucian sulit untuk menganggapnya sebagai tindakan provokasi yang disengaja. Tanpa sadar pandangan matanya menelusuri tubuh keponakannya ini. Kulitnya yang putih, tubuhnya yang ramping. Lucian dengan cepat menghela nafas, membuang pemikiran yang tidak seharusnya. "Leanna, kau sudah dewasa sekarang. Kita tidak bisa mandi bersama. Aku akan menunggumu di luar. Aku akan mengunci pintu sehingga tidak ada yang masuk." Lucian dengan segera menutup pintu kamar mandi. Baru berapa langkah Lucian menuju ke arah pintu. Suara teriakan keras terdengar. Secara Refleks, dia langsung masuk ke kamar mandi. Betapa terkejutnya dia melihat pemandangan yang tidak seharusnya. Tubuh Leanna yang terekspos menunjukkan pakaian dalamnya. Wajah Lucian mengarahkan pandangan ke arah lain. "Leanna, kenapa kau berteriak?" "Paman, aku kesulitan melepaskan pakaianku karena tanganku sakit dan juga punggungku yang terluka terasa perih." Leanna berjalan mendekat ke arah Lucian. "Paman, bisakah kau membantuku melepaskan pakaianku dan membantu membersihkan tubuhku? Aku sungguh tidak bisa melakukannya. " Lucian benar-benar tidak paham bagaimana menghadapi kepolosan keponakannya yang berbahaya ini. Tangan Leanna meraih tangan Lucian yang membuat pandangan Lucian terarah pada keponakannya. "Paman! Apa paman tidak bisa?" ucap Leanna.Lucian menatap tajam pada pemuda ituangannya di tekuk di depan dada. "Sekarang kau harus membersihkan semua ruangan disini kecuali kamar. Aku harap kau bisa melakukannya dalam waktu cepat!" Pria muda yang usianya tidak jauh dari Leanna, mengangguk dan menjawab dengan sopan, "Baik, Tuan." Lucian duduk dengan santai di sofa dan mulai mengerjakan pekerjaannya. Lucian memperkirakan pria itu tidak akan selesai kurang dari dua jam Namun, siapa yang mengira bahwa dalam waktu kurang dari 1 jam, pria itu datang padanya. "Saya sudah menyelesaikan semuanya." "Begitu cepat. Sekarang buat makanan untuk aku dan keponakanku." Pria muda itu mengangguk, dia mulai masuk ke dapur dan menyiapkan bahan-bahan untuk memasak. Lucian berdiri mengawasinya. "Asistenku telah memilihmu dari banyaknya kandidat, aku harap hasil masakanmu memenuhi standarku!" Pria itu hanya menganggukkan kepala. Tangan dan pandangannya berfokus pada bahan yang mulai dia masukkan ke dalam panci. pemuda berambut sed
"Bagaimana bisa anda mengatakan akan mentoleransi nilai wanita bernama Leanna ini? Apa karena dia menggunakan jalur belakang?" Yuna tidak tahan untuk membiarkan hal ini begitu saja. "Bukankah ini tidak adil?" "Apa kau berani menentang keputusanku? Aku telah bersikap adil, jika kau masih ingin protes, aku akan membuatmu mendapatkan nilai D." Yuna menghela nafas untuk menenangkan dirinya. Tatapannya begitu tajam ke arah Leanna yang masih bersikap tenang. Saat dosen meminta mereka mengerjakan, Leanna menjawab pertanyaan dengan santai. Luca juga fokus dengan pekerjaannya. Waktu berlalu, mereka mulai mengumpulkan tugas itu. Dosen memberikan beberapa materi baru sampai waktu habis. Para mahasiswa keluar ruangan. Leanna masih dikelas mengecek jadwalnya. Luca melirik ke arahnya. "Tidak ada jadwal lagi hari ini. Kau bisa kembali atau kau ingin aku mengajakmu berkeliling sekolah?" "Luca, bisakah aku saja yang menemaninya berkeliling. " Yuna tiba-tiba saja datang bersama dengan te
Leanna langsung melangkah keluar dengan terburu-buru. Dia bahkan mengabaikan panggilan wanita yang berstatus sebagai dosen dan penanggung jawabnya Kaki Leanna melangkah tanpa tahu ke arah mana jalanan ini akan membawanya. Dia masih belum mengenali tata letak ruangan di kampus ini. Pikirannya kacau, dia hanya ingin menghindari pria itu. "Kenapa? Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi?" Saat berada di koridor, dia mendengar para wanita yang sedang bergosip. "Bukankah wanita itu yang tadi bersama CEO tampan idaman dikota ini? Apa dia pacarnya?" "Tidak mungkin, CEO Lucian tidak akan memiliki sebuah hubungan. Mungkin dia hanya sugar babynya, tapi dia tidak terlihat terlalu cocok. Jika aku yang datang ke tempat tidur CEO Lucian, aku pasti bisa menyingkirkan wanita itu." Leanna mengepalkan tangannya. Dia berbalik dan melangkah ke arah wanita itu itu. "Kau begitu percaya diri dapat mendapatkan paman Lucian dan meningkatkanku?" Menatap dari bawah ke atas. "Dia tidak akan tertarik
Leanna membaringkan tubuhnya, tetapi Lucian hanya berdiri di dekat tempat tidur. “ Paman, kenapa tidak berbaring di sampingku?” Lucian menghela nafas panjang dan memilih untuk duduk dipinggir tempat tidur. “Baiklah, aku akan menemanimu disini sampai kau tertidur lelap. “ Lucian memberi sedikit jarak. Leanna mengerutkan keningnya. “Kenapa? Kenapa paman lebih memilih untuk duduk dan mengawasiku dibandingkan berbaring bersamaku. Paman?” Leanna kembali meraih Jika terlalu sempit aku masih bisa bergeser--” “Leanna, tolong jangan memprovokasiku!” Tegas Lucian dengan masih menjaga nada bicaranya yang lembut, tetapi tatapan matanya sedikit membuat Leanna tertekan. “ Lebih baik kau tidur sekarang. Jangan sampai kau terlambat di hari pertamamu.” Lucian melepaskan tangan Leanna dengan perlahan. Leanna masih mencengkeram lengannya dengan erat. “Setidaknya biarkan aku masih merasakan kehangatan paman, Tidak bisakah paman mengenggam tanganku jika tidak ingin memelukku?” Leanna menatap Lucia
"Aku tidak menyangka paman akan melakukan hal konyol itu. " Leanna tidak bisa menahan tawanya mendengar apa yang dikatakan oleh Lucian. Dia kembali membalik lembar demi lembar foto-foto masa kecil Lucian yang terlihat konyol. Ada banyak hal tentang wajah Lucian kecil yang penuh dengan krim dan ekspresi lainnya. Bahkan ekspresi cemberut Lucian sangat menggemaskan. Leanna tidak bisa mengendalikan senyumnya. "Aku sudah menujukkan sisi memalukanku saat kecil, kali ini kau akan memaafkanku, kan?" ucap Lucian dengan suaranya yang tenang dan penuh percaya diri. Leanna hanya menganggukkan kepala. "Baiklah. Aku akan memaafkan paman, jika aku boleh menyimpan salah satu dari foto ini." Lucian tidak memberikan penolakan, "Lakukan apapun yang kau inginkan." Leanna melihat-lihat banyak foto. Namun, foto yang menarik perhatiannya adalah foto saat Lucian tertawa lepas. Di sebelahnya ada seorang wanita. Leanna menoleh ke arah Lucian yang memandang foto itu dengan lembut. Leanna diam-di
Lucian hampir membuka mulutnya, menanggapi provokasi asistennya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka dengan keras. Sebelum Lucian sempat bereaksi, Leanna sudah melangkah bergerakan cepat menarik tubuh Lucian sedikit menjauh dari sang asisten. Leanna memeluk pinggang Lucian dengan erat. Matanya menatap dengan provokatif ke arah pria berkacamata itu. “Jangan coba-coba memprovokasi pamanku!" Tepukan di bahu Lucian secara perlahan terlepaskan. Asistennya mengalihkan tangannya untuk membenarkan posisi kacamatanya, tatapan mata tajam menyiratkan kebencian yang tersembunyi. “Kenapa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya,” ucap asisten itu dengan nada datar, tetapi menusuk. “Keponakan sepertimu tidak layak untuk—” Lucian menghentikan asistennya. “Cukup! Lebih baik kau kembali ke kantor. Aku tidak perlu kau ikut campur dalam urusan pribadiku.” “Tuan Lucian, Anda....” Asistennya tidak bisa melanjutkan protesnya, saat melihat tatapan Lucian yang tajam dan mengintimidasi. Sebagai orang yang su