MasukAdrian menatap Olivia dengan sorot yang hangat, seolah ingin menyimpan wajah itu lebih lama sebelum pergi. Di teras, koper kecil sudah terangkat dan diletakkan rapi ke dalam bagasi. Suara besi bertemu besi terdengar pelan saat Adrian menutupnya. Olivia berdiri beberapa langkah darinya, kedua tangannya saling menggenggam di depan perut. Matanya mengikuti setiap gerak Adrian. “Kamu mau oleh-oleh?” Olivia menggeleng pelan. “Enggak, Mas. Kamu kan kerja. Fokus aja. Katanya juga ada masalah di sana. Aku nggak mau hal remeh kayak oleh-oleh malah bikin kamu kepikiran.” Ujung bibir Adrian terangkat. Senyum yang lebar dan jujur. “Calon Nyonya Adrian emang penuh pengertian. Nggak salah aku ajak kamu nikah.” Olivia hanya membalas dengan senyum kecil, pipinya sedikit menghangat. Adrian melangkah mendekat. Jarak mereka menyempit. “Aku berangkat, ya. Jangan nakal selama aku di Bandung. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Aku aktif dua puluh empat jam khusus buat kamu.” “Siap, Mas,” jawab
Olivia melangkah pelan ke balkon lantai dua dan langsung menghentikan langkahnya. Adrian berdiri membelakanginya, kedua tangan bertumpu di pagar, bahunya sedikit membungkuk. Hujan turun cukup deras, mengisi sore dengan bunyi yang menenangkan sekaligus sendu.Tanpa berkata apa-apa, Olivia mendekat lalu memeluknya dari belakang. Ia menyandarkan kepala di punggung Adrian, merasakan napas pria itu yang hangat menembus kain kaus tipis.“Mas,” panggilnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara hujan. “Aku bikin pisang goreng madu. Kamu mau makan di mana?”Adrian menoleh sedikit, tangannya naik mengusap lengan Olivia yang melingkar di perutnya. “Di sini aja. Sekalian coklat panas.”“Oke,” jawab Olivia ringan. Lalu, tanpa melepas pelukannya, ia menambahkan, “Tapi… boleh peluk lima menit lagi?”Adrian tersenyum. “Boleh, Sayang.”Ia kembali menatap hujan, sementara Olivia memejamkan mata. Dunia terasa mengecil di antara detak jantung Adrian dan suara air yang jatuh. Sepuluh hari sudah Nevan
Olivia mendorong pintu kamar Adrian perlahan, hampir tanpa suara. Di dalam, Adrian terbaring menyamping di atas ranjang, dadanya naik turun pelan. Di pelukannya, sebuah bingkai foto terjepit erat—wajah kecil Nevan tersenyum cerah dari balik kaca, kontras dengan wajah ayahnya yang tampak cekung dan kelelahan.Hati Olivia mencelos.Ia berdiri beberapa detik di ambang pintu, ragu melangkah lebih dekat, takut mengganggu tidurnya itu. Namun, jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore. Olivia akhirnya mendekat.“Mas…” bisiknya lirih sambil duduk di tepian kasur. Tangannya menyentuh lengan Adrian yang terasa kaku. “Bangun...”Adrian hanya mengerang pelan, alisnya mengernyit seolah dunia di luar tidurnya terlalu berat untuk dihadapi.“Kamu belum makan apa pun sejak pagi,” lanjut Olivia dengan suara lembut tapi penuh dorongan. “Tubuh kamu butuh tenaga.”Adrian menarik napas panjang, tetap memejamkan mata. “Aku belum lapar.”Olivia mengusap lengannya pelan, ibu jarinya berg
Tiada seorang pun di dunia ini dapat mengetahui garis takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan. Sejatinya, maut adalah hal yang tidak bisa ditebak dan entah kapan akan menghampiri karena itu adalah hak prerogatif sang Pencipta.Di dalam mobil jenazah yang melaju kencang, Adrian menatap lekat wajah Nevan yang kaku. Dekat, tetapi seakan jarak antara mereka sejauh langit dan bumi.Air matanya mengalir tak terbendung, setiap untaian kata terasa seperti torehan luka di hatinya ketika dia terus berulang berbisik, "Nak... Kamu udah nggak sakit lagi..."Sementara itu, sirine yang mengaum semakin menambah berat suasana. Dia melihat wajah Nevan yang tersenyum di wajahnya yang sudah tidak hangat lagi. "Kenapa kamu tega tinggalin Ayah di sini, Nak. Kenapa..."Setiap kilometer yang dilalui menambah bobot kesedihan di dada Adrian. Nevan tidak pernah mendapatkan kasih sayang utuh dan dia berencana mengambil anak itu setelah menikah dengan Olivia. Namun, sepertinya Tuhan memiliki rencana lain; lebih m
Lampu di atas pintu ICU berkedip semakin cepat. Bunyi alarm itu memecah lorong seperti sirene penghakiman yang terdengar tajam, panjang, dan tak memberi ruang untuk bernapas. Beep—beep—beep. Seorang perawat berlari tergesa, suaranya panik memanggil dari kejauhan, "Dokter Randa! Ruang ICU nomor satu! Saturasi drop! Tekanan intrakranial naik drastis!" Langkah tergesa memenuhi lorong sempit. Dari ujung sana, Dokter Randa muncul, jas putihnya berkibar, wajahnya tegang penuh fokus. Di belakangnya, Suster Sarah mendorong troli darurat, napasnya tak kalah cepat. “Siapkan manitol tambahan. Panggil dokter bedah saraf yang available dan dokter anestesi on-call,” perintah Dokter Randa sambil terus melangkah. “Kebetulan Dokter Benny sedang ada di lantai dua, Dokter,” jawab suster Sarah cepat. “Segera panggil dia ke sini!” Gista refleks bergerak maju. “Dokter! Saya ikut! Saya mau liat langsung kondisi anak saya!” Namun sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, dua suster lain menghadangnya. “
Lampu di depan ruang ICU tetap menyala tanpa kompromi, putih dan dingin, seolah tak peduli pada siapa pun yang berdiri terlalu lama di bawahnya. Di balik kaca tebal itu, tubuh kecil Nevan terbaring dengan selang dan kabel yang menjulur dari berbagai sisi, naik turun mengikuti ritme mesin.Gista berdiri paling dekat dengan pintu. Hari ini kondisinya jauh lebih baik dibanding dua hari lalu. Luka-luka ringan di lengannya dan memar di wajahnya mulai memudar. Secara fisik, ia dinyatakan aman. Namun, jiwanya belum.Sejak pagi, tangisnya tak pernah benar-benar berhenti. Gista menempelkan telapak tangannya ke kaca, bahunya terguncang. Bibirnya bergerak cepat, melafalkan kalimat-kalimat putus yang lebih mirip doa panik daripada permohonan teratur.“Tuhan ... Kenapa bukan aku saja yang terbaring di sana … Tolong, Tuhan,” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Aku nggak apa-apa kalau harus terluka. Jangan Nevan, Tuhan. Jangan dia…”Ia menunduk, dahinya hampir menyentuh kaca. Air matanya jatuh ta







