แชร์

Bab 2

ผู้เขียน: Cathy
Setelah berkata seperti itu, Anindya pun berdiri dan berjalan masuk.

Aku mengikutinya di belakang dan memandangi tubuhnya yang indah serta berlekuk itu dengan kagum.

Roknya yang pendek nyaris tidak bisa menutupi pesona di baliknya. Kedua bokong bulatnya yang menggoda itu bergoyang ke kiri dan ke kanan. Dadanya yang halus samar-samar terlihat melalui belahan lingerie-nya.

Melihat adegan itu, aku langsung terangsang. Pikiranku tanpa sadar membayangkan adegan saat aku menindihnya dan memerkosanya dengan ganas.

Setelah memasuki ruangan, Anindya mengenakan sarung tangan, lalu menunjuk pinggangku. "Lepaskan celanamu, aku akan memeriksanya."

Aku merasa agak malu. Akan tetapi, karena terus didesak olehnya, aku pun menurunkan celanaku, memperlihatkan kejantananku yang sudah berdiri tegak dengan mengagumkan dan penuh kebanggaan.

Setelah melihat kejantananku, mulut Anindya pun ternganga kaget. Tangannya yang indah dan halus terus menepuk-nepuk dua gunung yang menjulang di dadanya.

Setelah pulih dari keterkejutannya, Anindya mengulurkan tangan kanannya yang mengenakan sarung tangan untuk mencoba mencengkeramku. Namun, Anindya menyadari bahwa tangannya tidak cukup panjang untuk itu.

Setelah dia meraba-rabaku, seluruh tubuhku menjadi panas. Darahku makin bergejolak dan hasrat di hati serta bagian bawah tubuhku tidak bisa ditahan lagi.

"Hah? Kok kamu bisa punya tiga?"

Teriakan Anindya yang nyaring menyadarkanku dari dorongan nafsu yang membara.

"Pantas saja libidomu begitu kuat. Ternyata kamu punya satu testis lebih banyak dibanding orang biasa!"

Dia menyentuh kejantananku dengan wajah penuh kekaguman.

"Aku... aku juga nggak tahu kenapa bisa begini. Waktu aku masih kecil, semua orang mengejekku karena aku punya tiga testis. Waktu itu, aku belum tahu kalau punya tiga testis akan sesakit ini. Seandainya aku tahu, waktu kecil dulu, pasti sudah kuremukkan salah satunya."

Mendengar jawabanku, Anindya pun tertawa kecil. "Hal ini belum tentu buruk. Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri. Kalau kamu bisa memanfaatkannya dengan baik, ini sebenarnya merupakan suatu keunggulan…"

"Nggak usah terlalu khawatir. Kami sangat berpengalaman dalam masalah seperti ini. Kami pasti bisa menyembuhkanmu."

Sambil berbicara, Anindya terus saja menelan ludah. Matanya terpaku pada kejantananku, seakan-akan hendak menelanku kemudian.

Di saat yang bersamaan, aku merasakan cengkeramannya pada kejantananku menjadi makin erat.

"Dokter Anindya, eh Bibi Anindya, bisakah lebih lembut sedikit? Aku bukannya takut sakit. Tapi, aku takut kalau kamu terus meremasnya, aku nggak bakal bisa menahannya lagi."

"Nggak tahan? Kalau begitu, apa yang akan kamu lakukan? Apa yang mau kamu lakukan?"

Anindya menatapku dengan tatapan menggoda. Sementara itu, payudaranya yang montok dan putih terus menggesek-gesek lenganku, sehingga membuatku gugup dan gelisah.

Menatap payudaranya yang seputih salju, untuk sesaat aku menjadi terpesona. Tanpa sadar, perlahan-lahan aku pun mengulurkan tangan kananku.

Tepat di saat tanganku hampir mencapai sasaran, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras di pintu.

"Dokter Anindya, Dokter Anindya, kamu di sana?"

Mendengar suara panggilan dari luar itu, Anindya langsung mengembalikan ekspresinya menjadi serius. Dia merapikan penampilannya dan berkata dengan tegas, "Agam, sesi terapi hari ini selesai sampai di sini saja. Aku masih punya pasien lain. Kita jadwalkan waktunya lagi lain kali."

Tepat ketika sesuatu akan terjadi, tetapi malah terputus oleh orang ceroboh yang tiba-tiba menerobos masuk, hatiku pun langsung dipenuhi rasa kesal. Akan tetapi, aku tidak bisa menunjukkannya, sehingga hanya bisa mengangguk setuju.

Saat keluar, aku sengaja melirik orang yang mengetuk pintu itu. Ternyata dia adalah seorang pria paruh baya, dengan tampang licik dan mencurigakan.

Begitu Anindya keluar, pria paruh baya itu langsung menariknya masuk ke sebuah ruangan. Sepertinya, untuk membicarakan sesuatu yang mendesak.

Meski hatiku tidak rela, aku hanya bisa pergi dengan kesal.

Dalam perjalanan pulang, aku melihat orang-orang seusiaku tertawa dan bercanda. Wajah mereka tampak berseri-seri gembira. Aku pun merasa sedikit iri.

Kami sama-sama berusia sekitar dua puluh tahun. Kenapa mereka bisa tertarik pada berbagai hal, sementara aku justru kecanduan pada urusan ranjang saja?

Aku masih begitu muda. Seharusnya, aku punya banyak pilihan di dunia yang penuh warna ini. Akan tetapi, aku justru terbelenggu oleh nafsu birahiku sendiri.

Awalnya, ketika Bibi menyuruh agar aku pergi ke sahabatnya untuk terapi, aku masih merasa penuh harap. Aku mengira spesialis kecanduan seksual ini bisa menyembuhkanku.

Namun, begitu melihat penampilannya yang seksi dan memikat, isi pikiranku sama sekali bukan tentang terapi, melainkan…

Hufh.

Setelah terapi hari ini, aku makin tidak yakin bisa menyembuhkan kecanduan seks-ku.

Anindya bukan hanya gagal menekan hasratku, tetapi malah membangkitkan nafsuku yang membara.

Yang lebih menjengkelkan lagi, Anindya hanya memicu gairah dan tidak memadamkannya. Sekarang, seluruh tubuhku terasa panas membara. Aku merasa ingin melakukan kejahatan seksual terhadap setiap wanita yang kulihat di jalan.

Memikirkan hal itu, tanpa sadar aku pun mempercepat langkahku. Aku ingin segera kembali ke rumah Bibi, agar tidak melakukan kesalahan yang tidak termaafkan karena dorongan sesaat.

Setelah berlari sebentar, aku pun tiba di gedung tempat bibiku tinggal.

Pamanku kerja di Negara Lodia pada awal tahun ini. Sementara itu, sepupuku tinggal di asrama sekolah. Oleh karena itu, sekarang hanya ada aku dan bibiku yang tinggal di rumah ini.

Tak lama kemudian, aku tiba di depan rumah Bibi. Tepat ketika aku bersiap untuk mengetuk pintu, aku menyadari pintunya tidak tertutup rapat. Pintu itu langsung terbuka hanya dengan mendorongnya sedikit.

Begitu pintu terbuka, aku melihat Bibi sedang berlatih yoga. Dia mengikuti video di televisi dengan pantatnya yang terangkat.

Bibi yang berusia tiga puluhan itu pada dasarnya adalah wanita matang yang sempurna, dengan lekuk tubuhnya yang indah. Setelah mengenakan celana yoga yang seksi, dia bahkan terlihat begitu memikat.

Melihat bokongnya yang montok dan terangkat tinggi seperti buah semangka, aku pun tidak bisa menahan diri untuk tidak mengutuk di dalam hati.

Aku baru saja terangsang oleh si jalang Anindya. Begitu pulang, aku mendapati bibiku yang matang dan sempurna, tengah berlatih yoga dengan bokongnya yang terangkat. Yang lebih parah lagi, aku ini seorang pecandu seks. Bagaimana aku bisa tahan hidup seperti ini?
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Hasrat Menggelora di Ranjang Perawatan   Bab 8

    Semua sukarelawan yang disebut-sebutnya itu, sebenarnya merupakan pelanggan yang dicarinya, dengan tujuan utama untuk mengeksploitasiku.Aku harus mencari cara untuk menyelamatkan diri.Pertama-tama, aku meminta bantuan kepada seorang sukarelawan yang paling akrab denganku. Saat sedang gembira, dia bersumpah kepadaku bahwa hidupnya adalah milikku.Untuk menunjukkan betapa besar kebahagiaan yang kuberikan kepadanya, dia bahkan memberikan gelang warisan keluarganya kepadaku.Aku juga memiliki perasaan yang istimewa kepadanya. Meskipun usianya hampir lima puluh tahun dan bentuk tubuhnya tidak lagi semenarik dahulu, tiap kali bersama, aku akan melakukan yang terbaik agar dia bisa merasakan puncak kenikmatan.Aku merasa, dialah yang paling bisa dipercaya. Setidaknya, di ranjang, dia selalu berterima kasih kepadaku setiap saat.Aku berharap dia membantuku menelepon polisi, agar polisi datang menyelamatkanku.Tak disangka, setelah dia berjanji dengan sungguh-sungguh kepadaku, dia malah berbal

  • Hasrat Menggelora di Ranjang Perawatan   Bab 7

    Anindya menunjukkan ekspresi yang tegas dan berkata, "Agam, kamu nggak boleh terlalu keras kepala. Tahukah kamu, betapa besar pengorbanan yang sudah dilakukan bibimu dan aku untuk mengobati kecanduan seks-mu?""Dengarkan Bibi Anindya. Bekerja sama-lah baik-baik dengan para wanita di luar sana untuk pengobatan. Mengingat kekuatanmu terlalu besar, aku khawatir para wanita itu nggak akan bisa menghadapimu sendiri-sendiri. Jadi, aku minta mereka semua bersama-sama membantumu. Bekerja sama-lah dengan baik."Meskipun enggan, aku tetap mengikuti perintah Anindya dan pergi ke kamar yang sudah dia siapkan untukku.Begitu masuk, aku melihat lima wanita paruh baya bertubuh besar sudah menungguku di sana. Mereka semua sudah menanggalkan pakaiannya dan hanya melilitkan beberapa handuk mandi sederhana di tubuh mereka.Meskipun kelima wanita itu masih menyisakan sedikit pesona mereka di masa lalu, dibandingkan dengan bibiku dan Anindya, mereka tetap saja beda jauh.Menghadapi para wanita gemuk ini, m

  • Hasrat Menggelora di Ranjang Perawatan   Bab 6

    Anindya tersenyum dan membawaku ke ruang tamu. Dia menunjuk beberapa wanita paruh baya berpakaian mewah yang duduk di sofa dan berkata, "Inilah rencana pengobatan yang kusiapkan untukmu."Beberapa wanita paruh baya di sofa itu serentak menatapku ketika aku masuk, dengan ekspresi rakus, seperti serigala jahat yang melihat domba kecil."Anak muda ini benar-benar tampan, nanti aku yang pertama.""Kenapa harus kamu yang pertama? Punyamu itu lebih besar atau lebih dalam?""Cuma karena aku bersedia membayar dua kali lipat, kenapa?""Kamu pikir cuma kamu yang punya uang? Uangku juga sebanyak uangmu!"Melihat mereka hampir bertengkar, Anindya pun buru-buru mendekati mereka dan membisikkan sesuatu kepada mereka. Para wanita paruh baya yang kaya itu pun berhenti bertengkar dan semuanya menatapku dengan mata berbinar.Salah seorang wanita dengan riasan tebal mendekatiku dan mencubit pipiku dengan lembut. "Anak anjing kecil yang menggemaskan, Bibi akan memanjakanmu nanti."Aku buru-buru menghindar

  • Hasrat Menggelora di Ranjang Perawatan   Bab 5

    Setelah melihat lebih dekat, aku menyadari bahwa Bibi sudah menanggalkan satu-satunya pakaian yoga yang dikenakannya, sehingga memperlihatkan tubuhnya yang montok dan putih di hadapanku.Menyaksikan gundukan di dadanya yang naik turun mengikuti napasnya, aku pun tidak bisa menahan diri untuk tidak menelan ludah.Bibi segera menarikku yang terpaku di ambang pintu ke dalam kamar, menekan dadanya yang montok dengan erat ke tubuhku."Agam, kamu kecanduan seks dan Bibi haus akan seks. Kita berdua pasangan yang cocok, 'kan?"Menghadapi inisiatif bibi yang tiba-tiba, aku pun merasa sedikit bingung untuk sesaat. Aku tidak berani percaya bahwa semua yang ada di depan mataku adalah nyata.Jelas-jelas sebelumnya dia memukulku ketika aku menyentuhnya. Mengapa sekarang dia malah telanjang dan menggodaku?Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, Bibi langsung menarikku ke tempat tidur. Setelah mendorongku hingga terjatuh, Bibi langsung menaiki tubuhku.Saat itu, bahkan dengan pengendalian diri terbaik

  • Hasrat Menggelora di Ranjang Perawatan   Bab 4

    Plak!Bibi menampar tangan kiriku dengan keras."Apa yang kamu lakukan? Dasar bocah nakal, kamu sengaja, ya?"Bibi menoleh dan menatapku dengan marah. Akan tetapi, sudut bibirnya samar-samar menyiratkan senyuman."Lihatlah, betapa menggembungnya penismu itu. Bibi cuma menyuruhmu memijat saja, kamu sudah begitu bersemangat. Kalau lakukan itu... kamu pasti akan membuat Bibi mati!"Aku mengikuti pandangan Bibi dan melirik selangkanganku. Aku pun menyadari bahwa itu sungguh pemandangan yang mengerikan. Aku buru-buru menjepitnya di antara kedua kaki dan menekannya dengan paksa."Maafkan aku, Bibi. Aku juga nggak tahu kenapa aku jadi begini. Aku…"Bersikap seperti ini di depan Bibi, memang benar-benar tidak pantas.Aku buru-buru meminta maaf pada Bibi. Aku berharap, Bibi tidak menceritakan hal ini kepada Ibu dan Paman.Ibuku seperti Voldemort. Jika dia tahu, aku punya pikiran yang tidak pantas pada adik iparnya, dia pasti akan memukuliku sampai mati."Pffft, sudahlah. Bibi nggak menyalahkanm

  • Hasrat Menggelora di Ranjang Perawatan   Bab 3

    Bibiku yang mengenakan pakaian yoga itu sempat terkejut saat melihatku masuk. Akan tetapi, dia dengan cepat kembali tenang seperti biasa.Sambil berlatih split, dia bertanya kepadaku, "Agam, gimana terapimu hari ini?""Baik-baik saja. Cuma di tengah terapi, Dokter Anindya dipanggil pergi. Dia memintaku untuk membuat janji lagi lain kali."Saat menjawab, aku berusaha sekuat tenaga menahan diri untuk tidak melihat bokong bibiku yang indah. Aku takut tidak bisa mengendalikan diri."Bibi, kalau nggak ada yang lain, aku kembali ke kamar dulu. Aku mau istirahat sebentar."Sambil berkata seperti itu, aku bergegas menuju kamarku, mencoba menghindari situasi yang canggung itu.Tepat di saat aku sampai di pintu kamar, Bibi memanggilku dari belakang."Agam, tunggu sebentar. Bibi lelah setelah berlatih yoga. Tolong pijat Bibi, ya."Setelah berkata seperti itu, Bibi mengangkat pantatnya dan berbaring telungkup di lantai sambil menatapku dengan ekspresi menggoda.Hatiku sudah bergejolak. Melihatnya

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status