Home / Romansa / Hati yang Tak Pernah Siap / Tembok yang Mengurung Rindu

Share

Tembok yang Mengurung Rindu

Author: Faelelfa
last update Last Updated: 2025-06-16 15:03:20

Zea baru saja keluar dari ruang rapat saat udara di luar ruangan menyeruak ke wajahnya, seolah ikut melepaskan ketegangan yang menumpuk di dalam. Ia berjalan di lorong sendirian, hendak kembali ke ruang kerja Adrian untuk mengambil tasnya. Langkah-langkah di sekitarnya terdengar jauh, samar… sampai sebuah suara menghentikannya.

“Zea?”

Mereka saling diam beberapa detik. Dunia di sekitar seperti kehilangan suara. Hanya tatapan mereka yang berbicara. Tatapan yang penuh luka, tanya… dan rindu.

“Aku dengar Adrian lagi rapat hari ini,” kata Rayan pelan, langkahnya mendekat, “jadi... aku datang bukan sebagai konsultan. Aku datang untuk kamu, Zea.”

Zea berdiri dengan gugup, mencoba menata napasnya. “Rayan, ini bukan tempat—”

“Aku gak peduli tempatnya di mana,” potong Rayan, suaranya terdengar lelah namun tulus. “Aku cuma pengen lihat kamu. Langsung. Bukan dari kejauhan. Bukan dari laporan orang lain. Aku... cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”

Zea menggigit bibirnya. Matanya mulai basah. Ia ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Tapi tidak ada kata yang keluar. Hatinya terlalu sesak.

“Rayan… kamu gak seharusnya ada di sini,” ucap Zea lirih, mencoba melindungi dirinya dari emosi yang mengancam.

Rayan mendekat selangkah. “Tapi kamu juga gak seharusnya terlihat sesakit ini, Zea.”

Dan di detik itu, air mata Zea jatuh. Ia cepat-cepat menghapusnya, tapi Rayan sudah melihatnya. Ia tak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Ia rindu. Rindu pada seseorang yang dulu ia peluk sebagai masa depan, tapi kini hanya menjadi bagian dari masa lalu yang menolak pergi.

“Aku... aku kangen kamu,” gumam Zea, suaranya nyaris hilang.

Rayan menghela napas, menahan gejolak yang menyerangnya dari dalam. Ia ingin memeluk Zea saat itu juga, tapi ia tahu batasnya. Dunia mereka sudah berubah. Namun hatinya… tidak pernah berubah.

“Aku masih cinta kamu, Zea. Bahkan setelah semua ini. Aku gak datang buat nuntut apa-apa. Aku cuma mau kamu tahu itu.” tangannya bergerak menggenggam erat tangan di depannya.

Zea hanya bisa mematung. Jiwanya retak. Rindunya memuncak. Tapi ada nama Adrian yang menggantung di jari manisnya. Dan itu cukup untuk membuatnya menahan diri.

Sebelum Rayan pergi, ia menatap Zea sekali lagi.

“Kamu boleh pura-pura kuat, Zea. Tapi mata kamu gak bisa bohong. Kamu juga belum selesai sama aku.” Rayyan melepaskam genggaman tangannya.

Lalu Rayan melangkah pergi, meninggalkan jejak rindu yang menggantung di udara… dan hati Zea yang kembali porak poranda.

Zea duduk di sofa ruang kerja Adrian. Jemarinya gelisah, mengetuk-ngetuk lengan kursi tanpa sadar. Pertemuannya dengan Rayan tadi siang masih terasa begitu dekat aroma parfumnya, tatapan matanya, dan kata-kata yang menghantam hatinya dengan halus namun dalam.

Pintu ruangan terbuka perlahan.

Adrian melangkah masuk. Wajahnya seperti biasa tenang, dingin, dan nyaris tak terbaca. Tapi ada sesuatu di sorot matanya yang berbeda. Lebih tajam. Lebih menghantui.

“Kamu terlihat lelah,” katanya sambil membuka jas dan meletakkannya di gantungan. Ia mendekat, mengambil segelas air dan meneguknya perlahan.

Zea mengangguk singkat. “Cuma... hari yang panjang.”

“Dan penuh kejutan,” tambah Adrian, matanya kini menatap Zea lurus. “Termasuk tamu tak diundang yang datang ke kantor saat aku tidak ada.”

Zea sontak menegang. “Kamu tahu?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar.

“Tentu saja aku tahu.” Nada suara Adrian tetap datar, tapi mengandung bara yang mulai menyala. “Kamu pikir di gedung ini tidak ada kamera? Tidak ada pegawai yang akan melapor siapa saja yang masuk dan keluar ruanganku?”

Zea tertunduk. Jantungnya berdetak keras.

Adrian mendekat, duduk di hadapannya. “Apa kamu masih mencintainya, Zea?”

Pertanyaan itu seperti cambuk. Zea terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada jawaban yang keluar. Ia tidak ingin berbohong. Tapi ia juga tidak ingin menghancurkan kedamaian rapuh yang mereka bangun.

“Ini bukan tentang dia. Ini tentang aku… yang sedang berusaha bertahan di dunia kamu,” ucap Zea akhirnya, suaranya nyaris pecah.

Adrian menyipitkan mata. “Kamu tahu sejak awal pernikahan ini bukan tentang cinta, Zea. Aku tidak pernah memintamu mencintaiku. Tapi jika kamu ingin hidup dalam dua dunia, aku tidak akan mentolerirnya.”

Zea mengangkat wajahnya, kini matanya tajam. “Aku tidak hidup dalam dua dunia. Tapi aku juga bukan boneka yang bisa kamu arahkan semaumu. Aku manusia, Adrian. Aku masih punya luka. Dan itu tidak hilang hanya karena aku menikahimu.”

Keheningan jatuh.

Adrian menatap Zea lama, matanya sedikit melunak… namun tetap berjarak.

“Mulai sekarang,” katanya pelan namun tegas, “kamu tidak akan lagi bertemu dengannya. Di kantor ini, di luar, atau di mana pun. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Tapi kalau itu terjadi lagi… aku akan buat Rayan menghilang dari seluruh jaringan bisnis di negeri ini.”

Zea tercekat. Ancaman itu dingin, kejam… tapi juga realistis. Ini dunia Adrian dan ia sedang menunjukkan kuasanya.

“Adrian…” Panggil Zea dengan nada pelan.

“Kamu istriku, Zea. Dan aku tidak suka berbagi.”

Adrian berdiri dan meninggalkan ruangan. Pintu tertutup dengan suara pelan, tapi gaungnya menggema keras di dada Zea.

Ia kini tahu, rindu yang disembunyikan bukan hanya bisa membakar hati… tapi juga memicu perang yang tak terhindarkan.

Zea menatap pintu yang baru saja ditutup Adrian. Wajahnya tetap diam, tapi dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menekan kuat dari dalam. Kata-kata Adrian tadi terus terngiang dalam kepalanya:

“Kamu tidak akan lagi bertemu dengannya. Aku tidak suka berbagi.”

Ia menghembuskan napas berat, lalu duduk kembali perlahan. Tatapannya kosong menatap meja kaca di depannya, dan dalam pantulan itu, ia melihat dirinya sendiri seorang wanita yang dahulu hidup dengan mimpi, kini terjebak dalam kenyataan yang tak pernah ia pilih.

Air mata menggenang di matanya, tapi tidak jatuh. Ia belajar untuk menahan. Untuk menyembunyikan segala luka di balik senyum dan diam.

Tapi hari ini... larangan Adrian terasa seperti rantai terakhir yang mengikat tubuh dan hatinya sepenuhnya.

Ia berdiri, berjalan menuju jendela besar yang menghadap kota. Tangannya ia rentangkan ke depan dan menutup kedua matanya.

Hujan mulai turun pelan, membasahi tangannya. Setiap tetesnya seolah membisikkan kerinduan yang tak tertahankan.

Zea bersandar di balkon kamar. Di antara gemuruh langit dan dinginnya malam, ia berbisik dengan begitu pelan, “Maafkan aku, Rayan... Mungkin kali ini aku benar-benar harus menyerah.”

Rasa terkejut ketika suara pintu yang berbunyi. "Setelah pulang dari sini aku ingin bicara denganmu. Tetapi sebelum itu, pastikan kamu tidak menyembunyikkan apapun dariku, Zea!"

Kemudian ia berjalan menjauh, langkahnya perlahan... tapi menyisakan tekanan yang berat di udara.

Zea berdiri di ambang pintu, menggenggam sisi pintu erat-erat. Dadanya sesak mendengar apa yang dikatakan oleh suaminya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Luka yang Harus di Sembunyikan

    Siang itu rumah terasa lebih hening dari biasanya. Zea duduk di kursi ruang tamu, matanya kosong menatap jendela yang tertutup tirai tipis. Bayangan kejadian di lobi hotel terus menari-nari di kepalanya, membuat dadanya sesak.Ia memegang perutnya yang membuncit, mencoba mengalihkan pikiran dengan membelai pelan janin yang tengah tumbuh di rahimnya. Namun rasa panas di hatinya tak kunjung mereda.Baru saja ia bernapas lebih lega, langkah kaki Adrian terdengar dari arah kamar. Lelaki itu keluar dengan wajah serius, kemeja kerja sudah rapi menempel di tubuhnya. Zea segera tahu, sebentar lagi Adrian akan berangkat ke kantor.“Zea,” suara Adrian terdengar berat, tapi bukan nada lembut yang biasa ia harapkan. Lelaki itu berdiri di depannya, satu tangannya memasukkan ponsel ke saku celana, sementara satu lagi menggenggam map kerja. “Hari ini aku mungkin pulang agak larut. Jadi… aku titip Tiara sama kamu, ya.”Zea mendongak, matanya langsung membesar. “Titip… Tiara?” suaranya serak, hampir t

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Bayangan di Pelukkan

    Jam dinding di lobi hotel sudah menunjukkan pukul 11.50 siang. Suasana hotel perlahan ramai dengan tamu-tamu yang juga bersiap untuk check out. Suara koper beroda berderit di lantai marmer yang licin, bercampur dengan percakapan pelan dan sapaan ramah dari staf hotel yang berdiri di dekat meja resepsionis.Zea duduk di sofa panjang lobi, tangannya mengelus perutnya yang kian membesar. Sesekali ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang sejak pagi masih terasa berat setelah kejadian semalam di area permandian air panas. Senyum samar Tiara masih membayang jelas di kepalanya, seperti bayangan hitam yang sulit diusir.Kevin sibuk memainkan mainan kecil yang dibelikan kakeknya pagi tadi. Anak itu tertawa kecil, polos, tak mengerti betapa tegangnya hawa di antara orang dewasa yang ada di sekitarnya.Zea memandang sekeliling, mencari sosok Adrian yang tadi pergi ke kamar Tiara. Kata suaminya, ia hanya akan membantu membawakan barang bawaan karena Tiara katanya masih merasa ke

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Kelicikan Tiara

    Udara sore di area permandian air panas hotel terasa berbeda, kali ini lebih lembap, menenangkan, dengan aroma belerang yang samar-samar berpadu dengan wangi bunga kamboja dari taman kecil di sekitarnya.Kolam air panas itu terbagi dalam beberapa bagian. Kolam utama yang luas dengan pancuran air terjun buatan dan kolam kecil di sisi kiri yang lebih privat untuk keluarga.Langit perlahan berwarna jingga, burung-burung berterbangan pulang ke sarang, sementara lampu-lampu taman mulai menyala satu per satu. Uap putih tipis naik dari permukaan air, melayang di udara, membuat suasana semakin syahdu.Adrian tampak tenang dengan handuk melilit pinggang, duduk di pinggir kolam sambil sesekali memperhatikan Kevin yang riang bermain air. Kevin tertawa kecil, cipratan airnya mengenai wajah Adrian, dan lelaki itu membalas dengan senyum tipis yang jarang ia tunjukkan pada orang lain.Zea, dengan hati-hati, menuruni anak tangga kolam sambil memegang perutnya. Ia memilih duduk di sisi kolam, merendam

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Sarapan yang Penuh Ketegangan

    Pagi di hotel bintang lima itu terasa berbeda. Cahaya matahari menerobos lembut dari jendela kaca besar restoran yang menghadap kolam renang. Suara dentingan sendok dan garpu berpadu dengan alunan musik jazz lembut yang dimainkan dari pengeras suara. Para tamu hotel lalu-lalang dengan pakaian santai, sebagian besar keluarga kecil atau pasangan muda yang terlihat bahagia menikmati akhir pekan mereka.Zea duduk di kursi dekat jendela, bersebelahan dengan Ibu Adrian. Ia mencoba tersenyum, meski perasaannya masih terguncang sejak malam sebelumnya.Malam di mana Kevin menangis histeris dan menolak tidur bersama ibunya. Malam di mana tatapan tajam bocah kecil itu terus menghantuinya hingga kini.Di meja itu sudah tersedia aneka hidangan sarapan prasmanan, roti panggang, selai, omelet, sup hangat, sereal, buah segar, hingga kopi dan teh. Semua tampak lengkap, menggugah selera, namun bagi Zea, rasa lapar seperti sudah menguap.Ibu Adrian menoleh padanya dengan senyum hangat. “Zea, bagaimana

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Malam di Balik Dinding Hotel

    Suasana lobi hotel bintang lima di Jakarta terasa megah. Lampu gantung kristal menjuntai di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya ke lantai marmer putih yang licin.Aroma wangi bunga segar dari vas raksasa di tengah ruangan membuat suasana semakin terasa mewah.Keluarga Adrian berdiri di depan meja resepsionis, menunggu proses check-in. Zea meremas ujung tasnya dengan gugup, sementara matanya sesekali melirik ke arah Kevin yang tampak menempel di sisi Adrian. Anak itu terus menarik-narik tangan ayahnya, seakan tak ingin dipisahkan walau sebentar.“Untuk kamarnya bagaimana, Bu?” tanya resepsionis dengan senyum ramah.Ibu Adrian menoleh ke arah suaminya sebentar sebelum menjawab, “Kita pesan tiga kamar. Satu untuk kami berdua, satu untuk Adrian dan Zea, lalu satu lagi untuk Tiara dan Kevin.”Kevin sontak menoleh cepat. Bola matanya membesar, bibir mungilnya mulai bergetar. “Aku nggak mau Papa tidur bersama dengan Tante Zea,” ucapnya pelan tapi jelas, membuat semua orang menoleh.Tia

  • Hati yang Tak Pernah Siap   Pagi yang Penuh Sandiwara

    Matahari pagi merayap pelan di balik tirai jendela kamar Zea. Aroma teh manis dan roti panggang mengalun dari dapur, membangkitkan rasa hangat yang hanya bisa ia temukan di rumah ibunya. Meski begitu, ada kegelisahan yang tak bisa ia enyahkan sejak membuka mata.Suara deru mobil berhenti di depan rumah membuatnya menoleh ke arah jendela. Tidak butuh waktu lama untuk mengenali siapa yang datang, mobil hitam milik orang tua Adrian.Zea menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba memacu. “Kenapa mereka ke sini pagi-pagi?” pikirnya. Perasaannya bercampur, ada rasa kaget, cemas, dan sedikit takut.Ketukan pintu terdengar, dan suara ramah ibunya menyambut, “Oh, Pak, Bu… silakan masuk.”Zea segera merapikan rambutnya, menepuk-nepuk pipinya agar tak terlihat sembab, lalu melangkah keluar kamar.“Zea… Sayang.” Suara lembut Ibu Adrian memanggilnya. Wanita itu bangkit dari sofa dan langsung meraih tangannya, menggenggam erat. “Nak, kami dengar kamu pergi dari

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status