Share

4. Usaha

Sekali lagi aku menoleh ke arah Papa yang berdiri di ambang pintu, tersenyum sambil melambaikan tangan. Kemudian, aku masuk ke mobil bergambar kijang milik Mario.

"Kau tak pamitan?" tanyaku, meliriknya yang tak menoleh sedikit pun. Pasalnya, sejak tadi aku belum melihat dia bercakap-cakap dengan Papa.

"Itu hanya akan membuang waktu berhargaku."

Aku hanya membuang napas mendengar ucapannya, percuma saja aku menasehati atau sekadar memberi saran pada laki-laki keras kepala ini.

***

Lampu merah menyala, memaksa setiap kendaraan untuk berhenti. Tiba-tiba saja aku merindukan Made, sedang apa kira-kira dia sekarang?

Suara ponsel Mario menyadarkanku dari lamunan, sesibuk itukah dia? Sampai-sampai belum genap dua jam dia pulang dari kantor sudah dicari oleh bosnya?

"Hay, Cha!" ucapnya menyapa seseorang di seberang sana.

Tunggu! Tunggu! Sepertinya dugaanku meleset.

Cha?

Michalea?

Jadi, Mario masih berhubungan dengan Micha? Setelah sah menjadi suamiku? Apa-apaan Mario ini.

"Iya, Sayang."

Aku menoleh Mario, bisa-bisanya dia tersenyum saat istrinya terbakar api cemburu.

"Menuju apartemen, Cintaku."

Nada bicaranya begitu lembut, membuatku sedikit emosi. Apa Mario sengaja memancing emosiku? Gila saja dia terang-terangan bermesraan dengan Micha. Padahal di sampingnya ada aku. Apa dia lupa? 

"Ya, begitulah. Dia bersamaku."

Aku meluruskan punggung tanpa memutus pandanganku dari Mario.

"Dia?"

Mario melirikku sekilas, tertawa kecil, kemudian memindah ponselnya ke telinga kanan, membuatku yang berada di sebelah kirinya kembali bersandar di kursi mobil.

"Tidak akan, Sayang. Percaya, oke!"

Aku membuang muka, rasanya menatap jalan lebih indah ketimbang menatap Mario.

"Dia bukan apa-apa, jangan khawatir. Bye."

Aku melirik mario melewati ekor mataku. Apa yang dimaksud 'Dia' adalah aku? Apa yang mereka bicarakan, sih? Dan ... sayang? Memanggilku saja Mario tidak pernah, lah, ini? Ingin sekali aku merebut ponsel itu, membantingnya, menginjak-injaknya, atau membuangnya ke jalan raya seperti yang dilakukan seorang istri jika menangkap basah suaminya tengah berbincang mesra dengan perempuan lain di televisi.

Namun, apa dayaku, kurasa Mario pasti tidak segan-segan menurunkanku di sini sekarang juga jika nekat melakukan hal itu. Jadi, aku hanya bisa menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya untuk meminimalisir sakit hati. Rambu lalu lintas berganti warna, Mario pun mematikan teleponnya.

"Kalian belum putus?" tanyaku memecah keheningan.

"Apa itu penting?"

Tiga, tiga kata yang berhasil membuat darahku seketika mendidih.

"Tentu saja penting, sekarang aku adalah istrimu," jawabku menekankan setiap kata.

Mario mendecih, lalu suasana hening kembali, sampai tiba di apartemen miliknya.

Cukup sederhana, kukira apartemen Mario tampilannya akan sebelas-dua belas dengan rumah Papa. Ternyata tidak.

Luas memang, tapi tidak seluas rumah Papa, hanya ada satu lantai, tidak terlalu mewah, di teras hanya ada dua kursi dan satu meja. Gerbangnya dari kuningan yang dicat hitam. Pemandangan yang tampak saat pertama kali menginjakkan kaki ke dalam rumah adalah ruang tamu, lalu kamar mandi, kemudian dapur, ruang makan, dan di samping ruang makan ada dua kamar yang berjajar. Aku mengekori Mario sambil terus menyapukan pandangan ke setiap sudut ruangan, hingga tanpa sengaja menabrak laki-laki itu karena dia berhenti mendadak.

"Ini kamarku, tidurlah di kamar sebelah," ucapnya datar lalu masuk dan menutup pintu dengan kasar sampai menimbulkan suara debuman yang mengagetkan.

Aku menatap pilu pada pintu yang menelan raga Mario, apa selamanya dia akan terus seperti ini? Tidak! Jawabannya harus tidak. Aku hanya harus bersabar, seperti tokoh sinetron yang pernah kulihat diacara FTV. Suatu saat dia pasti bisa menerimaku, cepat atau lambat dia pasti akan mencintaiku, sekarang atau kelak dia pasti menyayangiku. Pasti.

"Bersabarlah, Anye! Kau pasti sanggup bertahan," gumamku menyemangati diri sendiri.

Ya ... mau bagaimana lagi, aku jauh dari Made. Mana mungkin dia bisa menyemangatiku. Ah, ya. Aku melupakan fakta bahwa aku hidup di era modern. Ada ponsel yang bisa menyambungkanku dengan Made, aku akan menghubungi gadis itu sekarang juga. Semoga saja dia tidak sedang berkencan dengan prianya.

***

Setelah satu minggu tidak pulang, akhirnya Mario pulang kemarin malam. Jadi, hari ini aku sengaja membuat sarapan setelah salat Subuh. Padahal, biasanya aku baru memasak setelah seluruh ruangan sudah benar-benar bersih. Aku ingin mengambil hati Mario, mungkin saja dengan cara ini Mario akan lebih sering pulang. Sebab Made dulu bilang bahwa masakanku sangat lezat dan bikin ketagihan.

Kucicipi nasi goreng buatanku untuk sarapan hari ini. Setelah itu membaginya menjadi dua porsi, satu untuk Mario, satu lagi untukku.

"Yo! Kamu enggak sarapan?!" teriakku. 

Tiga detik setelahnya kudengar suara pintu kamar terbuka, mengeluarkan seorang Mario yang sudah rapi dengan jas abu-abu gelapnya, aroma maskulin seketika tersebar di ruang makan yang tempatnya tepat di samping kamar Mario. Dia berjalan cepat, tidak menghiraukanku yang sudah menyiapkan sarapan untuknya.

"Yo?"

"Aku sudah telat."

Penolakan, lagi-lagi aku mendapat penolakan. Kulirik jam yang menempel di dinding atas lemari es.

Pukul 06.22

Sepagi ini dia bilang sudah terlambat? Mana mungkin? Kutarik napas dalam-dalam untuk menetralisir nyeri di ulu hati, alibi konyol lagi-lagi dipersenjatakannya untukku.

Kutarik sepiring nasi goreng yang masih mengepulkan asap, menyantapnya hingga tandas bersama bulir-bulir bening dan isakan kecil disetiap suapannya. Kurasa, nasi jatah Mario akan kujadikan menu makan siang, sayang kalau dibuang, nanti nasinya menangis--seperti kata ibu panti dulu.

***

Angin malam menyapa wajahku yang sedang menunggu suami pulang, pantaskah aku menyebutnya suami? Sedang, menganggapku ada saja dia enggan.

Tek-Tek-Tek!

Suara pukulan penjual tahu tek sudah terdengar, pertanda sekarang sudah jam sepuluh lebih. Kuputuskan menunggu Mario di ruang tamu, satu jam lagi dia belum sampai, itu tandanya dia tidak pulang.

Pernikahanku dengan Mario memasuki usia tiga minggu, namun hubungan kita tidak juga membaik. Mario sangat jarang pulang ke apartemennya, tidur di mana laki-laki itu? Apa dia punya apartemen lain? Sekalinya pulang dia hanya mengambil sesuatu, entah itu baju atau apa saja kebutuhannya.

Selama tiga minggu aku dan Mario berada di rumah yang sama, selama itu pula Mario tidak pernah dengan sengaja menatapku. Ah, jangankan menatap, melirik saja tidak pernah. Dia tidak pernah berada di rumah lebih dari lima jam. Dia tidak pernah berbicara lebih dari lima kata. Dia tidak pernah menampilkan ekspresi selain datar, tidak ada senyum, tidak ada amarah, apalagi sedih. Sebenci itukah dia padaku?

Setiap dia pulang aku selalu menyambutnya dengan senyuman, menawarinya makan, menawari bantuan, memberi perhatian, atau apa pun yang sekiranya bisa memperbaiki hubungan kita.

Namun, dia terlalu angkuh untuk kurengkuh, dia terlalu jauh untuk kutempuh. Pernikahan ini memang atas dasar perjodohan, tetapi jika hatiku sudah terlanjur tertawan? Siapa yang bisa kupersalahkan? Bukankah cinta memang bisa berlabuh pada siapa saja tanpa kita bisa menentukannya? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status