LOGIN“Tunggu... tunggu dulu!” protes Beni, suaranya serak dan nyaris tercekik. Tubuhnya menegang bagai batu, setiap otot memberontak. Tangan Maya masih mencengkeram pergelangannya, menariknya lebih dalam ke dalam frame kamera yang justru dia pegang sendiri. Getaran di tangannya semakin menjadi, membuat gambar yang tertangkap lensa bergoyang liar.
“Aku... aku Cuma kameramen!” bantahnya, mencoba menarik lengannya, namun cengkeraman Maya kuat dan berpengalaman. Rendra, yang mengawasi dari belakang monitor, tidak terkesan. Suaranya terdengar datar dan dingin, seperti mesin, “Sudah kubilang, perhatikan gerakanmu. Buat seakan-akan penonton yang merasakan apa yang kau rasakan! Ingat, konsepnya adalah POV. Kau adalah mata mereka.” Kata-kata itu seperti pentungan. 'POV, Kau adalah mata mereka.' Artinya, dia tidak bisa lagi bersembunyi di balik lensa. Dia harus menjadi bagian dari adegan yang menjijikkan ini. "Lari." Itu satu-satunya kata yang berteriak dalam kepalanya. "Lepaskan kamera ini dan larilah!" Tapi tepat saat nalurinya menyuruhnya untuk kabur, sebuah bayangan menghantam pikirannya dengan keras: wajah ibunya yang pucat dan lemah di balik kaca ICU, terbaring tak berdaya dengan selang infus di tangan. Napas Beni tersengal-sengal. Pertarungan batin yang menghancurkan berkecamuk dalam dirinya. Di satu sisi, setiap serat keberadaannya menjerit menolak, merasa terhinakan. Di sisi lain, tanggung jawabnya sebagai anak, ketakutan akan kehilangan ibu, dan beban finansial yang mustahil ditanggung sendiri, mengurungnya di tempat itu. Dia memejamkan mata sejenak, mencoba menelan rasa mual yang naik ke kerongkongannya. Tangannya yang memegang kamera perlahan-lahan, dengan getaran yang masih jelas, berhenti melawan. Tubuhnya, meski masih kaku, tak lagi menarik diri. “Jangan tegang-tegang, sayang,” bisik Maya di telinga Beni, napasnya hangat dan sengaja dihembuskan pelan. Tangannya yang bebas mulai meraba pundak Beni, membuatnya merinding. “Santai saja... anggap ini sebagai bonus dalam bekerja.” Kehangatan sentuhan Maya, bisikan rayuannya yang tak henti, dan atmosfer ruangan yang dipenuhi aura erotis mulai mempengaruhi fisiologinya. Darahnya mengalir cepat, jantungnya berdebar kencang membuat kameranya mulai goyah lagi. "Konsentrasi, Beni!" hardik Rendra dari belakang, suaranya tajam. "Jangan lupa, kalau berhenti sekarang, tidak ada bayaran sepeser pun.” Kata-kata itu seperti cambuk. Beni memejamkan mata sejenak, menggigit bibir bawahnya sampai hampir berdarah. Dia mengangguk pelan, isyarat menyerah yang membuat Rendra tersenyum puas. Maya, melihat reaksi ini, semakin berani. “Nah, gitu dong...” bisiknya lagi, sambil mendekatkan tubuhnya. “Kamera tetap merekam ya, sayang. Biar penonton merasakan semuanya...” Beni tak bisa lagi berpikir jernih. Pelajaran moral, harga dirinya, kenangan akan ayahnya—semuanya tenggelam dalam kepanikan dan keputusasaan. Dalam hati yang remuk, dia membiarkan dirinya terseret dalam arus adegan yang semakin tak terkendali, sambil terus menggenggam erat kamera ayahnya—seolah-olah benda itu adalah satu-satunya penanda bahwa dia masih punya sisa-sisa kemanusiaan. Segalanya terjadi dalam gerakan lambat yang menyiksa bagi Beni. Maya, dengan senyum tipis penuh arti, perlahan-lahan berlutut tepat di hadapannya. Posisinya begitu intim, begitu menguasai, membuat Beni merasa seperti mangsa yang terjebak. “Shhh... tenang saja,” bisik Maya, suaranya seperti belaian sekaligus ancaman. “Lihat, tidak susah kok.” Sebelum Beni sempat bereaksi, tangan Maya sudah bergerak cepat. Dengan gerakan mahir, ia membuka kancing atas bajunya, lalu yang berikutnya, hingga akhirnya membuka seluruh bagian depan. Maya terus berlenggak lenggok di depan Beni dengan gerakan erotis yang menggoda. Dua bukit kembar yang padat terguncang seirama dengan hentakan kaki–seolah mengundang setiap tangan pria untuk menjamahnya. “Ka–kamu terlalu dekat dengan kamera.” Beni memalingkan wajahnya ke samping. Maya tak menghiraukan ucapan Beni. Kedua tangannya justru membelai pipi pria polos itu dan mengarahkan pandangannya kembali ke depan. Beni terengah, matanya terpaksa menatap pemandangan yang membuatnya semakin bingung antara rasa malu dan sebuah hasrat purba yang mulai membara di lubuk hatinya. Ini adalah pertama kali baginya melihat keindahan tubuh wanita secara langsung. Biasanya dia hanya melihat dari sebuah film dewasa di laptopnya. “Tidak usah malu,” goda Maya, menangkap kebingungan di mata Beni. “Kamera masih merekam, kan? Biar penonton juga lihat betapa cantiknya aku untukmu.” Jemari Maya yang terampil lalu bergerak mendekati gesper sabuknya. Ujung jari itu menyentuh logam dingin, menahannya di sana, memberikan tekanan yang cukup untuk membuat Beni semakin gemetar. Napasnya tersangkut, dadanya sesak. Kamera di tangannya nyaris terlepas, digenggamnya erat-erat bagai tongkat penyelamat. Detak jantungnya berdebar kencang, memekakkan telinganya sendiri, menenggelamkan segala suara di sekitarnya kecuali desisan napas Maya dan bisikan Rendra di kejauhan. Lalu, Maya mengangkat wajahnya. Matanya yang berbedak tebal menatap langsung ke mata Beni, menembus lapisan pertahanan terakhirnya. Senyum samar mengembang di bibirnya yang merah. Dengan suara berbisik yang hanya bisa didengar Beni, dia menggoda, “Mau... kalau aku buka sekarang?”“Maafkan aku, Ibu,” bisiknya lirih sebelum menekan tombol panggilan.Dari seberang sana, suara Rendra terdengar datar. “Ya, Beni?”“Pak Rendra,” suara Beni tercekat, “kapan... kapan proyeknya dilanjutkan?”“Kau sudah tidak sabar ya?” sahut Rendra. “Besok jam delapan. Jangan sampai telat.”Tut... tut... tut...Begitu panggilan berakhir, Beni melemparkan ponselnya ke kasur. Keringat mengucur deras dari dahinya sering dengan desahan napasnya yang berat.Keesokan paginya, Beni berdiri kembali di depan apartemen mewah yang sama. Setiap langkah menuju lobi terasa seperti berjalan menuju tiang gantungan.“Setelah aku mendapat bayaran, aku akan berhenti menjadi kameramen.” Gumam Beni pada dirinya sendiri.Di dalam lift, bayangannya yang pucat terpantul di kaca. Dia mengenakan kemeja yang sama dengan pertemuan pertama, tapi kali ini tanpa semangat. Saat pintu apartemen terbuka, suasana yang sama menya
“Atas nama Mas Beni?” Seorang pria menyapa Beni yang sedang berdiri di depan gerbang kampus.Pria itu menggunakan atribut lengkap sebuah perusahaan aplikasi ojek online.“Iya benar, saya Beni.” Tanpa pikir panjang Beni langsung naik di belakang pengemudi ojek itu.Ternyata setelah mendapat pesan ancaman dari pelanggannya, Beni memutuskan untuk meninggalkan kampus.Tak peduli lagi dengan mata kuliah berikutnya, dengan tugas-tugas yang harus diselesaikan. Satu-satunya yang ada di pikirannya adalah laptopnya yang menyimpan beberapa proyek penting. “Mungkin setelah didiamkan beberapa hari, laptopnya bisa menyala lagi,” pikirnya dengan sedikit harapan yang naif.Perjalanan pulang ke kos terasa begitu panjang. Setiap hembusan angin dipenuhi kecemasan. Ia membayangkan bagaimana jika kliennya benar-benar melaporkannya ke polisi.Sesampainya di kamar kos yang sempit, ia langsung melemparkan tasnya ke kasur dan membuka laptop den
Keesokan paginya Beni kembali ke kampus setelah dua hari absen.“Tumben kau gak bawa motor sendiri?” Sapa seorang teman saat melihat Beni baru saja turun dari ojek.Beni memasang senyum ramah meski dalam pikirannya masih menyisakan kegelisahan. “Motorku mogok gak bisa—”Belum sempat Beni menyelesaikan kalimatnya, temannya langsung memotong. “Tanganmu kenapa kok diperban?”“Habis jatuh dan sedikit tergores.” Jawab Beni sekenanya.“Oh begitu,” Teman Beni tiba-tiba berjalan terlebih dahulu meninggalkan Beni.Gerbang kampus Institut Seni Media Digital (ISMD) berdiri megah di depan mata, dengan desain arsitektur modern yang kontras dengan keadaan Beni yang compang-camping.Dia melangkah menuju gedung Fakultas Film dan Digital Media – Jurusan Sinematografi, tempatnya bercita-cita menjadi sineas seperti ayahnya dulu. Dinding kaca gedung fakultas memantulkan bayangannya yang lesu, dengan tas kamera rusak tergantung di pundak dan perb
Beni di bawa ke sebuah klinik kecil yang tak jauh dari minimarket.“Beruntung lukanya tidak terlalu dalam,” kata dokter klinik dengan suara parau sambil membersihkan luka di lengan Beni.Maya yang mendengarnya juga memperhatikan luka di lengan Beni dengan perasaan khawatir. “Apa lukanya perlu dijahit, Dok?”“Tidak perlu.” Jawab Dokter dengan tenang sambil membalut luka dengan perban yang lebih rapi dari sebelumnya.“Tapi area yang luka harus dijaga kebersihannya,” lanjut Dokter itu dengan ramah sebelum beranjak ke ruangan belakang meninggalkan Beni dan Maya berdua saja.Suasana Klinik itu tampak sepi, hanya diterangi lampu neon yang berkedip-kedip. Bau obat dan desinfektan memenuhi ruang tunggu yang sempit.Maya duduk di samping Beni, tangannya masih sedikit gemetar. Di bawah cahaya lampu yang pucat, wajahnya terlihat lebih tirus dan lelah. Tanpa riasan, ia tampak lebih muda, dan lebih rapuh.“Kameramu...” ucap Maya lirih, matanya menatap perban di lengan Beni. “Aku... aku tidak tahu
“Kalian sampah masyarakat yang meresahkan!”Teriakan Beni memecah kesunyian minimarket. Dia menerjang perampok yang mencengkeram Maya, tubuh mereka bertubrukan dan jatuh terpelanting. Rak minuman kaleng di samping mereka roboh, puluhan kaleng berhamburan dan bergulingan di lantai bagai letusan peluru.“Kurang ajar!” raung perampok itu sambil bangkit dengan muka merah padam. Pisau di tangannya berkilat diterangi lampu neon.Beni menggapai pemadam api dari dinding. “Maya, lari!” teriak Beni sambil menyemprotkan busa putih ke arah mereka.Tapi perampok kedua sudah bergerak cepat, menangkap Maya dari belakang.“Jangan macam-macam!” bentak perampok kedua sambil menahan leher Maya.“Tolong! Tolong!”Pelanggan lain menjerit-jerit ketakutan. Seorang ibu dengan anak kecil bersembunyi di balik rak, sementara pria tua berusaha memecahkan kaca jendela dengan kursi plastik.“Diam kalian semua!” geram perampok pertama sambil mengelap wajahnya yang penuh busa. Pisau di tangannya mengayun ke arah Ben
“Bodoh! Bodoh sekali kau Beni!” Kalimat itu yang terus terlintas di pikiran Beni saat ini. Batinnya kacau seolah menyalahkan dirinya sendiri karena telah terjebak dalam situasi yang aneh.Malam harinya setelah syuting, Beni berbaring sendirian di kamar kos yang kini terasa seperti penjara. Dinding-dindingnya seakan mendesak, mengingatkannya pada kejadian tadi sore—tatapan Maya, senyum Rendra, dan bayangan kamera ayahnya yang menyaksikan semua kehancuran moralnya. Beni memutuskan keluar, berharap udara malam bisa membersihkan pikirannya.Dengan tas kamera yang mengalung di lehernya, dia menyusuri jalanan yang sepi. Lampu jalan yang redup menciptakan bayangan-bayangan panjang di aspal basah. Angin malam berhembus dingin, membuatnya menarik kerah jaketnya lebih rapat. Setiap langkah kakinya terasa berat, seolah masih membawa beban rasa malu dari apartemen mewah tadi sore.Harusnya aku menolak. Harusnya aku kabur, bisik hatinya, sambil menunduk melihat bayangannya sendiri yang terdistorsi







