Home / Urban / Hasrat Terpendam Sang Kameramen / Bab 3 - Dunia yang Berbeda

Share

Bab 3 - Dunia yang Berbeda

Author: Frands
last update Last Updated: 2025-10-29 18:59:23

Keesokan harinya, Beni berdiri di depan sebuah apartemen mewah di kawasan segitiga emas. Marmer dan kaca gedung itu memantulkan sinar matahari, menyilaukannya. Ia merasa seperti ikan yang tersesat di akuarium mewah. Tas kamera ayahnya terasa semakin berat di pundak.

“Ini demi Ibu,” desisnya, memaksakan satu kaki melangkah masuk.

Produser Rendra menyambutnya di lantai paling atas. Pria itu mengenakan kemeja linen putih yang mahal, celana chino, dan senyum yang terlalu sempurna. 

Apartemennya minimalis, didominasi warna putih dan abu-abu, dengan peralatan elektronik mutakhir yang terpajang. Rasanya sangat kontras dengan kekumuhan kamar kos Beni.

“Silakan duduk, Beni,” ujar Rendra, menunjuk sofa kulit yang lembut. “Kau mau minum apa?”

“Tidak, terima kasih,” jawab Beni singkat, tangannya berkeringat.

“Baiklah. Kita akan langsung ke pokok persoalan.” Rendra menyilangkan kaki, matanya mengamati Beni dengan cermat. “Apa kau berubah pikiran dengan tawaran kemarin?”

Beni mengangguk pelan, tenggorokannya kering. “Apa benar kau akan membayarku 10 juta untuk satu video?”

“Tentu saja, Beni.” Senyum Rendra semakin lebar. Ia mengambil tabletnya, menunjukkan rincian gaji yang didapat setiap kru. “Aku tak akan main-main dalam berbisnis.”

Beni membeku ketika menatap tulisan di bagian kameramen. Jumlah itu bukan hanya 10 juta, tapi 15 juta. Cukup untuk membayar uang muka rumah sakit dan beberapa hari perawatan berikutnya.

“Bagaimana?” tanya Rendra. “5 juta dibayar di muka, sisanya setelah selesai.”

“Saya… setuju,” gumamnya akhirnya, suara itu terasa asing di telinganya sendiri. “Tapi bisakah aku mendapat 10 juta? Aku butuh untuk biaya rumah sakit ibuku.”

Senyum Rendra sedikit melebar, tapi matanya tetap tajam dan berhitung. “Tak masalah. Tapi sebelum kita lanjut, ada baiknya kita terbuka sepenuhnya.” Dia menyandar ke kursinya, jari-jemarinya menyilang di atas meja. “Ini agak sedikit berbeda dari proyek videografi biasa, Beni. Konten yang kita buat adalah… video dewasa. Untuk pasar khusus, jadi ada beberapa situasi khusus.”

Beni mengangguk pelan, keringat mengucur deras di pelipisnya.

“Saya mengerti ini terasa asing bagimu. Tapi pikirkan baik-baik. Bayarannya tunai. Besok uang mukanya bisa langsung masuk ke kantongmu.” Dia jeda, memastikan kata-katanya menyelinap masuk. “Dan ingat, posisimu aman. Kau cuma di balik kamera. Tugasmu hanya merekam. Hanya memastikan angle dan pencahayaan bagus. Tidak lebih dari itu.”

Tapi... ini video mesum! Batinnya berteriak. Apa yang akan dikatakan Ayah? Ini menghina warisannya!

Beni berusaha tetap tenang di depan Rendra. Kerongkongannya terasa kering tak bisa menelan ludah.

Bayangan kamera SLR tua di tasnya terasa menyala-nyala, menegurnya. Tapi lalu, seperti tamparan yang lebih keras, wajah ibunya yang pucat dan lemah di balik kaca ICU menghantam pikirannya. Suara petugas administrasi yang dingin, “Tanpa uang muka, perawatan lanjutan sulit dilakukan.”

Demi Ibu. Ini semua demi Ibu, desis hatinya, mencoba membungkam semua protes dan rasa jijik yang menggelegak. Hanya memegang kamera. Aku tidak akan melakukan apa-apa selain merekam.

Melihat keraguan di wajah Beni mulai retak, Rendra dengan lancar mengeluarkan selembar kertas dari laci meja. “Ini kontraknya. Standard saja. Melindungi hak kedua belah pihak.”

Dengan tangan gemetar, Beni mengambil kertas itu. Matanya menyusuri baris-baris klausul baku. Gaji, jadwal, hak cipta. Lalu, matanya tertuju pada satu paragraf di bagian tengah. 

Bunyinya samar, tentang “kesiapan talent untuk beradaptasi dengan kebutuhan konsep kreatif yang dinamis demi hasil akhir terbaik.” 

Kalimat itu terasa licin, meninggalkan ruang tafsir yang luas. Ada firasat buruk menggelitik di benaknya, tapi kelelahan dan tekanan yang begitu besar membuatnya mengabaikannya.

Pikirannya hanya tertuju pada kata tunai dan uang muka. Dia mencoba mengusir semua keraguan dalam benaknya yang terus mengganggu.

Dia menatap Rendra, mencoba mencari kepastian. “Jadi… saya hanya memegang kamera? Hanya merekam?”

Rendra mengangguk, senyumnya tidak sampai ke mata. “Tentu. Itu tugasmu. Yang lain, urusan talent di depan kamera.”

Tanpa keyakinan penuh, tapi dengan beban yang terlalu berat untuk ditanggung sendiri, Beni menghela napas panjang. Dengan gerakan lambat, ia mengeluarkan pulpen dari saku jaketnya.

Dengan napas berat yang seakan menguras seluruh sisa tenaganya, Beni menurunkan pulpen. Coretan namanya di atas kertas kontrak itu terasa seperti noda hitam yang permanen, mengukir keputusasaan di atas putihnya dokumen.

Rendra segera menyambar kontrak itu, wajahnya merekah dalam senyum puas yang licik. “Keputusan yang tepat,” katanya, sambil menjabat tangan Beni dengan erat. Genggamannya terasa dingin dan kokoh, seperti belenggu yang baru saja dikunci.

Dia berdiri, mengantarkan Beni yang masih limbung ke pintu. Saat Beni melangkah keluar, suara Rendra terdengar sekali lagi, menggema di lorong apartemen yang mewah dan steril.

“Selamat datang di dunia yang berbeda, Nak.” Ada nada yang merendahkan dan penuh kemenangan dalam suaranya. “Besok kau akan paham maksudku.”

Pintu tertutup dengan senyap, meninggalkan Beni sendirian di koridor yang dingin. Dia menatap tangannya sendiri, tangan yang baru saja menandatangani kontrak itu. Seolah-olah ada darah atau kotoran yang melekat di ujung jarinya. 

Di telinganya masih bergema kata-kata Rendra, “dunia yang berbeda”. Dunia apa yang telah dia masuki?

Dengan suara lirih yang dipenuhi rasa sesal dan ngeri, dia berbisik pada dirinya sendiri, “Apa... apa yang sudah kulakukan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terpendam Sang Kameramen   Bab 12 - Lanjut

    “Maafkan aku, Ibu,” bisiknya lirih sebelum menekan tombol panggilan.Dari seberang sana, suara Rendra terdengar datar. “Ya, Beni?”“Pak Rendra,” suara Beni tercekat, “kapan... kapan proyeknya dilanjutkan?”“Kau sudah tidak sabar ya?” sahut Rendra. “Besok jam delapan. Jangan sampai telat.”Tut... tut... tut...Begitu panggilan berakhir, Beni melemparkan ponselnya ke kasur. Keringat mengucur deras dari dahinya sering dengan desahan napasnya yang berat.Keesokan paginya, Beni berdiri kembali di depan apartemen mewah yang sama. Setiap langkah menuju lobi terasa seperti berjalan menuju tiang gantungan.“Setelah aku mendapat bayaran, aku akan berhenti menjadi kameramen.” Gumam Beni pada dirinya sendiri.Di dalam lift, bayangannya yang pucat terpantul di kaca. Dia mengenakan kemeja yang sama dengan pertemuan pertama, tapi kali ini tanpa semangat. Saat pintu apartemen terbuka, suasana yang sama menya

  • Hasrat Terpendam Sang Kameramen   Bab 11 - Tak Ada Jalan Lain

    “Atas nama Mas Beni?” Seorang pria menyapa Beni yang sedang berdiri di depan gerbang kampus.Pria itu menggunakan atribut lengkap sebuah perusahaan aplikasi ojek online.“Iya benar, saya Beni.” Tanpa pikir panjang Beni langsung naik di belakang pengemudi ojek itu.Ternyata setelah mendapat pesan ancaman dari pelanggannya, Beni memutuskan untuk meninggalkan kampus.Tak peduli lagi dengan mata kuliah berikutnya, dengan tugas-tugas yang harus diselesaikan. Satu-satunya yang ada di pikirannya adalah laptopnya yang menyimpan beberapa proyek penting. “Mungkin setelah didiamkan beberapa hari, laptopnya bisa menyala lagi,” pikirnya dengan sedikit harapan yang naif.Perjalanan pulang ke kos terasa begitu panjang. Setiap hembusan angin dipenuhi kecemasan. Ia membayangkan bagaimana jika kliennya benar-benar melaporkannya ke polisi.Sesampainya di kamar kos yang sempit, ia langsung melemparkan tasnya ke kasur dan membuka laptop den

  • Hasrat Terpendam Sang Kameramen   Bab 10 - Penipu

    Keesokan paginya Beni kembali ke kampus setelah dua hari absen.“Tumben kau gak bawa motor sendiri?” Sapa seorang teman saat melihat Beni baru saja turun dari ojek.Beni memasang senyum ramah meski dalam pikirannya masih menyisakan kegelisahan. “Motorku mogok gak bisa—”Belum sempat Beni menyelesaikan kalimatnya, temannya langsung memotong. “Tanganmu kenapa kok diperban?”“Habis jatuh dan sedikit tergores.” Jawab Beni sekenanya.“Oh begitu,” Teman Beni tiba-tiba berjalan terlebih dahulu meninggalkan Beni.Gerbang kampus Institut Seni Media Digital (ISMD) berdiri megah di depan mata, dengan desain arsitektur modern yang kontras dengan keadaan Beni yang compang-camping.Dia melangkah menuju gedung Fakultas Film dan Digital Media – Jurusan Sinematografi, tempatnya bercita-cita menjadi sineas seperti ayahnya dulu. Dinding kaca gedung fakultas memantulkan bayangannya yang lesu, dengan tas kamera rusak tergantung di pundak dan perb

  • Hasrat Terpendam Sang Kameramen   Bab 9 - Kau Bisa Memulai Lagi

    Beni di bawa ke sebuah klinik kecil yang tak jauh dari minimarket.“Beruntung lukanya tidak terlalu dalam,” kata dokter klinik dengan suara parau sambil membersihkan luka di lengan Beni.Maya yang mendengarnya juga memperhatikan luka di lengan Beni dengan perasaan khawatir. “Apa lukanya perlu dijahit, Dok?”“Tidak perlu.” Jawab Dokter dengan tenang sambil membalut luka dengan perban yang lebih rapi dari sebelumnya.“Tapi area yang luka harus dijaga kebersihannya,” lanjut Dokter itu dengan ramah sebelum beranjak ke ruangan belakang meninggalkan Beni dan Maya berdua saja.Suasana Klinik itu tampak sepi, hanya diterangi lampu neon yang berkedip-kedip. Bau obat dan desinfektan memenuhi ruang tunggu yang sempit.Maya duduk di samping Beni, tangannya masih sedikit gemetar. Di bawah cahaya lampu yang pucat, wajahnya terlihat lebih tirus dan lelah. Tanpa riasan, ia tampak lebih muda, dan lebih rapuh.“Kameramu...” ucap Maya lirih, matanya menatap perban di lengan Beni. “Aku... aku tidak tahu

  • Hasrat Terpendam Sang Kameramen   Bab 8 - Aku Sudah Memperlakukanmu Dengan Buruk

    “Kalian sampah masyarakat yang meresahkan!”Teriakan Beni memecah kesunyian minimarket. Dia menerjang perampok yang mencengkeram Maya, tubuh mereka bertubrukan dan jatuh terpelanting. Rak minuman kaleng di samping mereka roboh, puluhan kaleng berhamburan dan bergulingan di lantai bagai letusan peluru.“Kurang ajar!” raung perampok itu sambil bangkit dengan muka merah padam. Pisau di tangannya berkilat diterangi lampu neon.Beni menggapai pemadam api dari dinding. “Maya, lari!” teriak Beni sambil menyemprotkan busa putih ke arah mereka.Tapi perampok kedua sudah bergerak cepat, menangkap Maya dari belakang.“Jangan macam-macam!” bentak perampok kedua sambil menahan leher Maya.“Tolong! Tolong!”Pelanggan lain menjerit-jerit ketakutan. Seorang ibu dengan anak kecil bersembunyi di balik rak, sementara pria tua berusaha memecahkan kaca jendela dengan kursi plastik.“Diam kalian semua!” geram perampok pertama sambil mengelap wajahnya yang penuh busa. Pisau di tangannya mengayun ke arah Ben

  • Hasrat Terpendam Sang Kameramen   Bab 7 -Lepaskan Dia!

    “Bodoh! Bodoh sekali kau Beni!” Kalimat itu yang terus terlintas di pikiran Beni saat ini. Batinnya kacau seolah menyalahkan dirinya sendiri karena telah terjebak dalam situasi yang aneh.Malam harinya setelah syuting, Beni berbaring sendirian di kamar kos yang kini terasa seperti penjara. Dinding-dindingnya seakan mendesak, mengingatkannya pada kejadian tadi sore—tatapan Maya, senyum Rendra, dan bayangan kamera ayahnya yang menyaksikan semua kehancuran moralnya. Beni memutuskan keluar, berharap udara malam bisa membersihkan pikirannya.Dengan tas kamera yang mengalung di lehernya, dia menyusuri jalanan yang sepi. Lampu jalan yang redup menciptakan bayangan-bayangan panjang di aspal basah. Angin malam berhembus dingin, membuatnya menarik kerah jaketnya lebih rapat. Setiap langkah kakinya terasa berat, seolah masih membawa beban rasa malu dari apartemen mewah tadi sore.Harusnya aku menolak. Harusnya aku kabur, bisik hatinya, sambil menunduk melihat bayangannya sendiri yang terdistorsi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status