Masuk"Sangat serius," David mengangguk. "Dia anak direktur Papa. Sekarang jadi dokter. Umurnya 27 tahun. Orangnya baik. Papa rasa dia cocok untuk kamu.""Tapi Papa..." Dara menggeleng keras. "Aku nggak mau dijodohkan.""Kenapa?" tanya Laura dengan lembut. "Dia seorang dokter, tampan Papa juga kenal keluarganya." Bujuk Laura. "Iya Dara," Erik ikut berkomentar. "Nggak ada salahnya, pilihan orang tua itu yang terbaik?""Bener tuh," tambah Citra. "Lagipula umur kamu kan udah 23 tahun. Saatnya cari pasangan yang serius."Dara menatap sekeliling dengan tatapan panik. Semua orang seolah mendukung ide perjodohan ini. Tidak ada yang membela dia.Matanya refleks melirik ke arah Raymond. Dan dia menemukan pria itu menatapnya dengan tatapan yang sangat dingin. Tatapan yang mengintimidasi. Tatapan yang seolah mengatakan "Terima atau kamu akan menyesal."Dara menelan ludah dengan susah payah. Jantungnya berdegup sangat kencang. Tangannya bergetar. Pikirannya kacau.Kenapa Raymond menatapnya seperti itu
Rara menatap mata Dara yang penuh selidik. Jantung Dara berdegup sangat kencang sampai dia yakin Rara bisa mendengarnya. Tangan yang tersembunyi di belakang tubuhnya bergetar hebat. Tapi wajahnya berusaha terlihat tenang."Bohong?" ulang Dara sambil menggelengkan kepala pelan. "Aku tidak bohong padamu, Ra. Kenapa aku harus bohong? Raymond benar tidak disini.” Jelasnya. Rara masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Matanya menyipit sedikit, seolah mencoba membaca kebohongan di wajah sahabatnya."Aku tidak tahu," jawab Rara pelan. "Tapi aku merasa kalau Raymond ada disini. Kalian tidak…” Dara menelan ludah dengan susah payah. Kerongkongannya terasa kering. "Aku tidak tahu Raymond dimana. Kamu terlalu overthinking, Ra.""Benarkah?" Rara melipat tangan di dada, masih menatap Dara dengan curiga."Benar," Dara mengangguk mantap, meski hatinya berteriak ketakutan. "Lagipula, kenapa kita berdiri di sini terus? Yuk turun. Pasti semua sudah menunggu kita. Kasihan mereka."Dara de
"APA?!" Dara terlonjak kaget. Matanya membulat sempurna. "Raymond, kamu nggak bisa...""Bisa," potong Raymond dengan nada dingin. "Itu kesepakatan kita. Kalau kamu nggak tunangan, aku juga nggak tunangan.""Raymond kumohon," Dara menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca. "Jangan seperti ini. Jangan batalkan pertunangan kamu dengan Rara. Dia sudah terlalu bahagia. Keluarga juga sudah senang. Jangan hancurkan semuanya.""Lalu aku bagaimana?" Raymond balas menatap Dara dengan tatapan yang penuh luka. "Perasaan aku bagaimana? Apa aku harus terus menderita sendirian sementara kamu bebas?""Aku tidak bebas!" teriak Dara. Air matanya sudah mulai menetes. "Aku juga menderita Raymond! Setiap hari aku menderita melihat kamu dengan Rara!""Kalau begitu kenapa kamu nggak mau jujur?" Raymond bertanya dengan suara bergetar. "Kenapa kamu nggak mau bilang ke Rara kalau yang dia cintai itu mencintai orang lain?""Karena aku tidak mau menyakitinya!" Dara menangis semakin keras. "Aku tidak mau melihat
Seminggu berlalu sejak Erik diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisinya jauh lebih baik dari yang dibayangkan dokter. Wajahnya yang tadinya pucat kini sudah kembali segar. Langkahnya yang sempat lemah kini sudah mulai mantap. Bahkan nafsu makannya sudah pulih seperti sedia kala.Citra yang melihat suaminya membaik begitu cepat tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Setiap pagi dia membangunkan Erik dengan ciuman hangat, memastikan suaminya minum obat tepat waktu, dan menyiapkan makanan bergizi. "Papa cepat banget sembuhnya," komentar Rara suatu pagi saat sarapan bersama. "Padahal waktu di rumah sakit, Papa kelihatan sangat lemah."Erik tertawa sambil mengelus rambut putrinya. "Ya iyalah. Papa kan mau lihat anak kesayangan Papa tunangan. Masa Papa mau bolos acara penting itu?"Rara tersenyum malu mendengar ucapan papanya. Pipinya merona merah. "Papa bisa aja.""Itu benar sayang," Citra ikut berkomentar sambil menyendok nasi untuk Erik. "Papa kamu ini dari kemarin sudah semang
"Aku kangen sama kamu. Makanya mampir," jawab Rara sambil memeluk Dara. "Aku bawain makanan kesukaan kamu.""Wah, makasih Ra," Dara tersenyum, tapi senyumnya tidak sampai ke mata. "Kalian masuk dulu."Mereka masuk ke kamar Dara yang cukup luas. Di meja kerjanya terpampang laptop dengan beberapa sketsa desain di layarnya. Ada juga tumpukan buku dan majalah fashion di sudut ruangan."Wah, kamu lagi sibuk ya?" tanya Rara sambil melirik meja kerja Dara."Iya, lagi ada proyek besar," jawab Dara sambil membereskan sketsa-sketsa yang berserakan. "Duduk dulu. Aku ambilkan minum.""Nggak usah repot-repot. Aku mau ngobrol aja," Rara menarik tangan Dara dan mendudukkannya di tepi ranjang. Dia sendiri duduk di samping Dara, sementara Raymond memilih duduk di kursi kerja Dara.Tapi tiba-tiba Raymond bangkit dari tempat duduknya setelah membaca pesan dari Victor asistenya. “Aku keluar sebentar untuk menelpon.” Pamitnya. Awalnya Rara ingin mengobrol biasa tapi karena Raymond keluar dia jadi kepiki
Mobil sedan hitam melaju cepat di jalanan Ibukota yang mulai sepi. Malam sudah larut, lampu-lampu jalan menerangi aspal basah yang baru saja diguyur hujan. Di balik kemudi, Raymond duduk dengan postur tegang, rahangnya mengeras, matanya memerah.BRAK!Tangannya memukul setir dengan keras. Sekali. Dua kali. Berkali-kali hingga telapak tangannya terasa panas dan perih."SIAL!" teriaknya keras di dalam mobil yang sunyi. Suaranya bergema, memantul di kaca jendela yang tertutup rapat.Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah. Mengalir deras membasahi pipinya yang sudah memerah karena menahan emosi. Raymond menepikan mobilnya di pinggir jalan, tidak sanggup lagi menyetir dalam kondisi seperti ini.Kepalanya jatuh ke setir, tangannya masih mencengkeram erat lingkaran kemudi itu. Isakan keluar dari mulutnya, memecah keheningan malam. Dadanya naik turun, nafasnya tersengal seperti orang yang baru saja berlari marathon."Kenapa?" tanyanya pada diri sendiri dengan suara serak. "Kenapa ha







