LOGINDua jam kemudian, Greg sudah tiba di gedung Kantor Polisi Hackney. Dia membuka pintu ruangannya, yang terletak di lantai dua, dengan satu dorongan. Hidung dan kulitnya menyapa udara pengap dari pendingin ruangan yang selalu terlalu pelit menyesuaikan suhu.
Greg menyempatkan diri untuk tidur selama satu jam di parkiran tadi. Matanya masih sembab. Kemejanya masih berbau asap rokok, sisa pertemuannya dengan Bill Dickinson, sang kepala kepolisian Hackney, tiga jam lalu. Dan mantelnya... masih berbau kopi dari sebuah insiden dengan seorang wanita berambut pirang. Meja kerjanya tidak menyambut dengan kekosongan. Ada sebuah kotak kecil berwarna coklat tua. Kotak itu diletakkan rapi seperti kado ulang tahun yang terlambat. Tanpa bicara, Greg menjatuhkan map dari pertemuan tadi ke tumpukan berkas. Dia meletakkan tas laptopnya di atas meja, melepas mantelnya dan menatap paket itu beberapa detik. Tidak ada nama pengirim. Tidak ada logo perusahaan ekspedisi. Hanya alamat kantor polisi pusat dan namanya. Semua ditulis tangan, miring, dengan tinta biru yang mulai luntur. Greg tidak terkejut. Dia membuka laci dan menarik keluar sarung tangan lateks. Tangannya terlatih. Gerakannya lembut tetapi mantap. Dengan pisau kecil pembuka surat, dia membelah segel. Kotak itu terbuka. Diiringi bau busuk yang seketika menyergap. Setelah berkarir di kepolisian selama 15 tahun, di usianya yang sekarang menginjak angka 37, hal-hal semacam ini bukan lagi kejutan bagi Greg. Apalagi, semenjak dia mulai membersihkan divisinya dari para personel yang bermasalah. Dan, Greg, lebih seringnya bisa menyebutkan dengan tepat siapa pelaku tindakan ilegal tersebut. Untuk kemudian mengirim mereka ke sel. Greg mengambil kantong bukti. Dengan cepat tetapi hati-hati, dia memasukkan seluruh isi paket ke dalamnya. Setelah selesai, Greg mengaktifkan interkom dan berbicara ke resepsionis yang merangkap sekretaris tim. "Minta Roger ambil ini di ruanganku, Lucy. Lalu, kirim ke forensik." "Baik, Inspektur," sahut Lucy dengan suara lembutnya. Greg menutup telepon, lalu menekan nomor internal lain. "Ethan. Selidiki Junssen dan Leech. Seorang dari mereka mencoba mengintimidasiku. Pastikan dia masuk ke sel sebelum tengah malam." Jawaban di seberang datang dengan cepat. "Siap, Komandan." Kedua nama yang Greg sebutkan tadin Carl Junssen dan Barry Leech, baru dikeluarkan dua minggu lalu. Dapat dipastikan, mereka sama-sama masih dendam. Greg kembali duduk menyandarkan punggung di kursi. Bahunya pegal tetapi pikirannya tetap tajam. Dia mengeluarkan selembar kertas yang terlipat di saku mantelnya. Greg membaca tulisan di atasnya sekali lagi. Saat dia memejam sejenak, wanita tadi, si pirang pemilik kertas itu, langsung terbayang. Greg tidak tahu kenapa. Namun, dia yakin wajah itu akan muncul lagi. Lebih tepatnya, muncul di sesuatu yang lebih besar. ** Pagi itu dimulai dengan Greg kembali menekuni berkas-berkas milik anggota timnya. Tanpa terasa, waktu terus bergerak hingga menjelang jam sembilan. Ini bukan rutinitas biasa. Ini bukan laporan kasus. Melainkan evaluasi berkala tiap anggota. Greg tahu ada yang berubah sejak kasus seorang pelaku pembunuhan atas wanita penghibur melarikan diri dalam proses penyelidikan. Dia merasa perlu melihat kembali ke dalam. Bukan hanya ke arah pelaku yang belum tertangkap. Tetapi ke arah timnya sendiri. Dia menilai mereka berdasarkan senioritas. Bukan peringkat. Greg selalu percaya bahwa keandalan tidak selalu datang dari pangkat. Melainkan dari intuisi dan stabilitas mental yang kadang tidak tercermin di atas kertas. Beberapa laporan menunjukkan pola mengkhawatirkan. Ketegangan meningkat di antara anggota, investigasi terlalu cepat ditutup, beberapa saksi merasa ditekan. Greg membaca dengan perlahan, mencoret-coret dengan pena merah di bagian tertentu, menggarisbawahi catatan emosional yang muncul dalam laporan internal. Dia berhenti cukup lama di laporan Rachel Bishop. Detektif muda yang cerdas, cepat bertindak, dan memiliki reputasi tak kenal takut, tetapi juga sering melampaui batas. Dua minggu lalu, Rachel menerima teguran ringan karena memeriksa rumah seorang tersangka tanpa surat resmi. Seminggu kemudian, dia menghadiri sesi konseling karena ketegangan pasca kasus penculikan dan penyerangan fisik oleh kelompok sekte terorganisir. Semua itu tersimpan dalam dokumen, dan kini tampak lebih relevan dari sebelumnya. Greg mendesah panjang. Lalu menutup map dan meraih cangkir kopinya. Isinya sudah dingin akibat didiamkan terlalu lama. Dia akan menyusun ulang tim jika perlu. Akan tetapi, belum sekarang. Saat dia sedang menekuri formasi baru yang akan dibuatnya, telepon meja berdering tajam. Mengusik keheningan pagi seperti alarm tanda bahaya. Greg menjawab cepat. "Evans." "Greg, ini Rachel," tutur suara di seberang sana. Nada suara Rachel terdengar lebih berat dari biasanya. "Ethan sedang mengurus Barry. James masih dalam penerbangan. Jadi, aku meneleponmu." "Ada apa?" "Kita dapat kasus baru. Korbannya seorang penulis. Meninggal kurang lebih tiga jam lalu. Lokasi di Mayfair. Namanya Clarissa Maynard." Greg menegakkan punggungnya. "Penulis?" "Masih muda. Tiga puluh tahun. Ditemukan mati pagi ini oleh tetangga sebelah rumahnya. Lehernya..." Rachel terdiam sesaat, seolah harus memastikan dia tidak terdengar berlebihan. "Lehernya ditusuk dengan besi tombol huruf dari mesin tik tua. Mesin ketik itu ada di atas kepalanya." Greg menyipitkan mata. "Mesin ketik? Bukan benda umum di tahun 2012." "Justru itu. Sepertinya pelaku sengaja mencari perhatian." Greg terdiam. Waktu seolah berhenti sejenak. Bunyi detik jam menjadi lebih lambat. "Kurasa kau harus ke TKP. Polisi lokal sudah memasang garis kuning. Tetapi kurasa... ini... ini bukan pembunuhan biasa," lanjut Rachel gugup. Greg berdiri lalu meraih mantelnya. “Aku berangkat sekarang.” Bersambung…Pintu di belakang Tara menutup dan terkait dengan suara pelan. Seolah mengunci mereka berdua di dalam ruangan yang intim itu. Wanita itu mempersilakan Greg mendahuluinya, melewati dapur kecil yang temaram.Tara tidak tahu pasti. Alasan apa yang bisa membuatnya membiarkan pria asing bernama Gregory Evans itu masuk. Selain karena pria itu menunjukkan pengenal sebagai polisi. Mungkin... ketakjuban, yang membuatnya nyaris tak bisa memercayai penglihatannya sendiri. Pria bermantel abu-abu di trotoar stasiun Holloway Road pagi tadi... yang seperti tokoh detektif di film noir... yang buru-buru Tara hindari... kini berdiri di depannya.Tara yakin. Itu dia. Tidak salah lagi. Meskipun, pria itu telah mengganti mantel dengan blazer yang juga berwarna abu-abu. Blazer yang pas membentuk bahu lebarnya, yang kontras dengan keadaan Tara yang kacau.Rambut hitamnya. Mata kelabunya. Celana jeans gelap. Aroma parfum bercampur tembakau yang sama meskipun lebih pudar. Tara tidak mungkin lupa. Dan di
Greg tidak langsung keluar dari mobil saat tiba di Notting Hill. Pria itu duduk diam di belakang kemudi. Matanya menatap bangunan apartemen bata merah di seberang jalan. Di atasnya, langit mulai berubah warna. Dari kelabu pucat menjadi kelabu pekat. Seperti sesuatu yang sedang menantinya di depan sana.Tangan kirinya bertumpu di atas kemudi. Jari-jarinya menyentuh permukaan jam tangan dengan tali kulit hitam. Benda itu masih terawat. Hadiah dari institusi dua tahun lalu. Setelah Greg berhasil menutup kasus pembunuhan satu keluarga di Camden. Kasus yang merusak tidur banyak orang. Termasuk dirinya.Kasus itu juga yang membawanya ke posisi Kepala Detektif Inspektur, sekaligus menghancurkan kehidupan pribadinya.Hari ini, rasa itu kembali.Akan tetapi, ada yang berbeda.Sesuatu tentang wanita bernama Tara Bradley membuat pikirannya tidak bergerak dengan logika yang biasa.Apakah ini soal insting penyelidikannya......atau sesuatu yang lebih intim?Dalam hati, Greg mengakui. Ini bukan k
Greg baru saja hendak menekan tombol interkom ketika pintunya diketuk. "Masuk," ujarnya tanpa menoleh.Dari balik pintu, seorang wanita muda, lebih muda dari Tara, dengan rambut coklat berpotongan bob dan poni rata muncul. Tubuhnya yang mungil dibungkus gaun formal biru muda dan cardigan putih. Sebuah kontras dibandingkan dengan maskulinitas yang mengisi setiap sudut kantor polisi Hackney. Seakan mempertegas perbedaan itu, di tangannya, ada sebuah piring berisi beberapa potong pastries. "Snack sore dari Komandan, Inspektur," ucap wanita itu, Lucy Redcliff, semringah. Matanya yang biru terang berbinar-binar. Kehadirannya di ruangan Greg seperti sinar matahari kebahagiaan yang menyusup di tengah badai yang tak kunjung reda. Justru karena itulah, jadi terasa asing dan menjengkelkan. Greg mengangkat wajahnya, ekspresi wajahnya yang semula tegang melembut. Sebuah respon yang sudah dia latih. Agar Lucy merasa nyaman dan kerasan bekerja bersamanya.Pria itu tertawa rendah. "Terima kasih,
Sore menjelang ketika ponsel Greg berdering. Getaran kecil di atas meja membuat cangkir kopinya ikut bergetar. Di layar, muncul nama Liam Stewart. Pena Greg yang semula bergerak di atas lembaran evaluasi tim, langsung terjatuh di atasnya. "Ya, Liam.""Inspektur," balas Liam dengan suaranya yang parau dan cepat. Seperti seseorang berhari-hari terkena serangan insomnia. "Aku sudah menemukan info soal Tara Bradley dan nama pena Violet Crow.""Langsung saja, Liam," perintah Greg sambil memijat pelipisnya.Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan ke jendela. Pria itu mengintip ke halaman gedung dari balik tirai aluminium yang setengah tertutup. Dari tempatnya berdiri, Greg bisa melihat bentangan langit kelabu dihiasi matahari pukul tiga yang enggan bersinar. Sepertinya, gerimis masih akan turun seperti kasus yang tak pernah berhenti berdatangan.Di trotoar halaman markas, beberapa petugas beristirahat. Mereka berbincang, mengepulkan asap rokok, dan menyesap kopi dari gelas kertas. Seoran
Hari menjelang siang. Jejak hujan di permukaan aspal mulai mengering. Suasana di salah satu jalan di kawasan Notting Hill itu diliputi keheningan. Sebagian besar penghuni pergi bekerja atau beraktivitas di dalam ruangan.Di dalam apartemen kecilnya, Tara mencoba mengalihkan perhatian dari pesan misterius yang tadi diterimanya. Ada tugas dari Kepala Perpustakaan Kota Notting Hill, tempat dia bekerja. Tugas itu harus selesai sebelum pukul tiga. Hari ini adalah hari libur perpustakaan. Seharusnya, Tara bebas tugas. Namun, seperti pegawai lainnya, dia tidak berani menolak perintah Ellaine Stapleton. Tara tidak mau ambil risiko terus menerus ditekan sampai akhirnya terpaksa mengundurkan diri.Ponsel dia matikan dan sembunyikan di kabinet dapur. Agar tidak membuyarkan konsentrasinya."Itu hanya orang iseng," pikir Tara sambil mendengus pelan, setengah menghibur diri. Berupaya mengenyahkan kegundahannya.Pandangannya kini tertuju pada halaman kosong di layar laptop. Jemarinya bertengger di
Udara siang itu terasa lembab ketika Greg kembali ke kantor. Bekas hujan masih membayang di kaca mobilnya. Dia melangkah cepat, seolah-olah ingin menyalip detak jarum jam yang berputar tanpa terasa. Pria itu bahkan melewatkan ajakan makan siang dari Rachel.Tak ingin membuang waktu, Greg langsung menuju ruangannya. Dia melewati lorong yang dipenuhi aroma kopi, kepulan asap rokok, dan dengungan printer tua, tanpa menyapa siapapun. Sesampainya di meja, Greg membuka ponselnya. Di dalamnya, ada beberapa foto yang berisi hasil bidikan yang telah membuatnya gelisah sejak meninggalkan TKP Clarissa Maynard. Jemarinya menekan dan memperbesar gambar di dalamnya. Bab satu naskah The Silent Slasher yang ditulis oleh seorang penulis bernama Violet Crow. Nama yang terdengar asing. Entah memang dia tidak terkenal. Atau, Greg yang belum pernah mendengar namanya.Pria itu menarik napas dalam-dalam, lalu menarik kursi dan membenamkam punggung di sandaran. Tangannya membuka folder gallery perlahan. S







