Share

BAB 7. KAGET

Penulis: Rich Mama
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-28 12:15:34

Ayu sontak memegang lehernya, refleks menutupi bagian yang dilirik oleh Ningsih. Wajahnya pucat. Tangan yang semula santai kini gelisah, menarik kerah bajunya lebih tinggi, berharap bisa menyembunyikan bekas merah samar yang memang tertinggal di sana.

“Ini, bekas kerokan, Mbak,” jawab Ayu cepat-cepat, tapi suaranya goyah, seperti tali yang nyaris putus.

“Kerokan?” Ningsih mengerutkan kening, lalu berjalan cepat menghampiri Ayu. Mata tajamnya menyisir detail wajah dan postur Ayu yang tampak gugup.

“Jadi kamu berani minta kerokan sama Mas Ari?”

“Bukan Mbak, Mbak Ningsih salah paham. Tadi aku minta bantuan Bu Ita. Kalau nggak percaya Mbak bisa tanya langsung padanya.”

Ari segera melangkah mendekat, berdiri di antara keduanya. Suaranya tenang tapi tegas.

“Ningsih, sudah. Tadi Ayu itu memang kepalanya sedang pusing. Kamu nggak usah nuduh yang tidak-tidak.”

“Tapi bekasnya itu ....” Ningsih menunjuk leher Ayu lagi. “Terlalu aneh untuk dibilang kerokan biasa, Mas. Kamu pikir aku bodoh?”

Ari menarik napas. Dia tahu, Ningsih bukan wanita mudah dibodohi. Tatapan matanya selalu bisa membedakan kebohongan dari kejujuran. Dan kali ini, dia sedang berperang dengan logikanya sendiri.

“Kita lagi di rumah sakit,” ucap Ari perlahan. “Dimas sedang dirawat. Apa kamu yakin mau bikin keributan di sini?”

Ningsih terdiam. Tapi diamnya bukan menyerah, melainkan menahan gejolak yang makin membara di dadanya.

“Mas,” katanya pelan tapi tajam, “aku akan tanya sendiri ke Bu Ita. Kalau ternyata kalian berdua bohong, aku nggak akan diam.”

“Ningsih.” Ari mencoba memegang bahu istrinya, tapi perempuan itu mengelak.

“Jangan sentuh aku.”

Setelah mengatakan kalimat itu, Ningsih pun pergi membawa anaknya.

Ari mendekati Ayu. “Yu, kenapa kamu bilang kayak gitu? Gimana kalau Bu Ita nanti bilang yang sebenarnya ke Ningsih?” tanya Ari merasa was-was. Suaranya pelan namun jelas menunjukkan kekhawatiran.

Ayu menggigit bibir. Matanya memerah, hampir berkaca-kaca. “Semoga saja tidak, Mas. Soalnya tadi kita juga udah ngasih uang kepadanya.”

Ari menarik napas panjang, lalu mengangkat tangan dan mengusap kepala Ayu dengan lembut. Sentuhannya terasa menenangkan, meski pikirannya terus berputar mencari solusi.

“Kalau begitu masuklah. Pasti Dimas sudah menunggumu. Aku mau nyusul Ningsih sebentar. Takut dia kenapa-kenapa.”

Ayu menarik ujung baju Ari, menghentikannya sejenak. “Hati-hati ya, Mas?”

Ari mengangguk sambil tersenyum tipis. “Nanti aku ke sini lagi. Sekalian aku coba alihkan perhatian Ningsih biar nggak pergi ke rumah Bu Ita.”

Ari hendak melangkah pergi, namun Ayu buru-buru meraih tangannya. Tatapan matanya penuh penyesalan.

“Maafkan Ayu ya, Mas. Semua salahku.”

Ari menggenggam tangan Ayu erat. “Tidak, Yu. Kamu tidak salah. Aku yang tidak bisa menahan diri.”

Keduanya terdiam. Suasana hening sesaat.

Ari akhirnya melepas genggaman itu dan melangkah keluar. Ayu berdiri mematung, menatap punggung Ari yang perlahan menghilang. Ia mengusap wajahnya, mencoba menyembunyikan air mata yang mengalir pelan.

Ayu menghela napas panjang. Ia menatap pintu kamar di hadapannya.

Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dari dalam. Seorang perawat keluar sambil membawa nampan kecil berisi suntikan kosong. Ia tersenyum sopan.

“Keluarganya Dimas? Silakan masuk, ya. Dimas sudah sadar.”

Ayu langsung tersentak. Wajahnya sedikit bersinar.

“Terima kasih, suster,” ucap Ayu cepat-cepat, lalu berjalan masuk dengan langkah tergesa.

“Dimas, Mbak Ayu datang,” ucap Ayu setelah melangkah masuk mendekati Dimas.

Anak kecil itu memandangnya dengan mata sendu, masih lemah, tapi tersenyum saat melihat Ayu.

“Mbak Ayu,” gumamnya pelan.

Ayu langsung duduk di tepi ranjang dan mengusap kepala Dimas dengan lembut. “Iya, Sayang … mbak di sini. Maaf ya, menunggu lama. Tadi kepala mbak agak pusing.”

“Nggak papa. Dimas senang Mbak Ayu mau datang ke sini, tapi tadi Dimas mimpi Mbak Ayu nangis. Dimas takut.”

Air mata mengambang di pelupuk Ayu. Ia menunduk, mencium dahi Dimas, lalu memeluk tubuh kecil itu penuh sayang.

“Mbak Ayu ggak akan ninggalin Dimas kan?” tanya Dimas, matanya mulai berkaca-kaca.

Ayu mengangguk. “Nggak akan, Sayang. Mbak Ayu akan selalu di sini menemani kamu, sampai kamu diperbolehkan pulang dari rumah sakit.”

***

Di tepi jalan, Ari berhasil menemukan Ningsih. Perempuan itu berdiri sambil melipat tangan di dada, jelas sedang menunggu kendaraan umum lewat.

“Ningsih,” panggil Ari sambil mendekat.

Ningsih menoleh cepat, sorot matanya langsung tajam. “Mas, kamu jangan ikut campur dulu. Aku mau memastikan sesuatu.”

Ari menelan ludah. “Aku ngerti kamu curiga, tapi ini rumah sakit.”

“Aku nggak akan bikin keributan di rumah sakit. Aku mau ke rumah Bu Ita,” jawab Ningsih, suaranya tertahan tapi emosinya tak bisa disembunyikan.

Ari berdiri di hadapannya. “Tapi kamu salah paham. Ayu cuma butuh bantuan dan kebetulan aku ada di situ. Aku nggak bermaksud apa-apa.”

Ningsih mendengus. “Kamu pikir aku bodoh? Dari dulu kamu terlalu baik sama Ayu. Kamu nggak lihat dia itu janda, Mas. Janda! Dan kamu itu suami orang.”

“Justru karena itu aku bantu dia. Dia sendirian, Ning. Kamu pun tahu bagaimana tetangga memperlakukannya. Kalau bukan kita yang bantu, siapa lagi?”

Ningsih menatap Ari dengan mata memerah. “Masalahnya bukan bantuannya, tapi perasaanmu. Kamu pikir aku nggak lihat? Tiap kamu lihat Ayu, matamu beda.”

Ari terdiam. Kata-kata itu menamparnya keras. Ia tak bisa membantah, tapi ia juga tak tahu harus berkata apa.

“Aku cuma ingin menolong, Ning. Nggak lebih.”

“Kalau begitu buktikan. Jangan kamu tutupi apa pun dariku. Aku tetap akan ke rumah Bu Ita. Aku mau dengar langsung dari dia.”

“Ya, sudah aku antarkan kamu ke sana. Tunggu sebentar,” ucap Ari dan segera berlalu untuk mengambil motornya.

Di perjalanan mereka sudah terlebih dahulu bertemu dengan Bu Ita. Perempuan paruh baya itu tampak kaget ketika melihat Ningsih dan Ari menghampirinya.

“Eh, Ningsih. Ada apa ya?” tanyanya.

Ningsih langsung maju. “Maaf Bu, saya mau tanya. Tadi siang, Ayu bilang dia minta tolong kerokan sama Ibu. Apa benar?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 37. TIDAK BOLEH MENYERAH

    Ari tidak menjawab. Ia hanya berjalan ke jendela, menatap malam yang pekat. Dimas, yang sedari tadi diam, kini menatap Ari. Matanya yang bulat memancarkan kekhawatiran. “Mas Ari, sebenarnya Mbak Ayu ke mana? Dimas kangen.” Pertanyaan itu menusuk Ari, mengingatkannya pada prioritas utamanya. Novia mendongakkan kepala. “Sudah cukup, Ari. Semua sudah cukup. Biarkan Ayu tenang di kota. Dia pasti sudah bisa menata hidupnya. Jangan buat malu lagi.” Ari berbalik. Matanya penuh tekad yang membara. “Tidak, Bu.” Ia berjalan mendekat, menatap Novia lurus-lurus. “Ayu hanya akan aman dan tenang jika disampingku. Aku tidak akan membiarkannya sendirian di sana. Ibu tidak tahu bagaimana tatapan warga kampung padanya, Bu. Dia hancur dan semua itu karena aku dan Ningsih.” “Aku sudah bercerai dengan Ningsih,” tegas Ari. “Aku harus membuktikan kepada Ayu bahwa aku tidak main-main dengannya. Aku akan bawa dia pulang.” Novia melihat tekad yang belum pernah ia lihat pada putranya. Ia hanya bisa

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 36. JAHAT

    Langit Desa Kemuning benar-benar muram, sama seperti hari-hari sejak kepergian Ayu. Namun, di dalam rumah Ari dan Ningsih yang kecil, suasana jauh lebih tegang dari sekadar mendung. Ari, dengan wajah tegang yang keras seperti batu, duduk di kursi ruang tamu. Ia tidak sendirian.Di sofa, duduk juga Novia, ibunya. Wajahnya bengkak, matanya merah, perpaduan antara rasa malu atas aib yang terjadi dan kekhawatiran yang mendalam pada Ari. Di sampingnya, ada Dimas, anak kecil yang duduk bingung di pangkuan Novia, matanya yang polos menatap Ari.Di seberang mereka, duduk Ayah dan Ibu Ningsih. Wajah mereka pucat pasi, dipenuhi rasa bingung, takut, dan cemas. Ari telah memanggil mereka dengan alasan mendesak, tanpa memberikan petunjuk sedikit pun.“Nak Ari, kenapa bisa jadi begini?” tanya Ibu Ningsih, suaranya bergetar. “Di mana Ningsih sekarang?”Ari hanya menatap mereka dengan tatapan yang dingin dan tajam. “Dia sebentar lagi datang,” jawab Ari datar, suaranya rendah dan penuh bahaya. Ia me

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 35. MENEMUKANMU

    Langit siang Desa Kemuning tampak mendung. Seakan ikut menanggung beban berat di dada Ari. Sejak kemarin, pikirannya tidak bisa tenang. Ia berkali-kali mencoba menghubungi nomor Ayu, tapi yang terdengar hanya suara operator. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.” “Ayu, kamu di mana sekarang?” gumamnya lirih, matanya memandang kosong layar ponsel. Hatinya digelayuti rasa bersalah yang begitu dalam. “Aku bodoh. Kenapa aku biarin semua orang memperlakukan kamu begitu? Aku harusnya melindungi kamu bukan malah membiarkan mereka menyakitimu.” Ari berdiri di tepi ranjang kamarnya, memukul kepalanya sendiri dengan frustrasi. Bayangan wajah Ayu yang menangis semalam terus menghantui pikirannya. Tatapan Ayu yang ketakutan saat dirinya dibawa polisi, tangan Ayu yang sempat meraih namun gagal ia genggam. Semua itu seperti pisau yang menusuk hati. Beberapa waktu lalu, polisi yang menahannya dadi kemarin akhirnya pergi bersama Ningsih dengan motornya. Ari akhirnya memanfaatkan kese

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 34. LUKA

    Gemerlap kota menyambut Ayu tanpa mampu mengusir kesedihan di hatinya. Kota itu terasa begitu asing bagi Ayu. Sejak turun dari bus, ia hanya berjalan tanpa arah di trotoar yang ramai orang. Orang-orang lalu-lalang dengan wajah ketus. Tak seorang pun peduli ada seorang perempuan muda dengan mata sembab, langkah gontai, dan wajah penuh kelelahan. “Di mana aku harus tinggal sekarang?” bisiknya pada diri sendiri. Udara kota terasa berbeda. Pengap, penuh debu, dan dingin sekaligus menusuk. Ia menahan rasa sakit di kakinya karena terlalu lama menenteng koper. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena bawaan, melainkan karena beban hidup yang menghimpit dadanya. Sesekali Ayu berhenti, duduk di kursi halte kosong. Ia menunduk, mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang bergetar. Di dalam kepalanya, bayangan warga kampung, tatapan sinis Novia, amarah Om dan Tantenya, semua berputar seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. “Apa aku memang sehina itu? Sampai-sampai mereka t

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 33. TAKUT SENDIRIAN

    BRAK! Suara pintu didobrak membuat Ari dan Ayu terlonjak dari posisi mereka. Pakaian yang berantakan, nafas yang masih memburu, kini berubah menjadi ketegangan mencekam. “Astaga, kalian!” teriak suara perempuan dari luar. Ayu membeku. Matanya melebar melihat sosok Ningsih berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah penuh amarah. Di belakangnya, Pak RT, Bu RT, beberapa warga, dan seorang pria berseragam polisi ikut masuk. “Mas, aku takut.” Ayu berbisik panik, tubuhnya masih menempel di dada Ari. Namun mereka tak punya kesempatan untuk menjelaskan. Dalam sekejap, teriakan warga memenuhi ruang tamu sempit itu. “Ketahuan sudah! Perbuatan memalukan di kampung kita!” “Janda nggak tahu diri!” “Astaga, Ari! Kau suami orang, ya Allah!” Ari berdiri cepat, berusaha menutupi Ayu dengan tubuhnya. “Tolong jangan kasar, ini nggak seperti yang kalian lihat!” suaranya parau, mencoba membela. Namun tangan-tangan warga sudah maju, menarik Ari ke samping. Polisi yang rupanya teman lam

  • Hasrat Terlarang Kakak Ipar   BAB 32. RASANYA NIKMAT SEKALI

    “Iya, Mas.” Ayu mulai menggerakkan pinggulnya maju mundur dengan pelan. “Ah, Mas ....” Kedua tangan Ayu mencengkeram bahu Ari. Kepalanya mendongak. Matanya terpejam, tapi bibirnya tak berhenti mengeluarkan desahan. “Rasanya nikmat sekali, Mas.” Ari menggeram penuh nikmat. Tangannya menurunkan tali tipis di pundak Ayu. Kemudian ia meremas bongkahan payudara besar di hadapannya. “Terus, Yu. Mas suka banget.” Ayu menggigit bibirnya, tak kuasa membalas kata-kata itu. Hanya desah lirih yang lolos, menandakan tubuhnya pun mulai menyerah pada keadaan. Tangannya semakin kuat mencengkeram bahu Ari, merasakan setiap alur otot di balik kemeja tipis itu. Ari mengusap punggungnya dengan lembut, sementara wajahnya semakin dekat. Hembusan napas mereka bertemu, panas dan menggoda. Hingga akhirnya bibir Ari menemukan bibir Ayu. Ciuman itu awalnya lembut, penuh kehati-hatian, namun dengan cepat berubah menjadi dalam dan menuntut. Ayu terhanyut, matanya terpejam rapat, tubuhnya gemet

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status