Share

Bab 21

last update Last Updated: 2025-10-21 23:46:27

Pagi di apartemen itu terasa lebih berat dari biasanya. Bukan sekadar sunyi, tapi terasa sesak, seolah udara pun ikut menahan napas. Tirai jendela masih tertutup setengah, menyaring cahaya matahari yang berusaha keras menembus awan.

Shana duduk tegak di meja makan, memutar-mutar sendok di tangannya tanpa selera. Di hadapannya, semangkuk bubur ayam yang sudah dingin. Aroma rempahnya tak mampu menarik perhatiannya. Ia belum menyentuhnya sama sekali, seolah perutnya pun ikut-ikutan menolak menerima apa pun.

Suara pintu terbuka pelan di belakangnya, nyaris tanpa bunyi, membuat punggung Shana menegang lalu perlahan menoleh.

Arion muncul di ambang pintu. Wajahnya terlihat letih, dengan kantung mata tipis yang tak bisa disembunyikan. Rambutnya sedikit basah, dan jaket kulit hitamnya masih meneteskan sisa air hujan, meninggalkan jejak gelap di lantai kayu.

“Kakak baru pulang?” tanya Shana, suaranya pelan dan berusaha keras terdengar datar, seolah hanya menanyakan hal rutin.

Arion mengangguk s
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 25. Keheningan Yang Mengancam

    Cahaya kuning yang remang dari lampu di sisi ranjang memantul lembut pada dinding kamar hotel. Udara terasa hangat, sedikit membebani—seolah baru saja menahan terlalu banyak napas dan emosi.Arion masih duduk di tepi ranjang, dengan punggung yang sedikit membungkuk dan rambut yang tidak tertata. Di belakangnya, Naya berbaring, setengah tubuhnya diselimuti seprai putih.Keheningan merayap dan bertahan lama. Hanya terdengar suara detak jarum jam yang memecah kesunyian panjang di antara mereka.Naya akhirnya bersuara pelan, nyaris berupa gumaman."Apa sekarang kamu sudah plong?"Arion tidak langsung menjawab. Pandangannya kosong, tertuju ke jendela, di mana tirai bergoyang pelan tersentuh hembusan pendingin ruangan."Aku tidak tahu," jawabnya pada akhirnya. "Mungkin justru semakin kalut."Naya bangkit, duduk di belakangnya. Ujung jarinya menyentuh punggung Arion, sebuah sentuhan yang sangat perlahan—seolah ingin memastikan keberadaan sesuatu yang nyata."Kalut karena aku, atau karena dir

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 24. Que Sera Sera

    Uap hangat dari kamar mandi merayap keluar, memenuhi udara kamar hotel dengan aroma sabun dan lembap.Arion masih duduk di tepi ranjang, ponsel tergenggam di tangannya. Pesan dari Shana masih terpampang di layar — pendek, sederhana, tapi menohok di hati.“Kakak kapan pulang? Kopi buatan aku udah dingin.”Ia menatap kalimat itu lama. Setiap huruf terasa seperti beban yang menekan dada. Ada kehangatan di situ — kehangatan yang justru membuatnya semakin sulit bernapas.Pintu kamar mandi terbuka. Naya keluar, mengenakan jubah putih hotel, rambutnya masih basah meneteskan air.Ia berjalan perlahan ke arah Arion, tanpa bicara. Setiap langkahnya terdengar jelas di antara dengung pendingin ruangan.“Masih kepikiran, ya?” suara Naya tenang tapi menusuk.Arion menatapnya sekilas, lalu meletakkan ponselnya di meja. “Nggak, cuma… mikir sesuatu.”Naya tersenyum samar, tapi matanya tajam. “Sesuatu, atau seseorang?”Arion tidak menjawab. Ia tahu, dalam setiap jeda, dalam setiap diam, Naya bisa memba

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 23. Tak Terelakkan

    Suara “bip” pelan terdengar saat kartu kunci disentuhkan ke pintu.Lampu indikator hijau menyala, diikuti suara mekanis kunci terbuka.Arion mendorong pintu dengan gerakan yang tidak hanya malas, tapi ragu-ragu. Tubuhnya terasa berat, seolah setiap otot menolak masuk ke ruangan itu.Kamar hotel itu tenang. Aroma pengharum ruangan yang lembut, khas hotel bintang empat, menyeruak, bercampur dengan udara dingin yang tajam dari pendingin ruangan yang sudah menyala.Naya masuk lebih dulu, bergerak cepat dan familiar. Ia melepas jaket kulitnya, melemparkannya ke sofa, dan meletakkan koper kecilnya dengan hentakan samar di sudut ruangan.Ia berputar, menatap Arion yang masih berdiri mematung di depan ambang pintu, seperti ada medan magnet yang menahannya di luar.“Masuklah, Rion. Kamu berdiri di situ kayak patung lilin yang takut mencair.”Arion menutup pintu pelan, sebuah penutupan yang terdengar final. Ia tidak menjawab. Matanya berkeliling panik, mencari objek netral untuk dijadikan fokus

  • Hasrat Kakak Tiri   Bayangan di Bandara

    Malam turun perlahan, bukan lagi selimut tebal, melainkan tirai kelabu yang perlahan menelan sisa-sisa cahaya kota. Lampu-lampu jalan memantul lemah di aspal yang baru saja diguyur hujan, menciptakan jejak yang seolah tak berujung.Arion berdiri di depan jendela, memandangi kilau air yang mulai surut, tapi pikirannya justru semakin kusut. Di luar, tetesan terakhir hujan jatuh dengan suara tik-tik yang ritmis, seperti detak jam yang menghitung mundur.Pesan di ponselnya masih menyala di layar, dengan cahaya yang terasa menusuk mata:“Aku sudah di bandara. Jemput aku.”Satu kalimat yang sederhana — sebuah palu yang menghantam dinding pertahanan yang telah ia bangun mati-matian. Rasanya seperti membuka paksa kotak Pandora yang seharusnya tetap terkunci rapat.Arion menatap layar itu lama, seolah dengan kekuatan tatapannya ia bisa membuat pesan itu menguap menjadi debu. “Kenapa harus sekarang…” gumamnya, suaranya tercekat dan terasa asing di telinganya sendiri.Ia memejamkan mata, menekan

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 21

    Pagi di apartemen itu terasa lebih berat dari biasanya. Bukan sekadar sunyi, tapi terasa sesak, seolah udara pun ikut menahan napas. Tirai jendela masih tertutup setengah, menyaring cahaya matahari yang berusaha keras menembus awan.Shana duduk tegak di meja makan, memutar-mutar sendok di tangannya tanpa selera. Di hadapannya, semangkuk bubur ayam yang sudah dingin. Aroma rempahnya tak mampu menarik perhatiannya. Ia belum menyentuhnya sama sekali, seolah perutnya pun ikut-ikutan menolak menerima apa pun.Suara pintu terbuka pelan di belakangnya, nyaris tanpa bunyi, membuat punggung Shana menegang lalu perlahan menoleh.Arion muncul di ambang pintu. Wajahnya terlihat letih, dengan kantung mata tipis yang tak bisa disembunyikan. Rambutnya sedikit basah, dan jaket kulit hitamnya masih meneteskan sisa air hujan, meninggalkan jejak gelap di lantai kayu.“Kakak baru pulang?” tanya Shana, suaranya pelan dan berusaha keras terdengar datar, seolah hanya menanyakan hal rutin.Arion mengangguk s

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab. 20

    Ponsel Shana bergetar di atas meja. Layar menyala, menampilkan nama yang sudah terlalu akrab dan membawa beban harapan. Arion. “Sha, aku nggak tahu apa yang kamu dengar. Tapi tolong… jangan percaya siapa pun dulu. Aku bakal pulang malam ini. Kita bicara.” Shana membaca pesan itu berulang kali. Ada kelegaan yang samar—setidaknya Arion belum menghilang. Namun, kalimat itu juga terasa penuh perhitungan, seperti langkah yang diatur untuk menghindari jebakan emosi, bukan penjelasan murni.Ia meletakkan ponsel itu dengan hati-hati, seperti menaruh benda rapuh. Menatap hujan yang kini hanya tersisa gerimis halus, gerimis yang terasa seperti jeda yang panjang. Waktu berjalan lambat, seolah menuntut kesabaran yang tak ia miliki.Dan akhirnya, suara langkah terdengar di depan pintu. Langkah yang dikenalnya, langkah yang membawa serta semua kegelisahannya. Shana refleks menoleh.Ketika pintu terbuka, Arion berdiri di sana—basah, kelelahan, tetapi tatapannya membawa ketenangan yang dipaksakan. Ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status