Beranda / Romansa / Hasrat Terlarang Sang Detektif / Bab 3. Halaman yang Hilang

Share

Bab 3. Halaman yang Hilang

Penulis: Nina Milanova
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-11 16:03:06

Notting Hill pagi itu kelabu. Bahkan ketika matahari sudah tinggi. Cahaya hanya menyusup melalui celah tirai apartemen kecil di lantai tiga bangunan bata merah tua itu. Debu-debu di udara menari di antara sinar kuning lembut yang masuk dari jendelanya.

Di depan meja makan kecil yang juga berfungsi sebagai meja kerja, Tara Bradley berdiri menatap setumpuk naskah. Kertas-kertas itu sudah mengering setelah terkena cipratan hujan dan kopi pagi tadi. Akan tetapi, halaman depannya hilang.

Halaman depan dengan judul novel dan nama pena itu lenyap entah ke mana. Tara menerka, itu pasti gara-gara insiden di Holloway Road. Padahal, Tara yakin tadi, tak ada lembaran naskahnya yang tertinggal di jalanan.

Keringat dingin membasahi telapak tangannya. Hilangnya lembaran itu terasa seperti hilangnya kubah pengaman yang memisahkannya dari dunia nyata.

Ingatannya melayang pada adegan tabrakan dengan seorang pria tinggi berambut gelap dan bermantel abu-abu, seperti warna manik matanya. Seorang pria yang tampak seperti baru keluar dari layar film noir. Bagaimana bisa pria seperti dia malah berkeliaran di atas trotoar basah London sepagi itu?

Tara mengembuskan napas panjang mengusir bayangan yang mulai terasa mengganggu. Dia mengalihkan fokusnya pada layar laptop.

The Silent Slasher

Oleh: Violet Crow

Nama pena itu kini jadi terasa ganjil. Dia memilihnya bertahun lalu. Pada masa-masa ketika dia masih yakin bisa menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya di balik nama asing dan eksentrik itu. Namun sekarang... sesuatu terasa janggal.

Tangannya kembali menyentuh tumpukan hasil cetakan naskah. Ada bagian pojok kertas yang robek sedikit di tepinya. Bekas terjepit sepatu ketika dia berjongkok di trotoar pagi tadi. Rasa sesal menelusup perlahan. Seperti kopi yang menetes dari saringan yang rusak.

Dia seharusnya menerima tawaran penjaga Black Ink, kedai percetakan 24 jam, tempat dia mencetak naskahnya. Tawaran kantong plastik gratis untuk melindungi naskahnya dari cuaca London yang sulit ditebak. Tara menolak dengan alasan, "Aku tidak akan lama."

Sekarang, ada halaman yang hilang. Mungkin terbang jauh tertiup angin. Meskipun, Tara bersikeras seharusnya naskah itu tidak hilang. Sebab, kehilangan selembar kertas tipis itu membuatnya gelisah.

Bagi Tara, setiap halaman dalam naskah itu adalah bagian dari dirinya. Pikiran, mimpi buruk, rasa takut, dan mungkin juga dosa-dosa yang tidak pernah dia akui pada siapapun. Hilangnya satu lembar, bahkan hanya cover, membuatnya merasa seperti kehilangan sepotong identitas. Atau lebih buruk, seperti memberi izin tanpa sengaja pada dunia luar untuk membaca dosa-dosa tergelapnya.

Dia menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Suara sisa hujan masih menetes di luar, mengenai talang logam, menghasilkan bunyi lembut yang berulang-ulang.

Tara mengangkat cangkir, menyeruput sedikit, lalu meringis. Rasanya dingin dan pahit. Seperti angan-angannya yang seringkali disabotase orang.

Wanita itu mendesah dan berjalan menuju jendela. Dari sana, dia bisa melihat jalan sempit di bawah. Seorang pria tua dengan anjing kecil melintas, dan aroma roti panggang dari kafe di ujung blok menembus udara lembab.

Notting Hill selalu punya pesonanya sendiri. Akan tetapi, pagi ini, semua tampak datar.

Tara kembali ke meja. Dia menyusun ulang naskahnya, memeriksa satu per satu halaman. Tangannya gemetar sedikit karena cemas. Sekarang, dia yakin semua lembar masih ada. Hanya satu yang hilang. Halaman depan dengan judul besar dan nama pena yang tebal.

Namun, di benaknya, satu bayangan wajah kembali muncul. Bukan sekali dua kali. Wajah itu terus muncul. Semenjak insiden tabrakan di depan stasiun bawah tanah beberapa jam lalu. Pria bermantel abu-abu itu.

Tara merasakan desiran aneh di dadanya setiap kali mengingat suara baritonnya yang dalam ketika meminta maaf. Dan, cara pria itu menatap Tara, bukan seperti orang asing yang menabrak seseorang. Melainkan seperti seseorang yang telah lama mengenali.

Tubuhnya meremang oleh rasa yang sulit dijelaskan. Seulas lengkung tergambar di bibirnya dengan lebih jelas.

Tara sendiri tidak tahu alasannya. Mungkin karena pria itu tampak seperti seseorang yang seharusnya sudah pernah dia tulis.

Rambut hitamnya yang berpotongan klasik sedikit berantakan oleh angin dan kasus yang merenggut tidur malamnya. Ada gurat kelelahan di mata abu-abunya yang seperti langit London ketika hujan di musim gugur. Namun, tatapannya tetap jernih, fokus, dan mengendalikan.

Pria itu bukan tipe yang mudah gugup. Bukan pula tipe yang sibuk mencari kesan. Semua tindakannya efisien. Seperti seseorang yang terbiasa menghadapi bahaya.

Tara menutup mulutnya karena hampir tertawa oleh letupan euforia membayangkan pria itu. Dia menatap tumpukan naskahnya lagi. "Cocok jadi tokoh utama," gumamnya pelan.

Tangannya bergerak cepat meraih buku catatan dan pena yang langsung menari di atas kertas. Kebiasaannya setiap kali ide datang mendadak.

Tokoh baru. Pria misterius. Wajah tampan yang lelah tetapi berwibawa. Parfum segar dan sedikit pahit. Matanya tajam. Punya rahasia yang tidak ingin dibagikan kepada siapa pun. Seorang pria yang bisa merobohkan dan membangun dirinya sendiri.

Namun, tiba-tiba, gerakan penanya berhenti. Tara menatap tulisan itu lama.

Rahasia yang tidak ingin dibagikan kepada siapa pun.

Kalimat itu membuat tengkuknya seperti diterpa hembusan dingin. Tara meneguk ludah, lalu buru-buru menutup buku catatannya.

Pria seperti itu... mengingatkannya pada satu sosok yang pernah dikenalnya. Sosok yang sudah lama hilang dari hidup Tara, tetapi meninggalkan jejak yang seharusnya sudah terkubur dalam-dalam.

Tara mencoba menepis firasat aneh yang tiba-tiba muncul di benaknya. Tentang naskah itu. Tentang pertemuan pagi tadi. Tentang rasa terancam yang sulit dijelaskan.

"Apa dia yang mengambil halaman depan itu? Tapi untuk apa? Ah, mungkin ini hanya paranoia," pikirnya. Tara sudah terbiasa hidup dengan itu.

Diambilnya ponsel di meja dan membuka aplikasi pesan. Ada beberapa notifikasi dari temannya di perpustakaan yang menanyakan kabar dan undangan untuk minum teh sore nanti. Namun, matanya terpaku pada satu pesan tak dikenal yang baru masuk pukul 08.13.

Pesan itu hanya berisi satu kalimat. Tanpa nama pengirim.

"Aku membaca naskahmu, Violet Crow. The Silent Slasher. Tajam, dingin, anyir. Seperti aroma dosa. Akhirnya kau menulis sesuatu yang benar."

Jantung Tara berhenti berdetak sejenak. Dia menatap layar itu lama. Jemarinya menggenggam ponsel erat-erat.

Tidak mungkin. Tidak ada yang bisa membaca The Silent Slasher kecuali dirinya sendiri.

Naskah itu baru dicetak tadi malam. File-nya memang dia kirim ke kedai percetakan dan baru dia ambil pagi tadi. Namun, sebelum pergi, Tara sudah memastikan petugas menghapusnya dari komputer mereka.

Saat ini, naskah itu hanya tersimpan di laptop pribadi. Apakah ada yang meretas laptopnya dan mengambil tulisannya?

Tangannya mulai berkeringat. Ponsel itu nyaris terlepas dari genggamannya.

Tara menatap sekeliling apartemen. Semua tampak sama. Akan tetapi, di antara semua itu, ada sesuatu yang mendadak terasa... berbeda.

Udara terasa lebih berar. Sunyi terasa lebih menusuk.

Tara menatap jendela. Seseorang bisa saja memata-matainya dari luar, tetapi dia tinggal di lantai tiga. Jadi, itu mustahil.

Dia berusaha tertawa kecil untuk menenangkan diri. "Oke, Tara, mungkin hanya spam. Mungkin orang iseng yang tahu nama pena 'Violet Crow' dari akun lamamu."

Saat dia menatap ponsel itu lagi, notifikasi baru muncul.

"Jangan khawatir. Aku menyukai ending-nya. Tapi kurasa kita bisa menulis ulang sedikit... bersama."

Pesan itu diakhiri dengan emoji pena.

Tara menjatuhkan ponselnya ke lantai. Jantungnya berdetak makin cepat sampai suaranya seakan memenuhi ruangan.

Di luar jendela, langit London masih berwarna abu-abu. Burung-burung camar melintas rendah. Dan di suatu tempat, mungkin tidak jauh dari apartemen kecil itu, seseorang sedang menatap layar lain. Membaca setiap kata yang Tara tulis, bahkan mungkin yang belum siap dia publikasikan.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Terlarang Sang Detektif   Bab 10. Bayangan yang Menjadi Nyata 2

    Pintu di belakang Tara menutup dan terkait dengan suara pelan. Seolah mengunci mereka berdua di dalam ruangan yang intim itu. Wanita itu mempersilakan Greg mendahuluinya, melewati dapur kecil yang temaram.Tara tidak tahu pasti. Alasan apa yang bisa membuatnya membiarkan pria asing bernama Gregory Evans itu masuk. Selain karena pria itu menunjukkan pengenal sebagai polisi. Mungkin... ketakjuban, yang membuatnya nyaris tak bisa memercayai penglihatannya sendiri. Pria bermantel abu-abu di trotoar stasiun Holloway Road pagi tadi... yang seperti tokoh detektif di film noir... yang buru-buru Tara hindari... kini berdiri di depannya.Tara yakin. Itu dia. Tidak salah lagi. Meskipun, pria itu telah mengganti mantel dengan blazer yang juga berwarna abu-abu. Blazer yang pas membentuk bahu lebarnya, yang kontras dengan keadaan Tara yang kacau.Rambut hitamnya. Mata kelabunya. Celana jeans gelap. Aroma parfum bercampur tembakau yang sama meskipun lebih pudar. Tara tidak mungkin lupa. Dan di

  • Hasrat Terlarang Sang Detektif   Bab 9. Bayangan yang Menjadi Nyata 1

    Greg tidak langsung keluar dari mobil saat tiba di Notting Hill. Pria itu duduk diam di belakang kemudi. Matanya menatap bangunan apartemen bata merah di seberang jalan. Di atasnya, langit mulai berubah warna. Dari kelabu pucat menjadi kelabu pekat. Seperti sesuatu yang sedang menantinya di depan sana.Tangan kirinya bertumpu di atas kemudi. Jari-jarinya menyentuh permukaan jam tangan dengan tali kulit hitam. Benda itu masih terawat. Hadiah dari institusi dua tahun lalu. Setelah Greg berhasil menutup kasus pembunuhan satu keluarga di Camden. Kasus yang merusak tidur banyak orang. Termasuk dirinya.Kasus itu juga yang membawanya ke posisi Kepala Detektif Inspektur, sekaligus menghancurkan kehidupan pribadinya.Hari ini, rasa itu kembali.Akan tetapi, ada yang berbeda.Sesuatu tentang wanita bernama Tara Bradley membuat pikirannya tidak bergerak dengan logika yang biasa.Apakah ini soal insting penyelidikannya......atau sesuatu yang lebih intim?Dalam hati, Greg mengakui. Ini bukan k

  • Hasrat Terlarang Sang Detektif   Bab 8. Mawar di Tengah Badai

    Greg baru saja hendak menekan tombol interkom ketika pintunya diketuk. "Masuk," ujarnya tanpa menoleh.Dari balik pintu, seorang wanita muda, lebih muda dari Tara, dengan rambut coklat berpotongan bob dan poni rata muncul. Tubuhnya yang mungil dibungkus gaun formal biru muda dan cardigan putih. Sebuah kontras dibandingkan dengan maskulinitas yang mengisi setiap sudut kantor polisi Hackney. Seakan mempertegas perbedaan itu, di tangannya, ada sebuah piring berisi beberapa potong pastries. "Snack sore dari Komandan, Inspektur," ucap wanita itu, Lucy Redcliff, semringah. Matanya yang biru terang berbinar-binar. Kehadirannya di ruangan Greg seperti sinar matahari kebahagiaan yang menyusup di tengah badai yang tak kunjung reda. Justru karena itulah, jadi terasa asing dan menjengkelkan. Greg mengangkat wajahnya, ekspresi wajahnya yang semula tegang melembut. Sebuah respon yang sudah dia latih. Agar Lucy merasa nyaman dan kerasan bekerja bersamanya.Pria itu tertawa rendah. "Terima kasih,

  • Hasrat Terlarang Sang Detektif   Bab 7. Di Balik Tirai

    Sore menjelang ketika ponsel Greg berdering. Getaran kecil di atas meja membuat cangkir kopinya ikut bergetar. Di layar, muncul nama Liam Stewart. Pena Greg yang semula bergerak di atas lembaran evaluasi tim, langsung terjatuh di atasnya. "Ya, Liam.""Inspektur," balas Liam dengan suaranya yang parau dan cepat. Seperti seseorang berhari-hari terkena serangan insomnia. "Aku sudah menemukan info soal Tara Bradley dan nama pena Violet Crow.""Langsung saja, Liam," perintah Greg sambil memijat pelipisnya.Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan ke jendela. Pria itu mengintip ke halaman gedung dari balik tirai aluminium yang setengah tertutup. Dari tempatnya berdiri, Greg bisa melihat bentangan langit kelabu dihiasi matahari pukul tiga yang enggan bersinar. Sepertinya, gerimis masih akan turun seperti kasus yang tak pernah berhenti berdatangan.Di trotoar halaman markas, beberapa petugas beristirahat. Mereka berbincang, mengepulkan asap rokok, dan menyesap kopi dari gelas kertas. Seoran

  • Hasrat Terlarang Sang Detektif   Bab 6. Fiksi dalam Berita

    Hari menjelang siang. Jejak hujan di permukaan aspal mulai mengering. Suasana di salah satu jalan di kawasan Notting Hill itu diliputi keheningan. Sebagian besar penghuni pergi bekerja atau beraktivitas di dalam ruangan.Di dalam apartemen kecilnya, Tara mencoba mengalihkan perhatian dari pesan misterius yang tadi diterimanya. Ada tugas dari Kepala Perpustakaan Kota Notting Hill, tempat dia bekerja. Tugas itu harus selesai sebelum pukul tiga. Hari ini adalah hari libur perpustakaan. Seharusnya, Tara bebas tugas. Namun, seperti pegawai lainnya, dia tidak berani menolak perintah Ellaine Stapleton. Tara tidak mau ambil risiko terus menerus ditekan sampai akhirnya terpaksa mengundurkan diri.Ponsel dia matikan dan sembunyikan di kabinet dapur. Agar tidak membuyarkan konsentrasinya."Itu hanya orang iseng," pikir Tara sambil mendengus pelan, setengah menghibur diri. Berupaya mengenyahkan kegundahannya.Pandangannya kini tertuju pada halaman kosong di layar laptop. Jemarinya bertengger di

  • Hasrat Terlarang Sang Detektif   Bab 5. Naskah dan Nama yang Tak Terlihat

    Udara siang itu terasa lembab ketika Greg kembali ke kantor. Bekas hujan masih membayang di kaca mobilnya. Dia melangkah cepat, seolah-olah ingin menyalip detak jarum jam yang berputar tanpa terasa. Pria itu bahkan melewatkan ajakan makan siang dari Rachel.Tak ingin membuang waktu, Greg langsung menuju ruangannya. Dia melewati lorong yang dipenuhi aroma kopi, kepulan asap rokok, dan dengungan printer tua, tanpa menyapa siapapun. Sesampainya di meja, Greg membuka ponselnya. Di dalamnya, ada beberapa foto yang berisi hasil bidikan yang telah membuatnya gelisah sejak meninggalkan TKP Clarissa Maynard. Jemarinya menekan dan memperbesar gambar di dalamnya. Bab satu naskah The Silent Slasher yang ditulis oleh seorang penulis bernama Violet Crow. Nama yang terdengar asing. Entah memang dia tidak terkenal. Atau, Greg yang belum pernah mendengar namanya.Pria itu menarik napas dalam-dalam, lalu menarik kursi dan membenamkam punggung di sandaran. Tangannya membuka folder gallery perlahan. S

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status