Wanita itu meneguk minuman yang diberikan Bara seperti orang kehausan.
“Kamu ngak apa–apa?” tanya Bara.
Wanita itu menoleh, matanya sendu di ikuti air berlinang menetes di pipinya. Ada kepiluhan yang tak terbendung.
“Om. Aku diputusin pacarku Om. Tolongin aku!” wanita itu menangis histeris.
Bara nyaris pingsan di panggil sebutan Om, rasanya panggilan itu tak pantas untuknya. Menjijikan sekali.
“Jangan diam aja dong! Om ayo tolongin aku!” rajuk wanita itu.
Bara menarik nafas panjang, “kamu ini siapa tau–tau maksa saya?”
“Aku Vanya Om.” Wanita itu menjawab pelan.
Bara geleng–geleng, “siapa yang tanya namamu?” “Om tadi yang tanya?” Bara terdiam sambil memandang wajah wanita imut itu.“Om mau—kan tolongin saya?” ucap Vanya.“Gini ya akuBara menemui Intan di dalam sebuah kamar dengan nuasa putih. Tembok putih, sprei putih dan selimut putih. Dan ada seikat mawar merah yang dimasukan dalam vas kaca berisi air, tepat di sebelah meja ranjang.Intan hanya berbalut lingerie merah sama seperti warna bunga mawar. Kain sutra yang hanya menutup sebagian tubuh Intan. Dadanya dibiarkan terbuka tanpa bra, pundaknya putih mulus hanya ada sehelai kecil kain lingerie.“Kamu sungguh mengoda gairahku!” kata Bara sambil berbisik di telingga Intan.Intan hanya tersenyum tipis. Tanpa minta izin Bara mencium kening Intan, ke pipi dan turun leher.Bara merasakan hangat bibirnya saat bertemu dengan bibir Intan, perlahan Intan membuka mulut. Mengizinkan lidah Bara berkelana di rongga mulut Intan. Tanggan Bara di pinggul kecil Intan, seolah-olah pinggul itu sudah diciptakan pas dengan tikaman tanggan Bara.Lenggan Intan melingkar di le
Pukul 09.30 semua jajaran staf, semua kepala bagian telah mengisi bangku kosong. Bersiap untuk acara pelepas dan penyambutan manager lama dengan yang baru.Alma datang tiga puluh menit sebelum acara dimulai. Kali ini Alma beda dari biasanya, dandanya lebih formal nan juga elegan. Dengan celana panjang warna merah maroon, lengkap dengan kemeja putih dipadu dengan balzer warna merah sama persis seperti bawahanya.Arya yang sedari tadi selalu curi-curi pandang terhadap Alma. Tapi rasa gengsinya lebih besar untuk sekedar jujur jika dirinya menganggumi mantan sekertarisnya. Jadi untuk sekedar melirik Alma itu sudah cukup baginya.Intan sedari tadi badanya sudah panas dingin. Tapi untuk menolak kemauan Jimmy pun itu hal mustahil.Akirnya acara dimulai, dengan gemetar Intan membuka acara seperti pada umumnya. Dengan salam dan kata ucapan terimakasih.Karena Intan terlalu gugup, bicaranya awut
Dengan pandangan semakin kabur dan kesadaran semakin menurun, Jimmy masih mampuh melihat keganasan sekertaris pribadinya. Rasanya ingin bangun dan membantu Intan melawan dua pria itu, tapi benar-benar badannya lemah, seperti tenaganya sudah tak tersisa di serap belati.Dengan cepat Intan melangkah mendekati Jimmy yang di sebelahnya masih berdiri pria yang menusuknya. “Kau menjauh dari bosku atau ingin nasipmu sama seperti dia!” pekik Intan, dengan tanggan membawa belati.“Oh kamu mengancamku? Kamu tidak lihat bosmu lagi sekarat? Mendingan kamu pasrah, aku cuma ingin hartamu!” ejek pria itu.Intan berjalan ke belakang sambil berteriak, “aku sudah sering membunuh orang, jangan sampai kau aku bunuh seperti korban-korbanku!” Belati itu ditancapkan pada betis pria yang masih meringkuk kesakitan, darah keluar mengenai telapak tanggan Intan."Ah ….!"Pria itu m
Terlihat layar ponsel Intan tertera puluhan notifikasi panggilan tak tertawab. Dari Mama Eva, Stif dan juga Bara.Ada apa Bara menelfonku?” tanya dalam hati Intan.Pertanyaan itu segera Intan abaikan, lebih baik sekarang memberi kabar Mama Eva. Pasti sekarang sangat mencemaskan Intan.“Ma, Intan di rumah sakit. Tadi malam waktu perjalanan pulang ada perampok. Bosku jadi korban penusukan dan sekarang sedang di rawat,” ujar Intan.“Kamu baik-baik saja—kan?” tanya Mama Eva, dengan panik.“Baik Ma, tenang saja. Tolong kirimkan saja baju ganti untukku. Aku akan pulang jika keluarga Bosku sudah datang.” Suara Intan teramat paruh.Mama Eva menghujani Intan dengan sejuta pertanyaan. Hal wajar sebenarnya jika seorang ibu kuatir secara berlebihan pada anaknya.Intan juga berkali-kali mengucapkan terima kasih. Teringat kemarin pagi sebelum Intan b
Pria dengan kulit putih bertubuh gempal sedang tidur panjang di atar ranjang besi. Tiga orang berharap jika dirinya segera bangun dan sehat seperti sedia kalam.Ruangan itu nampak mewah lebih mirip kamar hotel bintang lima bukan rumah sakit. Lengkap dengan dua tempat tidur ukuran sedang, lengkap dengan ruang tamu dan kamar mandi di dalamnya.Sofa warna biru laut di ruangan depan Arya sedang termenung. Sesekali memainkan poselnya.Intan dan Alma duduk di sebelah Jimmy yang terbaring menutup mata.Sekilas Intan melihat ruangan rawat inap yang baru pertama kali ia kujungi, hatinya kagum dengan apa yang ia saksikan.Tiga kali lebih lebih besar kamar tidur Intan. Tapi siapa pun tidak ada ke inginan untuk tidur di kamar ini.Sesederhan apa pun ruangan kamar seseorang pasti akan lebih memilih tidur di kamarnya sendiri dari pada ruangan rawat inap kelas VIP.
Bara pergi meninggalkan rumah Intan dengan amarah meluap-luap, entah kenapa dia bisa segila ini kepada seorang perempuan.Dirinya benar-benar dikuasai rasa yang tidak menentu. Pertemuannya dengan Intan kemarin benar-benar mengobarkan api yang sudah hampir padam.Sempat hati Bara untuk terima mengiklaskan yang berlalu tapi melihat Intan untuk beberapa saat sudah menghancurkan benteng pertahanan Bara. Rasanya sia-sia tekad untuk menjauh dari Intan selama ini.Hingga muncul ide gila Bara, kesempatan yang tidak akan datang di lain waktu.Polisi pintar dan sangat berpengalaman, Bara tau jika Intan tidak mengerti, hanya saja Intan butuh saksi yang kuat untuk membuktikan ia adalah korban.Otak Bara cerdas, ambil kesempatan dalam kepelikan yang Intan rasakan saat ini.Bara menawarkan jalan pintas yang begitu cemerlang, tapi sayang Intan adalah betina yang menjunjung harga dirinya melebi
Intan menyadari dirinya bukan dari bagian mereka, melangkah keluar. Memberikan kesempatan kepada anak dan orang tua untuk saling melepas rindu.Tersirat perasaan iri pada Intan dengan kelurga kecil itu, begitu salimg terikat. Keharmonisan mereka seperti mimpi dirinya yang mustahil Intan dapat.Dibanding kelurganya, begitu berbanding terbalik. Orang tuanya bercerai setelah menjalani hubungan beracun sekian tahun lama, dan kini Intan tidak pernah mau tau soal Ayah, meskipun dirinya begitu merindukanya.Duduk di kursi besi bersandarkan dinding rumah sakit air mata Intan membasahi pipinya. Meratapi nasip dirinya yang malang. Tapi mau bagaimana lagi suratan takdir tidak bisa ditampik.Wanita malang itu tak punya pilihan lain selain berusaha mejalani hidup yang tersisa, mensyukuri sisa-sisa nikmat Tuhan.Mungkin Tuhan telah meng
Semakin hari kesehatan Jimmy mulai pulih. Tapi tetap dia harus istirahat total untuk kesembuhanya fisik dan psikis, ada secerca trauma yang harus disembuhkan akibat insiden yang menimpa Jimmy.Psikolog pribadi Jimmy melakuan serangkaian terapi untuk memulihkan kesehatan mentalnya.Kini Intan sibuk bolak balik, antara rumah Jimmy dan kantor. Mengantar berkas jika membutuhkan tanda tangga Jimmy. Hal itu cukup melelahkan, karena dalam sehari bisa dua atau tiga kali berkas yang harus di antar ke rumah bosnya.Dengan jarak di tempuh dalam waktu satu jam perjalanan, jika lancar tanpa macet.Belum lagi jika langkahnya terhambat di rumah Jimmy, ketika Ming memaksanya untuk duduk walapun sekedar mendengar cerita yang sudah diulang puluhan kali. Cerita tentang masa mudanya, cerita tentang perjuangan hidupnya yang dulu mlarat hingga kini mendapat julukan “crazy rich Surabaya.” dan semua hal.