Silvi menghela nafas lega saat mendengar suara dari seberang telfon. Itu benar-benar Celine. Bukan rekaman, bukan jebakan. Suara nyata yang datang dari seseorang yang setidaknya masih peduli. Seseorang yang bukan Julian.“Kenapa kamu mencariku?” tanyanya pelan, waspada.“Aku mau minta maaf,” jawab Celine. Suaranya terdengar tulus, ada penyesalan yang dalam di suaranya. “Aku udah dengar semuanya, aku salah paham. Dan sekarang... aku cuma mau bantu kamu.”Silvi terdiam sejenak sebelum menjawab. Tangannya menggulung ujung pakaian yang ia kenakan dengan resah. “Bantu apa? Aku bahkan baru bisa keluar kamar beberapa hari terakhir.”“Kita bisa cari jalan, aku akan bantu pikirin. Aku juga bisa bantu kamu ketemu Samuel lagi. Dia…”“Ga usah.” Suara Silvi yang memotong terdengar dingin, membuat Celine terdiam.“Tapi dia masih…”“Celine.” Suara Silvi yang kembali memotongnya kini terasa lebih menusuk, “Jangan bawa-bawa Samuel lagi.”Celine terdiam sebentar lalu mencoba sekali lagi, “Dia cuma pe
Pagi itu, Silvi yang sedang berdiri di ruang tamu memperhatikan pintu dan jendela yang tertutup rapat. Setelah ia diizinkan keluar dari kamar, Silvi baru menyadari bahwa hanya segelintir orang yang diizinkan keluar dari rumah itu secara rutin. Dan semua harus atas seizin Julian.Matanya memperhatikan tembok kaca yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan taman dengan intens hingga akhirnya Julian datang merangkul bahunya.“Kamu lagi mikirin apa?” Julian bertanya pelan, satu tangannya mengelus pundak Silvi yang sedikit terbuka.“Oh, engga.” Silvi menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari taman, “Cuma aku udah lama aja ga duduk di taman.”“Kamu mau keluar?” Silvi menoleh pelan ke arah Julian dan mendapati pria itu sedang tersenyum lembut padanya.“Boleh?” Silvi bertanya ragu.“Kalau denganku ga masalah.” Oh tentu saja, mana mungkin Julian mempercayai Silvi sepenuhnya secepat ini.“Lain kali aja kalau gitu.” Kata Silvi lembut, “Kamu harus kerja, kan.”“Aku bisa luangin waktu kalau kamu
Satu minggu berlalu dan Julian masih belum menyadari bahwa ada cincin yang menghilang dari lemarinya. Pria itu benar-benar hanya membeli tanpa memperhatikannya lagi. Uang di dompetnya juga sama, Julian tidak mencurigai ada yang hilang dari dalamnya.Silvi mengambilnya sebagai pertanda bahwa sejauh ini yang ia lakukan masih aman. Jika dia bisa mengambil satu saja perhiasan yang bernilai tinggi, itu bisa cukup sebagai dana daruratnya jika Silvi akhirnya memutuskan untuk pergi.Silvi menatap kembali lemari itu dengan dada yang berdebar keras. Apa yang harus ia ambil hari ini? Apa yang kemarin hanya beruntung? Bagaimana jika yang dia ambil kali ini sesuatu yang punya nilai di mata Julian?Atau haruskah ia mengambil salah satu tas desainer yang dipajang rapi di dalam lemari itu? Kalau dia bisa mengambilnya, benda itu punya nilai yang cukup tinggi. Tapi Silvi tidak mungkin bisa menyembunyikannya tanpa ketahuan.Silvi membuka lemari perhiasan dengan tangan gemetar. Ia menarik napas dalam-dal
“Aku mau sarapan di bawah.” Julian yang berdiri di ambang pintu untuk mengambil sarapan mereka ke lantai satumembalikkan badannya dan menatap Silvi yang berdiri di belakangnya.“Ya?”“Akau udah lama ga keluar kamar Julian.” Silvi berbicara dengan ragu-ragu, kedua tangannya ia sembunyikan di punggung, meremas satu sama lain. “Aku bosan…”Julian menatap Silvi ragu. Ia membuka mulutnya sesaat lalu menutupnya lagi. Julian belum mengatakan apapun, tapiSilvi mulai merasa cemas.. Apa pria itu berhasil mencium niatnya yang sebenarnya??“...Tunggu sebentar.” Ucap Julian akhirnya setelah berpikir beberapa saat, “Aku ke bawah dulu.”Silvi menganggukkan kepalanya pelan dan mendengarkan pintu kembali dikunci. Ia menghela nafas, tidak menyadari bahwa ia telah manahannya sejak tadi. Pria itu curiga. Silvi tahu Julian terlalu pintar untuk dibodohi seperti ini, tapi bagaimanapun juga dia tetap harus mencoba. Julian memastikan satu per satu pintu dan jendela telah terkunci begitu dia sampai di lant
Positif.Ada dua garis di sana dan Silvi sudah membaca petunjuk serta melihat hasilnya ratusan kali. Berkali-kali ia membolak balik kertas petunjuk itu seolah isinya bisa berubah jika Silvi berusaha lebih keras untuk membacanya.Isakan yang sejak tadi ia tahan mulai keluar dari bibirnya, air mata Silvi mulai membasahi ponselnya yang ia pegang, yang lagi-lagi mencoba mencari tahu, karena siapa tahu, hasilnya bisa berbeda. Siapa tahu dua garis di sana tidak menyatakan positif.Tapi tidak ada, semua mengatakan sama, dua garis berarti positif. Dan Silvi tidak sanggup membohongi dirinya lagi. Ia berjongkok di lantai kamar mandi, menampung wajahnya sendiri di kedua telapak tangannya dan menangis keras.Harusnya ia tidak bertingkah bodoh, harusnya ia tidak pernah membiarkan Julian menyentuhnya. Sekarang pria itu punya alasan baru untuk menahannya dan semua adalah hasil dan kebodohan Silvi sendiri.“Bodoh… bodoh…” Silvi merutuk, membisikkan kalimat penghinaan pada dirinya sendiri di antara is
Pagi itu, Silvi terbangun dengan tubuh lemas dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Mual datang tanpa aba-aba, menghantam perutnya begitu kuat hingga ia bergegas menuju kamar mandi. Suara muntah menggema di dalam kamar mandi dan tubuhnya gemetar hebat saat ia akhirnya terduduk di lantai kamar mandi.Pandangan Silvi kabur. Napasnya memburu. Dunia di sekelilingnya mendadak sunyi, kecuali suara detak jantungnya yang berdegup terlalu keras di telinga. Saat ia mencoba mengatur napas dan menyeka sisa muntah di bibirnya, pikirannya mulai memutar kemungkinan yang tidak ingin ia akui.Tidak mungkin, kan?Tapi… sudah berapa lama dia tidak datang bulan? Silvi memang sering kali terlambat datang bulan karena rasa stress. Tapi…Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dengan suara cepat, “Bu Silvi?!”Lina berdiri di ambang pintu, wajahnya panik saat melihat Silvi terduduk di lantai dengan tangan yang gemetar hebat. Tanpa menunggu aba-aba, Lina berlari mendekat, berlutut di sampingnya, dan meraih t