Share

BAB 6

Penulis: Rich Mama
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-27 18:51:07

Ayu menggeleng cepat. Ia tidak mungkin memberikan asi yang sudah basi.

"Itu tidak benar, Bu. Saya selalu memberikan asi yang segar kepada pembeli."

"Alah, bohong kamu, Yu. Pokoknya saya akan melaporkan kamu ke polisi."

Ari tidak tinggal diam. Ia tetap berusaha untuk membela Ayu.

"Jangan, Bu. Kita bisa selesaikan hal ini dengan cara baik-baik. Aku yakin Ayu tidak mungkin melakukan hal itu."

"Kalau begitu Ayu harus ganti rugi tiga kali lipat!"

"Baik, Ayu pasti akan memberikan uang itu."

Ayu memegang lengan tangan Ari. Ia tidak mungkin menuruti kemauan Bu Ita karena wanita itu tidak salah.

"Sudahlah, Yu. Daripada nanti kamu masuk penjara."

"Ayu sedang tidak ada uang, Mas."

Bu Ita masih menatap sinis kepada mereka. Sebenarnya ia hanya menggertak saja.

"Baiklah. Aku yang akan membayarnya."

Lelaki itu mengeluarkan dompetnya dan memberikan sejumlah uang sesuai permintaan Bu Ita.

"Nah gini, dong. Ini sih baru biaya ganti rugi. Belum biaya tutup mulut atas perselingkuhan kalian."

Ayu merasa kesal dengan Bu Ita. Namun ia memang melakukan hal laknat itu dengan kakak iparnya sendiri. Dan Ayu baru sadar jika perbuatannya salah.

Ari kembali memberikan uang kepada Bu Ita. Ia juga tidak mau jika Ayu nanti menjadi korban atas kelakuan bej*tnya.

Bu Ita kegirangan setelah mendapatkan beberapa lembar uang merah dari Ari. Ia segera meninggalkan rumah Ayu dan berencana untuk berbelanja ke supermarket.

Ayu memandangi Ari. Sebenarnya ia kesal, tetapi ia juga berhutang budi kepada lelaki itu.

"Kenapa Mas Ari harus melakukannya? Bagaimana jika nanti Bu Ita terus-terusan memeras kita?"

"Maafkan aku, Yu. Semua memang salahku. Aku tidak mau jika kamu difitnah seperti itu. Hatiku ikut sakit, Yu."

"Tapi Mas juga butuh uang untuk biaya perawatan Dimas nanti?"

"Kamu tidak perlu khawatir, Yu. Sebaiknya kita segera ke rumah sakit. Mulai sekarang aku akan selalu ada untukmu."

Ari mendorong tubuh Ayu ke dinding dan mulai melumat bibir wanita itu kembali. Setelah itu ia baru pergi ke rumah sakit.

Di dalam perjalanan, ponsel Ari berdering terus-menerus. Ia yakin jika telepon itu datang dari Ningsih.

"Yu, pegang erat-erat ya? Kita harus segera sampai ke rumah sakit."

Ayu hanya mengangguk saja dan menuruti kemauan Ari. Hatinya terasa campur aduk. Tidak tahu harus bahagia atau bersedih.

Tiba di rumah sakit, Ayu memegangi tenggorokannya yang terasa kering.

"Kamu haus, Yu? Kamu duduk di sini. Aku belikan minuman dulu ya?" ujar Ari dan berlalu pergi meninggalkan wanita itu.

Ari segera berjalan cepat menuju seberang rumah sakit yang menjual aneka makanan dan minuman. Ia membeli satu botol air mineral. Setelahnya segera kembali untuk menemui Ayu.

"Ini minumannya Yu," ucap Ari sambil menyodorkan minuman untuk Ayu.

"Terima kasih, Mas. Kok cuma satu? Mas Ari nggak minum?" tanya Ayu yang merasa kasihan melihat Ari mulai berkeringat.

"Aku nggak masalah kok, Yu. Minumlah," elak Ari.

Ayu pun mengangguk saja. Ia segera menghabiskan minumannya.

"Dihabisinya Yu," perintah Ari kemudian.

"Sudah hilang hausnya, Mas. Buat Mas Ari saja kalau tidak keberatan."

"Kenapa harus keberatan?" tanya Ari ingin tahu.

"Soalnya bekas Ayu, Mas."

Ari tersenyum tipis. Justru itu yang ia harapkan minum minuman bekas dari bibir Ayu. Lelaki itu segera menyambar botol air yang masih dibawa Ayu dan segera menenggaknya hingga habis.

"Haus banget ya, Mas? Tadi nggak beli dua botol," sindir Ayu.

"Sengaja," lirih Ari.

Ayu mulai merasa gerah. Dadanya berdenyut nyeri.

"Mas, Ayu ke toilet sebentar ya?" pamit Ayu sambil meringis menahan sakit.

Tanpa berpikir panjang lagi Ari mengikuti Ayu dengan langkah cepatnya. Ia menghadang wanita itu saat hendak masuk ke toilet.

"Yu, tunggu!" ucap Ari seraya menahan pergelangan tangan milik Ayu.

"Mas Ari? Kok ada di sini?" Ayu merasa bingung.

"Ikut aku!" Ari menarik Ayu ke dalam toilet wanita dan segera menguncinya dari dalam.

"Mas Ari apa-apaan sih?" Apa yang Mas Ari lakukan?" Ayu semakin gelisah. Ia takut jika ada yang mengetahui keberadaan mereka di dalam toilet.

"Aku hanya ingin membantu menghilangkan rasa sakitmu, Yu. Bajumu sudah basah."

"Tapi, Mas. Aku takut—"

"Aku tahu kamu tidak bawa alat pumping 'kan?" Ari mulai menurunkan resleting baju yang dikenakan Ayu.

Wanita itu memejamkan kedua matanya. Ia benar-benar ketakutan meski dirinya juga merasakan sakit.

"Aku akan melakukannya pelan-pelan, Yu." Ari menatap sejenak keindahan di depan matanya. Sungguh ia mengagumi semua yang ada pada diri Ayu.

Sementara wanita itu masih memejamkan matanya. Ia belum merasakan ada pergerakan dari Ari. Namun detik berikutnya ia mulai merasa panas dingin.

Sentuhan bibir Ari membuatnya seolah melayang ke atas awan.

"Ahh ... Mas." Kedua tangan Ayu meremas rambut Ari. Batinnya sungguh tersiksa karena perbuatan kakak iparnya tersebut, tetapi ingin hal yang lebih.

Ari tampak tersenyum melihat Ayu menikmati ulahnya. Ia semakin bersemangat menyelesaikan pekerjaannya.

"Cukup, Mas!" ucap Ayu setelah beberapa menit lamanya. Jika biasanya wanita itu memerlukan waktu hampir setengah jam untuk mengosongkan asinya, kali ini hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit.

"Sudah merasa lebih baik?" tanya Ari seraya mendekatkan bibirnya. Ia tatap lekat-lekat manik mata milik mantan kekasihnya itu.

"Iya Mas," jawab Ayu lembut.

"Apakah kamu menginginkan lebih dari ini?" Jemari tangan Ari menyingkirkan rambut panjang Ayu yang menutupi lehernya. Kemudian ia menenggelamkan bibirnya pada leher itu dan kembali meninggalkan jejak merah tanda cintanya.

Ayu semakin tak kuat menahan gelombang dahsyat yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Ia bahkan sangat mendambakan sentuhan lebih jauh dari Ari.

Namun wanita itu teringat akan Dimas. Ia tahu jika Ari telah lama meninggalkan rumah sakit.

"Mas Ari ... sebaiknya kita segera melihat kondisi Dimas. Ayu takut terjadi apa-apa dengannya."

Akhirnya Ayu memberanikan diri untuk tidak melanjutkan perbuatan maksiat itu.

Ari mengurungkan niatnya yang hendak melepaskan ikat pinggang. Sebenarnya ia juga khawatir dengan Dimas.

"Baiklah. Aku mengerti."

Setelah sama-sama merapikan diri, Ayu dan Ari segera mencari ruangan Dimas. Di depan ruangan tersebut masih ada Ningsih yang sejak tadi menunggu.

Datang-datang Ayu mendapatkan tatapan sinis dari istri Ari. Wanita itu merasa tidak enak hati kepada Ningsih. Bahkan dibayangi rasa bersalah karena bertindak lebih jauh dengan Ari di belakangnya.

"Lama sekali sih, kalian? Ngapain aja?" tanya Ningsih kesal. "Sampai kram kaki aku menunggu sendirian di sini."

"Maaf, Mbak." Ayu tertunduk lesu.

"Kalau bukan karena Dimas, aku tidak sudi menyuruh Mas Ari untuk menjemputmu. Sepertinya Mas Ari sangat perhatian sama kamu," ungkap Ningsih semakin jengkel.

"Kamu apa-apaan sih, Ning? Bukan saatnya membahas hal seperti itu. Ini di rumah sakit."

"Kalau begitu Ayu ke dalam dulu ya, Mbak? Pasti Dimas sudah menanti kedatanganku."

Ayu pun berjalan menuju pintu masuk ruangan Dimas. Namun langkahnya terhenti saat Ningsih berteriak kepadanya.

"Eh, tunggu sebentar, Yu! Itu kenapa leher kamu?" tanya Ningsih penuh rasa curiga. Ia melihat tanda merah di leher Ayu.

Rich Mama

Hallo... buku baru lagi nih... karya ini sedang mengikuti lomba. Dukung author ya, dengan memberikan gem, komentar, dan ulasan bintang limanya. hehe, makasih love sekebon :*

| 2
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 35

    Langit siang Desa Kemuning tampak mendung. Seakan ikut menanggung beban berat di dada Ari. Sejak kemarin, pikirannya tidak bisa tenang. Ia berkali-kali mencoba menghubungi nomor Ayu, tapi yang terdengar hanya suara operator. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.”“Ayu, kamu di mana sekarang?” gumamnya lirih, matanya memandang kosong layar ponsel.Hatinya digelayuti rasa bersalah yang begitu dalam. “Aku bodoh. Kenapa aku biarin semua orang memperlakukan kamu begitu? Aku harusnya melindungi kamu bukan malah membiarkan mereka menyakitimu.”Ari berdiri di tepi ranjang kamarnya, memukul kepalanya sendiri dengan frustrasi. Bayangan wajah Ayu yang menangis semalam terus menghantui pikirannya. Tatapan Ayu yang ketakutan saat dirinya dibawa polisi, tangan Ayu yang sempat meraih namun gagal ia genggam. Semua itu seperti pisau yang menusuk hati.Beberapa waktu lalu, polisi yang menahannya dadi kemarin akhirnya pergi bersama Ningsih dengan motornya. Ari akhirnya memanfaatkan kesempatan itu.

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 34

    Gemerlap kota menyambut Ayu tanpa mampu mengusir kesedihan di hatinya. Kota itu terasa begitu asing bagi Ayu. Sejak turun dari bus, ia hanya berjalan tanpa arah di trotoar yang ramai orang.Orang-orang lalu-lalang dengan wajah ketus. Tak seorang pun peduli ada seorang perempuan muda dengan mata sembab, langkah gontai, dan wajah penuh kelelahan.“Di mana aku harus tinggal sekarang?” bisiknya pada diri sendiri.Udara kota terasa berbeda. Pengap, penuh debu, dan dingin sekaligus menusuk. Ia menahan rasa sakit di kakinya karena terlalu lama menenteng koper. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena bawaan, melainkan karena beban hidup yang menghimpit dadanya.Sesekali Ayu berhenti, duduk di kursi halte kosong. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang bergetar. Di dalam kepalanya, bayangan warga kampung, tatapan sinis Novia, amarah Om dan Tantenya, semua berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.“Apa aku memang sehina itu? Sampai-sampai mereka tega mengus

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 33

    BRAK! Suara pintu didobrak membuat Ari dan Ayu terlonjak dari posisi mereka. Pakaian yang berantakan, nafas yang masih memburu, kini berubah menjadi ketegangan mencekam. “Astaga, kalian!” teriak suara perempuan dari luar. Ayu membeku. Matanya melebar melihat sosok Ningsih berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah penuh amarah. Di belakangnya, Pak RT, Bu RT, beberapa warga, dan seorang pria berseragam polisi ikut masuk. “Mas, aku takut.” Ayu berbisik panik, tubuhnya masih menempel di dada Ari. Namun mereka tak punya kesempatan untuk menjelaskan. Dalam sekejap, teriakan warga memenuhi ruang tamu sempit itu. “Ketahuan sudah! Perbuatan memalukan di kampung kita!” “Janda nggak tahu diri!” “Astaga, Ari! Kau suami orang, ya Allah!” Ari berdiri cepat, berusaha menutupi Ayu dengan tubuhnya. “Tolong jangan kasar, ini nggak seperti yang kalian lihat!” suaranya parau, mencoba membela. Namun tangan-tangan warga sudah maju, menarik Ari ke samping. Polisi yang rupanya teman lama Ningsih l

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 32

    “Iya, Mas.” Ayu mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan pelan. “Ah, Mas ....” Kedua tangan Ayu mencengkeram bahu Ari. Kepalanya mendongak. Matanya terpejam, tapi bibirnya tak berhenti mengeluarkan desahan. “Rasanya nikmat sekali, Mas.” Ari menggeram penuh nikmat. Tangannya menurunkan tali tipis di pundak Ayu. Kemudian ia meremas bongkahan payudara besar di hadapannya. “Terus, Yu. Mas suka banget.” Ayu menggigit bibirnya, tak kuasa membalas kata-kata itu. Hanya desah lirih yang lolos, menandakan tubuhnya pun mulai menyerah pada keadaan. Tangannya semakin kuat mencengkeram bahu Ari, merasakan setiap alur otot di balik kemeja tipis itu. Ari mengusap punggungnya dengan lembut, sementara wajahnya semakin dekat. Hembusan napas mereka bertemu, panas dan menggoda. Hingga akhirnya bibir Ari menemukan bibir Ayu. Ciuman itu awalnya lembut, penuh kehati-hatian, namun dengan cepat berubah menjadi dalam dan menuntut. Ayu terhanyut, matanya terpejam rapat, tubuhnya gemetar menerim

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 31

    Udara siang terasa lengket, meski angin sempat berhembus tipis melalui celah jendela. Ayu baru saja selesai menjemur pakaian di halaman belakang. Rambutnya masih basah, meneteskan air yang jatuh ke kulit bahunya. Hanya handuk yang membalut tubuh mungilnya. Di tangannya, ia membawa ember kosong yang harus dikembalikan ke dapur. Langkahnya ringan, tapi hatinya tidak. Ada rasa risih berjalan hanya dengan balutan handuk di rumah ini, walau ia tahu tak ada orang lain selain dirinya. Namun, baru beberapa detik setelah ia menaruh ember, sebuah pelukan erat datang tiba-tiba dari belakang. Tubuhnya sontak menegang. Tapi begitu aroma parfum maskulin itu menyusup ke hidungnya, Ayu tak perlu menebak lebih jauh. Hatinya sudah tahu. “Mas Ari, kapan sampai sini? Mengagetkan Ayu saja,” ucapnya setengah terkejut, setengah lega. “Baru saja,” jawab Ari tenang, tapi nadanya penuh keyakinan. Wajahnya menunduk ke bahu Ayu, menghirup harum segar kulit wanita itu. “Kamu baru mandi ya, Yu? Wangi banget

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 30

    Perasaan Ari tiba-tiba tak enak. Ia melangkah perlahan ke belakang rumah. Dari sana, samar-samar ia mendengar suara lirih. Seperti seseorang yang sedang berbicara dengan penuh bisik-bisik.Ari berhenti di dekat pintu dapur. Suaranya semakin jelas. Itu suara Ningsih.“Ya, nanti aku kabari lagi. Jangan telepon terus. Kalau Mas Ari tau, repot.” Suara itu terbawa angin, tidak terlalu jelas, tapi penuh kecemasan.Darah Ari berdesir. Jantungnya berdetak kencang. Ia menahan nafas, menajamkan telinga meski tidak begitu mendengarnya.Ningsih berbalik dan mendapati Ari sedang memperhatikannya.“Sudahlah, aku matiin dulu. Jangan hubungin aku sekarang.”Hening sejenak. Lalu suara klik terdengar, tanda ponsel dimatikan.Dengan cepat Ari melangkah mendekati Ningsih. Wajahnya pucat, tangannya refleks menyembunyikan ponsel ke balik daster.“Eh, Mas Ari. Sudah pulang.”“Ning, kamu teleponan sama siapa? Kok buru-buru dimatikan?” Ari bertanya, suaranya tegas, tatapannya menajam.Ningsih terdiam, matanya

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status