Zea baru saja keluar dari ruang rapat saat udara di luar ruangan menyeruak ke wajahnya, seolah ikut melepaskan ketegangan yang menumpuk di dalam. Ia berjalan di lorong sendirian, hendak kembali ke ruang kerja Adrian untuk mengambil tasnya. Langkah-langkah di sekitarnya terdengar jauh, samar… sampai sebuah suara menghentikannya.
“Zea?” Mereka saling diam beberapa detik. Dunia di sekitar seperti kehilangan suara. Hanya tatapan mereka yang berbicara. Tatapan yang penuh luka, tanya… dan rindu. “Aku dengar Adrian lagi rapat hari ini,” kata Rayan pelan, langkahnya mendekat, “jadi... aku datang bukan sebagai konsultan. Aku datang untuk kamu, Zea.” Zea berdiri dengan gugup, mencoba menata napasnya. “Rayan, ini bukan tempat—” “Aku gak peduli tempatnya di mana,” potong Rayan, suaranya terdengar lelah namun tulus. “Aku cuma pengen lihat kamu. Langsung. Bukan dari kejauhan. Bukan dari laporan orang lain. Aku... cuma mau tahu kamu baik-baik saja.” Zea menggigit bibirnya. Matanya mulai basah. Ia ingin mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Tapi tidak ada kata yang keluar. Hatinya terlalu sesak. “Rayan… kamu gak seharusnya ada di sini,” ucap Zea lirih, mencoba melindungi dirinya dari emosi yang mengancam. Rayan mendekat selangkah. “Tapi kamu juga gak seharusnya terlihat sesakit ini, Zea.” Dan di detik itu, air mata Zea jatuh. Ia cepat-cepat menghapusnya, tapi Rayan sudah melihatnya. Ia tak bisa lagi menyembunyikan perasaannya. Ia rindu. Rindu pada seseorang yang dulu ia peluk sebagai masa depan, tapi kini hanya menjadi bagian dari masa lalu yang menolak pergi. “Aku... aku kangen kamu,” gumam Zea, suaranya nyaris hilang. Rayan menghela napas, menahan gejolak yang menyerangnya dari dalam. Ia ingin memeluk Zea saat itu juga, tapi ia tahu batasnya. Dunia mereka sudah berubah. Namun hatinya… tidak pernah berubah. “Aku masih cinta kamu, Zea. Bahkan setelah semua ini. Aku gak datang buat nuntut apa-apa. Aku cuma mau kamu tahu itu.” tangannya bergerak menggenggam erat tangan di depannya. Zea hanya bisa mematung. Jiwanya retak. Rindunya memuncak. Tapi ada nama Adrian yang menggantung di jari manisnya. Dan itu cukup untuk membuatnya menahan diri. Sebelum Rayan pergi, ia menatap Zea sekali lagi. “Kamu boleh pura-pura kuat, Zea. Tapi mata kamu gak bisa bohong. Kamu juga belum selesai sama aku.” Rayyan melepaskam genggaman tangannya. Lalu Rayan melangkah pergi, meninggalkan jejak rindu yang menggantung di udara… dan hati Zea yang kembali porak poranda. Zea duduk di sofa ruang kerja Adrian. Jemarinya gelisah, mengetuk-ngetuk lengan kursi tanpa sadar. Pertemuannya dengan Rayan tadi siang masih terasa begitu dekat aroma parfumnya, tatapan matanya, dan kata-kata yang menghantam hatinya dengan halus namun dalam. Pintu ruangan terbuka perlahan. Adrian melangkah masuk. Wajahnya seperti biasa tenang, dingin, dan nyaris tak terbaca. Tapi ada sesuatu di sorot matanya yang berbeda. Lebih tajam. Lebih menghantui. “Kamu terlihat lelah,” katanya sambil membuka jas dan meletakkannya di gantungan. Ia mendekat, mengambil segelas air dan meneguknya perlahan. Zea mengangguk singkat. “Cuma... hari yang panjang.” “Dan penuh kejutan,” tambah Adrian, matanya kini menatap Zea lurus. “Termasuk tamu tak diundang yang datang ke kantor saat aku tidak ada.” Zea sontak menegang. “Kamu tahu?” tanyanya dengan suara sedikit gemetar. “Tentu saja aku tahu.” Nada suara Adrian tetap datar, tapi mengandung bara yang mulai menyala. “Kamu pikir di gedung ini tidak ada kamera? Tidak ada pegawai yang akan melapor siapa saja yang masuk dan keluar ruanganku?” Zea tertunduk. Jantungnya berdetak keras. Adrian mendekat, duduk di hadapannya. “Apa kamu masih mencintainya, Zea?” Pertanyaan itu seperti cambuk. Zea terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada jawaban yang keluar. Ia tidak ingin berbohong. Tapi ia juga tidak ingin menghancurkan kedamaian rapuh yang mereka bangun. “Ini bukan tentang dia. Ini tentang aku… yang sedang berusaha bertahan di dunia kamu,” ucap Zea akhirnya, suaranya nyaris pecah. Adrian menyipitkan mata. “Kamu tahu sejak awal pernikahan ini bukan tentang cinta, Zea. Aku tidak pernah memintamu mencintaiku. Tapi jika kamu ingin hidup dalam dua dunia, aku tidak akan mentolerirnya.” Zea mengangkat wajahnya, kini matanya tajam. “Aku tidak hidup dalam dua dunia. Tapi aku juga bukan boneka yang bisa kamu arahkan semaumu. Aku manusia, Adrian. Aku masih punya luka. Dan itu tidak hilang hanya karena aku menikahimu.” Keheningan jatuh. Adrian menatap Zea lama, matanya sedikit melunak… namun tetap berjarak. “Mulai sekarang,” katanya pelan namun tegas, “kamu tidak akan lagi bertemu dengannya. Di kantor ini, di luar, atau di mana pun. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Tapi kalau itu terjadi lagi… aku akan buat Rayan menghilang dari seluruh jaringan bisnis di negeri ini.” Zea tercekat. Ancaman itu dingin, kejam… tapi juga realistis. Ini dunia Adrian dan ia sedang menunjukkan kuasanya. “Adrian…” Panggil Zea dengan nada pelan. “Kamu istriku, Zea. Dan aku tidak suka berbagi.” Adrian berdiri dan meninggalkan ruangan. Pintu tertutup dengan suara pelan, tapi gaungnya menggema keras di dada Zea. Ia kini tahu, rindu yang disembunyikan bukan hanya bisa membakar hati… tapi juga memicu perang yang tak terhindarkan. Zea menatap pintu yang baru saja ditutup Adrian. Wajahnya tetap diam, tapi dadanya terasa sesak, seolah ada sesuatu yang menekan kuat dari dalam. Kata-kata Adrian tadi terus terngiang dalam kepalanya: “Kamu tidak akan lagi bertemu dengannya. Aku tidak suka berbagi.” Ia menghembuskan napas berat, lalu duduk kembali perlahan. Tatapannya kosong menatap meja kaca di depannya, dan dalam pantulan itu, ia melihat dirinya sendiri seorang wanita yang dahulu hidup dengan mimpi, kini terjebak dalam kenyataan yang tak pernah ia pilih. Air mata menggenang di matanya, tapi tidak jatuh. Ia belajar untuk menahan. Untuk menyembunyikan segala luka di balik senyum dan diam. Tapi hari ini... larangan Adrian terasa seperti rantai terakhir yang mengikat tubuh dan hatinya sepenuhnya. Ia berdiri, berjalan menuju jendela besar yang menghadap kota. Tangannya ia rentangkan ke depan dan menutup kedua matanya. Hujan mulai turun pelan, membasahi tangannya. Setiap tetesnya seolah membisikkan kerinduan yang tak tertahankan. Zea bersandar di balkon kamar. Di antara gemuruh langit dan dinginnya malam, ia berbisik dengan begitu pelan, “Maafkan aku, Rayan... Mungkin kali ini aku benar-benar harus menyerah.” Rasa terkejut ketika suara pintu yang berbunyi. "Setelah pulang dari sini aku ingin bicara denganmu. Tetapi sebelum itu, pastikan kamu tidak menyembunyikkan apapun dariku, Zea!" Kemudian ia berjalan menjauh, langkahnya perlahan... tapi menyisakan tekanan yang berat di udara. Zea berdiri di ambang pintu, menggenggam sisi pintu erat-erat. Dadanya sesak mendengar apa yang dikatakan oleh suaminya.Hujan turun perlahan di luar jendela cafe kecil di sudut kota. Tempat itu tenang, hampir kosong, hanya ada dua pria yang duduk saling berhadapan di meja paling pojok. Tak ada senyum. Tak ada sapa basa-basi.Rayyan duduk lebih dulu, matanya menatap ke luar, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi bergolak. Ia tak mengira akan dihubungi oleh seseorang yang selama ini hanya hidup dalam bayangan, Adrian Mahendra."Terima kasih sudah datang," ujar Adrian, duduk dengan tenang dan rapi. Suaranya rendah, namun membawa beban berat.Rayyan menatapnya. Wajah itu dingin, tak tersentuh emosi. Seolah segala rasa hanya gangguan bagi logika."Aku tidak datang untuk basa-basi," jawab Rayyan, datar. "Kalau kau ingin bicara soal Zea, katakan langsung."Adrian mengangguk perlahan, lalu menyilangkan tangan. "Kau tahu posisimu, Rayyan. Dan aku rasa, kau cukup cerdas untuk memahami batas yang seharusnya tidak lagi kau lewati."Rayyan menahan amarah yang mulai mendidih di dadanya. "Kalau kau ingin men
Malam itu, udara dalam rumah begitu sunyi. Matahari sudah tergantikkan oleh bulan, namun ketegangan telah merayap di setiap sudut ruangan. Zea melangkah perlahan menuju ruang makan, menemukan Adrian sudah duduk rapi dengan setelan kerjanya. Wajahnya tenang, tapi tatapannya tajam. “Duduk,” katanya singkat. Zea menurut, duduk dengan gugup di seberangnya. Tak ada sapa, tak ada basa-basi. Adrian menyisipkan secangkir kopi sebelum akhirnya berkata. "Hari ini kau tidak pulang tepat waktu.” Zea diam. Ia menunduk. “Aku tahu kau bertemu dengan Rayyan,” lanjut Adrian, suaranya tetap tenang, namun mulai terdengar tekanan di setiap katanya. “Aku pergi darimu karena aku berpikir kau butuh ruang. Tapi ini hanya sekali, Zea. Hanya sekali.” Zea mengangkat wajahnya, hatinya berdegup kencang. “Adrian, aku tidak melakukan apa-apa yang mempermalukanmu.” “Tidak mempermalukan di mata umum, ya. Tapi tahu apa yang bisa terjadi kalau seseorang melihat kalian?” Adrian mencondongkan tubuhnya sedikit. Mata
Zea baru saja keluar dari ruang rapat saat udara di luar ruangan menyeruak ke wajahnya, seolah ikut melepaskan ketegangan yang menumpuk di dalam. Ia berjalan di lorong sendirian, hendak kembali ke ruang kerja Adrian untuk mengambil tasnya. Langkah-langkah di sekitarnya terdengar jauh, samar… sampai sebuah suara menghentikannya.“Zea?”Mereka saling diam beberapa detik. Dunia di sekitar seperti kehilangan suara. Hanya tatapan mereka yang berbicara. Tatapan yang penuh luka, tanya… dan rindu.“Aku dengar Adrian lagi rapat hari ini,” kata Rayan pelan, langkahnya mendekat, “jadi... aku datang bukan sebagai konsultan. Aku datang untuk kamu, Zea.”Zea berdiri dengan gugup, mencoba menata napasnya. “Rayan, ini bukan tempat—”“Aku gak peduli tempatnya di mana,” potong Rayan, suaranya terdengar lelah namun tulus. “Aku cuma pengen lihat kamu. Langsung. Bukan dari kejauhan. Bukan dari laporan orang lain. Aku... cuma mau tahu kamu baik-baik saja.”Zea menggigit bibirnya. Matanya mulai basah. Ia in
Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul ketika Zea terbangun di kamar yang asing namun kini menjadi miliknya. Dinding-dindingnya berwarna abu-abu dingin, sama seperti pria yang kini sah menjadi suaminya. Adrian tidak ada di kamar. Hanya sisa aroma parfum maskulinnya yang samar-samar tertinggal di udara, menandakan ia sudah pergi entah sejak kapan. Zea duduk di ranjang besar itu, menatap kosong ke arah jendela. Dalam kesunyian itu, kenangan tentang Rayam datang tanpa diundang. Senyum hangatnya, cara dia memanggil namanya dengan penuh sayang, hingga janji-janji yang kini tak punya arti. Semua itu berputar dalam pikirannya, menciptakan luka yang belum sempat sembuh. "Aku akan selalu lindungi kamu, Zea. Apapun yang terjadi." Ucapan Rayam bergema jelas dalam benaknya, menghantam kenyataan bahwa kini ia bukan milik Rayam lagi. Ia telah memilih atau lebih tepatnya, dipaksa memilih jalan yang berbeda. Jalan yang membuatnya berdiri di sisi pria yang bahkan tak pernah menatapnya dengan
Langit Jakarta sore itu cerah, seperti sengaja ikut merayakan pesta yang megah. Hotel bintang lima di pusat kota dipenuhi bunga putih dan lilin kristal. Musik klasik mengalun pelan, menyatu dengan gemerisik gaun dan bisik-bisik tamu undangan yang mengenakan pakaian terbaik mereka.Di tengah aula besar itu, Zea berdiri di balik pintu kayu ukiran yang akan segera terbuka menuju altar.Gaun pengantinnya indah, renda halus menyelimuti kulitnya, kilau mutiara menari di sepanjang lengan, dan kerudung tipis menjuntai dari kepala hingga tumit. Semua sempurna. Semua sesuai rencana. Semua... kecuali hatinya.“Zea,” suara lembut Bu Ratna menyentuh bahunya, “ini waktunya."Zea menoleh. Ibunya tampak anggun dengan kebaya berwarna biru muda. Tapi mata itu menyimpan kegundahan yang disembunyikan oleh senyum tipis.“Ayahmu menunggumu di depan,” lanjut Bu Ratna.Zea mengangguk pelan. “Iya, Ma.”Pintu terbuka perlahan. Musik berganti. Semua mata menoleh. Kilatan kamera mulai membanjir. Di ujung ruangan
Pagi itu, matahari belum tinggi. Udara Jakarta masih dingin dan basah sisa gerimis malam. Zea duduk di ruang tamu, mengenakan kemeja putih polos dan celana kain abu-abu. Rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya polos, tanpa riasan. Tapi sorot matanya tegas. Siap menghadapi apapun.Ia menunggu.Jam berdetak. Detik demi detik seperti tikaman ke dada. Ia tak tahu apakah Rayyan benar-benar akan datang... atau apakah keputusannya tadi malam hanyalah sebuah harapan yang terlalu tinggi untuk dijangkau.Lalu—bel pintu berbunyi.Zea langsung berdiri. Jantungnya melonjak. Langkah-langkahnya cepat menuju pintu. Dan saat daun pintu dibuka, bukan Rayyan yang berdiri di sana melainkan... Ibunya.Wajah Bu Ratna tampak letih. Rambutnya disanggul rapi, tapi ada getar di ujung bibirnya. “Mama dengar semuanya semalam,” katanya pelan.Zea menunduk. “Mama mau marah?”Zea menutup pintu perlahan, lalu mengikuti ibunya ke ruang tamu. Mereka duduk di sofa yang sama, tapi terasa seperti dipisahkan oleh jarak ber