Share

3. Alasan

3. Alasan

"Kau sudah membangunkan Mario, Ell?"

Pergerakan tanganku yang tengah menata sarapan di meja makan sontak terhenti sebagai respon dari keterkejutan. Aku menatap bingung Papa mertuaku yang tengah meneliti satu per satu piring lauk, sambil sesekali mencoleki bumbunya.

"Se-selamat pagi, Pa."

Sumpah! Demi apa pun aku merutuki mulut yang malah mengucapkan kata menggelikan itu. Papa tergelak, lalu mengulang pertanyaannya. "Selamat pagi, Ell. Apa kau sudah membangunkan Mario?"

Aku tersenyum kikuk, menatap tangga menuju kamar Mario dengan jantung yang tidak karuan.

Aku harus jawab apa?

Mana mungkin aku menjawab 'Kami bertengkar, Pa.'

Tidak! Tidak!

Aku tidak segila itu untuk jujur, aku harus menampakkan bahwa hubungan kami baik dan berjalan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Bisa-bisa Beruang Kutub itu akan marah besar dan menelan tubuh ini tanpa pisang ataupun air jika aku berani melayangkan jawaban benar dan nyata itu.

"Aku kasihan, Papa. Dia terlihat kelelahan," jawabku bohong.

"Ah, ya. Kemarin malam dia bahkan membantu mengangkat kursi pelaminan."

Aku membuang napas lega, rasanya aku akan sering berbohong jika Mario terus-terusan seperti ini. Ah, sudahlah. Tak mengapa jika kebohongan itu mampu membuat suasana hati Papa membaik. Aku berdiri di sini untuk membahagiakan Papa, bukan? Jadi, kemungkinan tak salah selama Papa bisa tertawa.

Papa mulai memilih-milih lauk yang tersaji setelah kuambilkan secentong nasi. Melirik piring yang lain saat tangannya sibuk mengambil lauk di piring depannya. Tampak sekali keinginannya untuk mencicipi semua lauk, itu membuatku senang.1

Entah sejak kapan Mario keluar dari kamar, aku melihat laki-laki itu sudah berada di anak tangga terakhir saat hendak duduk di depan Papa. Padahal, aku tidak mendengar suara pintu terbuka ataupun derap sepatu hitam mengkilat yang dikenakannya. Dia tengah menatap Papa yang memunggunginya tanpa mengucapkan sepatah kata pun, inginku menyapanya, namun risiko yang timbul akan membuat Papa kecewa--bahwa dia tak akan menanggapi sapaan itu, bahkan mungkin menganggapnya angin lalu.

"Aku akan kembali ke apartemenku nanti sore, Pa," ucapnya.

Aku melirik pada Papa, sendok yang baru masuk seperempat ke dalam mulut dia tarik kembali saat mendengar ucapan Mario. Lalu, menoleh ke arah empu suara.

Mario berjalan mendekati Papa, memandang laki-laki paruh baya itu sebentar, lalu berjalan keluar. Dia bahkan tidak memandangku barang sekilas, tetapi bukan itu yang jadi masalah. Papa belum mengatakan apa-apa dan dia langsung pergi begitu saja? Dasar anak tidak punya tata krama. Tak pamit, tak mencium punggung tangan, tak mengucapkan salam. Astaga, bagaimana bisa makhluk seunik Mario masih dibiarkan bernapas?

"Makanlah dulu, Nak!" perintah Papa pada Mario.

Alih-alih berbalik dan ikut sarapan sesuai perintah Papa, Mario terus berjalan seolah ucapan Papa hanyalah embusan angin belaka.

Geram, sakit, sedih, marah, kasihan. Itulah yang kurasakan saat melihat netra Papa memandang sendu kepergian Mario. Seburuk itukah hubungan mereka? Jika ucapan Papa saja dia tak ambil pusing atau lebih tepatnya tak peduli, bagaimana mungkin dia mendengarku yang secara garis besar adalah yang dia benci.

Kuusap lembut bahu Papa, lalu berlari kecil mengejar Mario yang sudah berada di luar.

"Yo! Makanlah bersama Papa! aku akan pergi ke kamar."

"Aku tak lapar," jawabnya singkat.

Tidak lapar katanya? Padahal tadi Papa sempat bercerita, bahwa kemarin dia hanya makan sekali, saat acara resepsi belum dimulai. Alibi apa itu? Benar-benar tidak logis.

"Kamu boleh mengabaikanku, tapi tolong jangan lakukan itu pada Papa. Dia hanya orang tua yang menginginkan hubungan normal dengan putra semata wayangnya, Yo!"

"Sudah? Kalau tak ada hal penting yang perlu kau bicarakan, lebih baik kau temani laki-laki tua itu sarapan."

Apa dia bilang? Dia menyebut papanya sendiri laki-laki tua? Dia merasa membicarakan hubungan keluarga itu tidak ada pentingnya? Sinting! Benar-benar anak tidak tahu diri, tidak tahu diuntung, tidak punya sopan santun. Rasanya aku akan cepat terlihat tua karena Mario, setiap hari harus emosi, bagaimana mungkin aku tidak cepat tua. 

Aku bahkan hanya ternganga saat Mario mengucapkan kalimat tadi dengan lugas dan tanpa beban, hingga suara deru knalpot mobil menyadarkanku.

"Dia langsung berangkat, ya?" tanya Papa dengan senyum pedih.

Kulirik piring sarapannya dan menemukan nasi yang sedari tadi masih utuh, kemudian duduk dihadapannya, mengambil piring untuk ikut sarapan. "Dia hanya takut terjebak macet, Pa. Dia itu sekretaris pribadi, jam berangkat enggak jauh-jauh dari bosnya." lagi-lagi aku berbohong.

"Nanti Papa akan berkunjung ke kafe. Em, mungkin siang. Apa kau mau ikut?"

Aku mengangguk sebagai jawaban, untuk apa pula menolak? Toh aku tidak akan melakukan apa-apa di rumah ini, belum lagi nanti sore Mario akan mengajakku pindah ke apartemen miliknya. Jadi, ikut Papa menyambangi kafe adalah ide paling bagus sekarang.

***

Papa mengajakku ke taman belakang kafe setelah selesai dengan pekerjaannya. Berkali-kali aku tersenyum dan menganggukkan kepala sekali saat para pegawai menyapa kami. Papa adalah tipe laki-laki yang supel, humble, dan menyenangkan, berbeda dengan Mario yang tampak sangat angkuh dan arogan. Jika Mario berkunjung ke kafe, mayoritas pegawai lebih memilih menunduk dibanding menyapa, itu karena Mario tidak pernah menggubris sapaan mereka semua. Entah apa sebabnya aku tidak tahu.

Kami duduk di bangku taman bawah pohon yang tumbuh dengan rindangnya, berhadapan dengan taman bermain dengan bocah kecil sebagai peramai, memperelok lukisan langit yang begitu cerah. Pandangan serta suasana yang menenangkan, ternyata Papa romantis sekali. Oh, Anye! Apa yang kaupikirkan. Dia itu mertuamu kalau kaulupa.

"Ell! Papa minta maaf padamu karena telah melibatkanmu dalam hubungan tak sehatku dengan Mario."

Aku menoleh, tetapi tidak menyahuti, aku tahu Papa tengah butuh pendengar. Hanya pendengar.

"Dia memang pria yang angkuh, tapi dia bukan pria dingin. Setidaknya dulu, sebelum Papa menentang hubungan asmaranya dengan Michalea," ceritanya pilu.

Sekarang, aku tahu masalah dari renggangnya hubungan Papa dan Mario, itu karena Papa tidak merasa Micha adalah gadis baik-baik, kata Papa, gadis berdarah Rusia itu seringkali meminta Mario membelikan ini itu. Sejak mengenal gadis itu Mario jarang sekali menengok Papa. Jadi, Papa tidak menyukainya, karena itu pula Papa menjodohkanku dengan Mario.

"Firasat Papa mengatakan kaubisa merobohkan tembok yang dia bangun antara kami. Kau gadis baik-baik, Ell. Kau gadis yang mudah dicintai, aku yakin suatu saat Mario akan jatuh hati padamu, kumohon bersabarlah menanti masa itu. Kau satu-satunya harapanku, Ell," lanjutnya memohon, menatapku dengan penuh harap.

Hatiku teriris mendengar Papa bercerita dengan suara berat menahan jatuhnya air mata. Sangat ingin aku bersuara untuk bertanya, 'Bagaimana bisa aku merobohkan dinding yang dia bangun di antara kalian, sedangkan di antara kami pun dinding itu terbangun?'

Namun, aku tidak setega itu, kuusap tangan keriput Papa yang menggenggam pinggiran bangku menyalurkan kekuatan. Menatap matanya lekat, dalam diam kusampaikan pesan, 'Bertahanlah, Pa! Kita berada di posisi yang sama.'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status