Masuk
Ruang tamu rumah itu terasa begitu luas, namun entah mengapa udara di sekitarnya terasa menyempit, menekan paru-paruku. Malam ini adalah awal kehidupan baruku bersama Ibu di rumah suami barunya.
"Bella, ayo, jangan malu-malu. Mulai sekarang kita adalah keluarga," ucap Ibu dengan senyum merekah, menarik tanganku agar lebih mendekat.
Di hadapanku berdiri dua sosok pria yang kini menjadi bagian dari hidup kami. Arthur, ayah tiriku, duduk dengan wibawa yang mengintimidasi. Usianya memang sudah menyentuh kepala lima, tapi aura maskulinnya justru semakin pekat. Tubuhnya gagah, terbalut kemeja yang sedikit ketat di bagian dada, dan brewok tipis di dagunya memberikan kesan tegas yang sulit diabaikan.
Namun, bukan dia yang membuat bulu kuduku meremang.
Melainkan sosok yang berdiri di sampingnya. Leonard, atau kerap dipanggil Leo. Abang tiriku.
"Halo, Bella," sapanya. Suaranya berat, rendah, dan memiliki getaran yang membuat perutku terasa aneh.
Leo mewarisi postur gagah ayahnya, namun dengan vitalitas masa muda yang meledak-ledak. Kaos hitam polos yang ia kenakan menempel pas di tubuhnya, mencetak jelas otot-otot dada dan lengannya yang atletis. Sepertinya tidak ada satu inci pun lemak di tubuh itu, hanya otot keras yang siap menerkam.
Saat aku mengangkat wajah untuk membalas sapanya, aku menangkap basah tatapannya.
Mata itu... tidak sedang menatap wajahku. Mata tajam itu sedang menelusuri lekuk tubuhku, berhenti cukup lama di area dadaku, seolah tatapannya bisa menembus kain blus yang kukenakan. Tatapan itu bukan tatapan seorang kakak, melainkan tatapan seorang pria yang sedang menilai mangsanya.
"Hai... Kak Leo," jawabku canggung.
Dia mengulurkan tangannya yang besar.
Dengan ragu, aku menyambut uluran tangan itu. Telapak tangannya terasa kasar, hangat, dan... besar. Tangan itu menelan tanganku sepenuhnya.
Namun, itu bukan jabat tangan biasa.
Saat kulit kami bersentuhan, ia tidak langsung melepaskannya. Ibu jarinya bergerak perlahan, mengusap punggung tanganku dengan gerakan memutar yang lambat dan sensual. Sentuhan itu begitu samar, namun mengirimkan sinyal bahaya ke seluruh sarafku.
Jantungku berdegup kencang. Aku refleks menarik tanganku, lalu melirik panik ke arah Ibu dan Om Arthur. Mereka tampak sibuk berbincang, sama sekali tidak menyadari interaksi kecil ketegangan ini.
Leo hanya menyeringai tipis melihat reaksiku. Seringaian yang penuh arti.
"Sudah malam, perjalanan kalian pasti melelahkan," suara bariton Arthur memecah keheningan. "Leo, antarkan adikmu ke kamarnya."
Perintah itu terdengar wajar, tapi bagiku terdengar seperti vonis.
Leo mengangguk patuh. "Ayo, Bella."
Aku mengikutinya menaiki tangga. Punggung lebarnya yang tegap berjalan di depanku. Wangi parfum musk yang bercampur dengan aroma alami tubuhnya menguar, memenuhi indra penciumanku.
"Ini kamarmu," katanya sambil membuka sebuah pintu. "Dan-" Dia menunjuk pintu tepat di sebelahnya, "Ini kamarku. Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan ketuk saja dindingnya. Mungkin aku bisa dengar."
Kalimat terakhirnya terdengar ambigu di telingaku. Aku hanya mengangguk kaku, buru-buru masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Jantungku masih berpacu tidak karuan. Ada sesuatu yang salah dengan rumah ini, atau mungkin hanya perasaanku saja?
Arthur sempat melintas di koridor, tersenyum sopan. "Selamat malam, Bella. Istirahatlah."
"Malam, Om," jawabku lirih. Aku masih belum terbiasa menggunakan kata Ayah untuk memanggil Om Arthur.
Setelah suasana sepi, aku berusaha menenangkan diri. Kamar ini luas dan nyaman, jauh lebih mewah dari kamar lamaku. Aku memutuskan untuk mandi air hangat untuk meluruhkan keringat dan ketegangan.
Rutinitas tidurku adalah hal yang sakral. Aku terbiasa tidur dengan pakaian minim agar kulitku bisa bernapas. Malam ini, aku memilih lingerie tipis berbahan satin hitam. Potongannya yang rendah di dada dan panjang yang hanya menutupi separuh paha membuat kulit putihku terlihat sangat kontras dan bercahaya di bawah lampu kamar.
Setelah mengeringkan rambut, aku merangkak naik ke tempat tidur empuk itu. Lelah yang amat sangat membuat mataku terasa berat. Aku mematikan lampu utama, menyisakan kegelapan yang menyelimuti. Dalam hitungan menit, aku sudah terlelap, tidak menyadari bahwa kunci pintu kamarku belum terputar sempurna.
Dan aku tidak tahu, bahwa di balik dinding sebelah, ada yang sedang mendengarkan setiap gerak-gerikku.
Waktu seakan berhenti. Aku membeku di atas tubuh Arthur, keringat dingin langsung membasahi punggungku. Pintu itu terbuka lebar, namun sosok yang berdiri di sana kemudian menutupnya kembali dengan cepat dan menguncinya.Aku menoleh patah-patah ke arah pintu."K-Kak Leo?!" pekikku tertahan.Sosok itu berjalan mendekat. Leo. Dia berdiri di sana dengan wajah datar, namun matanya berkilat gelap menatap pemandangan di depannya: adik tirinya yang sedang menunggangi ayah tirinya tanpa busana."Aku join dong Ayah!" seru Leo tiba-tiba.Aku melotot. Apa? Bukannya marah atau jijik, dia malah ingin berpartisipasi?Leo menekan sakelar lampu. Cahaya terang benderang membanjiri kamar, menghilangkan segala bentuk privasi dan keremangan yang melindungiku tadi.Sekarang, semuanya terlihat jelas. Kulitku yang memerah, keringat yang mengkilap di tubuh Arthur, dan posisi kami yang sangat intim. Pipiku memerah hebat, rasa malu ini tak tertahankan.Belum sempat aku berpikir waras atau turun dari tubuh Arthu
Hari itu adalah hari yang sangat panjang. Dosen yang memberikan tugas mendadak, rapat organisasi yang berlarut-larut, hingga kemacetan kota yang menguras emosi. Tulang-tulangku rasanya mau lepas dari persendiannya saat aku akhirnya menginjakkan kaki di rumah.Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Rumah sepi. Mungkin Ibu dan Om Arthur sudah tidur, atau mungkin Leo sedang keluyuran. Aku tidak peduli. Pikiranku hanya tertuju pada satu hal: air dingin dan kasur empuk.Di bawah guyuran shower, aku membiarkan air meluruhkan keringat dan debu jalanan, berharap juga bisa meluruhkan memori sentuhan-sentuhan liar yang kuterima beberapa hari terakhir ini.Selesai mandi, aku memilih lingerie sutra berwarna putih gading. Warnanya senada dengan kulitku, memberikan ilusi seolah aku tidak mengenakan apa-apa. Potongannya sederhana namun elegan, membungkus tubuhku dengan lembut. Tanpa berpikir panjang, aku mematikan lampu utama, menyisakan cahaya remang-remang dari lampu jalan yang menembus tira
"Akhh...!" Pekikan kaget dan sakit meluncur dari bibirku.Tanpa menoleh pun, aku tahu siapa pelakunya. Leo. Hanya dia yang berani melakukan hal gila seperti ini di rumah yang penuh orang.Belum sempat aku memarahinya, tangan kekarnya sudah meremas bokongku dengan kasar melalui lapisan jeans. Cengkeramannya kuat, posesif, seolah menandai bahwa bagian tubuh ini adalah miliknya.Napas Leo terdengar memburu di belakang leherku. Dengan gerakan cepat, tangannya menyusup ke balik blouse-ku, jemarinya dengan cekatan membuka pengait bra yang menahan dadaku."Kak! Jangan gila!" bisikku panik, suaraku bergetar hebat. "Kalau Mama atau Ayah ke sini gimana? Kita masih di dapur!"Leo seolah tuli. Satu tangannya menyelinap ke depan, meremas salah satu buah dadaku yang kini bebas, memilin ujungnya yang langsung menegang kaku."Malah lebih seru, kan?" bisiknya serak.Tangan lainnya kembali beraksi di celanaku. Kancing dan resleting yang baru saja kurapikan, kembali ia buka paksa. Dia memelorotkan celan
Cahaya matahari pagi yang menembus celah gorden terasa menyilaukan, namun tidak sebanding dengan rasa nyeri yang menjalar di sekujur tubuhku. Terutama di area antara kedua pahaku. Setiap langkah yang kuambil untuk menuruni tangga terasa menyiksa, mengingatkanku pada kejadian gila semalam. Kegadisan yang kucintai telah direnggut, dan pelakunya kini duduk santai di meja makan seolah tak terjadi apa-apa.Di ruang makan, aroma nasi goreng dan kopi menyambutku. Ibu, Om Arthur atau yang seharusnya kupanggil Ayah dan Leo sudah berkumpul.Satu-satunya kursi kosong berada tepat di samping Leo. Dengan langkah tertatih, aku menyeret kakiku menuju kursi itu. Aku berusaha duduk perlahan, namun rasa perih itu tetap menyengat."Kamu kenapa jalan seperti itu, Bella?" tanya Ibu tiba-tiba, matanya menatapku dengan heran.Jantungku mencelos. Aku buru-buru menunduk, menghindari tatapan mata elang Leo yang duduk di sebelahku. "J-jatuh, Ma. Tadi di kamar mandi," jawabku gugup, asal bicara.Ibu menggelengka
Tubuhku menegang kaku. Mataku membelalak menatap pintu yang terkunci, lalu beralih menatap Leo yang berada di atasku."I-iya, Bu... Ada apa?" jawabku dengan suara yang kubuat senormal mungkin, meski nafasku tersengal.Bukannya berhenti, Leo justru menyeringai jahat. Dia menarik pinggulnya ke belakang, lalu menghempaskannya kembali ke dalam diriku dengan kuat."Ahhh!" Aku membekap mulutku sendiri.Sialan! Dia sengaja!"Jangan lupa ya, besok kamu kuliah pagi. Barang-barangmu sudah siap?" tanya Ibu dari balik pintu. Suaranya terdengar begitu dekat, namun juga terasa begitu jauh karena kabut gairah yang menyelimuti otakku.Leo terus bergerak. Pinggulnya menghantam bokongku dengan ritme yang stabil dan kuat. Plak. Plak. Suara kulit bersentuhan terdengar begitu nyaring di telingaku.Aku mencengkeram sprei, berusaha menahan desahan agar tidak terdengar Ibu. Keringat dingin bercucuran di pelipisku. Sensasi melakukan hal terlarang ini, dengan Ibu yang berdiri tepat di balik pintu, memicu adren
Antara sadar dan tidak, aku merasa sedang bermimpi aneh. Dalam mimpi itu, udara di sekitarku terasa berat dan hangat.Aku menggeliat pelan di balik selimut.Tiba-tiba, aku merasakan pergerakan di sisi tempat tidur. Kasur di sebelahku melesak ke bawah, seolah menahan beban berat seseorang.Apa ini masih mimpi?Rasa kantuk yang luar biasa membuat mataku sulit terbuka. Namun, sensasi di kulitku terasa begitu nyata. Sebuah tangan yang besar dan hangat menyusup ke dalam selimut, mendarat di betisku.Sentuhan itu perlahan naik. Jari-jari kasar itu menelusuri kulit pahaku yang mulus, mengirimkan sengatan listrik yang aneh. Bukan rasa takut yang pertama kali muncul, melainkan rasa geli yang menjalar hingga ke perut bawah.Tangan itu terus naik, semakin berani. Dengan gerakan terampil, jari itu mengait tali lingerie hitamku yang tipis, menurunkannya hingga sebatas pinggang.Udara dingin pendingin ruangan menerpa kulit dadaku yang kini terekspos, membuat kedua puncaknya menegang seketika.Belum