Share

Part 2

Aku meneliti penampilanku. Kemeja putih juga celana hitam. Layaknya para pencari kerja. Tidak lupa juga high hills hitam yang tidak terlalu tinggi. Masih normal untuk calon karyawan. Rasanya sudah lama tidak memakai pakaian seperti ini.

 

"Karenina Raisa Wijaya !" panggil seorang pria bagian recruitment yang berdiri di depan pintu

Aku mengangguk ramah dan segera mengikuti pria tersebut kedalam ruangan.

"Semoga saja boss perusahaan itu masih muda." batin yaya

Dia memang berharap seperti itu. Sehingga Yaya lebih punya peluang untuk bertemu jodoh di kantor barunya nanti.

Yaya mulai menatap sekilas ruangan itu. terlihat bersih dan rapi. Juga hanya ada beberapa orang di dalamnya.

“Sepertinya pria yang duduk di kursi paling mewah itu boss perusahaan ini,” pikirku

 

"Selamat pagi pak !" aku menyapa pria tersebut dengan sopan.

Aku bisa melihat seorang pria yang menunduk sejak tadi. Dia pasti atasan di perusahaan yang sedang yaya lamar itu.

Awalnya aku mengira pemimpin perusahaan ini adalah seorang pria paruh baya. Itulah yang selalu ada dalam pikiranku saat ingin melamar pekerjaan dimanapun.

Apa ini dampak dari perkataannya tadi ?. Padahal dia hanya bercanda tentang dia yang bisa saja berjodoh dengan boss di perusahaan itu.

"Ini pasti yang disebut orang-orang, bahwa ucapan adalah doa!"

Pria yang sedang dia temui itu memiliki postur tegap, terlihat bugar dan berwibawa. Walau belum benar-benar melihat wajahnya, dia bisa menebak dia masih muda.

Mungkin umurnya baru sekitar 30-an. Tidak terlalu berbeda denganku. Tapi itu masih tebakan belaka. Jangan sampai umurnya sudah pertengahan 30-an. Aku juga tidak bisa memastikan itu.

 

"Interviewnya dilanjutkan nanti saja !. Saya harus segera pergi." kata pria tersebut yang aku pikir CEO. Ataukah dia juga direktur ?. Karena dia terlihat arogan sekali.

Aku hanya berdiri diam disana. Menunggu keputusan selanjutnya tentang wawancara itu.

Tapi “Hei ! Bahkan aku belum dipersilahkan duduk.”

Sungguh. Rasanya aku ingin berkata seperti itu kepadanya.

 

Pria itu langsung berjalan melewatiku begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi. Bahkan aku tidak melihat sedikitpun rasa bersalah di wajahnya.

Tentu saja. Itu karena aku hanya melihat wajahnya sekilas sebelum dia pergi.

Tapi tetap saja. Aku bisa menduga bahwa pria itu memang tidak memiliki rasa bersalah sedikitpun karena telah meninggalkanku begitu saja.

Aishh, melihat wajahnya dengan jelas saja tidak. Lalu bagaimana nasibnya setelah ditinggal si boss besar saat akan interview ?

"Rasanya lebih sakit dibanding ditinggal teman menikah!"

Bagaimana yaya akan menghindari mami dan papi jika seperti itu ?. Bukannya wawancara, dia malah di tinggalkan begitu saja.

Dia tidak bisa terus menghindar dari mami dan papi. Walau papi masih santai saja. Namun tetap saja. Jika nyonya Wijaya sudah berkata, maka aku juga pasti tidak bisa berkata apa-apa.

Dia tidak habis pikir dengan atasan perusahaan itu. Bisa-bisanya dia pergi begitu saja. Walau aku bukanlah pekerja disana. Tapi melihat sikapnya saja sudah membuatku kesal.

Ternyata benar. jangan pernah menilai seseorang hanya dari penampilan luarnya saja. Dan sekarang yaya baru benar-benar memahami tentang perkataan itu.

"Haruslah aku keluar dari sini, tapi tidak. Aku harus diberi beberapa kata lebih dulu."

Yaya tidak akan keluar begitu saja. Dia masih berharap si boss itu hanya main-main.

Tapi sepertinya tidak. Buktinya dia tidak kembali. Jangankan kembali, berbalik saja tidak.

. . .

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status