Share

1. Perjodohan

Kugenggam mug berisi coklat panas di depanku dengan begitu erat, menyalurkan kekalutan yang menyeruak, yang membuat dadaku terasa begitu sesak.

"Kau bahkan tak mengenalnya, Anye," ucap perempuan di depanku dingin.

"A-Aku ... aku tak bisa menolaknya, Made," kataku frustasi, bahkan mataku sudah mulai berkaca-kaca.

Made membuang napas kasar, berpindah duduk ke sampingku, memeluk sambil mengelus punggungku menyalurkan ketenangan.

"Lalu, bagaimana dengan Rama?" tanyanya pelan tepat di telingaku.

"Kita sudah tak punya hubungan apa-apa, Made. Harus berapa kali kukatakan itu agar kaupercaya?" ucapku melepas pelukannya disertai pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban.

Madeline Patricia, Gadis cantik dua puluh dua tahun pemilik tubuh proporsional, kulit putih, dan rambut hitam lurus yang selalu dibiarkan tergerai itu adalah sahabatku. Dia adalah satu-satunya orang yang masih sudi untuk peduli padaku. Ah, mungkin bukan satu-satunya. Aku masih memiliki atasan yang begitu baik, dia sangat baik, sangat perhatian.

Namun, tak dapat kupungkiri, bahwa ada kebaikannya yang menjadi akar dari segala pelik dalam hidupku, sumber dari segala sakit, dan awal dari segala luka.

Madeline menggenggam tangan kananku. "Dia mungkin memang pria baik-baik, mengingat sifat ayahnya yang sangat baik. Akan tetapi, kudengar dia sudah memiliki kekasih, jika dia menerimamu sebagai istrinya ...." Made lepaskan genggamannya, lalu menghela napas panjang. "kurasa dia tak akan menerimamu sepenuhnya. Entahlah, Anye. Sungguh aku tak bisa berhenti berfikir buruk tentang pernikahan kalian," lanjutnya menatapku nanar.

"Aku akan baik-baik saja, Made. Percayalah! Bukankah aku masih memiliki kau?" Aku berusaha tersenyum di depan Made, dia sudah banyak berfikir pasal kehidupanku, tak mungkin perkara sepele kujadikan beban tambahan untuknya. Ini saatnya melepas tali yang bergantung pada keluarga Made, terlalu banyak yang dia dan orang tuanya keluarkan untukku yang notabenenya bukan siapa-siapa.

Kudengar Made membuang napas kasar lagi. "Baiklah, Anye. Datanglah padaku kapan saja, apartemenku selalu terbuka untukmu. Jika kau ingin, aku akan memberimu kunci duplikat, agar jika suatu saat suamimu berlaku buruk, kau bisa langsung menuju apartemenku. Aku ... aku akan selalu merindumu." Lagi-lagi Made memelukku, hanya saja kali ini lebih erat. Made adalah bukti dari malaikat berkulit manusia itu ada, dia adalah kebaikan yang yang dapat dijamah pancaindra.

Aku akan menikah besok, dengan anak dari pemilik kafe tempatku bekerja. Mario--dialah calon suamiku. Tolong jangan tanyakan siapa nama panjangnya, pekerjaannya, atau umurnya. Karena aku tidak tahu menahu tentang itu semua.

Lalu, bagaimana bisa aku menikah dengan orang yang notabenenya adalah orang asing?

Akan kuceritakan.

Empat tahun yang lalu, saat itu aku genap berusia enam belas tahun, aku melamar pekerjaan pada Pak Tio, di kafe miliknya, Lanti's Cafe namanya. Cafe itu bukanlah tempat pertama atau satu-satunya yang kudatangi. Aku sudah menawarkan diri di banyak tempat, dan Lanti's Cafe ini adalah tempat ke sembilan.

Aku melamar pekerjaan hanya bermodalkan tekad, minat, dan ijazah SMP. Kurasa, itulah yang membuat mereka menolakku mentah-mentah. Padahal sudah kukatakan, menjadi cleaning service pun aku tak keberatan, yang penting boleh bekerja paruh waktu. 

Mereka semua memandangku seperti gadis manja, dan hal itu membuatku kesal bukan main. Hey! Bagaimana aku tidak kesal? Besar di panti asuhan, lalu sejak umur tujuh tahun selalu ikut Ibu Panti bekerja. Bahkan, Ibu Panti memujiku sebagai gadis pekerja keras.

Dia membuka warung kecil-kecilan untuk biaya kelangsungan hidup semua anak panti, saat itu penghuni panti masih sedikit dan aku adalah yang paling muda, saudara pantiku semua sudah menginjak remaja, mereka bekerja untuk menyambung hidup mereka agar tak terlalu membebani Ibu Panti. Aku sudah terbiasa hidup susah sejak kecil. Jadi, lumrah bukan, jika aku tak terima dinilai manja?

Tunggu! Bukankah aku tadi akan bercerita tentang perjodohanku dengan Mario? Baiklah, kurasa cukup untuk cerita panti.

Saat aku menginjak usia lima belas tahun, anak panti semakin banyak, sungguh tak tega jika harus terus menerus merepotkan Ibu Panti, apalagi usia beliau sudah hampir menginjak empat dekade. Jadilah aku pamit meninggalkan panti. Saat itulah aku bertemu Made, ketika mengistirahatkan diri di pohon mangga depan sekolahannya. Tampaknya dia kasihan melihatku, melihat aku yang tiga tahun lebih muda tapi lebih tidak beruntung daripadanya perkara dunia.

Hubungan kita berjalan sangat baik, orang tua Made mencarikan kost-kostan minimalis karena aku tak mau tinggal bersama mereka, membiayai sekolah, makan, dan kebutuhan lainnya. Lagi-lagi aku merasa merepotkan orang lain. Jadi, kuputuskan mencari pekerjaan saat liburan akhir semester. 

Akhirnya aku diterima bekerja di Lanti's Cafe, menjadi seorang pelayan. Saat liburan, aku akan bekerja full day. Selebihnya, mulai pulang sekolah sampai jam sembilan malam.

Kata pekerja lainnya, semenjak aku bekerja di sana, Pak Tio jadi sering menyambangi kafenya. Dia seringkali mengajakku makan atau sekadar datang memberiku sesuatu, kadang baju, boneka, dan ice cream. Dia juga pernah membelikanku alat tulis serta tas dan sepatu saat masih sekolah dulu. Hingga banyak karyawan yang bergosip bahwa aku ini istri simpanan Pak Tio sebab istri Pak Tio sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu karena serangan jantung. Lalu, apa pantas mereka men-cap diriku sebagai istri simpanan? Padahal, usia kami lebih cocok disandingkan sebagai anak dan orang tua.

Pak Tio bahkan pernah menanggung biaya pengobatanku saat terserang demam berdarah dan maag akut. Juga pernah membayar hutang uang kost yang kutunggak selama empat bulan.

Karena itulah aku menerima perjodohan ini tanpa basa basi dan tanpa mempertimbangkannya lagi, Pak Tio terlalu baik untuk ditolak permintaannya. Meskipun aku tahu Mario tidak menyukai perjodohan ini.

Aku memang pernah bertemu dengannya, hanya sekali. Saat kami bertunangan. Dia tidak melihatku barang sekilas, hal itulah yang membuatku yakin bahwa dia sebenarnya tidak mengharapkan perjodohan ini. Entah apa alasannya dia tidak menyukai perjodohan ini, tetapi tidak juga menolaknya.

Merasa aneh? Tentu saja. Dia laki-laki, jadi kurasa seharusnya dia punya wewenang mencari istri sendiri. Bukankah Made bilang dia punya kekasih?

Ya Tuhan! Aku benar-benar bingung sekarang, pernikahanku tinggal menghitung jam dan aku baru memikirkan semua? Memikirkan konsekuensi menikahi kekasih orang lain, menanggapi sikap Mario yang terlihat membenciku, menanggapi pertanyaan mertua jika suatu saat mempertanyakan tentang hubungan kami, memikirkan bagaimana cara menanggapi kekasih Mario saat dia menyebutku pelakor, atau bagaimana cara menghadapi kekasih laki-laki itu jika tiba-tiba melabrakku.

Tunggu! Apa aku harus menolak sebutan pelakor? Akan tetapi, aku kan memang bukan pelakor. Aku menerima perjodohan ini saat belum mengetahui kenyataan bahwa Mario memiliki kekasih. Jadi, aku tidak layak disebut pelakor, bukan?


Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status