تسجيل الدخولOlivia mendorong pintu kamar Adrian perlahan, hampir tanpa suara. Di dalam, Adrian terbaring menyamping di atas ranjang, dadanya naik turun pelan. Di pelukannya, sebuah bingkai foto terjepit erat—wajah kecil Nevan tersenyum cerah dari balik kaca, kontras dengan wajah ayahnya yang tampak cekung dan kelelahan.Hati Olivia mencelos.Ia berdiri beberapa detik di ambang pintu, ragu melangkah lebih dekat, takut mengganggu tidurnya itu. Namun, jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul empat sore. Olivia akhirnya mendekat.“Mas…” bisiknya lirih sambil duduk di tepian kasur. Tangannya menyentuh lengan Adrian yang terasa kaku. “Bangun...”Adrian hanya mengerang pelan, alisnya mengernyit seolah dunia di luar tidurnya terlalu berat untuk dihadapi.“Kamu belum makan apa pun sejak pagi,” lanjut Olivia dengan suara lembut tapi penuh dorongan. “Tubuh kamu butuh tenaga.”Adrian menarik napas panjang, tetap memejamkan mata. “Aku belum lapar.”Olivia mengusap lengannya pelan, ibu jarinya berg
Tiada seorang pun di dunia ini dapat mengetahui garis takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan. Sejatinya, maut adalah hal yang tidak bisa ditebak dan entah kapan akan menghampiri karena itu adalah hak prerogatif sang Pencipta.Di dalam mobil jenazah yang melaju kencang, Adrian menatap lekat wajah Nevan yang kaku. Dekat, tetapi seakan jarak antara mereka sejauh langit dan bumi.Air matanya mengalir tak terbendung, setiap untaian kata terasa seperti torehan luka di hatinya ketika dia terus berulang berbisik, "Nak... Kamu udah nggak sakit lagi..."Sementara itu, sirine yang mengaum semakin menambah berat suasana. Dia melihat wajah Nevan yang tersenyum di wajahnya yang sudah tidak hangat lagi. "Kenapa kamu tega tinggalin Ayah di sini, Nak. Kenapa..."Setiap kilometer yang dilalui menambah bobot kesedihan di dada Adrian. Nevan tidak pernah mendapatkan kasih sayang utuh dan dia berencana mengambil anak itu setelah menikah dengan Olivia. Namun, sepertinya Tuhan memiliki rencana lain; lebih m
Lampu di atas pintu ICU berkedip semakin cepat. Bunyi alarm itu memecah lorong seperti sirene penghakiman yang terdengar tajam, panjang, dan tak memberi ruang untuk bernapas. Beep—beep—beep. Seorang perawat berlari tergesa, suaranya panik memanggil dari kejauhan, "Dokter Randa! Ruang ICU nomor satu! Saturasi drop! Tekanan intrakranial naik drastis!" Langkah tergesa memenuhi lorong sempit. Dari ujung sana, Dokter Randa muncul, jas putihnya berkibar, wajahnya tegang penuh fokus. Di belakangnya, Suster Sarah mendorong troli darurat, napasnya tak kalah cepat. “Siapkan manitol tambahan. Panggil dokter bedah saraf yang available dan dokter anestesi on-call,” perintah Dokter Randa sambil terus melangkah. “Kebetulan Dokter Benny sedang ada di lantai dua, Dokter,” jawab suster Sarah cepat. “Segera panggil dia ke sini!” Gista refleks bergerak maju. “Dokter! Saya ikut! Saya mau liat langsung kondisi anak saya!” Namun sebelum ia bisa melangkah lebih jauh, dua suster lain menghadangnya. “
Lampu di depan ruang ICU tetap menyala tanpa kompromi, putih dan dingin, seolah tak peduli pada siapa pun yang berdiri terlalu lama di bawahnya. Di balik kaca tebal itu, tubuh kecil Nevan terbaring dengan selang dan kabel yang menjulur dari berbagai sisi, naik turun mengikuti ritme mesin.Gista berdiri paling dekat dengan pintu. Hari ini kondisinya jauh lebih baik dibanding dua hari lalu. Luka-luka ringan di lengannya dan memar di wajahnya mulai memudar. Secara fisik, ia dinyatakan aman. Namun, jiwanya belum.Sejak pagi, tangisnya tak pernah benar-benar berhenti. Gista menempelkan telapak tangannya ke kaca, bahunya terguncang. Bibirnya bergerak cepat, melafalkan kalimat-kalimat putus yang lebih mirip doa panik daripada permohonan teratur.“Tuhan ... Kenapa bukan aku saja yang terbaring di sana … Tolong, Tuhan,” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Aku nggak apa-apa kalau harus terluka. Jangan Nevan, Tuhan. Jangan dia…”Ia menunduk, dahinya hampir menyentuh kaca. Air matanya jatuh ta
Lampu ruang tunggu ICU masih menyala terang, membiaskan bayangan Nevan yang terbaring lemah di balik kaca tebal. Erika melangkah pelan, matanya tak pernah lepas dari sosok Nevan yang nyaris tak bergerak. Dia mendekati Adrian, yang sejak setengah jam lalu berdiri kaku di depan ruang itu, wajahnya penuh kecemasan.“Adrian...” suara Erika lembut, hampir seperti bisikan yang berusaha menenangkan.Adrian menoleh sekilas, lalu segera menatap kembali ke Nevan, seolah takut jika dia mengalihkan pandang, nyawa putranya bisa saja hilang.“Kalian sebaiknya pergi dulu. Cari hotel yang dekat sini, mandi, lalu tidur sebentar. Mama akan jaga di sini,” Erika merapikan selendang yang tergelantung di bahunya dengan gerakan halus.Adrian menggeleng cepat, suaranya serak, “Ma, aku—”“Adrian,” potong Erika dengan lembut tapi tegas, menatap tajam mata anaknya, seperti dulu saat menenangkannya dari mimpi buruk. “Nevan masih dijaga alat dan dokter. Tapi ayahnya juga manusia. Kamu perlu istirahat supaya bisa
Suara alarm itu kembali terdengar, kali ini lebih panjang dan tajam. Adrian sudah berdiri di depan pintu ICU bahkan sebelum bunyi itu benar-benar mereda. Tangannya refleks menekan kaca, seolah jarak tipis itu bisa ditembus hanya dengan satu dorongan. “Kenapa? Ada apa? Apa yang terjadi sama Nevan?! Suster!” Suaranya meninggi, kehilangan kendali yang sejak tadi ia coba pertahankan. Seorang perawat muncul tergesa-gesa, wajahnya serius dan langkahnya cepat. Tanpa berhenti, ia berkata, “Mohon tunggu di luar, Pak.” “Anak saya—” Adrian melangkah maju setengah langkah, namun seorang petugas keamanan segera berdiri di sampingnya, memberi batas yang tak perlu diucapkan. Olivia ikut berdiri, meraih lengan Adrian dengan erat kali ini. “Mas, tolong… jangan buat mereka makin susah.” Di balik kaca, bayangan tubuh-tubuh bergerak cepat. Monitor menyala, angka-angka berubah terlalu cepat untuk dipahami. Adrian menelan napas, dadanya naik turun tak beraturan. “Kenapa selalu begini? Kenapa aku sela







