Pertanyaan Yudha membuat Allan merasakan debaran di dadanya. Mimi, gadis itu juga tak kalah terkejut. Wajahnya sedikit merona. "Eeehhh, sebenarnya ...." "Tidak apa. Bagus kamu sudah move on. Hidup memang terus berjalan. Kamu pantas bahagia, Lan." Yudha tersenyum lebar. Allan dan Mimi bertatapan. Tapi tak satupun dari keduanya yang berusaha meluruskan apa yang Yudha pikirkan. "Aku akan cukup lama menjalani hukumanku. Dan kamu, aku senang, kamu akan bisa meneruskan cita-cita kita. Dalton akan siap kapan saja mendukung. Aku harap kamu segera melejit dan dikenal banyak orang." Yudha melanjutkan perkataannya. "Apakah kamu tidak bisa melukis di sini?" Allan bertanya. "Bisa, tentu saja." Yudha menjawab cepat. "Kamu masih melukis atau tidak?" Allan memandang Yudha. "Belum pernah berhasil. Aku mencoba beberapa kali, aku merasa tidak puas. Yang aku bayangkan dan yang tertuang tidak sesuai, aku tidak mampu." Yudha menggeleng keras. Setelah peristiwa kelam yang dia alami, Yudha tidak bisa
Allan mengajak Mimi berjalan menuju taman perumahan yang tidak begitu jauh dari rumah. Hari belum terlalu malam, suasana masih asyik buat jalan berdua. Velia sangat senang melihat Allan banyak berubah. Dari yang dia perhatikan putranya sedang mendekati Mimi. Tentu saja hatinya gembira. Namun, dia tidak akan ikut campur, biar mereka melakukan dengan natural. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi nanti? Allan melangkah dengan hati riang. Dia siapkan malam ini untuk bisa mendekati Mimi. Dia akan pakai waktu istimewa itu untuk mengungkapkan isi hatinya pada Mimi. Mimi yang ada di sisinya terlihat ceria. Di hari istimewa ini Allan memberi dia hadiah ulang tahun. Dia akan buka nanti hadiah dari Allan, saat sudah kembali ke rumah. Taman sepi. Hanya ada tiga orang tampak duduk-duduk di kursi taman. Allan mengajak Mimi duduk di sisi yang lain. Dia tidak ingin mengganggu dan terganggu dengan kehadiran orang lain. "Langit cerah, ya? Cantik, bulan hampir penuh." Mimi menatap langit di atas mere
Di depan rumah besar itu, Viviana menyambut putrinya yang baru tiba di rumah. Liburan Mimi sudah mulai dan Mimi akan menghabiskan masa libur bersama keluarga. "Sayang, akhirnya ...." Viviana memeluk putri bungsunya. Dia sangat rindu bisa menikmati waktu bersama Mimi. Meskipun sudah mahasiswa, buat Viviana, Mimi tetap putri kecilnya. "Kangen banget, Ma." Mimi membalas pelukan Viviana erat. "Kamu datang pas waktu makan siang. Yuk, kita langsung aja makan sama-sama." Viviana mengajak Mimi masuk terus ke ruang makan. "Mama masak apa?" Mimi sudah rindu masakan mamanya. Apalagi kalau Viviana membuat gado-gado, Mimi bisa nambah dua kali. Dan yang Mimi bayangkan ada tepat di depannya. Di atas meja makan terhidang gado-gado kesukaan Mimi. Senyum Mimi makin lebar. Tanpa dikomando, Mimi langsung mengambil piring dan menampung macam-macan isian gado-gado di piringnya. Viviana tersenyum senang melihat Mimi bersemangat makan. Sambil makan bersama, mulai Mimi bercerita tentang banyak hal pada
Di atas kereta, di tengah perjalanan menuju Surabaya, Dayinta mengeluarkan uneg-uneg pada Ricky. Dia tidak bisa menyembunyikan galau hatinya karena kenyataan yang dia temui saat ke rumah Allan. Dayinta menceritakan tentang Allan yang suka Mimi. Dan itu membuat dia sedih. Padahal dia berharap bisa mendekati Allan. Ricky tersenyum dalam hati. Dia benar. Allan suka Mimi. Dan Dayinta tahu sendiri jika pikiran Ricky benar. Berikutnya, kesempatan Ricky untuk mendekat pada Dayinta. "Aku benar, kan? Kak Allan suka Mimi? Kalau begitu kamu jangan paksa diri, Day." Ricky mencoba menenangkan Dayinta. "Aku tahu. Yang buat aku makin sedih, Mimi makin dekat sama Kak Nehan." Dayinta menghela napas. Dia hampir yakin Mimi dan Nehan tidak lama akan jadi sepasang kekasih. Lalu Allan? Dia akan patah hati lagi. Ricky mencoba memahami jalan pikiran Dayinta. Dia sedih takut Allan terluka. Tentu, bisa dimaklumi. Allan baru berani melihat dunia lagi. Dia baru keluar dari gua pertapaannya. Lalu, kalau dia ke
Hati Mimi berdebar tidak karuan. Allan mengatakan dia kangen Mimi. Ya ampun, Mimi bingung jadinya harus bersikap bagaimana. Tapi Mimi juga tidak mau sok baik, yang akan membuat Allan berpikir Mimi memang membuka hati buat Allan. "Iya, Kak. Ga apa-apa, ya. Nanti aku pasti balik, kan? Cuma sebulan aja aku di Surabaya." Mimi memegang dadanya, menekan rasa tidak teratur yang seperti naik turun di sana. "Oke. Pas kamu balik, lukisannya jadi. Aku janji." Allan kembali tersenyum. Hatinya berdesir, membayangkan gadis cantik itu tersenyum padanya. "Oh, iya," sahut Mimi. "Kalau kamu balik, buatin pancake, ya?" Allan jadi ingat pancake Mimi, kali pertama dia masak buat Allan. "Eh, iya. Nanti aku buatin." Mimi menggigit bibirnya. Aduh, makin ga karuan rasa hati. Makin rasa bersalah jadinya. Dayinta tidak mendengar apa yang Mimi dan Allan katakan, tapi dari ekspresi sahabatnya itu dia tahu, Mimi merasa tidak nyaman. Dayinta makin penasaran saja. Selesai Mimi bertelpon segera dia tanya, apa ya
Allan sangat senang bisa memberi kejutan buat Mimi. Dia yakin dengan apa yang dia lakukan Mimi akan mengerti Allan serius dengan cintanya buat gadis itu. Dan jika begitu Mimi pasti mau membuka hatinya untuk Allan. Sedikit banyak, Allan juga merasa Mimi ada hati padanya dengan semua kebaikan dan kesabaran yang Mimi tunjukkan saat bersama Allan. Hari mulai sore, Mimi minta waktu menyiapkan diri untuk nanti akan menemani Allan ke opening pameran lukisan. Mimi masuk ke dalam, bersiap. Sementara Allan duduk di depan ditemani Hendra yang sudah pulang dari kantor. Viviana menemui Mimi yang tengah duduk di depan meja memakai make up. Dia perhatikan putrinya yang bukan lagi remaja, dia sudah dewasa. Cantik dan menarik. "Mi, kamu rasa tidak kalau Allan ada hati sama kamu?" Viviana tidak mau menyembunyikan ini dari Mimi. Dia harus bicara karena ini sesuatu yang bukan main-main. Mimi menghentikan tangannya yang sedang memegang lipstik akan mengoles di bibir mungilnya. Dia menoleh pada Viviana.
Mimi merasa dadanya berdetak tak karuan. Tatapan tajam Allan menghujam padanya. Tangan Mimi masih memegang ponsel dan mendengarkan Nehan bicara di sana. "Iya, Kak. Besok? Iya." Mimi sedikit gugup. Dia menunduk, menghindari tatapan Allan. "Oke, sampai besok, Sayang. Ajak aku ke tempat seru ya, biar romantis, haa ... haa ...." Nehan terdengar sangat senang bisa bicara dengan Mimi. Lalu telpon selesai. Allan masih berdiri di tempatnya, menatap Mimi. Mimi gelisah. Apa yang akan terjadi selanjutnya? "Itu siapa?" tanya Allan. Nada suaranya datar. "Kak Nehan." Mimi tidak mungkin berbohong. "Kamu bisa jelaskan apa yang terjadi?" tanya Allan lagi. "Kak ...." Mimi makin gugup. Mau tidak mau dia harus bicara. "Kak Nehan dan aku, kami ...." Mimi menarik napas menetralkan hatinya. "Kami, udah jadian." Allan merasa dadanya bergejolak. Ada rasa marah di sana. Dia cemburu. Sejak awal dia melihat Nehan, dia tahu kalau cowok itu akan mengejar Mimi. Tapi dia tidak mengira, Mimi ternyata
Nehan begitu tampan. Mimi memandang kekasihnya dengan dada berdebar. Berdua menikmati hari, indahnya. Nehan bercerita banyak tentang apa saja yang dia lakukan saat pulang ke Jember. Kegiatan ini dan itu bersama teman-teman membuat Nehan merasa hari-harinya berwarna. Mimi ikut gembira dengan semua yang Nehan tuturkan. Itulah Nehan Mahadi, selalu bersemangat dengan apa yang bisa dia kerjakan setiap hari. Hanya sehari bersama, tapi cukup melepas rindu yang sudah bertumpuk sejak libur dimulai. Dari jam sepuluh pagi Nehan menjemput, Mimi dan Nehan mengelilingi kota Surabaya. Jalan-jalan di mall, nonton bareng, masuk arena bermain, hingga makan malam. Ah, asyik, takkan terlupakan. Sederhana saja, tapi tetap menyenangkan. Bukan soal di mana dan bagaimana, yang paling penting dengan siapa bisa menghabiskan waktu. Jika itu dengan dia yang terkasih, semua sangat berkesan. "Ya, sudah malam. Harus mengantar kamu pulang. Dan aku harus balik ke kampung halaman. Coba bisa bawa kamu ke sana, Mi. A