Share

5. Orang Ketiga?

"Oh, ayolah, Papa! Aku bosan seharian di rumah hanya makan, nonton film, makan lagi, baca novel, makan malam, tidur, genap satu tahun bisa-bisa aku menjadi gajah."

Hampir dua puluh menit aku merayu Papa agar diperbolehkan bekerja lagi, sedari tadi laki-laki paruh baya itu terus saja menolak permintaanku. Katanya, aku sudah punya suami, jadi tidak perlu repot-repot bekerja. Tidak tahu saja dia kalau suami yang dia maksudkan itu bekerja hanya untuk mengisi perutnya sendiri dan mengisi dompet pacar kesayangannya.

"Baiklah, baik! Aku akan memberimu pekerjaan. Emm, bagaimana kalau kamu menghandle kafe? Agar Papa bisa fokus di kantor saja," usul Papa.

Aku tersenyum, lalu mengangguk antusias. Apa pun pekerjaannya pasti kuterima, yang penting cukup untuk menyambung hidupku. Aku tak mau bergantung pada Mario, apalagi pada Papa.

"Baiklah, aku akan mulai bekerja hari ini, aku ...."

"Dasar menantu nakal! Dua bulan kau tidak pernah menjenguk Papa, sekalinya menjenguk hanya mampir sebentar meminta pekerjaan, setelah dapat langsung pergi," hardik Papa kesal.

Entah laki-laki yang menjabat sebagai mertuaku itu benar-benar kesal atau hanya sekadar bercanda, yang jelas ucapannya berhasil membuatku tertawa.

***

Selepas salat Magrib aku pamit pada Papa untuk pergi jalan-jalan bersama Made, sekalian pamit pulang.

Ya, setelah mendapat hardikan dari Papa tadi, kuputuskan untuk mulai bekerja besok pagi saja. Tak apa, toh aku masih punya sedikit persediaan yang mungkin masih cukup untuk lima hari atau bahkan satu pekan.

Diantar tukang ojek online yang kupesan, aku menyisir suasana petang di kota sibuk ini, segar. Dua bulan tidak pernah keluar rumah, terkena angin malam membuatku mengantuk, rasanya seperti dibacakan dongeng sebelum tidur. 

"Anye!" teriak Made memanggilku, membuat semua orang yang sedang mengantre membeli tiket bioskop dan orang-orang yang berlalu lalang menoleh ke arahku.

Memalukan!

Made menubrukku begitu keras, hingga tubuhku terhuyung kebelakang, beruntung tidak sampai terjatuh.

"Aku sangat-sangat merindukanmu, riiiiinnnnduuu sekali, Anye."

Kulepas paksa pelukan Made, lalu melayangkan satu jitakan di kening berponi gadis itu. "Lebay!" Made melebarkan bola matanya, menampakkan dengan sempurna manik cokelat itu.

"Lebay katamu? Dua bulan kau tak pernah menemuiku dan kau mengatakan rinduku lebay? Dasar Adik tidak punya hati," cibir Made sambil mecebikkan bibir. Ah, marah pun gadis ini masih saja terlihat cantik.

"Ya, ya, ya. Dan kau Kakak tidak punya malu."

Made memelototiku, membuat aku mengangat dua jari di depan wajah, kemudian kami tertawa, lalu ikut mengantre membeli tiket menonton bioskop laga premier 'Cinta Sejati'.

***

"Tidak, Made! Aku akan pulang bersama taksi online, mengerti?"

"Hey! Ini sudah malam, Anye! Aku tak mau kau kenapa-napa," sahut Made. Gadis itu terus saja memaksa untuk mengantarku pulang, sebenarnya aku mau. Hanya saja, terlalu sungkan padanya, dia sudah membelikan tiket, popcorn, dan soda untuk menonton bioskop tadi.

"Oh, ayolah! Ini masih jam delapan, Made, belum tengah malam."

Made masih gencar memohon agar kuperbolehkan mengantar pulang. Tentu saja aku tetap menolak, lagi pula sudah telanjur memesan taksi online sepuluh menit yang lalu, sebentar lagi pasti taksinya datang. Benar saja, dua belas menit selepas mengirim alamat pada pak supir, taksi yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Mau tidak mau Made harus mengalah dengan taksi itu.

___________

Terdengar guntur yang bersahut-sahutan seperti tengah memainkan perkusi saat kupijakkan kaki di halaman rumah, aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru halaman. Mario pulang. Rupanya dia akan tidur di sini malam ini, terbukti dari mobil hitam pekat miliknya terparkir cantik di garasi.

Baru saja hendak membuka pintu, suara wanita tengah tertawa mengejutkanku. Satu nama yang langsung saja melintas. 'Micha'.

Dengan langkah dan mimik wajah yang kubuat sebiasa mungkin, aku melangkah menuju kamar, tidak ingin melihat kemesraan dua sejoli yang tengah dirundung asmara itu.

Ya, Tuhan! Sebenarnya orang ke tiga di sini itu siapa? Micha selingkuhan tapi seperti istri, sedangkan aku istri malah ternistakan. Rasanya seperti aku adalah pembantu atau hanya angin lalu atau bahkan udara--ada tapi tak tampak.

Aku melirik sekilas pada Mario dan Micha yang duduk bersebelahan, benar-benar pasangan yang cocok. Satu tidak punya malu, satunya lagi tidak punya rasa tanggung jawab. Pasangan yang serasi, bukan? 

Kututup pintu dengan keras, membuat mereka seketika terdiam. Entahlah! Mungkin terkejut, aku tak peduli, aku lelah dan ingin segera tidur. 

"Dasar perempuan gila! Masih baik aku memberimu tumpangan, kau malah berusaha merusak fasilitasnya," ujar Mario geram, dia memang tidak berteriak, tetapi suasana yang hening dan jarak yang tidak terlalu jauh membuat suara itu masih mampu menyapa telingaku.

"Sudahlah, Sayang. Aku lapar, ayo cari makan di luar saja, belikan aku pizza, tiba-tiba aku ingin makan pizza."

Menjijikkan!

Benar-benar perempuan tidak tahu malu, jelas-jelas ada aku yang merupakan istri sah Mario, tetapi wanita itu malah merengek hanya karna rasa lapar yang diderita. Meminta Mario yang membelikan pula, dasar miskin dan tidak mau berusaha. Tangan dan kaki masih ada malah meminta-minta, yang dimintai suami orang pula.

Aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa gadis secantik Micha mau menjalin asmara dengan laki-laki beristri? Jika finansial yang dilihat, kenapa tidak sekalian menggaet Papa? Penghasilan Mario selama dua bulan bahkan tidak melebihi seperempat dari penghasilan Papa selama sebulan.

Jika karena paras, ya, kuakui Mario memang tampan, tetapi dia tidak setampan itu untuk dipertahankan saat dia sudah memiliki pasangan. Kurasa masih banyak laki-laki kaya juga tampan yang kapasitas paras dan hartanya melebihi Mario. Bukan hanya banyak, sangat banyak sekali.

Lalu, karena apa? 

Apa karena ingin membuatku diacuhkan Mario? Kenyataannya kita tidak mengenal satu sama lain. Bertemu saja baru-baru ini, itu pun selepas acara sakralku dan Mario telah usai.

Aarrggh!

Sudahlah, apapun alasan yang gadis itu jadikan pedoman, aku harus bisa membuat Mario putus dengan gadis itu. Akan tetapi, bagaimana caranya? Melihatku saja Mario tidak sudi, apa bisa aku merebutnya dari medusa cantik itu?

Aku membuang napas lelah, lebih baik aku salat kemudian tidur. Persetan Mario pulang atau tidak. Untuk hari ini saja, biarlah aku masa bodoh dengan kepulangannya. Biar dia merasakan perbedaan, saat aku menyambutnya dan saat aku mengacuhkannya. Kurasa itu bisa membuat hatinya tersentil. Siapa tahu dengan cara ini Mario sadar bahwa dia kesepian jika aku tidak ada, 'kan?

Bukankah mayoritas orang baru menyadari betapa pentingnya seseorang saat dirinya sudah ditinggalkan?

Aku akan mempraktikkannya pada Mario, kuharap Mario mencariku. Ah, tidak! Melihat Mario merasakan aura kesepian saja sudah cukup. Semoga. Semoga saja.

Aku akan berdoa untuk itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status