MasukLondon di Rabu pagi itu dinaungi awan tebal dan gelap yang menitikkan gerimis. Tidak deras. Namun, cukup untuk meninggalkan banyak jejak di mantel seseorang yang berdiri terlalu lama di bawah langit terbuka.
Langkah-langkah orang berlalu-lalang di depan stasiun kereta bawah tanah Holloway Road berayun cepat. Seakan sedang mengikuti sebuah perlombaan. Greg menggenggam gelas kopi karton yang mulai kehilangan hangatnya. Tidak ada payung di tangannya. Rambutnya yang hitam dihiasi titik-titik hujan di permukaannya. Begitu juga dengan mantel kelabu yang dikenakannya. Dia baru keluar dari sebuah kedai 24 jam untuk sarapan. Langkahnya tenang dan pasti saat menyusuri trotoar menuju tempat di mana dia memarkir mobilnya. Namun, kepalanya masih penuh dengan percakapan penting dan rahasia yang baru selesai menjelang pagi. Ada berkas-berkas lama yang menuntut perhatian. Masalah internal yang harus segera dia bereskan. Pria itu merogoh saku mantelnya saat telepon genggamnya bergetar. Dia sedikit menunduk saat membaca nama yang muncul di layar. Sekilas, matanya tertuju pada angka di sudut layar. Pukul 06.12. Dan Greg memutuskan untuk mengabaikan dan menyimpan kembali teleponnya. Begitu mengangkat pandangannya lagi ke arah depan, Greg menabrak seseorang. Tidak sengaja. Namun, tubuh mereka beradu dengan cukup keras. Tutup gelas Greg terlepas. Isinya muncrat keluar. "Oh, sial!" ucap Greg refleks, sambil merunduk memandangi mantelnya yang baru dia ambil dari binatu dua malam lalu. Mantel kelabu itu terkena cipratan kopi. Sisa cairan hangatnya meninggalkan pola abstrak di bagian lengan dan dada sebelah kanan. Greg berdecak mengungkapkan kekesalannya. Namun, dia tak punya waktu untuk meratap. Dia harus segera melanjutkan perjalanannya menuju ke kantor. Melupakan kopi yang tumpah dan noda yang ditinggalkan di mantel favoritnya. Akan tetapi, belum sempat melangkah, Greg tidak sengaja melihat wanita tadi, yang tidak sengaja menabraknya, berjongkok. Jemarinya yang ramping dengan cekatan mengumpulkan tumpukan kertas yang jatuh berserakan di trotoar basah. Sebuah tarikan tak terlihat memanggil Greg untuk membantunya. Pria itu pun langsung meletakkan gelas kosongnya ke sisi trotoar. Lantas ikut memungut lembaran-lembaran yang sebagian sudah kotor dan basah. "Maaf," tutur Greg sambil menyodorkan beberapa lembar yang berhasil diambilnya. Wanita itu menerima kertas-kertasnya dengan ekspresi canggung. "Tidak apa-apa," jawabnya cepat. Beberapa lembaran, yang belum terkumpul, terbang tertiup angin. Wanita itu bangkit untuk mengejarnya. Penutup kepala dari jaket biru tuanya jatuh ke punggung. Saat itulah, Greg melihat dengan jelas wajah wanita itu. Wanita berusia pertengahan dua puluhan. Jelas tidak berusaha agar terlihat cantik. Akan tetapi, mampu membuat tatapan Greg berhenti lebih lama dari seharusnya. Kulitnya sedikit pucat seperti tidak pernah terkena sinar matahari. Rambutnya pirang keemasan menjuntai sebatas dada dan menempel sebagian di pipi diurai tiupan angin. Bibirnya yang merah muda dan berisi tampak seperti tersenyum tipis, padahal sedang tidak tersenyum. Lalu, sepasang mata hijau zamrudnya yang indah... seakan menyiratkan banyak cerita yang terkubur dalam-dalam. Wanita itu hanya melihat Greg sekilas. Lalu kembali sibuk dengan kertas-kertasnya. Greg menangkap sesuatu dari diri wanita itu. Ada semacam ketegangan, yang jelas tidak berasal dari pertemuan tidak sengaja ini. Wanita itu seperti seseorang yang membawa beban. Saat ini, dia sedang menyembunyikannya di balik tatapan terburu-buru. Akan tetapi, gerak-geriknya terasa familiar. "Aku benar-benar minta maaf," ungkap Greg sekali lagi. "Tidak apa-apa." Wanita itu pun mengulangi jawabannya. Kali ini lebih pelan sambil meraih sisa kertas terakhir yang Greg ulurkan. "Terima kasih." Setelah mengumpulkan semua kertasnya, wanita itu bergegas pergi tanpa menoleh lagi. Dia bahkan tidak meminta maaf telah menumpahkan kopi Greg. Sementara, Greg, berdiri mematung, menatap punggung wanita itu yang semakin jauh memasuki stasiun dan menghilang di kerumunan. Bukan karena ingin menuntut permintaan maaf, melainkan karena tidak ingin kehilangan momen begitu saja. Saat hendak beranjak, matanya tertambat pada selembar kertas di atas trotoar. Rupanya, ada selembar kertas milik wanita tadi tertinggal. Greg memungutnya. Lembar itu sedikit basah dan robek di ujungnya. Juga bernoda kopi. Namun, tulisan di atasnya masih bisa dibaca. The Silent Slasher Oleh: Violet Crow Tulisan itu dicetak tebal dan ditempatkan di tengah halaman. Sekilas seperti sebuah judul naskah fiksi acak. Lalu, nama itu... nama yang asing sama sekali. Akan tetapi, ada sesuatu yang berdenyut dalam naluri Greg. Bukan sekadar naluri yang membuatnya bertahan dalam pekerjaannya. Naluri yang mengendus sesuatu sebelum orang lain menyadarinya. Melainkan juga naluri yang lebih gelap. Lebih pribadi. Greg melipat pelan kertas itu. Kemudian, menyimpannya ke dalam saku mantel. Bukan sebagai bukti forensik. Melainkan sebagai memorabilia. "Aku akan berurusan denganmu suatu hari nanti," bisik Greg. Lebih menyerupai tekad. Saat mengatakan itu, Greg tahu... Itu bukan sekadar firasat kosong. Itu insting. Dan insting Detektif Gregory Alistair Evans jarang meleset. Bersambung...Pintu di belakang Tara menutup dan terkait dengan suara pelan. Seolah mengunci mereka berdua di dalam ruangan yang intim itu. Wanita itu mempersilakan Greg mendahuluinya, melewati dapur kecil yang temaram.Tara tidak tahu pasti. Alasan apa yang bisa membuatnya membiarkan pria asing bernama Gregory Evans itu masuk. Selain karena pria itu menunjukkan pengenal sebagai polisi. Mungkin... ketakjuban, yang membuatnya nyaris tak bisa memercayai penglihatannya sendiri. Pria bermantel abu-abu di trotoar stasiun Holloway Road pagi tadi... yang seperti tokoh detektif di film noir... yang buru-buru Tara hindari... kini berdiri di depannya.Tara yakin. Itu dia. Tidak salah lagi. Meskipun, pria itu telah mengganti mantel dengan blazer yang juga berwarna abu-abu. Blazer yang pas membentuk bahu lebarnya, yang kontras dengan keadaan Tara yang kacau.Rambut hitamnya. Mata kelabunya. Celana jeans gelap. Aroma parfum bercampur tembakau yang sama meskipun lebih pudar. Tara tidak mungkin lupa. Dan di
Greg tidak langsung keluar dari mobil saat tiba di Notting Hill. Pria itu duduk diam di belakang kemudi. Matanya menatap bangunan apartemen bata merah di seberang jalan. Di atasnya, langit mulai berubah warna. Dari kelabu pucat menjadi kelabu pekat. Seperti sesuatu yang sedang menantinya di depan sana.Tangan kirinya bertumpu di atas kemudi. Jari-jarinya menyentuh permukaan jam tangan dengan tali kulit hitam. Benda itu masih terawat. Hadiah dari institusi dua tahun lalu. Setelah Greg berhasil menutup kasus pembunuhan satu keluarga di Camden. Kasus yang merusak tidur banyak orang. Termasuk dirinya.Kasus itu juga yang membawanya ke posisi Kepala Detektif Inspektur, sekaligus menghancurkan kehidupan pribadinya.Hari ini, rasa itu kembali.Akan tetapi, ada yang berbeda.Sesuatu tentang wanita bernama Tara Bradley membuat pikirannya tidak bergerak dengan logika yang biasa.Apakah ini soal insting penyelidikannya......atau sesuatu yang lebih intim?Dalam hati, Greg mengakui. Ini bukan k
Greg baru saja hendak menekan tombol interkom ketika pintunya diketuk. "Masuk," ujarnya tanpa menoleh.Dari balik pintu, seorang wanita muda, lebih muda dari Tara, dengan rambut coklat berpotongan bob dan poni rata muncul. Tubuhnya yang mungil dibungkus gaun formal biru muda dan cardigan putih. Sebuah kontras dibandingkan dengan maskulinitas yang mengisi setiap sudut kantor polisi Hackney. Seakan mempertegas perbedaan itu, di tangannya, ada sebuah piring berisi beberapa potong pastries. "Snack sore dari Komandan, Inspektur," ucap wanita itu, Lucy Redcliff, semringah. Matanya yang biru terang berbinar-binar. Kehadirannya di ruangan Greg seperti sinar matahari kebahagiaan yang menyusup di tengah badai yang tak kunjung reda. Justru karena itulah, jadi terasa asing dan menjengkelkan. Greg mengangkat wajahnya, ekspresi wajahnya yang semula tegang melembut. Sebuah respon yang sudah dia latih. Agar Lucy merasa nyaman dan kerasan bekerja bersamanya.Pria itu tertawa rendah. "Terima kasih,
Sore menjelang ketika ponsel Greg berdering. Getaran kecil di atas meja membuat cangkir kopinya ikut bergetar. Di layar, muncul nama Liam Stewart. Pena Greg yang semula bergerak di atas lembaran evaluasi tim, langsung terjatuh di atasnya. "Ya, Liam.""Inspektur," balas Liam dengan suaranya yang parau dan cepat. Seperti seseorang berhari-hari terkena serangan insomnia. "Aku sudah menemukan info soal Tara Bradley dan nama pena Violet Crow.""Langsung saja, Liam," perintah Greg sambil memijat pelipisnya.Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan ke jendela. Pria itu mengintip ke halaman gedung dari balik tirai aluminium yang setengah tertutup. Dari tempatnya berdiri, Greg bisa melihat bentangan langit kelabu dihiasi matahari pukul tiga yang enggan bersinar. Sepertinya, gerimis masih akan turun seperti kasus yang tak pernah berhenti berdatangan.Di trotoar halaman markas, beberapa petugas beristirahat. Mereka berbincang, mengepulkan asap rokok, dan menyesap kopi dari gelas kertas. Seoran
Hari menjelang siang. Jejak hujan di permukaan aspal mulai mengering. Suasana di salah satu jalan di kawasan Notting Hill itu diliputi keheningan. Sebagian besar penghuni pergi bekerja atau beraktivitas di dalam ruangan.Di dalam apartemen kecilnya, Tara mencoba mengalihkan perhatian dari pesan misterius yang tadi diterimanya. Ada tugas dari Kepala Perpustakaan Kota Notting Hill, tempat dia bekerja. Tugas itu harus selesai sebelum pukul tiga. Hari ini adalah hari libur perpustakaan. Seharusnya, Tara bebas tugas. Namun, seperti pegawai lainnya, dia tidak berani menolak perintah Ellaine Stapleton. Tara tidak mau ambil risiko terus menerus ditekan sampai akhirnya terpaksa mengundurkan diri.Ponsel dia matikan dan sembunyikan di kabinet dapur. Agar tidak membuyarkan konsentrasinya."Itu hanya orang iseng," pikir Tara sambil mendengus pelan, setengah menghibur diri. Berupaya mengenyahkan kegundahannya.Pandangannya kini tertuju pada halaman kosong di layar laptop. Jemarinya bertengger di
Udara siang itu terasa lembab ketika Greg kembali ke kantor. Bekas hujan masih membayang di kaca mobilnya. Dia melangkah cepat, seolah-olah ingin menyalip detak jarum jam yang berputar tanpa terasa. Pria itu bahkan melewatkan ajakan makan siang dari Rachel.Tak ingin membuang waktu, Greg langsung menuju ruangannya. Dia melewati lorong yang dipenuhi aroma kopi, kepulan asap rokok, dan dengungan printer tua, tanpa menyapa siapapun. Sesampainya di meja, Greg membuka ponselnya. Di dalamnya, ada beberapa foto yang berisi hasil bidikan yang telah membuatnya gelisah sejak meninggalkan TKP Clarissa Maynard. Jemarinya menekan dan memperbesar gambar di dalamnya. Bab satu naskah The Silent Slasher yang ditulis oleh seorang penulis bernama Violet Crow. Nama yang terdengar asing. Entah memang dia tidak terkenal. Atau, Greg yang belum pernah mendengar namanya.Pria itu menarik napas dalam-dalam, lalu menarik kursi dan membenamkam punggung di sandaran. Tangannya membuka folder gallery perlahan. S







