Share

2. Awal Mula

Janji suci penggetar tiang arasy telah diikrarkan sejak sebelas jam yang lalu. Tamu-tamu undangan masih ramai berdatangan, tetapi aku tidak merasakan keramaian itu, tidak ada yang istimewa. Hatiku sama sekali tidak merasakan aura resepsi seperti pengantin baru pada umumnya.

Pandanganku memburam, detik selanjutnya bulir bening jatuh beriringan melunturkan riasan di bagian mata, mengotori pipi hingga baju, beruntung gaun pengantin sudah kulepas. Andai tidak, mungkin merah muda gaun itu akan terkotori.

Aku memang tidak mencintai Mario, tetapi tidak dianggap seperti ini tentu saja membuat hatiku terasa seperti dicubit. Sakit sekali. Sampai napaspun tercekat, menahan sakit yang mencekik dan melilit.

Aku menoleh cepat ke arah pintu saat mendengar derap langkah kaki seseorang.

Tok! Tok! Tok!

"Elli! Kau sedang apa?" 

Bukankah itu suara Pak Tio? Bagaimana ini? Tidak mungkin aku menghadapnya dengan keadaan kacau seperti ini, 'kan?

Tanpa menjawab panggilan dari Pak Tio, aku berlari menuju kamar mandi. Dikeadaan segenting ini kamar mandi adalah tempat paling tepat untuk berlari. Beruntung rumah super megah ini memiliki kamar mandi di setiap kamar tidurnya.

Dengan gerakan secepat kilat, kucuci wajah yang dipolesi riasan tebal yang terasa berat.

Sial!

Aku baru ingat pesan periasku tadi, harusnya aku membersihkan wajah menggunakan micellar water terlebih dahulu sebelum mencuci muka. Lihat! Eye shadow, lipstik dan bedak tebal sialan ini jadi tidak bersih sempurna.

Kukenakan lagi jilbab instan yang tadi kubawa. Berlari menuju meja rias untuk membersihkan sisa riasan yang masih melekat, tetapi niat kuurungkan saat mendapati Pak Tio tengah duduk manis sambil berbincang dengan perias sewaannya.

Mereka sontak menoleh saat menyadari kehadiranku, membuatku merasa kikuk dan salah tingkah juga malu.

"Kan, udah saya bilang tadi, Mbak, sebelum cuci muka pakai micellar water dulu, enggak bersih to jadinya, riasannya," ucap Bu Yuni, perias yang kuperkirakan memasuki usia empat dekade itu dengan tertawa renyah.

"Maklum, Mbak Yun! Elli enggak pernah dandan," timpal Pak Tio dengan kekehan ringannya. Netranya mengikutiku yang berjalan dengan penuh rasa malu menuju meja rias, kaca meja rias lebih bening ketimbang kaca di kamar mandi, rasanya ingin tertawa melihat betapa buruk rupanya aku saat ini. Pantas saja Pak Tio dan Bu Yuni menertawakanku.

"Dasarannya ayu, Pak. Mau dandan atau ndak, ya tetep katon ayu,"¹ puji Bu Yuni dengan bahasa yang ... sedikit membuatku tidak mengerti. Maklum, aku asli Jakarta. Sedangkan Bu Yuni ini berasal dari Surabaya. Bicaranya masih sering diselipi dengan bahasa Jawa, mengucapkan Bahasa Indonesia saja masih sangat medok.

"Mbak Yun! Tipis aja dandanannya, tamunya udah enggak banyak-banyak banget, kok," pesan Pak Tio selepas Bu Yuni mengelap wajahku menggunakan kapas yang sudah ditetesi dengan micellar water.

"Ell! Papa turun dulu, nanti kamu temuin Papa di bawah, ya! Kamu mau Papa pamerin ke teman SMA Papa dulu." Aku hanya mengangguk, ada kehangatan yang menyelimuti kalbu saat Pak Tio memanggil dengan sebutan 'Elli', itu semacam ... panggilan kesayangan. Karena Pak Tio satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama itu. Elli diambil dari nama belakangku, Anyelir Elliana. Kata Pak Tio, dia lebih suka memanggilku Elli karena berbeda dengan yang lain.

Bu Yuni menuntunku turun mencari keberadaan Pak Tio setelah selesai merias, sekalian pamit pulang katanya. Aku yang memang tak berani ke mana-mana pun menurut saja. Untunglah sekarang hanya mengenakan kutu baru, baru beli beberapa hari yang lalu. Tidak seperti pagi tadi, mengenakan gaun yang begitu panjang dan berat yang perkiraan lebih berat dari bobotku.

Sampai di tempat di mana Pak Tio dan rekannya berada, aku menatap canggung pada pria paruh baya yang merupakan teman SMA Pak Tio selama beberapa detik, lalu tersenyum.

"Pak! saya pulang dulu, ya," pamit Bu Yuni pada Pak Tio.

"Loh, Mbak Yun! Enggak makan dulu?"

Bu Yuni tertawa ringan. "Udah dikasih buah tangan segini banyaknya, Pak! Nanti siapa yang makan? Lawong Sudan putra saya sama suami ndak doyan makanan laut e, palingan nanti yang makan, ya, saya sama Resti adiknya Sudan," ceritanya panjang lebar sambil mengangkat tas kain berukuran jumbo berwarna hijau gelap membuat Pak Tio tergelak.

"Ya sudah, Mbak! Makasih untuk hari ini, jangan kapok saya mintai bantuan." Bu Yeni mengangguk. "Mana bisa saya kapok disewa orang se-loman² Bapak," jawab Bu Yuni membuat Pak Tio lagi-lagi tergelak.

"Ya sudah, saya pulang. Mari, Pak Tio, Mbak Anye, Pak!" pamitnya padaku, Pak Tio, dan teman Pak Tio.

Aku menganggukkan kepala sekali sambil mengulas senyum sebagai tanggapan, begitu juga Pak Tio dan temannya. Kami pun terlibat perbincangan setelah keberadaan Bu Yuni tak lagi terlihat. Ah, bukan kami, lebih tepatnya mereka--Pak Tio dan Temannya. Aku hanya menyimak dan sesekali angkat bicara, itu pun kalau mendapat pertanyaan dan dimintai pendapat. Kalau tidak, ya, diam.

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Aku duduk di depan meja rias sambil mengusap kapas yang sudah terlebih dahulu kutetesi dengan micellar water pada wajah, seperti yang dilakukan Bu Yuni tadi.

Syukurlah hari ini aku sedang bulanan, jadi bisa langsung istirahat, tidak perlu mengganti tujuh belas rakaat yang kutinggalkan selama sehari penuh.

Kupunguti kelopak-kelopak mawar merah yang bertabur di atas tempat tidur berukuran king size milik Mario, lalu membuangnya ke tempat sampah, menata dua guling di tengah sebagai pembatas, lalu merebahkan diri di sisi kanan ranjang.

Entah angin apa yang menerbangkan anganku pada sosok Mario, tiba-tiba saja aku memikirkan laki-laki itu. Hampir dua puluh empat jam aku berada di bawah atap yang sama dengannya, tetapi aku hanya sekali melihatnya, saat akad dilaksanakan tadi. Itu pun dia hanya menunduk saja.

Dia tampak begitu tampan dan gagah dengan tuxedo biru tua yang didesain khusus oleh perancang busana ternama untuk tubuh atletisnya.

Ah, memikirkan Mario ternyata membuatku terlelap.

Baru saja jiwaku melayang, Mario membuka pintu dengan kasar, membuatku kembali terbangun. Kulihat jam di ponsel samping kepala, angka menitnya baru berganti enam digit.

Singkat sekali tidurku.

Niat untuk memejamkan mata kembali kuurungkan saat sadar tengah ditatap Mario dengan tajam, kilatan netranya menghunus nyaliku seketika. Dadanya naik turun tampak menahan emosi.

Aku menelan ludah dengan susah payah sebelum angkat bicara, "Aku akan pindah ke kamar tamu, maaf!" ucapku takut.

Kudengar dia mendengus keras, membuatku bergeming di atas ranjang dengan posisi duduk.

"Apa kau sudah gila? Papa akan memukuliku kalau tahu kita tidak tidur sekamar!" geramnya.

"Tidurlah di sofa, ambil saja selimutnya, aku tidak kedinginan," lanjutnya seperti perintah yang terdengar tidak menerima bantahan.

Ekspresiku? Jangan ditanya lagi. Bibir terbuka lebar dengan kening yang membentuk lipatan.

"Apa telingamu sudah tidak berfungsi?!" bentaknya menyadarkanku dari keterkejutan.

Malam sudah larut, aku lelah karena acara resepsi hari ini dan sudah tidak bertenaga lagi untuk berdebat. Jadi, tanpa membantah, ku turunkan kakiku, melangkah menuju sofa dan memejamkan mata di sana. Ditemani dinginnya malam, lelahnya badan, dan air mata.

¹ "Dasarnya memang cantik, Pak! Mau dandan atau tidak ya tetap terlihat cantik."

² Dermawan

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status