ログインBu Ita mengerjap. Pertanyaan itu bagai petir yang menyambar siang bolong. Wajahnya kaku, senyum yang semula terpasang pun menghilang, berganti dengan raut gugup.
Pandangan matanya bergulir sebentar ke arah Ari, lalu kembali ke Ningsih yang berdiri tegak dengan tatapan penuh selidik. “I-itu … iya, betul, Ning.” Suaranya terdengar terbata. Tangannya meremas ujung kain dasternya sendiri, jelas menunjukkan kegugupan. “Tadi Ayu memang datang ke rumah, katanya kepalanya pusing, jadi saya kerok. Kenapa memangnya?” Mata Ningsih menyipit. Nada Bu Ita yang bergetar, ekspresi wajahnya yang seperti diseret ke jurang kebohongan, semua itu menambah keyakinannya bahwa ada sesuatu yang ditutup-tutupi. “Kalau memang benar, Bu, kenapa jawabannya lama sekali keluar? Seperti orang bingung nyari alasan,” ungkap Ningsih, nadanya tajam dan dingin. Bu Ita langsung terdiam, wajahnya semakin pucat. Ari melangkah maju, mencoba menghalangi Ningsih. “Ningsih, sudah. Kamu ini kenapa sih? Kalau memang Bu Ita bilang begitu, ya sudah percaya. Jangan bikin beliau nggak nyaman.” “Mas, jangan ikut campur!” bentak Ningsih, matanya berkilat. “Aku cuma mau kebenaran. Aku ini istrimu, Mas. Aku berhak tahu semua hal yang kamu sembunyikan.” Suasana mendadak tegang. Jalanan yang tadinya ramai dengan suara pedagang keliling dan kendaraan kini terasa begitu sunyi di telinga mereka. Angin yang berhembus malah menambah dinginnya hawa pertengkaran itu. Bu Ita gemetar. Jantungnya berdetak cepat, keringat dingin mengucur di pelipisnya. Ia menatap Ari, lalu Ningsih, hatinya berkecamuk. Satu kata salah, semua bisa runtuh. Ia teringat kembali lembaran uang merah yang diberikan Ari tadi. Uang itu seakan membelenggu lidahnya. “Ningsih, saya cuma bantu Ayu, kok. Nggak ada yang aneh,” katanya dengan suara pelan. Namun, alih-alih menenangkan, jawabannya justru menyalakan bara di hati Ningsih. “Kalau memang cuma kerokan, kenapa harus gugup begitu, Bu?” Ningsih melangkah lebih dekat, menatap lurus pada wajah Bu Ita yang semakin terpojok. “Jangan main-main dengan saya. Kalau Ibu ikut menutup-nutupi sesuatu, saya bisa tahu.” Ari buru-buru menarik tangan istrinya. “Ningsih! Jangan menekan orang seperti ini. Kamu sudah keterlaluan.” “Keterlaluan?” Ningsih menoleh cepat, wajahnya merah padam. “Keterlaluan itu kamu, Mas! Dari dulu aku sudah curiga, tapi kamu selalu bisa mengelak. Sekarang aku melihat sendiri ada bekas merah di leher Ayu. Jangan bilang aku salah lihat!” Ari terdiam, wajahnya menegang. Kata-kata Ningsih menghantam telak dan ia benar-benar tak tahu harus memberi alasan apa lagi. Sementara Bu Ita semakin panik, takut rahasia terbongkar. “Aku nggak akan diam sampai tahu semuanya,” lanjut Ningsih, suaranya bergetar menahan amarah. Di rumah sakit, Ayu duduk di samping ranjang Dimas. Anak kecil itu kembali terlelap setelah diberi obat oleh perawat. Wajah polosnya yang tertidur membuat hati Ayu bergetar. Ia mengusap pelipisnya, tubuhnya masih gemetar mengingat tatapan Ningsih barusan. “Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan?” bisiknya lirih, air matanya kembali jatuh. “Kalau semua terbongkar, aku habis. Kasihan Mas Ari.” Ia menatap tangannya sendiri yang bergetar. Ingatannya kembali pada momen singkat bersama Ari. Sentuhan, bisikan, dan tatapan mata yang membuatnya hampir kehilangan kendali. Semua itu seperti racun manis yang menjeratnya semakin dalam. “Aku nggak boleh jatuh lagi,” gumamnya lirih. “Tapi kenapa rasanya aku nggak sanggup melepaskan Mas Ari?” Tangisnya pecah tanpa suara. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, mencoba meredam gejolak hati yang semakin menggila. Di jalanan, pertengkaran masih berlanjut. “Ningsih, dengar aku dulu!” Ari meninggikan suara, tapi masih berusaha menahan emosinya. “Kamu itu terlalu curiga. Aku nggak ada apa-apa dengan Ayu. Aku hanya berusaha menolong!” Ningsih menatapnya dengan tatapan yang menusuk. “Kamu berani bersumpah? Kalau sampai ada kebohongan, Mas, dosanya tanggung sendiri!” Ari tercekat. Kata-kata sumpah itu membuat dadanya sesak. Ia memang tak sepenuhnya bohong, tapi juga tak sepenuhnya jujur. Dan di hadapan istrinya, ia merasa seolah berada di persimpangan jalan antara kebenaran dan pengkhianatan. Bu Ita meremas jemarinya sendiri, hatinya makin gelisah. Ia tak tahu harus ke mana. Jika ia buka suara, semua akan hancur dan dirinya pun tak akan tenang. Tapi kalau ia diam, Ningsih pasti terus mendesak sampai titik darah penghabisan. “Ningsih.” Akhirnya Bu Ita bersuara pelan. “Saya benar-benar cuma kerok Ayu. Saya mohon, jangan berpikir yang aneh-aneh. Saya orang tua, nggak mungkin saya ikut menutup-nutupi hal buruk.” Ningsih memejamkan mata, berusaha menahan gejolak dalam dadanya. Ia menatap Bu Ita lekat-lekat, mencoba membaca ketulusan dari sorot matanya. Namun, yang ia lihat justru kegugupan yang mencurigakan. “Baiklah, Bu,” katanya dingin. “Kalau memang begitu, saya akan cari bukti sendiri. Kalau ada kebohongan, saya akan bongkar.” Ari menghela napas berat, lega karena situasi mereda, meski jelas badai baru saja ditunda, bukan benar-benar reda. Ningsih menoleh padanya sekali lagi, matanya penuh ancaman. “Aku nggak akan diam, Mas. Sekali saja aku tahu kamu bohong, semuanya akan berubah.” Dengan langkah cepat, Ningsih meninggalkan mereka, tanpa menoleh sedikit pun. Ari hanya bisa menatap punggung istrinya dengan dada yang sesak. Ia sadar, situasi ini semakin sulit dikendalikan. Ari memarkirkan motornya di depan rumah. Ketika masuk, ia mendapati Ningsih masih tampak murung di ruang tamu, wajahnya yang penuh curiga membuat Ari semakin gelisah. Ari mengambil sesuatu ke dalam kamarnya lalu ia kembali mendekati Ningsih. “Aku berangkat kerja dulu,” ucap Ari singkat. Ningsih mengangkat wajah, menatapnya dengan sorot yang penuh tanda tanya. “Kerja? Jam segini?” Ari tersenyum hambar, berusaha menutupi degup jantungnya yang tak menentu. “Ada lemburan, Ning. Aku harus ke bengkel. Kamu istirahat aja, jangan banyak mikir.” Ningsih tidak menjawab. Tatapannya tajam, seolah berusaha menembus lapisan kebohongan yang coba disembunyikan Ari. Ia hanya mengangguk tipis, meski jelas hatinya menolak penjelasan itu. Ari pun melangkah pergi, tapi bukannya menuju bengkel, ia malah berbelok ke arah lain. Motornya melaju menuju rumah Ayu, di gang kecil yang hanya diterangi lampu jalan temaram. Sesampainya di sana, Ari turun, menatap pintu rumah sederhana itu. Ingatannya melayang pada sesuatu, kunci cadangan yang dulu ditaruh Galih di rumah Ningsih. Ari tidak pernah tahu alasannya. Ia tidak pernah bertanya, tidak pernah benar-benar peduli. Namun kini, kunci itu ada di tangannya dan berguna. Diambilnya tadi dari atas kulkas saat Ningsih tidak melihat. Tangannya gemetar saat memasukkan kunci ke lubang pintu. Bunyi klik terdengar jelas, membuat jantungnya berdegup kencang. Ia masuk perlahan, menutup pintu rapat-rapat. Aroma rumah itu langsung menyergapnya. Perpaduan bau kayu lama, wangi sabun, dan samar bau tubuh Ayu yang entah kenapa terasa begitu familiar. Ari langsung menuju kamar, mencari sesuatu yang memang ia niatkan sejak awal. Ia mencari pompa ASI milik Ayu. Ia tahu, Ayu pasti akan kesakitan kalau tidak segera dipompa. Itu alasan yang cukup baginya untuk datang, atau setidaknya alasan yang bisa ia percaya sendiri. Namun saat membuka lemari, matanya justru menangkap sesuatu yang membuat darahnya berdesir. Sebuah bra hitam, ukuran 38D, terlipat rapi di pojok. Tangannya bergerak sendiri, meraihnya, lalu mengangkatnya ke wajah. Ia menutup mata, mengendus aroma kain itu. Ingatan tentang kejadian di kamar mandi seketika menyeruak. Ari menggenggam erat bra itu, seolah itu adalah pengganti tubuh Ayu yang selama ini ia idam-idamkan. “Aku pasti akan mendapatkanmu kembali, Yu,” bisiknya dengan suara rendah, penuh nafsu terpendam. Sesuatu di bawah sana langsung bereaksi. Tubuh Ari menegang. Hasratnya memuncak, seperti ombak yang tak lagi mampu ditahan karang.Bantu kasih ulasan bintang 5 ya.... terima kasih :')
Ari tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke jendela, menatap malam yang pekat. Dimas, yang sedari tadi diam, kini menatap Ari. Matanya yang bulat memancarkan kekhawatiran. “Mas Ari, sebenarnya Mbak Ayu ke mana? Dimas kangen.” Pertanyaan itu menusuk Ari, mengingatkannya pada prioritas utamanya. Novia mendongakkan kepala. “Sudah cukup, Ari. Semua sudah cukup. Biarkan Ayu tenang di kota. Dia pasti sudah bisa menata hidupnya. Jangan buat malu lagi.” Ari berbalik. Matanya penuh tekad yang membara. “Tidak, Bu.” Ia berjalan mendekat, menatap Novia lurus-lurus. “Ayu hanya akan aman dan tenang jika disampingku. Aku tidak akan membiarkannya sendirian di sana. Ibu tidak tahu bagaimana tatapan warga kampung padanya, Bu. Dia hancur dan semua itu karena aku dan Ningsih.” “Aku sudah bercerai dengan Ningsih,” tegas Ari. “Aku harus membuktikan kepada Ayu bahwa aku tidak main-main dengannya. Aku akan bawa dia pulang.” Novia melihat tekad yang belum pernah ia lihat pada putranya. Ia hanya bisa
Langit Desa Kemuning benar-benar muram, sama seperti hari-hari sejak kepergian Ayu. Namun, di dalam rumah Ari dan Ningsih yang kecil, suasana jauh lebih tegang dari sekadar mendung. Ari, dengan wajah tegang yang keras seperti batu, duduk di kursi ruang tamu. Ia tidak sendirian.Di sofa, duduk juga Novia, ibunya. Wajahnya bengkak, matanya merah, perpaduan antara rasa malu atas aib yang terjadi dan kekhawatiran yang mendalam pada Ari. Di sampingnya, ada Dimas, anak kecil yang duduk bingung di pangkuan Novia, matanya yang polos menatap Ari.Di seberang mereka, duduk Ayah dan Ibu Ningsih. Wajah mereka pucat pasi, dipenuhi rasa bingung, takut, dan cemas. Ari telah memanggil mereka dengan alasan mendesak, tanpa memberikan petunjuk sedikit pun.“Nak Ari, kenapa bisa jadi begini?” tanya Ibu Ningsih, suaranya bergetar. “Di mana Ningsih sekarang?”Ari hanya menatap mereka dengan tatapan yang dingin dan tajam. “Dia sebentar lagi datang,” jawab Ari datar, suaranya rendah dan penuh bahaya. Ia me
Langit siang Desa Kemuning tampak mendung. Seakan ikut menanggung beban berat di dada Ari. Sejak kemarin, pikirannya tidak bisa tenang. Ia berkali-kali mencoba menghubungi nomor Ayu, tapi yang terdengar hanya suara operator. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.” “Ayu, kamu di mana sekarang?” gumamnya lirih, matanya memandang kosong layar ponsel. Hatinya digelayuti rasa bersalah yang begitu dalam. “Aku bodoh. Kenapa aku biarin semua orang memperlakukan kamu begitu? Aku harusnya melindungi kamu bukan malah membiarkan mereka menyakitimu.” Ari berdiri di tepi ranjang kamarnya, memukul kepalanya sendiri dengan frustrasi. Bayangan wajah Ayu yang menangis semalam terus menghantui pikirannya. Tatapan Ayu yang ketakutan saat dirinya dibawa polisi, tangan Ayu yang sempat meraih namun gagal ia genggam. Semua itu seperti pisau yang menusuk hati. Beberapa waktu lalu, polisi yang menahannya dadi kemarin akhirnya pergi bersama Ningsih dengan motornya. Ari akhirnya memanfaatkan kese
Gemerlap kota menyambut Ayu tanpa mampu mengusir kesedihan di hatinya. Kota itu terasa begitu asing bagi Ayu. Sejak turun dari bus, ia hanya berjalan tanpa arah di trotoar yang ramai orang. Orang-orang lalu-lalang dengan wajah ketus. Tak seorang pun peduli ada seorang perempuan muda dengan mata sembab, langkah gontai, dan wajah penuh kelelahan. “Di mana aku harus tinggal sekarang?” bisiknya pada diri sendiri. Udara kota terasa berbeda. Pengap, penuh debu, dan dingin sekaligus menusuk. Ia menahan rasa sakit di kakinya karena terlalu lama menenteng koper. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena bawaan, melainkan karena beban hidup yang menghimpit dadanya. Sesekali Ayu berhenti, duduk di kursi halte kosong. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang bergetar. Di dalam kepalanya, bayangan warga kampung, tatapan sinis Novia, amarah Om dan Tantenya, semua berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. “Apa aku memang sehina itu? Sampai-sampai mereka t
BRAK! Suara pintu didobrak membuat Ari dan Ayu terlonjak dari posisi mereka. Pakaian yang berantakan, nafas yang masih memburu, kini berubah menjadi ketegangan mencekam. “Astaga, kalian!” teriak suara perempuan dari luar. Ayu membeku. Matanya melebar melihat sosok Ningsih berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah penuh amarah. Di belakangnya, Pak RT, Bu RT, beberapa warga, dan seorang pria berseragam polisi ikut masuk. “Mas, aku takut.” Ayu berbisik panik, tubuhnya masih menempel di dada Ari. Namun mereka tak punya kesempatan untuk menjelaskan. Dalam sekejap, teriakan warga memenuhi ruang tamu sempit itu. “Ketahuan sudah! Perbuatan memalukan di kampung kita!” “Janda nggak tahu diri!” “Astaga, Ari! Kau suami orang, ya Allah!” Ari berdiri cepat, berusaha menutupi Ayu dengan tubuhnya. “Tolong jangan kasar, ini nggak seperti yang kalian lihat!” suaranya parau, mencoba membela. Namun tangan-tangan warga sudah maju, menarik Ari ke samping. Polisi yang rupanya teman lam
“Iya, Mas.” Ayu mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan pelan. “Ah, Mas ....” Kedua tangan Ayu mencengkeram bahu Ari. Kepalanya mendongak. Matanya terpejam, tapi bibirnya tak berhenti mengeluarkan desahan. “Rasanya nikmat sekali, Mas.” Ari menggeram penuh nikmat. Tangannya menurunkan tali tipis di pundak Ayu. Kemudian ia meremas bongkahan payudara besar di hadapannya. “Terus, Yu. Mas suka banget.” Ayu menggigit bibirnya, tak kuasa membalas kata-kata itu. Hanya desah lirih yang lolos, menandakan tubuhnya pun mulai menyerah pada keadaan. Tangannya semakin kuat mencengkeram bahu Ari, merasakan setiap alur otot di balik kemeja tipis itu. Ari mengusap punggungnya dengan lembut, sementara wajahnya semakin dekat. Hembusan napas mereka bertemu, panas dan menggoda. Hingga akhirnya bibir Ari menemukan bibir Ayu. Ciuman itu awalnya lembut, penuh kehati-hatian, namun dengan cepat berubah menjadi dalam dan menuntut. Ayu terhanyut, matanya terpejam rapat, tubuhnya gemet







